“PAPA, apa aku sudah terlihat cantik?”
Seorang gadis, memakai gaun berwarna putih bersih yang menjuntai sampai terseret di lantai muncul sambil bergerak lincah, menyelinap melewati pintu kayu besar menghampiri seseorang yang dipanggil papa.
Frederick van Loen—sang ayah—yang sedang menatap ladang melalui jendela besar dari ruang kerja begitu mendengar suara yang sangat dia kenal, langsung berbalik untuk menjumpai putrinya tersayang. Anak semata wayangnya. Gadis itu berbalik, memutar tubuhnya untuk memamerkan gaun indahnya.
“Kau selalu cantik, Daniella.” Van Loen berjalan mendekati gadis itu, tangannya terentang untuk memeluk Ells, putrinya. “Apa pun yang kau pakai, kau selalu cantik.” Dia masih memandang lekat wajah anaknya.
Dia sangat mirip dengan ibunya. Sangat-sangat mirip. Atau aku terlalu merindukan ibunya hingga semua yang berhubungan dengan dia terlihat mirip di mataku? Tapi dia memang secantik ibunya.
“Papa, apa yang Papa pikirkan?” Mereka sangat dekat, Ells pasti langsung melihat perubahan cepat dan mencolok ekspresi papanya.
“Kau sangat mirip ibumu, Ells.” Merasa tidak ada yang perlu disembunyikan, ayahnya tersenyum berkata jujur sambil masih membayangkan mendiang istrinya.
“Ah, Papa….” Suara ceria itu mendesah resah. Hilang matahari menjadi mendung.
Daniella Elizabeth van Loen, Ells, dia tidak sempat menikmati kasih bunda. Ibunya bertukar nyawa ketika melahirkan Ells. Meninggalkan bayi merah hanya bersama ayahnya. Di tanah yang baru, tanah yang jauh dari tanah leluhur.
Daniella tumbuh menjadi gadis yang cantik. Udara dan angin lereng Gunung Bromo tidak menghilangkan kehangatannya. Dia menjadi matahari di lereng itu. Semua orang mencintainya.
Terlebih ayahnya.
Walaupun Ells tidak sempat merasakan cinta bunda, tapi cinta ayahnya selalu dia rasakan melimpah ruah. Beredar bersama aliran darahnya, menjadi selimut hangatnya. Ells tidak pernah kekurangan cinta. Ells menjadi pusat dunia. Semua tercurah untuknya. Van Loen seperti ingin membayar ketiadaan ibu dengan berkali lipat mencintai anaknya.
“Papa mencintai kalian berdua.”
Ells semakin erat memeluk papanya. Dia tahu, betapa besar cinta papanya pada mendiang mamanya. Papanya memilih untuk terus sendiri berkawan sepi, memilih tak menikah atau mengambil wanita lokal untuk menghangatkan ranjang dinginnya. Dia tidak ingin perhatiannya terbagi antara anak dan istri. Dia tidak mau istrinya cemburu pada anaknya. Dan masih banyak alasan lain yang terkesan mengada-ada tapi itulah yang terjadi. Van Loen tetap sendiri sampai Ells menjadi gadis dewasa.
“Sudahlah … ayo kita keluar. Tamu-tamu sebentar lagi datang.” Tersenyum, van Loen berusaha mengembalikan sinar matahari anaknya. Tak rela mendung mengganggu hari bahagia ini.
“Ayo ….” Ells bersemangat kembali. Berjalan bergandengan tangan, dia menggoyang tangannya maju mundur. Tentu tangan ayahnya ikut bergerak. Dia berjalan seperti kijang kecil lepas dari kandangnya. Melompat-lompat seperti ada per lentur di kakinya. Van Loen tersenyum bahagia setiap melihat Ells seperti itu.
***
Persiapan pesta telah rampung. Meja-meja pun sudah penuh berisi makanan. Kursi sudah di susun. Bunga segar beraneka jenis dan warna dirangkai indah, menambah keindahan pesta dan membuat sekitarnya harum. Mereka berdiri di teras, menatap ke halaman depan, para pengurus rumah tangga sibuk dengan persiapan akhir. Ini pesta ulang tahun Ells yang ke-19.
