DI waktu yang sama, sekelompok manusia berkuda bergerak cepat. Berderap, Robert, Topan, dan sekelompok serdadu bayaran Hindia Belanda memasuki desa dengan senjata terkokang siap menyalak. Tamu tak diundang yang menimbulkan kegaduhan dan kepanikan. Topan memimpin di depan membuka jalan. “Ini rumah kepala desa yang lama, Tuan.” Dia menunjuk rumah Airlangga. “Dan ini rumah kepala desa yang baru.” Dia menunjuk rumah Paman Tirta, tepat di samping rumah Airlangga. Tapi dia hanya menunjuk saja. Dia berhenti di tanah lapang, tanah lapang yang sama tempat kepala desa yang lama meregang nyawa. Ingatan itu masih sangat membekas di kepala semua warga, membuat mereka makin ketakutan. Anak-anak dan wanita berlarian mencari tempat bersembunyi. Para lelaki langsung mengambil senjata, bersiap membela harga diri. . DOR . “AAARRRGGGHHH…!!!” Tapi tangan-tangan itu kalah cepat dengan sentakan senjata api. Sebuah erangan langsung terdengar manakala sebuti
MEREKA kembali berjalan. Dalam diam. Hanya berteman suara binatang, desau angin, gemersik daun, dan sesekali kecipak air dari mata air yang sangat banyak tersebar di penjuru hutan. Senyap yang berhasil menghilangkan pikiran-pikiran yang tadi sempat muncul di benak masing-masing. Tapi apa benar diam itu membantu menghilangkan? Atau diam itu malah menyegarkan isi kepala? Tapi mereka tidak ada pilihan lain selain diam. Kembali menjadi musuh yang berjarak. Ells memang diam. Tapi hanya diam tidak bertanya pada penculiknya. Dia terus menggerutu dan mengeluh dalam hati meski gerutu itu sering tetap keluar dan terdengar penculiknya. Dia memang tidak berharap penculiknya memperlakukan dia seperti perlakuannya ke keluarga rusa, tapi paling tidak lelaki itu mengertilah sedikit kepayahannya berjalan. Penculiknya mendengar gerutu dan keluh kesah itu, tapi dia malah membuat perjalanan terasa makin menyiksa Ells. Di daerah datar, dia berjalan cepat, membuat Ells setengah berlar
LUKA itu menganga dan mengeluarkan darah terbentuk melintang di dadanya. Melihat sekilas lukanya, Airlangga menarik tawanannya berdiri, dan menempatkan gadis itu di belakang tubuhnya. Sedangkan dia mengamuk mengusir kera-kera itu. Sampai akhirnya kawanan itu menyerah, kabur meninggalkan mereka dengan tubuh lebam terkena pukulan tombak Airlangga. Daniella masih berjongkok dengan tangan menutup wajah. Dia tidak berani melihat pemandangan di depannya, dan takut jika kawanan itu mencakarnya juga. “Sudah. Mereka sudah pergi.” Suara Airlangga jernih tanpa ditingkahi jeritan kera-kera nakal. “Ayo…” ajaknya ketika Ells masih tetap berjongkok tak berani melepas tangan yang menutupi wajahnya. Dia ikut berjongkok dengan sebelah kaki. Tapi tawanannya bergeming. “Ayo. Jangan sampai mereka kembali dengan membawa keluarga besarnya ke sini membalas dendam. Itu bisa berart ratusan kera. Aku tidak bisa menghadapinya sendiri, lebih baik melarikan diri.” Lagi-lagi Airlangg
