Elsa menemukan Elvano yang sedang duduk sendiri di dekat taman sekolah. Di dekatnya ada dua ekor kucing lucu yang sedang ia beri makan. Elsa tersenyum melihatnya. Hati lembut Elvano berbanding terbalik dengan sikapnya yang mudah sekali emosi.
"Kalau mau tanya, ya tanya aja."Elsa mematung. Wajahnya memerah malu karena ternyata Elvano menyadari kehadirannya."El, tadi gue sempet liat lu berantem sama serly. Maaf."Elvano menutup kembali toples makanan kucingnya lalu menepuk bangku di sebelahnya dan menyuruh Elsa untuk duduk."Masalah intern antara gue sama dia sih. Pasti lo pernah denger."Elsa menggelengkan kepalanya. "Gue enggak tahu, El."Elvano terkekeh. "Kapan-kapan gue ceritain. Gue lagi enggak mood."Mereka berdua terdiam. Ada rasa canggung yang tiba-tiba merayap diantara mereka. Elsa melirik lalu kembali menatap pemandangan di depannya."Enggak masalah. Lagipula kan itu masalah kalian."Elsa hanya duduk dan diam memandangi foto dirinya bersama Mia juga Bagas. Foto yang diambilnya tiga bulan lalu saat sedang tamasya ke taman safari. Bagas tersenyum lebar sambil memegang erat tangannya. Mia di sampingnya mengulurkan satu jarinya. Mereka tampak bahagia. "Lagi ngeliat apa sih? Kayaknya serius banget." Aksa berdiri disamping Elsa lalu mengusap rambutnya. "Katanya lagi pusing?" "Kak, apakah antara pria dan wanita yang berteman akan ada perasaan cinta diantara mereka?" tanya Elsa. Aksa mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu tanya seperti ini?" "Elsa suka sama Bagas tapi tidak mau merusak hubungan pertemanan." "Ya sudah, jangan suka sama dia. Emangnya kita bisa atur akan suka dengan siapa nantinya? Lagipula, kan kamu akan bertunangan dengan Elvano, enggak kasihan sama dia?" Elsa menggeleng."Maksudnya?" "Jangan membuat orang lain kecewa. Ayo, istirahat." Elsa mengangguk. Setelah A
Hari ini Elsa datang pagi seperti biasa setelah libur panjang kenaikan kelas. Aksa sebagai kakak yang baik bersemangat mengantar adik kesayangannya ke sekolah. Ini sebagai bukti jika dirinya sangat menyayanginya. Sebagai pria matang yang sukses, banyak sekali yang meliriknya saat ia turun dari mobil mewahnya. Pemandangan ini tak luput dari penglihatan Elsa sang adik. Gadis itu mendengus dengan lirikan tajam matanya menatap ke sekeliling halaman sekolah tempat mobil kakaknya terparkir."Kakak langsung pulang aja. Nanti di sini malah tebar pesona," kesal Elsa pada Aksa. Aksa tertawa. Sudah biasa dirinya mendapat lirikan tajam dari adiknya. Gadis itu mengusirnya sejak turun dari mobil tadi."Dijemput enggak?" Elsa menggelengkan kepalanya."Jemput saja deh. Nanti sore kita jalan ke toko buku. Kakak mau cari buku referensi." Elsa melambaikan tangannya hingga sosok kakaknya menghilang dari pagar sekolah. Elsa berjalan menunduk menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Entah hari ini har
Elsa masih kesal dengan peristiwa rebutan cilok di kantin tadi siang. Tidak disangka olehnya, Bagas yang dikira akan memberikan cilok itu untuknya malah memberikannya pada Serly. "Pasti dia seneng banget dikasih cilok sama Bagas. Dasar cewek genit," gerutu Elsa. Untuk mengurangi rasa kesalnya, ia memilih duduk di ruang musik selepas jam pelajaran terakhir selesai. Ia malas pulang terburu-buru, hari ini ayah dan ibunya sedang berada di luar rumah dan kakaknya pasti masih berada di tempat kerjanya. Lebih baik dirinya disini, di ruang musik ditemani alat musik kesayangannya. "Wah, ada gitar." mata Elsa berbinar-binar melihat seonggok gitar yang tergeletak di sudut ruangan. Ia mengambilnya dan duduk di sofa tengah sambil memeluknya. Sebuah lagu pun terdengar. Elsa memetik gitarnya dengan apik. Namun tiba-tiba semua berhenti. "Woy, balikin." seseorang berteriak dari balik pintu. Ia berlari ke arah Elsa lalu mengambil paksa gitar itu. "Ih, apa-apaan sih. Main ambil aja." Elsa menarik