“Ells, nanti banyak teman Papa yang datang. Mereka mengajak keluarganya. Termasuk anak lelakinya,” ujar van Loen tiba-tiba dengan tetap menatap pusat pesta.
“Lalu?”
Tentu saja mereka datang, yang mengundang adalah Meneer van Loen. Tuan tanah sekaligus pejabat tinggi Hinda Belanda di lereng Bromo.
“Pilihlah salah satu dari pemuda itu,” perintah van Loen.
“Untuk apa?” Keningnya sampai berkerut mendengar ucapan ayahnya.
“Untuk menjadi suamimu.” Ayahnya menoleh untuk melihat wajah Ells.
“Ah, Papa….” Tiba-tiba suaranya menjadi sedih.
“Ells, kamu sudah sembilan belas tahun. Sudah waktunya berumah tangga.”
“Ells hanya mau bersama Papa.” Merajuk. Dia bergelayut di lengan van Loen.
“Ells, ada saatnya kau harus pergi. Tak mungkin selamanya kita bersama seperti ini.” Papanya menjelaskan lingkaran kehidupan. Ada datang ada pergi. Ada perjumpaan dan ada perpisahan.
“Siapapun pemuda beruntung itu, kalau kau mencintainya, Papa akan merestuimu, Anakku.”
“Ells tak mau pergi, Papa.” Dia memeluk kembali papanya. Erat. Seakan mereka akan dipisahkan sekarang.
“Sudahlah, Ells. Nanti kau akan mengerti. Ketika pemuda itu datang, kau akan tahu, seperti apa rasanya jatuh cinta.”
Ells masih bersama dengan wajah masamnya.
“Tersenyumlah, Cantik. Mana mungkin gadis yang berulang tahun menjumpai para tamu dengan wajah terlipat seperti ini.”
“Ah, Papa….”
“Senyumlah. Untuk Papa.” Van Loen merengkuh bahu anaknya. Mengguncangnya lembut, menyibak halimun yang tadi sempat menutupi sinarnya.
Mana mungkin aku terus merajuk jika Papa seperti ini.
Tak lama, senyum manisnya mulai merekah, mengembalikan cerahnya matahari di lereng Bromo.
***
Pesta yang meriah. Tamu-tamu berdatangan masuk seperti makanan yang mengalir masuk dari belakang. Para pelayan dengan nampan berisi makanan dan minuman sibuk mondar-mandir di antara tamu-tamu yang sibuk berpesta. Van Loen sebagai tuan rumah sibuk menyambut tamu-tamunya. Termasuk Ells yang sejak tamu pertama datang selalu berusaha menemani. Dia berkeliling menyapa dan berbincang ramah.
“William…” sambut van Loen ketika matanya menangkap sosok yang berjalan ke arahnya. William der Passe. Tangannya terentang menyambut tamunya. “Apa kabar, Sobat?” Matanya menyala dan memeluk hangat William.
“Tentu kabar baik.” Sambutan hangat itu tentu berbalas hal yang sama. Van Loen berjalan mengarahkan tamunya ke pusat pesta. Di sana bincang mereka berlanjut terutama ketika ada beberapa tamu lain bergabung.
“Mana gadis yang sedang berulang tahun, Fred?” William der Vasse bertanya setelah cukup lama mereka berbincang santai.
“Ah, ya.” Van Loen seperti teringat tujuan diadakannya pesta. “Sebentar.” Matanya mencari-cari di kerumunan para tamu. Segera, setelah matanya melihat sosok yang sudah sangat dikenalnya, dia berteriak memanggil.
“Ells!” Yang dipanggil—sedang bersenda-gurau dengan temannya—segera menoleh begitu suara yang sangat akrab terdengar memanggilnya. Ayahnya melambai, mengajaknya mendekat. Dia kembali berjalan, lebih tepatnya, berlari kecil sambil melompat-lompat.
“Ya, Papa?” Wajahnya memerah sisa gelak yang masih terlihat jelas.
“Kenalkan, William der Vasse.” Ayahnya menyambutnya dengan senyum dan langsung mengarahkan Ells berjabat dengan tamunya. “Teman Papa waktu di Holland.”
“Hallo, Om Will.” Ramah, dia menjabat sahabat lama papanya.
“Lepas dari pendidikan, Papa ke sini, sedangkan William ke Bukit Tinggi.” Ayahnya menjelaskan lebih lengkap.
