SETIAP hari, Airlangga menunggu Ells di tepi hutan. Pagi sebelum matahari terbit sampai malam baru dia tinggalkan tepi hitam. Bahkan, sudah tiga hari ini, dia memutuskan untuk tidak kembali ke rumah pohon. Dia berjaga tidak jauh dari titik janji temu mereka. Dia akan langsung tahu siapa yang datang dan apa pun yang terjadi. Sepekan. Namun tidak ada apa pun yang terjadi. Hanya warga desa sekitar yang keluar masuk hutan. Sepekan sudah mereka berpisah. Gelisah dan takut mengisi ceruk hatinya, menemani kerinduannya. Terombang-ambing tanpa kejelasan. Kabar keluarganya pun tak diketahui. Beberapa kali dia melihat warga desa yang dia kenali memasuki hutan, tapi dengan alasan keamanan, dia memilih diam. Tak menegur, tak bertanya. Kecuali jika Paman Tirta, Udayana, atau Rindang yang datang. Terutama Udayana. Dia bisa kuminta mencari tahu sampai ke rumah Ells. Tapi mereka tak pernah muncul. Sepekan. Ke mana Udayana? Sepekan dia tak ke hutan.
SIANG sedang sangat terik di puncaknya ketika Udayana mendengar kabar itu. Dia baru pulang dari rumah kerabatnya di desa yang agak jauh. Ketika dia melewati kota dia mendengar berita yang membuat tubuhnya mengejang. Nona Daniella anak Meneer van Loen sudah kembali. Sepanjang jalan berkali-kali dia mendengar penduduk membicarakan itu. Jantungnya berderap kencang sekali. Dia sampai harus memaksa kakinya agar tidak melewati rumah pejabat tinggi Hindia Belanda itu. Dan pejabat-pejabat lain. Biar bagaimana pun, dia menghindari bertemu Robert yang sangat mungkin mengenali dirinya. Di bawah sebatang pohon angsana, dia menatap rumah itu dari kejauhan sambil berteduh. Benarkah putri pembesar itu sudah pulang? Apa dia sendiri saja? Apa Airlangga ada di rumah itu? Apa yang terjadi pada mereka? Gadis itu mungkin baik-baik saja, tapi bagaimana dengan Airlangga? Dia tidak peduli kabar gadis itu, dia hanya perlu tahu kabar karibnya saja. Dia terus bertanya-tanya dalam hati
HARI tentu masih sangat pagi ketika Airlangga meninggakan rumah pohon. Dia berjalan tanpa dikejar apa pun. Langkahnya memang ringan nyaris melayang meski kepala dan hatinya berat. Namun dia tetap berjalan. Di tepi hutan, dia berhenti lalu menatap lurus ke arah rumah Ells, seakan meyakinkan dirinya bahwa Ells benar-benar tidak akan datang. Dia menunggu sampai hari agak siang di sana. Sampai waktu yang dia rasa cukup, barulah dia keluar batas hutan. Untuk mencapai pasar, Airlangga harus melewati rumah Ells. Hatinya berderap mengingat Ells ada di dalam sana. Semakin mendekati rumah itu, jantungnya semakin berdegub. Seakan dia ingin berlari menerobos masuk menjumpai Ells. Ells, Daniella, Sayang. Sedang apa kau di dalam sana, Sayang? Bagaimana kabar anak kita? Apa dia baik-baik saja? Aku yakin kau menjaganya sebaik mungkin. Maaf aku tidak bisa mengurus kalian kemarin. Tunggu aku. Aku akan menemui kalian. Sampaikan salam rinduku pada anak kita. Dan tentu untukmu, Ells. Aku
BERLARI dan terus berlari hingga habis tenaganya, sesak napasnya. Dia tidak menyangka, dia selemah ini. Cinta yang hadir dengan cara yang menakjubkan, sekarang melukainya. Aku tak siap untuk sesakit ini. Ells menikah. Bunuh saja aku. Jika mati bisa menghilangkan semua sakit, bunuh saja aku! Dia tidak menyangka berita ini yang dia terima. Dia hanya berpikir bahwa Ells tidak dilepas pergi. Tapi menikah dengan lelaki lain, sungguh, dia tidak pernah berpikir ke sana. Ells tidak pernah sama sekali menyinggung lelaki lain sepanjang kebersamaan mereka. Dia bahkan berkali-kali mengatakan tentang kekebasan dari ayahnya dalam hal memilih pendamping. Ini gila! Ini bisa membuatnya gila! Dia terus berlari. Terengah bukan karena lelah. Kepalanya begitu penuh, hatinya begitu sesak. Dia hanya ingin melarikan diri seakan tidak pernah mendengar berita itu. Tapi suara-suara dua wanita itu seakan terus mengikuti langkahnya. Berdenging jelas di telinga.