Elvano lelah. Ia baru saja pulang setelah melewati satu hari yang cukup sibuk di sekolah. Hari pertama di sekolah cukup membuatnya menguras energi. Menyebalkan tapi menyenangkan juga.Niat Elvano ingin segera merebahkan tubuhnya sejenak namun deringan telpon membuyarkan semuanya. Ia melirik sejenak. Tak lama kemudian ia mendecih tak suka tapi tetap saja ia menjawab panggilan tersebut."Ya, kenapa?" jawab Elvano ketus.Suara di seberang sana mendengus tak suka dengan jawaban yang diucapkan Elvano. Sejak lima bulan lalu, perangai pemuda itu tak pernah berubah. Selalu saja ketus dan berusaha menghindar.[Kenapa sih galak banget sama aku?]"Maya, aku lagi capek. Jangan ganggu aku dulu ya." Elvano mengusap wajahnya yang lelah. Sungguh, ia ingin segera tertidur agar nanti malam tak mengantuk saat bekerja.Banyak yang tak tahu apa yang dilakukan Elvano saat malam hari. Sudah lima bulan pemuda itu sering keluar masuk klub malam untuk bekerja sebagai DJ. Temannya yang juga anak seorang pengusa
Perjalanan berlangsung selama setengah jam. Mereka sampai di depan rumah mewah keluarga Wiguna yang ternyata telah menunggu di depan pintu rumahnya. Dharma terasa diistimewakan oleh si tuan rumah. Setahu dirinya, keluarga Wiguna jarang kedatangan tamu selain keluarganya apalagi disambut dengan hangat."Selamat datang pak Dharma. Silakan masuk." Adi Wiguna mengajak Dharma masuk ke dalam rumah lebih dulu. Diikuti oleh sang istri dan Hani serta anak-anaknya.Sesampainya di ruang makan, mereka duduk di tempat yang telah ditentukan. Tak lama kemudian seorang pria tampan tinggi besar datang membawa anak dan istrinya. Itu adalah Haris Wiguna, putra pertama Adi Wiguna yang telah menikah dan memiliki satu putri yang cantik."Selamat malam," sapa Haris sambil menyalami satu persatu tamu di ruang makan. "Wah, sudah kumpul semua. Maaf terlambat. Loh, Aksa dan Lita mana?" tanya Haris yang kebingungan mencari dua adiknya lagi."Biasa, lagi dandan. Aksa ada operasi katanya sekaligus diskusi sama dir
Pukul setengah sepuluh malam Elvano diam-diam keluar dari dalam rumahnya lewat pintu belakang. Setengah jam yang lalu dirinya telah memesan taksi online dan disuruhnya untuk menunggu di perempatan dekat gapura pintu masuk kompleks rumahnya.Tak sampai satu jam perjalanan, Elvano telah sampai di klub tempatnya mencari hiburan tiap ada panggilan. Hobinya yang mengutak-atik lagu membuatnya terkenal sebagai DJ profesional termuda di klub malam itu. Wajah tampannya jadi salah satu jimat Elvano untuk menarik pelanggan. "Woy, dateng juga lo. Hari ini main sebentar aja. Soalnya ada yang ulang tahun tuh," sapa Ray, teman Elvano yang memperkenalkannya pada dunia malam. "Main atau enggak nih? Sebenarnya lagi suntuk juga sih." Elvano memilih duduk di sofa paling ujung. Ia menggelengkan kepalanya saat ditawari minuman dan rokok. Cukup cola saja karena ia masih ingin hidup jika tak ingin dipukuli ibunya saat pulang dalam keadaan mabuk. "Terserah aja. Eh, Maya tadi nyariin lo. Doi kangen kayakny
