AKHIRNYA Airlangga tetap kembali ke rumah pohon. Bertahan di tepi hutan sangat berbahaya. Dia pun sakit setiap melihat ke arah rumah Ells. Sepanjang jalan dia bergegas nyaris berlari. Sendiri membuatnya lincah bergerak. Meski hatinya begitu rusuh, dia tetap berhati-hati menjejak membuat jejak. Sampai akhirnya dia sampai di rumah pohon. Di bawah rumah itu dia mengatur napas sambil menatap ke atas. Terengah, bukan karena lelah. Hatinya berantakan mengingat malam ini dia hanya sendiri di sini. Dia meraih sulur tanpa tenaga, memanjat tanpa gairah. Begitu dia membuka pintu, dia langsung menjatuhkan diri ke atas tempat tidur bergelap-gelap tanpa menyalakan pelita. Dia tidak butuh penerangan ketika tidak ada wajah cantik yang harus dia lihat. Di rumah pohon yang selalu diingat Ells, Airlangga meringkuk memeluk bantal yang beraroma Ells. Dia kembali menyesali keputusannya pulang ke sini. Seharusnya dia pulang ke rumah kakeknya saja. Desanya tentu lebih dekat dari tepi hu
DI ruang kerja, van Loen berjalan mondar-mandir gelisah dan marah. Tidak terima anak semata wayangnya berlaku seperti itu. Ells sudah gila! Sudah berhasil kabur dari penculik malah ingin kembali ke si penculik. Dan siapa nama si penculik pun aku tidak tahu! Aku harus memaksa Ells membuka mulut. Van Loen terus merutuki kebodohan Ells meski cuma dalam hati sambil terus berjalan mondar mandir. “Argh!” Van Loen tiba-tiba menampar dinding diam sampai tangannya terasa perih. Tapi dia masih belum puas. Dia ingin mengamuk tapi mendadak dia merasa tubuhnya melemah seiring jantungnya yang berdetak tak normal. “Masuk…” ujarnya kasar ketika mendengar suara ketukan di pintu. Robert masuk perlahan. Melihat Robert, van Loen membanting tubuh duduk di kursinya. Menutup wajah dengan kedua belah tangannya dan mendengus kasar. Dia berusaha menenangkan diri, menormalkan detak jantung termasuk mengumpulkan tenaga yang masih hilang. “Om…. Apa om baik-baik saja
DI kamar, Ells masih marah, panik, kesal, dan semua emosi negatif menyerangnya, membuat tubuhnya melemah. Tak tahu apa yang harus dia lakukan kecuali bergerak acak di sepanjang kamar sambil menangis. Angga, kau pasti sudah di sana menungguku kan? Maafkan aku, aku tak mungkin melarikan diri. Papa pasti menyuruh orang untuk mengikutiku. Itu sangat berbahaya untukmu dan keluargamu, Sayang. Ells terus berjalan mondar-mandir di kamar. Berkali-kali melongok ke jendela, ke arah hutan dan halaman rumah. Melongok ke luar kamar, melihat situasi. Paling tidak ada tiga orang yang berjaga. Itu yang terlihat. Yang tidak? Aku yakin masih ada lagi. Makin sulit untukku keluar rumah. Anggaaaaa…. Ells semakin panik. Hari pun makin bergerak. Pagi sudah berganti siang. Dan tidak ada celah untuknya menjumpai Airlangga. Bahkan dia tidak punya ide bagaimana mengabari Airlangga tentang kondisinya sekarang. Bagaimana caranya kita bertemu? Jemput aku, Angga. Culik aku, Say
