Kini semua tahu kenyataan nya, tentang kehamilan Tian saat dipaksa pergi meninggalkan kota Jakarta.
"Kasian banget jadi Tian, dipaksa pergi saat sedang berbadan dua."
"Gue juga sama kagetnya waktu itu, Ambar sama gue juga nggak bisa apa-apa waktu itu. Semua cuma buat Ardan," ucap Bayu.
Wira menepuk bahu sahabatnya itu, ia merasa jika Bayu juga sudah berusaha menahan semua rahasia ini bahkan dari Ardan sendiri.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Nic, bukannya loe punya kenalan dokter ya di rumah sakit tempat Niken?"
"Maksud loe dokter Mitha itu?
"Iya, loe bisa kan cari info disana? Siapa tahu Niken memang merencanakan sesuatu."
"Nolong sih nolong Bay, tapi nggak numbalin gue juga kali. Loe tahu sendiri gimana dokter Mitha sama gue," dengan raut wajah melasnya.
"Gue tahu Nic, tapi m
Nico mendatangi rumah sakit tempat Niken bekerja, tujuannya saat ini adalah menemui dokter Mitha kenalannya. Namun siapa sangka jika di tengah jalan ia harus berpapasan dengan Niken yang selalu di hindari nya. "Hay Nico, " sapa Niken yang mencoba sok akrab dengan sahabat calon suaminya. "Siapa loe, nggak kenal gue. Jangan sok akrab," ketusnya. Niken tak marah dengan perlakuan Nico barusan, justru ia tengah tersenyum dan terkesan meledek Nico. "Jangan begitu, sahabat suami gue kan juga sahabat gue." "Huek! Geli gue dengernya, minggir loe." "Galak banget sih, makanya masih jomblo." Niken benar-benar membuat Nico begitu kesal, ingin sekali Nico menghabisi wanita yang ada di hadapannya saat ini. "Gue lebih memilih jadi jomblo terhormat, dari pada harus punya pasangan tapi ngambil pun
Tian sudah sibuk ketika mentari baru menunjukkan sinarnya, ibu satu anak itu sibuk berperang dengan peralatan dapurnya.Pagi ini ia bertekad ingin membuatkan semua makanan kesukaan suaminya, jujur saja Tian merasa terganggu dengan kondisi suaminya semalam."Udangnya tinggal sedikit banget ini," menatap kantong plastik berisikan beberapa potong udang.Pada akhirnya ia menambahkan paprika ke dalam masakan udangnya. Ini adalah makanan favorit Ardan yang sangat di sukai nya.Tepat pukul tujuh pagi Ardan mulai merenggang kan tubuhnya. Tangannya meraba sisi ranjangnya, namun terasa hampa hingga memaksa mata nya terbuka."Kemana dia?"Turun dari ranjang, Ardan segera membersihkan diri terlebih dahulu. Menggunakan celana pendek dengan kaos melekat di tubuh membuat Ardan terlihat jauh lebih fres.Sembari merenggangkan tubuhnya, Ardan berjala
Hingga siang hari Niken masih tak bisa menghubungi Ardan, ia begitu khawatir dengan calon suaminya itu. Kurang dari satu minggu ia sudah sah menyandang nama besar Ardan."Kemana dia ini, kenapa nggak bisa di hubungin sih." kesalnya.Berulang kali ia mencoba menghubungi namun tak ada satupun jawaban, hingga ratusan pesan pun ternyata Ardan abaikan."Apa rencana kamu sebenarnya Ardan? Apa kamu sedang mempermainkan ku?"Niken merasa curiga dengan Ardan, ketika Ardan menyetujui pernikahannya namun sikapnya justru berbanding terbalik dengan pernyataan nya itu.Namun ia juga tak bisa fokus dengan hal itu, pasalnya sebelum ia mengambil jatah cuti ia juga harus menyelesaikan beberapa pekerjaan nya.Itu membuat harinya begitu sibuk hingga malam hari."Permisi Dokter, ada pasien yang ingin bertemu."Salah seorang suster m
"Kamu masih begitu memuaskan sayang, benar-benar membuatku terpuaskan." selorohnya ketika mencapai puncaknya.Entah sudah berapa ronde mereka melakukannya, yang pasti keduanya sudah cukup lama berada di satu ruangan bersama."Singkirkan tanganmu dariku, pergilah sebelum banyak orang curiga."Niken menatap malas laki-laki yang tengah mengenakan pakaian di hadapannya. Entah mengapa, ia merasa tak malu ketika menatap tubuh polos laki-laki itu.Sedang yang di tatap hanya memberikan senyuman terbaiknya, senyuman karena merasa dipuaskan.Gery Wilzart, laki-laki yang sudah lama menjalin hubungan dengan Niken. Bahkan laki-laki itulah yang menjadi alasan sebenarnya Niken meninggalkan Ardan, meninggalkan kota kelahirannya."Aku pergi, tapi ingat untuk membuka blokir nomorku sayang. Jangan sampai aku menemui mu di rumah," ancamnya sebelum benar-benar pergi. 
