Elkan menoleh ke arah Nayara dan mengisyaratkannya untuk makan. Nayara menurut dan membuka plastik itu, sebuah kotak makan terlihat menggoda karena aromanya sungguh menggugah selera. “Wah!” Mata Nayara terbelalak ketika dia melihat satu paket nasi, ayam bakar, lalapan serta sambal yang tersaji di hadapannya. “Kenapa sih? Tidak pernah makan ayam?” ledek Elkan ketika melihat reaksi Nayara. “Bapak tahu salah satu makanan kesukaan saya, canggih!” “Masa? Justru saya lihat kamu apa-apa doyan, kamu ini pemakan segala?” Nayara tidak menanggapi, air liurnya nyaris menetes dan sudah tidak sabar untuk menyantap menu makanan itu. “Saya makan duluan, Pak!” Nayara buru-buru pindah ke arah sofa. “Kenapa harus pindah sih?” “Saya merasa tidak pantas saja kalau atasan harus makan satu meja sama bawahan, Pak.” Elkan mendengus. “Di luar, kita sudah sering makan satu meja.” “Itu lain, kita ini kan sedang di kantor. Jangan sampai Jaka atau siapa pun merasa curiga kalau kita terlalu akrab.” Elka
“Sebentar Pak, saya belum siap-siap ini ....” Tut! Elkan langsung memutuskan percakapan, seperti kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. “Selalu saja dadakan kayak tahu bulat ... kenapa nggak kemarin-kemarin sih? Pas pengajian cuti saja di-ACC, tapi tetap saja disuruh masuk kerja ....” Nayara terus saja menggerutu setibanya di kantor. Setelah sarapan yang sangat terburu-buru dan apa adanya itu, dia terpaksa memenuhi panggilan Elkan untuk membantunya menyelesaikan pekerjaan. “Datang juga kamu.” Elkan tersenyum miring saat Nayara memasuki ruangannya. “Terpaksa, demi uang halal.” Nayara menyahut ketus. Elkan berdiri dan melangkah pasti ke arah Nayara dengan sebelah tangan terselip di saku celana panjangnya. “Anda m—mau apa, Pak?” Sontak Nayara menjadi gugup saat Elkan semakin dekat, dia refleks melangkah mundur untuk menciptakan jarak. Kepala Elkan menunduk, hingga membuat Nayara memejamkan matanya dengan jantung berdegup kencang. “Telinga kamu masih ada bekas sabun, atau sampo? Kamu ma
“Kan ada jawaban lain yang bisa Anda berikan, kenapa tidak bilang saja kalau saya kasih pinjaman uang?” Mantyo tertegun, ingin rasanya mengelak meskipun ucapan Andika benar adanya. “Kenapa Bapak diam? Sekarang urusannya jadi melebar kan? Tapi kalau sudah dibilang itu dana tambahan, memangnya bagian keuangan tidak curiga itu dana dari mana?” Mantyo menggeleng perlahan, itu karena dia mengatakan jika dana itu didapat dari seorang dermawan yang berniat untuk memberikan dana secara cuma-cuma. “Dan mereka percaya begitu saja?” ucap Andika dengan mata melebar. “Begitulah ....” Andika menyibak rambutnya, merasa ada yang janggal dengan hal ini. “Ya sudah, itu artinya masalah selesai. Saya kira pungutan liar itu benar-benar diketahui, Pak ... Lain kali kasih infonya jangan setengah-setengah, bikin orang jantungan saja.” “Ya pegawai lainnya kan bisa saja menafsirkan macam-macam, Andika!” “Ah, itu sih cuma kekhawatiran Anda saja. Sepanjang pegawai baru yang kita bantu kemarin ti