DI tepi hutan Arilangga menunggu. Setia bersama matahari yang semakin tinggi lalu perlahan bergerak turun. Seandainya bisa, dia ingin terus di sini menunggu bersama matahari untuk memenuhi janji mereka. Seandainya bisa, dia ingin menahan matahari agar hari tidak berganti. Namun ternyata tidak bisa. Tidak ada yang bisa menghentikan matahari yang semakin kelelahan. Seperti tidak ada yang mampu menghibur Airlangga. Semakin mendekati sore, Airlangga semakin gelisah. Dan ketika matahari hilang dari langit, harapan pun hilang dari dirinya. Putus asa. Hidupnya sehitam malam, segelap hitam. Semua yang dia khawatirkan benar terjadi. Semua yang membuatnya gelisah semakin membuatnya gelisah. Saat yang dia takutkan benar terjadi, tidak ada lagi penghiburan yang bisa dia lakukan untuk dirinya sendiri. Sendiri. Dia benar-benar merasa sendirian sekarang. Saat semua terjadi, saat Ells tidak ada lagi, saat itulah mimpi buruknya keluar menjadi kenyataan. Patah hati … Set
ELLS terbangun dengan tubuh hancur lebur, hati porak poranda, dan perasaan kacau balau. Bergelung meringkuk, dia menyadari tubuh telanjangnya kedinginan. Menggigil. Namun bukan cuma karena dingin udara. Ini lebih karena hatinya membeku. Pagi ini terasa semua lebih kacau. Kerinduannya tak berkurang, terlebih ulah dirinya sendiri semalam membuat semua semakin rumit untuk dirasai hati. . Tok tok tok . Bergegas Ells memakai baju menyudahi gundahnya. Ketukan itu, tiga kali tak berbalas, pintu akan terbuka. Itu perjanjian tidak tertulis di rumah ini. “Masuk…” Pintu berderit mengajak masuk van Loen. Melihat ayahnya, Ells bergelung memunggungi pintu. “Ells … kau tidak keluar kamar seharian kemarin.” Van Loen membelai rambut Ells. Suaranya lembut seperti tidak pernah terjadi apa pun. Paling tidak, dia mau menghabiskan makannya walau dengan susah payah. Begitu laporan Bi Imah. Van Loen terus membelai rambut Ells. “Bukankah Ells dilarang keluar
HAL buruk apalagi yang akan kualami? Kemarin, aku dikurung, hari ini aku dijodohkan. Sepeninggalan van Loen, Ells hanya bisa menangis dan melamun. Dia semakin patah hati dan patah arang. Bahkan melihat hutan tidak membuatnya merindu, kini hutan membuatnya semakin merana. Ada yang tertinggal di hutan itu. Sesuatu yang baru hadir tapi bergitu bermakna. Begitu dalam mengisi hidupnya. Bayangan kebersamaan mereka tidak pernah hilang dari benaknya. Bayangan itu menghibur menemaninya tapi sekaligus membuatnya merindu menyakitinya. Hari menjelang sore. Matahari semakin rendah, sinarnya semakin redup. Satu hari lagi berlalu bersama rindu. Entah besok akan seperti apa. Entah kabar buruk apalagi yang akan dia terima. Ells tidak ingin membayangkan hari esok ketika hari ini pun habis bersama duka. Dia sedang duduk di depan jendela, melamun dengan air mata berlerai dan pandangan menerawang kosong ketika sebuah sosok mengganggu lamunan itu. Robert. Berdiri di luar, te
SETIAP hari, Airlangga menunggu Ells di tepi hutan. Pagi sebelum matahari terbit sampai malam baru dia tinggalkan tepi hitam. Bahkan, sudah tiga hari ini, dia memutuskan untuk tidak kembali ke rumah pohon. Dia berjaga tidak jauh dari titik janji temu mereka. Dia akan langsung tahu siapa yang datang dan apa pun yang terjadi. Sepekan. Namun tidak ada apa pun yang terjadi. Hanya warga desa sekitar yang keluar masuk hutan. Sepekan sudah mereka berpisah. Gelisah dan takut mengisi ceruk hatinya, menemani kerinduannya. Terombang-ambing tanpa kejelasan. Kabar keluarganya pun tak diketahui. Beberapa kali dia melihat warga desa yang dia kenali memasuki hutan, tapi dengan alasan keamanan, dia memilih diam. Tak menegur, tak bertanya. Kecuali jika Paman Tirta, Udayana, atau Rindang yang datang. Terutama Udayana. Dia bisa kuminta mencari tahu sampai ke rumah Ells. Tapi mereka tak pernah muncul. Sepekan. Ke mana Udayana? Sepekan dia tak ke hutan.