AIRLANGGA terbangun dengan pikiran sejernih air di sendang. Tidurnya lelap sekali membuatnya agak terlambat bangun dari biasanya. Kicau burung dan cahaya matahari yang berhasil menerobos daun, ranting, dan lubang angin yang membangunkannya. Tidur yang lelap membuat tubuhnya segar, seulas senyum terukir di wajahnya. Sebuah senyum kepasrahan. Aku akan menjalankan takdirku sesuai goresan penaNya. Tidak ada yang memburunya. Dia menikmati pagi yang indah. Geliatnya pelan, gerakannya lambat. Dia membuka jendela dan kembali tersenyum melihat langit menembus daun dan ranting. Suara burung semakin ramai. Seekor burung bahkan sangat berani hinggap di ranting yang sangat dekat dengannya lalu berkicau di sana. Membuat Airlangga terkekeh sambil menjulurkan tangannya. Burung itu begitu jinak, dia diam saja dibelai jemari Airlangga. Sampai burung itu merasa bosan lalu kembali terbang. Airlangga merasa kehilangan teman. Tak mau terlarut terlalu lama, dia duduk bersila dan
SEJAK pagi, Ells merasa sangat gelisah. Bahkan gelisah itu yang membangunkan dari tidur tak nyenyaknya. Dia tidak tahu apa. Memang kepalanya penuh pikiran yang menggelisahkan, tapi kali ini dia sendiri bingung apa penyebab gelisahnya. Mungkin terlalu banyak yang membuatnya gundah. Gelisah, bahkan cenderung takut. Entah mengapa. Dia butuh Airlangga untuk membuatnya tenang meski Airlangga menakutinya. Sebuah ironi bukan? Sangat aneh. Airlangga menakutinya tapi bisa membuatnya tenang. Di sini, semua tenang, semua berusaha membuatnya tenang, tapi malah menakutinya. Tanpa mengingat itu pun dia selalu mengingat Airlangga. Namun kali ini, gelisah membuat dia merasa dia harus menghilangkan bayangan Airlangga. Karena semakin dia mengingat Airlangga, dia semakin gelisah. Berjalan mondar-mandir sepanjang rumah. Melongok sembarang di semua jendela yang dia temui. Kenapa aku segelisah ini? Rumah kosong. Van Loen tidak di tempat. Hanya ada dia dan pelayan pengur
TIDAK ada lagi ragu apalagi sembunyi-sembunyi ketika langkahnya makin mendekati rumah Ells. Langkahnya tegak dengan kepala mendongak. Tatapannya lurus dan tajam nyaris tak berkedip menatap ke arah bangunan besar dan kokoh di depannya. Dia berjalan dengan kecepatan normal langsung tegak lurus menuju pos penjaga di pintu masuk. Pintu yang tidak pernah dia lewati. Kali ini demi harga diri dia dan Ells, dia akan melewati pintu itu meski mungkin hanya satu kali. Satu kali tanpa jalan pulang. “Saya ingin bertemu dengan Meneer van Loen,” ujarnya tegas pada penjaga yang duduk menguap lebar di pos jaga depan. “Siapa kamu?” tanya si petugas membentak. Jengkel, istirahat siangnya terganggu. “Saya hanya akan menyebutkan siapa saya pada Meneer van Loen.” Suaranya tetap datar dan tenang dengan sikap tubuh tegak sempurna. “Ada apa, Broto?” Suara lain muncul. Robert yang makin lama makin berlaku seperti tuan rumah di sana. “Maaf, Tuan. Orang ini ingin bertemu dengan Me
CTARRR… . Tersentak ke depan, Airlangga merasakan cemeti mengoyak punggungnya. Perih. Dia berusaha menahan agar wajahnya tidak berkeryit. Namun sengatan cemeti itu memang menyakitinya. Dia mengalirkan sakit dengan mengeraskan bahu. Bersiap untuk sengatan yang lain meski sengatan yang pertama masih terasa sangat sakit. Perih. Kakeknya memang mendidiknya dengan keras. Dan alam menempanya agar tangguh. Tapi raganya tidak pernah merasakan perih seperti ini. Alam memang beberapa kali melukainya. Tapi rasanya sungguh beda. Ternyata, raga manusia yang terisi roh jahat memang lebih kejam daripada alam. Airlangga memejamkan mata, menulikan telinga. Dia hanya menajamkan rasanya saja. Ells, aku datang, Sayang. Temui aku di sini. Secepatnya. Aku begitu dekat sekarang. Temu aku sekarang, Sayang. Aku takut aku tidak bisa bertahan lama. Dia diam ketika tubuhnya ditarik paksa agar berdiri. Dia diam ketika ada dua orang merentangkan tangannya lalu mengik
AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan
“Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku
[Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,
MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel
SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah
SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru
DUA pasang berjalan bergandengan berpelukan ke arah balai-balai dipimpin Tirta di depan lalu semuanya duduk kecuali Rindang yang langsung ke dapur mengambil minuman. “Apa yang sebenarnya terjadi, Angga?” Udayana tak membuang waktu untuk bertanya. “Berita terakhir yang kami dengar anak gadis Meneer van Loen akan menikah. Tak lama berita lain masuk, petunangan itu dibatalkan. Ada juga berita penculiknya datang menemui Meneer van Loen. Kami sangat cemas dengan berita ini, tapi aku tidak bisa mencari tahu lebih jauh. Sepertinya kabar itu ditutupi.” “Begitulah yang terjadi.” “Yang kami tahu Nona Ells pulang tanpa kau. Kenapa kau bisa ada di rumah itu?” “Aku tidak mungkin membiarkan istriku menikah dengan lelaki lain.” Tegas. “Bagaimana caranya kau bisa tetap hidup keluar dari rumah itu, Nak?” Tirta bertanya cemas. “Paman sudah nyaris mati mendengar selentingan itu. Kenapa kau menyerahkan diri? Kenapa kau tidak pulang saja ke sini? Selama ini kau tidak terlac
TANPA Ken Arok pun tak perlu waktu lama untuk mereka sampai di desa. Ini pengalaman pertama Ells berkuda tanpa pelana pun pengalamannya pertama berkuda berdua sedekat ini. Sangat menyenangkan. Sepanjang jalan dia tertawa-tawa. Airlangga sangat menjaga laju Ken Arok agar tidak menyakiti kandungan Ells. Mereka tidak diburu waktu. Mereka begitu menikmati kebersamaan ini. Pulang. Airlangga begitu merindukan rumah dan keluarganya. Dia ingin berlari, apalagi keberadaan Ken Arok yang gagah bisa membuatnya melesat pulang, tapi ada istri dan anak yang harus dia jaga. Tangannya nyaris tak lepas dari perut Ells. Airlangga semakin memperlambat laju Ken Arok ketika mereka memasuki desa. Dia menghentikan Ken Arok tepat di depan rumahnya—rumah kakeknya, tepat di samping rumah pamannya. Derap tertahan dan ringkikan Ken Arok membuat penghuni rumah—Paman Tirta dan Rindang—bersegera keluar, bersamaan dengan Airlangga yang membantu Ells untuk turun. “ANGGA! ANAKKU…!” teria
MEREKA keluar kamar dan menjumpai hanya dua orang tua di ruang tamu. Sedang duduk melanjutkan nostalgi. Robert? Dia tak sanggup membayangkan apa yang menyebabkan dua orang itu begitu lama di dalam kamar Ells. Kamar mereka. Dia pergi begitu saja setelah berpamit ala kadarnya. Lagi-lagi dia dikalahkan oleh inlanders. Spontan, van Loen tersenyum melihat rona merah di wajah Ells. Anaknya begitu hidup, bergitu bercahaya. Cayaha yang hilang itu telah kembali. Van Loen bersyukur dan menerima takdir mereka. Langit melalui takdirNya memang selalu memberikan yang terbaik. Papa harap, rona merah itu hanya salah satu dari kemampuan dia untuk membahagiakanmu, Ells. Mereka sudah berganti pakaian, hanya mengenakan kain. “Papa, kami pamit.” Ells mencium pipi van Loen. “Om, Ells pergi dulu.” Dia juga mencium pipi der Passe. Airlangga berjabat tangan dan mengangguk hormat seperti kebiasaan mereka meski kali ini dia hanya memakai kain. Bekas luka di tubuh Airlangga t