AKHIRNYA Airlangga berhenti. Malam telah datang, bulan sabit semakin menipis. “Kita sampai,” ujar Airlangga pada tawanannya. Baru kali ini dia berkata seperti itu. Ells, yang sudah terbiasa dengan diamnya, sedikit terkejut, tapi akhirnya mengangguk. Matanya menatap ke pohon trembesi dengan pokok yang besar dan daun yang rimbun. Di atas sana, di cabang utama pohon trembesi itu, berdiri sebuah rumah pohon, terlindung lebatnya daun. Ini rumah pohon yang lain lagi. Entah ada berapa banyak rumah pohon di hutan. Ells tidak peduli. “Aku akan mengantarmu naik. Lalu akan mencari makan malam kita.” Terbelalak, Ells berkata, “Mencari makan?” “Kenapa? Apa kau tidak lapar?” Bukankah tadi dia memetik buah tak begitu lama sehabis menghabiskan makan siangnya dengan lahap? Wajahnya pun sangat kuyu, wajah orang kelaparan.. “Kenapa tidak tadi di perjalanan kau mencari makan?” Suaranya seperti tercekik, Ells begitu panik dan ketakutan. Bibir Airlangga membe
SINAR matahari pagi membangunkan Ells dari tidur nyenyaknya. Menggeliat dengan geliat yang bertenaga, tubuhnya terasa sangat segar. Tidak ada jejak lelah seharian berjalan. Wajahnya menyunggingkan senyum tipis. Ini senyum pertamanya menyambut pagi selama di hutan. Jendela yang terbuka lebar mengirimkan kehangatan matahari ke ruang kecil rumah pohon ini. Membuat suasana hati Ells semakin nyaman. Dia siap berjalan lagi. Mana dia? Dia hanya sendirian saja. Penculiknya pasti berburu. Berapa lama dia sendirian? Tapi dia tidak terlalu takut jika sudah ada matahari yang menemani. Merasa semua baik-baik saja, dia kembali bergelung. Tangannya bergerak-gerak meraba kulit halus berbulu tipis yang menjadi alas tidurnya. Entah kulit apa. Sepertinya kulit rusa. Dia ingin kembali tidur. Sambil memejamkan mata dia menikmati cahaya matahari yang jatuh di kulitnya. Tak lama pintu berbunyi membuka, yang dicari datang. Membawa hasil buruannya. Kali ini dua ekor. Kelinci dan ayam.
PAGI itu sama seperti pagi-pagi yang lain. Namun aura kecemasan semakin terasa sejak kedatangan pemuda Belanda mencari Airlangga. Jejak Airlangga sudah tercium. Itu membuat Tirta tak bisa tenang. Sejak semalam dia bergulang-guling di ranjang tak bisa tidur. Sampai pagi itu, jejak kegelisahannya masih sangat jelas, membuat Rindang semakin diam menyiapkan makan pagi untuk ayahnya. “Rindang, Anakku….” “Sendiko, Ayah.” Gadis itu bergegas mendekat berjalan semi berlari dengan bahu membungkuk. “Ayah akan membawamu ke rumah keluarga mendiang ibumu di desa sebelah.” Pernyataan itu membuat Rindang tersentak. “Kenapa, Ayah? Ada apa sampai aku harus pergi?” “Ayah yakin, mereka akan kembali ke sini. Ketika mereka kembali, Ayah tidak mau mereka melihat kau.” “Aku tidak akan keluar rumah jika mereka datang,” janji Rindang cepat. “Itu jika kau tidak ada di luar atau kau sempat bersembunyi. Bagaimana jika tidak?” “Aku akan bersembunyi terus di dalam
SUARA gemerisik yang lebih keras mengalihkan perhatian Ells dari trenggiling. Dia langsung menoleh ke sumber suara. Penculiknya! Matanya mendelik sempurna membalas delikan yang sama dari penculiknya. Saat melihat sosok penculiknya, Ells ingin berteriak dan meloncat kegirangan. Dia selamat. Tapi ekspresi ngeri di wajah penculiknya mengurungkan niat selebrasinya. Delikan mata penculiknya berbeda arti dari delikan matanya. Penculiknya meletakkan telunjuk di depan bibir. “Diam…. Jangan … bergerak…” desisnya sambil tangannya bergerak perlahan, sangat perlahan, mengambil anak panah dan menyiapkan busur panah. Ada apa ini? Dalam paniknya, Ell berusaha berpikir cepat. Trenggiling tak akan tertembus panah itu. Dan trenggiling tidak perlu dibunuh. Dia binatang menyeramkan. Bukan menakutkan atau membahayakan. Ells berusaha tetap diam sepanjang dia melihat penculiknya menyiapkan panah. “Diam…” Airlangga sudah bersiaga menarik tali busur. Wajahnya tegang.