“Om Will dari Bukit Tinggi?” Ells terpana. Itu jauh sekali. Sangat jauh untuk menghadiri pesta ulang tahun seorang gadis.
Berdua mereka tergelak.
“Tahun lalu Om dipindahkan ke Malang. Jadi sekarang Om bisa menghadiri pesta bidadari Bromo.”
“Oh, kukira Om datang dari Bukit Tinggi khusus untuk menghadiri pestaku. Aku sudah sangat tersanjung untuk itu.”
“Jadi karena Om dari Malang, kau tidak tersanjung?”
Berdua, mereka kembali terbahak.
“Tidak. Aku tetap tersanjung, walau tidak sebesar jika Om datang khusus dari Bukit Tinggi.”
Mereka semakin tertawa lepas. “Sudahlah, Will. Jangan kau dengarkan ocehan Ells. Anak ini senang jika berhasil membuat pria tua seperti kita patah hati.”
Mereka tertawa bersama, dan bertiga melanjutkan pembicaraan santai keseharian mereka. Tak sadar, jika sepasang mata hijau dari pria tinggi semampai menatap ke arah mereka. Tatapannya tajam, tak lekang memandang gadis manis yang tergelak lepas.
Cantik, manis, dan memesona.
Pemuda itu berjalan perlahan, tujuannya jelas: ketiga orang itu. Berjalan lurus menyibak keramaian undangan, dia menepuk pundak der Vasse.
“Papa….” Der Vasse, yang ternyata ayahnya, segera tersadar, bahwa dia datang ke sini bersama dengan anaknya.
“Oh, Fred, Ells. Kenalkan, ini anak bungsuku. Robert der Vasse.”
“Hallo, Om Fred.” Dia menjabat tangan van Loen. Lalu beralih menjabat Ells.
“Hai, Gadis yang Berulang Tahun.” Tangannya tak mau melepas tangan mungil dalam genggamannya. “Selamat ulang tahun.” Tetap menggenggam tangan itu.
“Sepertinya, tidak lama lagi, aku harus berkunjung ke rumahmu, Fred. Khusus untuk meminta anak gadismu.” Suara der Vasse mengembalikan Robert kembali ke pesta. Membuat kedua ayah terbahak. Namun tidak dengan Ells.
Wajahnya merona. Dia menarik lepas tangannya. Memaksa dengan menarik agak keras. Robert masih mau merasai kelembutan tangan mungil itu.
Begitu tangannya bebas, Ells langsung berbalik, pergi menanggung malu, kembali ke teman-temannya.
Kepergian Ells tidak mampu mengalihkan pandangan Robert dari gadis itu.
Cantik, manis, memesona, dan menggairahkan.
***
Pesta terus berlanjut. Makanan tak putus mengalir dari dapur. Musik terdengar mengalahkan suara malam dari alam. Tapi alam pun seakan enggan bersuara di dekat sana. Burung hantu mencari pohon lain untuk berkukuk. Menari dan dansa-dansi menjadi hiburan segenap mereka. Arak, tuak, dan berbagai minuman berasal dari tanah asli mereka membanjiri pesta. Melenakan semua undangan.
Tak sadar, sepasang mata elang menatap tajam menembus kegelapan malam.
Duduk di dahan beringin tua, terhalangi kerindangannya, mata marah itu menatap nyalang ke arah keramaian pesta.
Tersudut di pojok luar berbatas pagar, tak ada seorang pun yang sadar akan kehadiran tamu tak diundang.
