“BANGUN, Tuan Puteri…!” Kenapa suara itu terus berulang? Tidak bisakah suara itu menghilang? Sangat mengganggu! Matahari sudah mulai meninggi. Seperti biasa Airlangga sudah bangun sebelum matahari terbit. Dia sudah mandi, sudah menyiapkan makan pagi, tapi gadis itu masih lelap. Airlangga menunggu sampai matahari cukup tinggi. Terlebih semalam dingin membuat tidur gadis itu sedikit terganggu. Ini yang kedua kali dia membangunkan gadis itu. Sepertinya gadis itu bukan makhluk pagi. Dia tidak bisa cukup sekali dibangunkan. “Bangun, Tuan Puteri!” Airlangga mencoba lagi. Aku masih mau tidur, rutuk Ells dalam masa transisi sadar dan tidaknya. “Ada beruk!” Mendesis, seakan tidak mau ada yang lain mendengar bisiknya. Airlangga mencoba cara lain. Spontan Ells duduk tegak. . DUG. . “Aduhh…” Ells mengelus dahinya, bersamaan Airlangga memegang dagunya. “Pemalas! Ayo bangun!” Airlangga langsung berdiri menghadang di pintu. Ells, yan
“DIAM. Tenang. Jangan bergerak. Jangan membuatnya terkejut,” desis penculiknya. Tubuhnya bersiaga meski berusaha terlihat tetap tenang dan lentur. Dia pun tidak ingin membuat hewan itu terkejut. Membuatnya terkejut??? desis Ells dalam hati dengan mata terbeliak lebar. Perlahan dia berusaha menegakkan tubuhnya tanpa suara. Makhluk itu bisa membuatnya mati, tapi dia bahkan tidak boleh membuatnya terkejut. Aturan macam mana pula itu? Makhluk itu yang membuatku terkejut. Terkejut sampai lupa bernapas. Tak lama lagi aku tidak akan terkejut, karena aku sudah mati tercabik dan terkoyak, gerutu ketakutan Ells dalam hati. Tapi, jika dia membuatnya terkejut, dia bisa mati. Segera saja Ells memutuskan untuk tidak membuat makhluk itu terkejut. Duduknya sudah tegak, perlahan dia menarik tungkainya. Semua dia lakukan dengan sangat hati-hati tak ingin bersuara tak ingin membuat makhluk itu melihat ke arahnya. Dari langkahnya, dia tahu, makhluk itu semakin mendekat ke
ROBERT bergegas turun dari kudanya ketika melihat van Loen berjalan menuruni tangga rumah. Sepertinya lelaki tua itu hendak pergi. Siang sudah berganti menjadi petang. “Om mau ke mana?” Robert menjulurkan tangan sebagai pegangan van Loen turun. Lelaki itu mendadak terlihat semakin tua. Ringkih berjalan goyah mencari pegangan. Semakin hari van Loen semakin terlihat layu. Perubahannya sangat cepat dibanding ketika Robert pertama bertemu di pesta ulang tahun Ells. Robert mengerti kesedihan van Loen. Kehilangan anak gadis satu-satunya setelah kematian istri tentu sangat memukul batin lelaki tua yang jauh dari tanah leluhur. Tentu dia semakin merasa sendiri dan kesepian. “Om mau ke hutan.” “Untuk apa? Ini sudah terlalu sore.” “Om ingin tahu kabar pencarian Ells.” “Belum ada kabar terbaru, Om. Aku baru dari hutan.” “Siapa tahu ada kabar terbaru ketika kau pergi.” Robert menyembunyikan dengus. “Om tunggulah di sini, biar aku kembali ke huta
RUMAH pohon yang lain dari yang sebelumnya. Itu kesimpulan Ells setelah turun dari punggung penculiknya dan matanya menyapu ruang kecil di depannya. Rumah pohon kedua. Rumah pohon ini sebesar rumah pohon yang kemarin. Sebesar? Lebih tepatnya sekecil. Kembali, Ells duduk di sudut tanpa ada pilihan tempat lain. Matahari sisa segaris di ufuk barat. Sinarnya sudah sangat tipis sampai ke bumi. Bahkan di ketinggian rumah pohon ini, cahayanya sisa redup temaram yang tidak bisa membuat mata jelas melihat. Setelah memastikan di mana tawanannya duduk, Airlangga langsung bekerja. Dia harus menghadirkan cahaya di ruang mungil ini. Sepanjang Airlangga bekerja, Ells hanya duduk tanpa bentuk sambil memikirkan nasibnya. Dia cukup berbahagia ketika menyadari penculiknya sedang berusaha menyalakan pelita. Tidak bisa dia bayangkan nasibnya jika harus bergelap gulita di tengah hutan. Malam pertama mungkin dia masih bisa bertahan. Dia dan kepolosannya h