Elkan mendengarkan penjelasan Nayara dengan saksama, kedua matanya menyipit saat sekretarisnya itu menyebut sesuatu tentang biaya tambahan. Beberapa hari berlalu damai, tapi tidak di kantor Andika. “... revisi lagi? Yang benar saja, Pak?” “Terus mau gimana lagi, kita ini satu tim! Kalau salah ya bakalan salah semua!” “Tapi bolak-balik revisi juga tidak baik, Pak ....” “Terus mau diapain lagi? Disetor apa adanya?” Andika menerobos masuk karena pintu yang tidak dikunci. “Maaf telat, biasa macet!” Mantyo menoleh, lalu mendengus pelan. “Bantu mikir sini!” “Ada apa sih, Pak? Masih pagi juga ....” “Masih pagi, masih pagi kepalamu.” Mantyo mendelik ke arah Andika dengan ekspresi murka. “Laporan keuangan jadi harus bolak-balik revisi supaya tidak ada yang curiga.” Andika mengedarkan pandangannya kepada orang-orang yang sedang sibuk menatap layar komputer. Kenapa jadi banyak orang begini sih, pikir Andika gusar. “Apa lagi yang mau direvisi, Pak? Bukankah kemarin-kema
“Apa mungkin kita membicarakan Pak Andika yang berbeda, Mbak? Siapa tahu nama Andika ada banyak di sana,” celetuk Egi yang belum lama bekerja. “Ya bisa jadi sih ...” Nayara mengangguk. “Memang Mbak kenal sama Pak Andika di sana?” “Gimana nggak kenal, dia kan mantan suaminya!” sahut Kalisa sambil nyengir. “Hussst!” desis Nayara. “Ya sudah, yang penting kan sekarang kamu sudah dapat kerjaan mapan. Berarti rejeki kamu memang di sini, Gi.” “Betul, Mbak.” Kalisa menoleh ke arah Nayara yang melamun. “Kenapa sih Nay, kamu tanya-tanya soal Andika? Masih berharap kamu rujuk sama dia?” Kalisa memastikan saat mereka kembali ke kantor. “Amit-amit jabang bayikkkkk, mana ada!” “Siapa tahu saja, Nay. Nggak ada yang tidak mungkin di dunia ini kan?” “Tapi sayangnya aku masih waras, Lis. Mana mau aku rujuk sama dia, kayak nggak ada pejantan lain saja di planet ini.” Kalisa nyengir sendiri mendengar Nayara ngomel-ngomel karena pertanyaan yang dia lontarkan. “Pak, Anda pasti tidak
“Ya iyalah satu cangkir, masa iya satu ember ...” gumam Nayara sambil cepat-cepat pergi sebelum Elkan mendengarnya. Setelah minum kopi, Nayara menumpang mobil Elkan yang memutuskan untuk mengemudi sendiri tanpa sopir. Mobil itu melaju kencang ke arah kantor tempat Andika bekerja. “Kalau boleh tahu tindakan apa yang akan Bapak ambil kalau sudah sampai di sana nanti?” Nayara tidak tahan jika tidak bertanya. “Tentu saja saya akan menindak tegas laporan keuangan yang tidak jelas itu.” “Tapi apakah Anda bisa memberikan mereka bukti kalau Bapak punya wewenang, sekalipun itu atas permintaan orang yang menyuruh Anda?” “Kamu lihat saja nanti, kamu tinggal memberikan poin-poin pendukung supaya mata mereka terbuka.” Nayara menelan saliva, sensasi akan membuat keributan di kantor orang lain ini membuatnya ketar-ketir. Terlebih lagi kantor yang dia tuju adalah kantor di mana mantan suaminya bekerja mencari nafkah. Demi alasan apa pun, Nayara enggan sekali untuk bersinggungan lagi de
“Tapi aku pegawai di kantor ini!” Andika mengacak rambutnya, mulai frustrasi. “Aku tahu, sudah ya? Aku juga nggak paham kenapa Elkan datang ke sini mau bertemu bosku.” “Kok kamu panik, Yang?” Andika tidak menjawab. Kenapa masalahnya jadi melebar begini? Mana Elkan ikut-ikutan muncul .... “Yang!” gertak Lika tidak sabar. “Apa sih, aku lagi pusing! Tolong pesankan kopi untuk semua orang yang ada di ruang rapat, Yang!” “Apa? Aku? Ih, ogah banget!” Andika hanya mampu menghela napas, setelah itu dia segera pergi dari hadapan Lika. “Ih, nyebelin banget sih! Aku kan juga pegawai penting di sini, Naya yang bukan siapa-siapa saja bisa masuk—argh!” Lika mengentakkan kakinya, lalu pergi untuk memanggil OB. “Pak Mantyo, ngapain Bapak di sini?” bisik Andika begitu dia melihat rekannya berlagak sibuk di ruangan rapat yang sudah bersih dan rapi. “Anda kan kepala pegawai, tidak ada hubungannya sama keuangan.” Alih-alih menanggapi pertanyaan Andika, Mantyo malah memberikan isyar