Elsa melangkah gontai masuk ke dalam kelas. Tatapannya kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Ia pun duduk di kursinya dengan tangan yang masih gemetar, kepalanya tertunduk lesu menelungkup di atas meja. Ia ingin menangis tapi air matanya tak bisa terjatuh. Seperti ada yang menahannya. Bagas yang berdiri di depan kelas, mengamati Elsa lalu ikut masuk dan duduk di kursi depan Elsa. Tangannya terulur mengusap kepala Elsa dengan lembut. Lalu berbisik di telinganya. "Elsa, kenapa?" Elsa menggelengkan kepalanya. "Kalau ada masalah, beritahu aku." Elsa lagi-lagi menggeleng. Ia semakin menundukkan wajahnya lalu menjauh dari jangkauan Bagas. Ia malu, wajahnya merah karena menahan tangis. Bagas berdiri lalu berjalan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ada roti isi dan susu yang biasa ia bawa untuk bekal. Harusnya dimakan saat pagi, tapi sengaja disisihkannya untuk Elsa. "Elsa, tadi kamu belum sempat makan. Ini aku bawa roti isi buatan mama. Dimakan ya," ujar Bagas sambil m
Maya tak betah diabaikan oleh Elvano. Sejak kesalahan yang diperbuatnya di lantai dansa lima bulan yang lalu, seluruh media sosial miliknya diblokir, panggilannya tak pernah dijawab, chatnya juga diabaikan oleh pria muda yang telah mencatut hatinya itu. Satu hal yang paling menyakitkan, ia ditolak habis-habisan saat mengajaknya ke luar.Gadis berambut ikal itu mendengus kasar dari balik kaca jendela mobilnya. Hampir dua jam ia duduk di kursi kemudi sambil menunggu Elvano ke luar dari dalam gedung sekolah megah yang terpampang di depannya saat ini.Ia harus bertemu dengan Elvano!"Lama sekali sih," gerutunya.Setelah menunggu cukup lama, sosok yang ditunggunya ke luar dari dalam gedung menuju parkiran sekolah dekat dengan lapangan bola.Maya turun dari mobilnya lalu berlari ke arah Elvano yang nampak sibuk memakai helm dan sarung tangannya."El!" Elvano menoleh. "Ikut aku ke kafe biasa yuk. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu."
Elsa hanya duduk dan diam memandangi foto dirinya bersama Mia juga Bagas. Foto yang diambilnya tiga bulan lalu saat sedang tamasya ke taman safari. Bagas tersenyum lebar sambil memegang erat tangannya. Mia di sampingnya mengulurkan satu jarinya. Mereka tampak bahagia. "Lagi ngeliat apa sih? Kayaknya serius banget." Aksa berdiri disamping Elsa lalu mengusap rambutnya. "Katanya lagi pusing?" "Kak, apakah antara pria dan wanita yang berteman akan ada perasaan cinta diantara mereka?" tanya Elsa. Aksa mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu tanya seperti ini?" "Elsa suka sama Bagas tapi tidak mau merusak hubungan pertemanan." "Ya sudah, jangan suka sama dia. Emangnya kita bisa atur akan suka dengan siapa nantinya? Lagipula, kan kamu akan bertunangan dengan Elvano, enggak kasihan sama dia?" Elsa menggeleng."Maksudnya?" "Jangan membuat orang lain kecewa. Ayo, istirahat." Elsa mengangguk. Setelah A
Elsa menemukan Elvano yang sedang duduk sendiri di dekat taman sekolah. Di dekatnya ada dua ekor kucing lucu yang sedang ia beri makan. Elsa tersenyum melihatnya. Hati lembut Elvano berbanding terbalik dengan sikapnya yang mudah sekali emosi. "Kalau mau tanya, ya tanya aja." Elsa mematung. Wajahnya memerah malu karena ternyata Elvano menyadari kehadirannya. "El, tadi gue sempet liat lu berantem sama serly. Maaf." Elvano menutup kembali toples makanan kucingnya lalu menepuk bangku di sebelahnya dan menyuruh Elsa untuk duduk. "Masalah intern antara gue sama dia sih. Pasti lo pernah denger." Elsa menggelengkan kepalanya. "Gue enggak tahu, El." Elvano terkekeh. "Kapan-kapan gue ceritain. Gue lagi enggak mood." Mereka berdua terdiam. Ada rasa canggung yang tiba-tiba merayap diantara mereka. Elsa melirik lalu kembali menatap pemandangan di depannya. "Enggak masalah. Lagipula kan itu masalah kalian."