TERTATIH, mereka melangkah satu-satu. Seringkali, tubuh Ells tidak mampu berdiri menahan beratnya tubuh menggigil penculiknya. Kembali, mereka tersaruk jatuh. “Pergilah … tinggalkan … saja … aku ...” Tubuhnya basah keringat, licin. Ells sulit menariknya berdiri. “TIDAK!” Ells menarik paksa tubuh penculinya. Dia memegang pergelangan tangan penculiknya dengan dua tangan lalu menarik sekuat tenaga. Ini seperti menarik sapi yang mogok berjalan. “Sebentar … lagi … gelap …” Airlangga memang berusaha berdiri. Tapi tubuhnya sungguh tidak bertenaga. Ells lembali terjatuh. Tapi Airlangga tidak sanggup menahan tubuh tawanannya agar tak berdebam di tanah. “TIDAK!” Masih tersungkur. “Kau harus bertahan.” Terengah, Ells kembali berdiri, Airlangga pun berjuang bertahan melawan bisa ular itu. Memaksa tubuhnya untuk tetap kuat, berdiri bergetar, berjalan berpayah, bergerak tertatih, melangkah satu-satu. “Bertahanlah, Heyy…” Mendengus terengah, Ells menyemangat
AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan
“Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku
[Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,
MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel
SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah
SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru
DUA pasang berjalan bergandengan berpelukan ke arah balai-balai dipimpin Tirta di depan lalu semuanya duduk kecuali Rindang yang langsung ke dapur mengambil minuman. “Apa yang sebenarnya terjadi, Angga?” Udayana tak membuang waktu untuk bertanya. “Berita terakhir yang kami dengar anak gadis Meneer van Loen akan menikah. Tak lama berita lain masuk, petunangan itu dibatalkan. Ada juga berita penculiknya datang menemui Meneer van Loen. Kami sangat cemas dengan berita ini, tapi aku tidak bisa mencari tahu lebih jauh. Sepertinya kabar itu ditutupi.” “Begitulah yang terjadi.” “Yang kami tahu Nona Ells pulang tanpa kau. Kenapa kau bisa ada di rumah itu?” “Aku tidak mungkin membiarkan istriku menikah dengan lelaki lain.” Tegas. “Bagaimana caranya kau bisa tetap hidup keluar dari rumah itu, Nak?” Tirta bertanya cemas. “Paman sudah nyaris mati mendengar selentingan itu. Kenapa kau menyerahkan diri? Kenapa kau tidak pulang saja ke sini? Selama ini kau tidak terlac
TANPA Ken Arok pun tak perlu waktu lama untuk mereka sampai di desa. Ini pengalaman pertama Ells berkuda tanpa pelana pun pengalamannya pertama berkuda berdua sedekat ini. Sangat menyenangkan. Sepanjang jalan dia tertawa-tawa. Airlangga sangat menjaga laju Ken Arok agar tidak menyakiti kandungan Ells. Mereka tidak diburu waktu. Mereka begitu menikmati kebersamaan ini. Pulang. Airlangga begitu merindukan rumah dan keluarganya. Dia ingin berlari, apalagi keberadaan Ken Arok yang gagah bisa membuatnya melesat pulang, tapi ada istri dan anak yang harus dia jaga. Tangannya nyaris tak lepas dari perut Ells. Airlangga semakin memperlambat laju Ken Arok ketika mereka memasuki desa. Dia menghentikan Ken Arok tepat di depan rumahnya—rumah kakeknya, tepat di samping rumah pamannya. Derap tertahan dan ringkikan Ken Arok membuat penghuni rumah—Paman Tirta dan Rindang—bersegera keluar, bersamaan dengan Airlangga yang membantu Ells untuk turun. “ANGGA! ANAKKU…!” teria
MEREKA keluar kamar dan menjumpai hanya dua orang tua di ruang tamu. Sedang duduk melanjutkan nostalgi. Robert? Dia tak sanggup membayangkan apa yang menyebabkan dua orang itu begitu lama di dalam kamar Ells. Kamar mereka. Dia pergi begitu saja setelah berpamit ala kadarnya. Lagi-lagi dia dikalahkan oleh inlanders. Spontan, van Loen tersenyum melihat rona merah di wajah Ells. Anaknya begitu hidup, bergitu bercahaya. Cayaha yang hilang itu telah kembali. Van Loen bersyukur dan menerima takdir mereka. Langit melalui takdirNya memang selalu memberikan yang terbaik. Papa harap, rona merah itu hanya salah satu dari kemampuan dia untuk membahagiakanmu, Ells. Mereka sudah berganti pakaian, hanya mengenakan kain. “Papa, kami pamit.” Ells mencium pipi van Loen. “Om, Ells pergi dulu.” Dia juga mencium pipi der Passe. Airlangga berjabat tangan dan mengangguk hormat seperti kebiasaan mereka meski kali ini dia hanya memakai kain. Bekas luka di tubuh Airlangga t