***
Bersambung
MATAHARI mulai lelah. Bulatnya merosot semakin jauh ke barat bumi. Seorang wanita muda sangat cantik berjalan sambil membimbing bocah lelaki kecil menyusuri jalan setapak di tepi hutan. Jelas dia ibu si bocah itu. Lelaki kecil yang tampan dan sehat. Langkah si bocah belum kokoh menjejak bumi. Dia selalu berpegangan pada tangan ibunya agar tidak tersaruk jatuh. Namun kelincahannya membuat si ibu harus mempercepat langkahnya. Tak ada keluh terdengar dari bibir si ibu. Wanita cantik itu malah selalu tertawa melihat polah anaknya. Gelak si bocah pun begitu lepas meningkahi suara angin sore. Gelak yang membuat si ibu tersenyum lebar, senyum yang semakin memperlihatkan kecantikan alaminya. Anak itu begitu lincah. Si ibu cukup kerepotan mengimbangi gerak lincahnya. Dia berusaha untuk selalu memegang tangan bocah itu sementara sebelah tangannya yang lain membawa keranjang berisi daun-daun tanaman obat yang dia petik dari dalam hutan.“Ibu… Aku haus.”“Kalau kau selalu berlari, kau akan
TANAH itu masih merah, tapi kelopak bunga yang menutupi tanah itu mulai layu. Rindang pepohonan membuat tempat itu begitu teduh, tenang, tapi sekaligus juga mistis. Ini adalah tempat yang menjadi penanda batas dua dunia. Tempat kenangan akan yang terkasih berkumpul.Ketenangan dan kedamaian di tempat itu tidak bisa hadir di hati seorang pemuda. Pemuda yang terlihat sangat berduka meski tetap tanpa airmata. Wajahnya yang muram jelas menggambarkan dukanya. Matahari yang berhasil menyelinap dari sela-sela dedaunan tidak bisa menghadirkan kehangatan di hatinya. Semua terasa beku. Dingin. Mencekam. Setengah mati dia menahan sedih. Mungkin dia berhasil tapi jiwa yang terluka menyisakan marah yang sulit hilang. Marah yang berbuah dendam. Dendam yang akan tergenapkan jika sudah tuntas.Airlangga duduk bersimpuh di makam itu. Makam kakeknya. Sebuah makam yang baru, diapit dua makam lama.Makam ayah dan ibunya.Langkahnya belum lagi kokoh menjejak bumi ketika ayahnya memilih mati berkalang tana
DIA tahu, seluruh penduduk desa adalah keluarganya, yang akan selalu melindungi sesamanya. Namun, dia tetap berhati-hati. Negeri ini juga memelihara begitu banyak pengkhianat. Berjalan dan memutar, ada satu urusan lagi yang harus dia selesaikan. Hari memang masih gelap, tapi kehidupan tentu sudah ada di balik pintu-pintu rumah. Dia berusaha berjalan biasa saja. Sampai di suatu jendela, dia mengetuk pelan daunnya. Tak lama, jendela itu terbuka mengantarkan sesosok pemuda lain yang tidak kalah gagah dari Airlangga.Mengetahui Airlangga berdiri di luar, gesit, dia melompati ambang jendela. Tak lama keduanya sudah berlari menuju tujuan yang sama.Di tepi hutan, mereka semakin gesit dan leluasa menyelinap di antara perdu dan pohon. Sampai di bawah pohon angsana, Airlangga yang memimpin di depan menghentikan langkahnya.“Dayana.” Dia tentu tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang dia panggil. Matahari masih sangat jauh di timur bumi sementara bulan sudah nyaris tenggelam di cakrawala bara
DAN di sinilah dia sekarang. Mengintip di balik kerindangan beringin. Ranting dan dahannya mempermudah dia menaiki pokok pohon itu. Duduk santai mengamati, dia mencari sang tuan rumah. Kerimbunan pokok beringin membuatnya aman bersembunyi. Daunnya yang lebat, ranting dan dahannya yang rapat, dan malam yang gelap membuat semuanya menjadi hitam. Dia nyaris santai duduk mengamati di salah satu dahan. Sedang ada pesta rupanya. Aku akan menunggu sampai pesta usai. Halaman luas di depan masih terlalu ramai. Para pelayan masih sibuk hilir mudik keluar masuk rumah sambil membawa nampan. Meja-meja pun masih terisi penuh. Suara musik masih riuh. Para tamu masih sangat bersemangat menari dan berbincang. Pesta masih jauh dari selesai. Sambil menunggu, dia mengamati rumah besar itu. Manusia aneh. Untuk apa memiliki rumah sebesar itu jika hanya dihuni oleh dua orang saja? Tidak cukupkah jika rumah itu dibagi tujuh? Rumah sebesar itu tentu akan merepotkan. Membersihkannya saja butuh banyak ten