MATA Ells berkedip-kedip tak nyaman. Cahaya itu mengganggu tidurnya. Tidurnya yang paling nyenyak. Berusaha menghilangkan cahaya itu, Ells menggeser kepalanya. Dia mendengar suara degup yang ketukannya semakin cepat. Suara apa itu? Ells berusaha mengingat. Mengumpulkan kembali nyawanya yang tercerai-berai tidur lelapnya. Dia bisa merasakan hembusan udara hangat di lehernya yang tertunduk. Hhmm … hembusan angin dari sela-sela dinding kayu. Hangat. Hangat? Seharusnya dingin…. Dia masih ingin tidur. Berhasil menghindar dari cahaya, tidak mengacuhkan suara degub yang terdengar jelas di telinganya, dan melupakan angin yang bertiup hangat dari celah dinding. Dia meringkuk semakin dalam. Tangannya bergerak melingkari tubuh hangat di pelukannya. Tubuh hangat? Di pelukannya? Tubuh hangat di pelukannyaaaa…??? Kesadarannya datang menghampiri cepat seperti kilat, menggelegar seperti guruh. Itu tubuh penculiknya! Mendadak dia menarik diri
PEMANDANGAN di depannya sungguh menyentuh hati. Ells terdiam melihat pemandangan di depannya. Penculiknya sedang berusaha memindahkan sebuah batu yang menjepit kaki seekor rusa kecil. Sang induk berdiri di samping anaknya, bergerak gelisah. Seekor rusa jantan pun ada di sana. Tanduk panjang dan bercabangnya sungguh indah. Ells asumsikan bahwa itu adalah keluarga kecil rusa. Dia tak tahu, apakah rusa hidup seperti manusia, berkeluarga dan selalu bersama keluarganya. Suara penculiknya terdengar lembut ketika dia menenangkan anak rusa yang ketakutan dan kesakitan. Sesekali tangannya mengelus kepala rusa kecil itu. Batu itu tidak terlalu besar, tapi dia harus berhati-hati menggerakkan batu itu. Salah sedikit, kaki rusa kecil itu akan lebih terjepit. “Apa yang kau lakukan sampai kakimu terjepit seperti ini, Rusa Kecil?” Suaranya pelan menenangkan, tapi terselip cemooh di suara itu, seperti seorang paman mengejek kenakalan kemenakannya. “Tenanglah, aku akan membebaskan
DI waktu yang sama, sekelompok manusia berkuda bergerak cepat. Berderap, Robert, Topan, dan sekelompok serdadu bayaran Hindia Belanda memasuki desa dengan senjata terkokang siap menyalak. Tamu tak diundang yang menimbulkan kegaduhan dan kepanikan. Topan memimpin di depan membuka jalan. “Ini rumah kepala desa yang lama, Tuan.” Dia menunjuk rumah Airlangga. “Dan ini rumah kepala desa yang baru.” Dia menunjuk rumah Paman Tirta, tepat di samping rumah Airlangga. Tapi dia hanya menunjuk saja. Dia berhenti di tanah lapang, tanah lapang yang sama tempat kepala desa yang lama meregang nyawa. Ingatan itu masih sangat membekas di kepala semua warga, membuat mereka makin ketakutan. Anak-anak dan wanita berlarian mencari tempat bersembunyi. Para lelaki langsung mengambil senjata, bersiap membela harga diri. . DOR . “AAARRRGGGHHH…!!!” Tapi tangan-tangan itu kalah cepat dengan sentakan senjata api. Sebuah erangan langsung terdengar manakala sebuti
MEREKA kembali berjalan. Dalam diam. Hanya berteman suara binatang, desau angin, gemersik daun, dan sesekali kecipak air dari mata air yang sangat banyak tersebar di penjuru hutan. Senyap yang berhasil menghilangkan pikiran-pikiran yang tadi sempat muncul di benak masing-masing. Tapi apa benar diam itu membantu menghilangkan? Atau diam itu malah menyegarkan isi kepala? Tapi mereka tidak ada pilihan lain selain diam. Kembali menjadi musuh yang berjarak. Ells memang diam. Tapi hanya diam tidak bertanya pada penculiknya. Dia terus menggerutu dan mengeluh dalam hati meski gerutu itu sering tetap keluar dan terdengar penculiknya. Dia memang tidak berharap penculiknya memperlakukan dia seperti perlakuannya ke keluarga rusa, tapi paling tidak lelaki itu mengertilah sedikit kepayahannya berjalan. Penculiknya mendengar gerutu dan keluh kesah itu, tapi dia malah membuat perjalanan terasa makin menyiksa Ells. Di daerah datar, dia berjalan cepat, membuat Ells setengah berlar
AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan
“Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku
[Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,
MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel
SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah
SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru
DUA pasang berjalan bergandengan berpelukan ke arah balai-balai dipimpin Tirta di depan lalu semuanya duduk kecuali Rindang yang langsung ke dapur mengambil minuman. “Apa yang sebenarnya terjadi, Angga?” Udayana tak membuang waktu untuk bertanya. “Berita terakhir yang kami dengar anak gadis Meneer van Loen akan menikah. Tak lama berita lain masuk, petunangan itu dibatalkan. Ada juga berita penculiknya datang menemui Meneer van Loen. Kami sangat cemas dengan berita ini, tapi aku tidak bisa mencari tahu lebih jauh. Sepertinya kabar itu ditutupi.” “Begitulah yang terjadi.” “Yang kami tahu Nona Ells pulang tanpa kau. Kenapa kau bisa ada di rumah itu?” “Aku tidak mungkin membiarkan istriku menikah dengan lelaki lain.” Tegas. “Bagaimana caranya kau bisa tetap hidup keluar dari rumah itu, Nak?” Tirta bertanya cemas. “Paman sudah nyaris mati mendengar selentingan itu. Kenapa kau menyerahkan diri? Kenapa kau tidak pulang saja ke sini? Selama ini kau tidak terlac
TANPA Ken Arok pun tak perlu waktu lama untuk mereka sampai di desa. Ini pengalaman pertama Ells berkuda tanpa pelana pun pengalamannya pertama berkuda berdua sedekat ini. Sangat menyenangkan. Sepanjang jalan dia tertawa-tawa. Airlangga sangat menjaga laju Ken Arok agar tidak menyakiti kandungan Ells. Mereka tidak diburu waktu. Mereka begitu menikmati kebersamaan ini. Pulang. Airlangga begitu merindukan rumah dan keluarganya. Dia ingin berlari, apalagi keberadaan Ken Arok yang gagah bisa membuatnya melesat pulang, tapi ada istri dan anak yang harus dia jaga. Tangannya nyaris tak lepas dari perut Ells. Airlangga semakin memperlambat laju Ken Arok ketika mereka memasuki desa. Dia menghentikan Ken Arok tepat di depan rumahnya—rumah kakeknya, tepat di samping rumah pamannya. Derap tertahan dan ringkikan Ken Arok membuat penghuni rumah—Paman Tirta dan Rindang—bersegera keluar, bersamaan dengan Airlangga yang membantu Ells untuk turun. “ANGGA! ANAKKU…!” teria
MEREKA keluar kamar dan menjumpai hanya dua orang tua di ruang tamu. Sedang duduk melanjutkan nostalgi. Robert? Dia tak sanggup membayangkan apa yang menyebabkan dua orang itu begitu lama di dalam kamar Ells. Kamar mereka. Dia pergi begitu saja setelah berpamit ala kadarnya. Lagi-lagi dia dikalahkan oleh inlanders. Spontan, van Loen tersenyum melihat rona merah di wajah Ells. Anaknya begitu hidup, bergitu bercahaya. Cayaha yang hilang itu telah kembali. Van Loen bersyukur dan menerima takdir mereka. Langit melalui takdirNya memang selalu memberikan yang terbaik. Papa harap, rona merah itu hanya salah satu dari kemampuan dia untuk membahagiakanmu, Ells. Mereka sudah berganti pakaian, hanya mengenakan kain. “Papa, kami pamit.” Ells mencium pipi van Loen. “Om, Ells pergi dulu.” Dia juga mencium pipi der Passe. Airlangga berjabat tangan dan mengangguk hormat seperti kebiasaan mereka meski kali ini dia hanya memakai kain. Bekas luka di tubuh Airlangga t