Elvano tak langsung pulang ke rumahnya. Hari ini ia ingin mampir ke studio musik yang dibuatkan oleh ayahnya satu tahun yang lalu. Ayahnya, walaupun menginginkan Elvano untuk meneruskan bisnis gurita keluarga besar Erlangga tetapi tetap memberikan kesempatan untuk putra sulungnya mengembangkan bakat. Ia tak pernah memaksa Elvano mematuhi keinginannya kecuali dijodohkan dengan Elsa. Itu mutlak katanya."Bengong aja lo. Ada yang bikin pusing?" celetuk Niko yang sejak tadi sibuk bermain game. Elvano diam saja tapi tangannya sejak tadi hanya memutar-mutar stik drum."Dia lagi mulai jatuh cinta tuh," timpal Ken yang ditanggapi kekehan oleh Niko."Pantesan, kayak orang kesambet."Elvano melirik kesal ke arah dua temannya yang terus menyindirnya. Ia beranjak pergi dari atas kursi drummer lalu mengikuti dua temannya di sofa tengah."Gue bingung. Gue deket sama Elsa, seperti dijadikan tameng sama dia. Menurut lo gimana?" tanya Elvano pada Niko yan
"Elsa, kamu marah sama aku?" tanya Bagas yang membuat Elsa menggeleng. "Sudah dua hari ini kita tidak bertegur sapa." "Kemarin aku tegur kamu," jawab Elsa malas. "Kapan?" "Aku tegur kamu waktu ada pelajaran bahasa Indonesia." Bagas mendengus kesal. Dalam hati ia berkata bahwa bukan itu yang dimaksud olehnya. Ia ingin lebih dari bertegur sapa karena tugas, tapi hal yang lain. "Bukan itu maksud aku. Kamu tuh udah enggak lagi tanya aku makan apa, aku bawa apa, terus mau ke kantin atau enggak. Kamu tuh serasa asing bagi aku," keluh Bagas. Elsa menoleh. Sebenarnya ia pun tak tega tapi kalau melihat Bagas dekat dengan wanita lain, rasanya ia sakit hati dan ingin menghindarinya. Elsa ingin membalas keluhan Bagas, tapi belum sampai ia bicara tiba-tiba Serly datang dan menyapa mereka. Bagas menoleh dan menjawab salamnya. "Bagas, jangan lupa nanti di ruang OSIS. Sudah ada tim dan kita tinggal rapat saja untuk peng
Merasa ada yang tak beres dengan Elsa, Bagas pun menemui Elvano yang masih ada di ruang musik siang ini. Setengah emosi, Bagas membuka pintu dengan kasar hingga membuat sebagian yang ada di dalam ruangan terhenyak kaget. Begitupun dengan Elvano yang sedang sibuk menyamakan kunci untuk permainan gitarnya. Semua menoleh ke arah Bagas. "Kita perlu ngomong, El." Bagas berbicara tegas menunjuk Elvano yang masih duduk di tempatnya. "Gue sibuk." "Jangan banyak alasan." Bagas menarik lengan Elvano dan menyeretnya. Elvano tak terima, ia menepis tangan Bagas lalu menunjuknya balik. "Apa-apaan sih lo? Gue enggak tahu apa urusan lo. Jangan asal nyeret gitu dong?" "Ini masalah penting. Tentang seseorang," bisik Bagas. Elvano tiba-tiba merinding tak jelas. "Gue pergi sebentar ya. Mau ngurusin anak bayi dulu, nih." Elvano pamit pada teman-temannya. Ia mengikuti langkah Bagas yang mengajaknya bicara di ruangan kosong dekat ruang musik. Wajahnya nampak tak bersahabat sama sekali. Aura marahnya