PESTA telah usai, menyisakan kekacauan yang luar biasa di halaman rumah itu. Meja dan kursi bertebaran tidak teratur. Isinya pun berhamburan tidak teratur. Bunga-bunga lepas dari wadahnya. Berjumput-jumput rumput terangkat dari tanah. Sampah jangan ditanya. Tamu telah kembali ke rumah masing-masing. Membiarkan pengurus rumah kelimpungan mengurus sisa pesta. Karena apa pun yang sekarang terjadi, besok pagi semua harus terlihat normal seperti tidak pernah ada pesta semalam. Setelah mengantar tamu terakhir—William dan anaknya—meninggalkan rumah, Van Loen melangkah gontai memasuki rumah. Tubuh tua dan tulang rentanya tak sanggup lagi untuk mengawasi urusan kebersihan. Biarlah. Esok pagi semua pasti sudah kembali bersih. Jika tidak? Itu tidak akan terjadi. Karena kepala rumah tangganya sudah tahu apa yang harus dia lakukan jika ingin tetap bekerja di sana. Ells, sang gadis yang berulang tahun, walau lelah, tapi masih ada sedikit sisa tenaga untuk bersenandung. Senandung riang dengan tub
AIRLANGGA leluasa berlari di hutan. Dia tidak butuh matahari untuk mencapai tujuannya. Pokok tanaman dan semak menjadi penunjuk arah. Ditambah bulan dan bintang utara yang terang bersinar, dia tidak kesulitan menggendong tawanannya. Seberapa pun kuatnya gadis itu berontak, semua tiada arti ketika Airlangga sudah di dalam hutan. Dia tidak perlu mengendap, tidak perlu menjaga suara. Tubuhnya yang kuat sudah terbiasa mengangkat beban berat, membuat bobot di bahunya terasa ringan tak mengganggu gerakannya. Semakin jauh memasuki hutan, semakin jauh meninggalkan rumah. Ells tidak tinggal diam. Dia terus bergerak, berontak dari kungkungan lengan penawannya. Sampai akhirnya dia sadar, dan rasa lelah semakin kuat menderanya, dia berhenti berontak. Memilih diam dan pasrah terjungkal di bahu penculiknya. “Diam memang selalu lebih baik.” Aku diam, tapi aku akan meninggalkan jejak. Tapi bagaimana caranya jika tangannya terikat? Seperti mendengar suara batin Ells, mendadak Airlangga menurunkan
SENTUHAN kasar di sepanjang kaki menyusul lengannya membangunkan tidur lelapnya. Ap—?? Siap—?? “PAPAAAAA….” Ells kembali berteriak. Penculiknya meraba seluruh tubuhnya! Ells sangat ketakutan. “Diamlah.” Airlangga terus meraba tubuh Ells. “Aku hanya membalurkan sesuatu untuk mengusir nyamuk.” Hah? Ells ingat, tadi sebelum lelap memang denging nyamuk mengganggunya. Tapi lelah membuat dia tak sadar gangguan yang biasanya membuatnya berteriak kencang jika di rumah. Rumah. Ells sangat merindukan rumahnya. Ini belum lagi satu hari dia pergi. Malam pun belum mereka lewati. “Sini! Biar aku saja!” Segera diambilnya sesuatu dari tangan penculiknya. “Kenapa kau tidak menyuruhku melakukannya sendiri?” Ells menggerutu. Orang ini ingin mengambil kesempatan! “Karena aku tidak yakin kau mau memegang itu.” “Kenapa?” “Bukan kenapa. Tapi apa.” “Apa?” Ells mengulang pertanyaannya sambil membalur tubuhnya dengan apa pun itu. “Kotoran ayam hutan.” “AARRGGHHH…!!!” Suara marah Ells berbaur d
HARI masih pagi ketika Tirta duduk gelisah di depan rumah. Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari kemenakannya. Balai-balai tempatnya duduk berderak-derak setiap kali dia bergerak kasar dan gelisah. Berkali-kali kepalanua menoleh ke arah hutan. Dia yakin, kemenakannya itu akan memulai aksinya dari sana. Dari mana lagi? Hutan adalah nyawanya. Dia akan mati jika jauh dari hutan. Dia mengenali hutan itu seperti hutan itu mengenali dirinya dan memberikan semua yang dia butuhkan. Airlangga, kemenakannya tersayang. Anak tunggal kakaknya yang sudah tidak ada. Hanya tersisa Airlangga dari trahnya. Dan sekarang, ayahnya pun sudah tidak ada. Siapa yang akan meneruskan tugasnya setelah dia tiada? Hanya ada Rindang, anak gadisnya yang Airlangga tolak. Mengingat itu, dia semakin masygul. Suara langkah kaki memang tidak mengganggu gelisahnya, tapi suara langkah itu membuatnya berhenti melamun. Tak lama, suara itu sampai di sampingnya. Rindang datang membawa penganan pagi yang sederhana. Hanya
AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan
“Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku
[Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,
MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel
SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah
SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru
DUA pasang berjalan bergandengan berpelukan ke arah balai-balai dipimpin Tirta di depan lalu semuanya duduk kecuali Rindang yang langsung ke dapur mengambil minuman. “Apa yang sebenarnya terjadi, Angga?” Udayana tak membuang waktu untuk bertanya. “Berita terakhir yang kami dengar anak gadis Meneer van Loen akan menikah. Tak lama berita lain masuk, petunangan itu dibatalkan. Ada juga berita penculiknya datang menemui Meneer van Loen. Kami sangat cemas dengan berita ini, tapi aku tidak bisa mencari tahu lebih jauh. Sepertinya kabar itu ditutupi.” “Begitulah yang terjadi.” “Yang kami tahu Nona Ells pulang tanpa kau. Kenapa kau bisa ada di rumah itu?” “Aku tidak mungkin membiarkan istriku menikah dengan lelaki lain.” Tegas. “Bagaimana caranya kau bisa tetap hidup keluar dari rumah itu, Nak?” Tirta bertanya cemas. “Paman sudah nyaris mati mendengar selentingan itu. Kenapa kau menyerahkan diri? Kenapa kau tidak pulang saja ke sini? Selama ini kau tidak terlac
TANPA Ken Arok pun tak perlu waktu lama untuk mereka sampai di desa. Ini pengalaman pertama Ells berkuda tanpa pelana pun pengalamannya pertama berkuda berdua sedekat ini. Sangat menyenangkan. Sepanjang jalan dia tertawa-tawa. Airlangga sangat menjaga laju Ken Arok agar tidak menyakiti kandungan Ells. Mereka tidak diburu waktu. Mereka begitu menikmati kebersamaan ini. Pulang. Airlangga begitu merindukan rumah dan keluarganya. Dia ingin berlari, apalagi keberadaan Ken Arok yang gagah bisa membuatnya melesat pulang, tapi ada istri dan anak yang harus dia jaga. Tangannya nyaris tak lepas dari perut Ells. Airlangga semakin memperlambat laju Ken Arok ketika mereka memasuki desa. Dia menghentikan Ken Arok tepat di depan rumahnya—rumah kakeknya, tepat di samping rumah pamannya. Derap tertahan dan ringkikan Ken Arok membuat penghuni rumah—Paman Tirta dan Rindang—bersegera keluar, bersamaan dengan Airlangga yang membantu Ells untuk turun. “ANGGA! ANAKKU…!” teria
MEREKA keluar kamar dan menjumpai hanya dua orang tua di ruang tamu. Sedang duduk melanjutkan nostalgi. Robert? Dia tak sanggup membayangkan apa yang menyebabkan dua orang itu begitu lama di dalam kamar Ells. Kamar mereka. Dia pergi begitu saja setelah berpamit ala kadarnya. Lagi-lagi dia dikalahkan oleh inlanders. Spontan, van Loen tersenyum melihat rona merah di wajah Ells. Anaknya begitu hidup, bergitu bercahaya. Cayaha yang hilang itu telah kembali. Van Loen bersyukur dan menerima takdir mereka. Langit melalui takdirNya memang selalu memberikan yang terbaik. Papa harap, rona merah itu hanya salah satu dari kemampuan dia untuk membahagiakanmu, Ells. Mereka sudah berganti pakaian, hanya mengenakan kain. “Papa, kami pamit.” Ells mencium pipi van Loen. “Om, Ells pergi dulu.” Dia juga mencium pipi der Passe. Airlangga berjabat tangan dan mengangguk hormat seperti kebiasaan mereka meski kali ini dia hanya memakai kain. Bekas luka di tubuh Airlangga t