Malam itu Tian diam, ia mengacuhkan Ardan yang sejak tadi mengekornya seperti induk ayam. Ia masih sangat kesal dengan suaminya itu, ia yang hampir melayang dengan begitu saja di hempaskan."Ngeselin banget," serunya tanpa sadar."Siapa yang ngeselin yank?"Tian menatap arah suara, matanya menatap tajam pemilik asli suara itu. Dengan rasa dongkol nya ia mengambil sebuah kain lalu di lemparkan nya hingga tepat mengenai wajah Ardan."Apa begini sopan?"Pertanyaan itu menghentikan langkah Tian, tanpa berbalik ia pun menyahutinya. "Maaf."Ia kembali melangkah meninggalkan Ardan seorang diri di meja makan, menatap heran perubahan sikap Tian yang tak dimengerti nya.Bukannya mengejarnya, Ardan malah berbalik menerima panggilan ponselnya membuat Tian semakin di buat geram."Dasar laki-laki ngeselin," menghentakkan kakinya.
Suasana begitu hikmat, semua menatap mempelai dengan tatapan bahagianya. Ada tangis di sela tawa itu, tangis haru yang cukup lama di tahannya."Terima kasih.""Untuk?""Terima kasih sudah berkorban demi aku, terima kasih sudah menjaga hati."Semua orang bertepuk tangan saat Ardan mengecup mesra kening istrinya.Tian menitikan air matanya, ia merasa begitu terkejut namun juga sangat bahagia.Pagi ini ia terbangun dengan perasaan sedihnya, sebab yang ia tahu hari ini adalah hari pernikahan suaminya.Namun semuanya berubah saat ia melihat kedatangan Beno juga Lecy ke rumahnya. Keningnya berkerut saat menatap kedua orang didepannya.Lecy yang saat itu sudah tahu tujuannya segera membawa Tian untuk mempersiapkan diri, ia bahkan meneteskan air mata saat merias Tian di kamarnya.Hingga Ardan kembal
Bandara, semua nampak riuh dengan kegiatannya. Nampak seorang wanita tengah berjalan dengan seorang anak di gendongan nya."Mark, apa kita langsung mencari Tian?""Tidak, sebaiknya kita cari hotel dulu. Kasian boy pasti kelelahan," membelai kepala bayi yang sedang terlelap dalam gendongan istrinya.Mark membawa istrinya pergi meninggalkan bandara, ketiganya berjalan beriringan sembari tersenyum penuh keceriaan.Dua hari yang lalu Axel tiba-tiba demam tinggi, dokter sudah memberikan perawatan namun tak kunjung membuahkan hasil. Hingga Sarah berfikir jika bayi itu merindukan Ibunya.Dengan persetujuan Arnold, Mark membawa bayi itu terbang ke Jakarta.Setibanya di sana, Mark ternyata tak membawa mereka ke hotel. Sebuah rumah ternyata sudah ia persiapkan untuk istrinya.Rumah yang minimalis namun begitu teduh serta damai di pandangannya. Sara
Sarah terkejut, namun ia tersenyum menatap orang yang sedang menyapanya. Ia tersenyum sembari merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. "Gue kangen banget sama loe, kemana aja?" Ambar memeluk erat tubuh Sarah, ia mencurahkan segala rasa rindu pada sahabatnya itu. Dua tahun sudah keduanya tak berkomunikasi, Sarah seakan hilang dan terdeteksi membuat Ambar susah mencari nya. Sarah merenggangkan pelukannya, menghapus jejak air mata Ambar yang membanjiri wajahnya. Bagaimana pun juga, keduanya adalah sahabat sejak dulu. Kesalahan Sarah juga tak bisa memutus persahabatan keduanya. "Gue baik-baik aja kok, jangan nangis dong." "Ya loe kemana aja? Dua tahun gue nyari loe tapi nggak pernah ketemu." "Gue ada kok, loe pasti kaget kalau tahu selama ini gue tinggal sama siapa." Max melihat keakraban keduanya, samar-