SIANG sedang sangat terik di puncaknya ketika Udayana mendengar kabar itu. Dia baru pulang dari rumah kerabatnya di desa yang agak jauh. Ketika dia melewati kota dia mendengar berita yang membuat tubuhnya mengejang. Nona Daniella anak Meneer van Loen sudah kembali. Sepanjang jalan berkali-kali dia mendengar penduduk membicarakan itu. Jantungnya berderap kencang sekali. Dia sampai harus memaksa kakinya agar tidak melewati rumah pejabat tinggi Hindia Belanda itu. Dan pejabat-pejabat lain. Biar bagaimana pun, dia menghindari bertemu Robert yang sangat mungkin mengenali dirinya. Di bawah sebatang pohon angsana, dia menatap rumah itu dari kejauhan sambil berteduh. Benarkah putri pembesar itu sudah pulang? Apa dia sendiri saja? Apa Airlangga ada di rumah itu? Apa yang terjadi pada mereka? Gadis itu mungkin baik-baik saja, tapi bagaimana dengan Airlangga? Dia tidak peduli kabar gadis itu, dia hanya perlu tahu kabar karibnya saja. Dia terus bertanya-tanya dalam hati
AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan
“Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku
[Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,
MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel
SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah
SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru
DUA pasang berjalan bergandengan berpelukan ke arah balai-balai dipimpin Tirta di depan lalu semuanya duduk kecuali Rindang yang langsung ke dapur mengambil minuman. “Apa yang sebenarnya terjadi, Angga?” Udayana tak membuang waktu untuk bertanya. “Berita terakhir yang kami dengar anak gadis Meneer van Loen akan menikah. Tak lama berita lain masuk, petunangan itu dibatalkan. Ada juga berita penculiknya datang menemui Meneer van Loen. Kami sangat cemas dengan berita ini, tapi aku tidak bisa mencari tahu lebih jauh. Sepertinya kabar itu ditutupi.” “Begitulah yang terjadi.” “Yang kami tahu Nona Ells pulang tanpa kau. Kenapa kau bisa ada di rumah itu?” “Aku tidak mungkin membiarkan istriku menikah dengan lelaki lain.” Tegas. “Bagaimana caranya kau bisa tetap hidup keluar dari rumah itu, Nak?” Tirta bertanya cemas. “Paman sudah nyaris mati mendengar selentingan itu. Kenapa kau menyerahkan diri? Kenapa kau tidak pulang saja ke sini? Selama ini kau tidak terlac
TANPA Ken Arok pun tak perlu waktu lama untuk mereka sampai di desa. Ini pengalaman pertama Ells berkuda tanpa pelana pun pengalamannya pertama berkuda berdua sedekat ini. Sangat menyenangkan. Sepanjang jalan dia tertawa-tawa. Airlangga sangat menjaga laju Ken Arok agar tidak menyakiti kandungan Ells. Mereka tidak diburu waktu. Mereka begitu menikmati kebersamaan ini. Pulang. Airlangga begitu merindukan rumah dan keluarganya. Dia ingin berlari, apalagi keberadaan Ken Arok yang gagah bisa membuatnya melesat pulang, tapi ada istri dan anak yang harus dia jaga. Tangannya nyaris tak lepas dari perut Ells. Airlangga semakin memperlambat laju Ken Arok ketika mereka memasuki desa. Dia menghentikan Ken Arok tepat di depan rumahnya—rumah kakeknya, tepat di samping rumah pamannya. Derap tertahan dan ringkikan Ken Arok membuat penghuni rumah—Paman Tirta dan Rindang—bersegera keluar, bersamaan dengan Airlangga yang membantu Ells untuk turun. “ANGGA! ANAKKU…!” teria
MEREKA keluar kamar dan menjumpai hanya dua orang tua di ruang tamu. Sedang duduk melanjutkan nostalgi. Robert? Dia tak sanggup membayangkan apa yang menyebabkan dua orang itu begitu lama di dalam kamar Ells. Kamar mereka. Dia pergi begitu saja setelah berpamit ala kadarnya. Lagi-lagi dia dikalahkan oleh inlanders. Spontan, van Loen tersenyum melihat rona merah di wajah Ells. Anaknya begitu hidup, bergitu bercahaya. Cayaha yang hilang itu telah kembali. Van Loen bersyukur dan menerima takdir mereka. Langit melalui takdirNya memang selalu memberikan yang terbaik. Papa harap, rona merah itu hanya salah satu dari kemampuan dia untuk membahagiakanmu, Ells. Mereka sudah berganti pakaian, hanya mengenakan kain. “Papa, kami pamit.” Ells mencium pipi van Loen. “Om, Ells pergi dulu.” Dia juga mencium pipi der Passe. Airlangga berjabat tangan dan mengangguk hormat seperti kebiasaan mereka meski kali ini dia hanya memakai kain. Bekas luka di tubuh Airlangga t