"Tadi cewek lo pergi duluan," ujar Niko yang langsung disenggol oleh Ken. Niko hanya cengengesan merasa tidak bersalah."Udah tahu. Gue lihat tadi dia lari ke arah UKS," jawab Elvano datar. Ia sempat menguntit Elsa sebelum kembali ke mejanya. Rupanya, gosip tentang Bagas membuatnya tak nyaman duduk di tempatnya."Lo samperin gih setelah makan." Niko kembali disenggol setelah mengusulkan saran itu pada Elvano. "Iya." Sesuai saran Niko, Elvano menyusul ke ruang UKS untuk mencari Elsa yang katanya kesana mencari Bagas. Ia tersenyum lebar saat melihat Elsa sedang berdiri di depan ruangan itu sambil menatap datar pintu ruangan yang terbuka lebar.Senyum Elvano tiba-tiba menghilang. Tubuh tinggi keluar dari dalam ruangan memanggil nama Elsa. "Elsa, tunggu!" itu Bagas. Pria itu berlari mengejar Elsa yang menghindari kejarannya. Elsa tak menghiraukan teriakan Bagas dan terus berlari menuju kelasnya. "Elsa!" Bagas terus berte
"Bagaimana kalau kita tempatnya bu Rahma sekarang?" usul Elvano sambil menaikkan dua alisnya bersamaan. Elsa mengangguk. Gadis itu menghabiskan sisa sandwich di tangannya lalu meneguk habis susu uht miliknya."Gue deg-degan. Jangan-jangan ini masalah nilai?"Elvano kembali menggedikkan bahunya. "Entahlah. Dia enggak bilang apa-apa.""Kayaknya masalah artikel itu deh," celetuk Elsa."Mudah-mudahan bukan," jawab Elvano asal.Elsa pun berdiri berpamitan pada kdua temannya. "Bagas, Mia, aku ke tempat bu Rahma dulu ya." Sejenak Elvano melirik Bagas yang ikut tersenyum saat Elsa berpamitan. Lalu lirikannya beralih ke arah Mia yang terlihat salah tingkah. Elvano yang niatnya usil, tangannya sengaja merangkul Elsa dari belakang dan memperlihatkannya pada Bagas. Dua alisnya naik ke atas ditambah dengan smirk yang cukup jelas. Bagas melihatnya seperti sebuah ejekan. Elvano telah mengibarkan bendera perang. Di ruang gur
Elsa terdiam duduk menatap langit malam hari. Jendela kamarnya dibuka lebar-lebar sehingga udaranya masuk dan menyapanya. Ia tak merasa dingin sedikitpun. Malah terasa sejuk. Sambil menikmati angin malam, tiba-tiba ia teringat satu hal siang tadi saat Elvano menjenguknya. Ia teringat tatapan Elvano yang sendu dan lembut. Tak biasanya pria yang terlihat selalu berkata ketus padanya tiba-tiba melembut. Apa ada sesuatu di balik itu semua? Ponsel Elsa berdering. Elsa mengambilnya dari atas meja. Dilihatnya nama Elvano yang membuat dada Elsa berdebar. Elsa menjawabnya. [Halo, Elsa. Lagi apa?] Elvano bertanya di seberang sana. Dahi Elsa berkerut. "Halo, ini benar Elvano?" tanya Nayya ragu. Elvano terkekeh. Dahi Elsa semakin berkerut. [Iya dong, ini Elvano yang paling ganteng. Bagaimana kakinya? Udah sembuh?]"Sudah. Kenapa lo perhatian sekarang?" tanya Elsa yang curiga pada perubahan sikap E
Baru saja keduanya duduk setelah kepergian Aksa ke lantai bawah, tiba-tiba saja pintu diketuk dari luar. Elsa dan Elvano sama menoleh ke arah yang sama. "Non," panggil si bibi."Kenapa, Bi?" Elsa mempersilakan bibi membuka pintu kamar sementara ia dan Elvano masih duduk diam di tempat masing-masing."Non, ada temannya di bawah. Bibi suruh masuk atau—" "Suruh ke atas saja." Elvano mengerutkan dahinya. Teman? Siapa teman Elsa yang berani datang kemari? "Pasti si Bagas," cibir Elvano. Entah mengapa dirinya kesal begitu mengingat nama itu. Masih teringat jelas bagaimana pria itu mengkhawatirkan keadaan Elsa yang terjatuh kemarin. Sungguh sangat membuatnya muak. Pintu pun dibuka lagi dari luar. Tampak Bagas dan Mia yang datang membawa bungkusan makanan dari sebuah toko kue. Elvano menatap keduanya dengan tatapan tak suka. Terutama Bagas, sungguh sangat merusak harinya bersama Elsa. "Loh, kenapa ada—"