“Kamu kenapa, Yang?” “Ruang rapat sudah kosong belum?” “Aku nggak tahu, masih tutup rapat dari tadi.” Andika menarik napas panjang, wajahnya terlihat tertekan. “Kenapa sih? Kok bisa Elkan sampai datang ke sini?” “Aku juga nggak tahu, mana mantan istri aku juga ikut-ikutan datang ke sini lagi ....” “Itu dia yang nggak habis aku pikir, sok penting banget dia datang-datang ke kantor kita. Apa jangan-jangan dia punya niat jahat?” Andika menatap Lika dengan bingung. “Niat jahat apa, Yang?” “Iya siapa tahu lihat jahat buat menghancurkan nama baik perusahaan, mau membalas dendam sama kamu karena nggak terima sama perceraian kalian?” tebak Lika sok tahu. “Bisa jadi kan, Yang? Aku sering kok lihat di tayangan berita televisi, mantan istri yang menyimpan dendam karena nggak terima diceraikan ....” “Itu sih Kamu kebanyakan nonton sinetron sama berita kriminal,” celetuk Andika. “Lho siapa tahu, kan? Aku lihat sendiri gimana judesnya mantan istri kamu itu sama kita, tapi belakan
"Ya, hiduplah dengan lebih baik lagi bersama keluarga kecil kamu." Gio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Nia untuk segera pergi.Sesaat setelah Nia keluar, sebuah taksi menepi di depan Kafe dan Kalila melangkah turun."Aku sudah sampai, nih ... Masih lama? Ya sudah, aku tunggu!" Kalila mengakhiri percakapan dengan seseorang, kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas.Namun, langkah Kalila sontak terhenti saat seseorang menabraknya tepat setelah dia melangkah masuk ke dalam kafe."Gio! Kok main tabrak saja?"Kalila terhuyung sebentar sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri."Hati-hati kalau jalan!" imbuhnya sedikit kesal.Gio menyipitkan matanya."Mentang-mentang kita sudah bercerai, apa harus kamu seangkuh ini di depanku?"Kalila balas menatap Gio yang wajahnya sedikit memerah."Aku tidak mengerti kamu ngomong apa."Kalila bergegas pergi menjauh untuk mencari meja yang masih kosong. Jika sesuai rencana, seharusnya Zia akan menyusul lima belas menit kemudian.Na
"Terus kenapa menatapnya penuh curiga begitu? Saya ini bukan tukang tipu," sela Elkan sedikit tersinggung. "Bukan curiga, Pak. Aneh saja, kenapa tidak ambil pegawai lain saja untuk jadi asisten pribadi?" "Suka-suka saya, hanya saya lihat akhir-akhir ini kerjaan kamu beres semua ...." "Yang kemarin-kemarin tidak beres memangnya?" potong Nayara berani. "Beres sih, tapi akhir-akhir ini kamu gesit. Kebetulan saya akan sangat sibuk ke depannya." Nayara langsung memegang keningnya. Bayangan seberapa banyak pekerjaan jika menjadi asisten pribadi Elkan membuatnya tegang duluan. "Kenapa wajahmu begitu, seharusnya kamu bahagia karena ini penawaran langsung dari bos." Nayara memutar bola matanya dengan malas. "Gajinya berapa, Pak?" "Soal gaji, saya tidak pernah mengecewakan. Saya naikkan lima belas persen, lumayan kan?" "Cuma lima belas persen?" "Kenapa, kurang?" Nayara sibuk menimbang-nimbang. "Gimana, ya? Kalau dua puluh lima persen saya mau, Pak!" "Wah, mata duitan." Nayara ce
"Aku tidak bilang begitu, hanya saja apa kalian sudah mampu dari segi modal?"Pertanyaan Elkan tak urung membuat Andika dan Lika diam membisu."Justru itu! Kami sedang berusaha mencari investor yang mau kasih pinjam modal ke kita," kata Andika pongah."Kenapa tidak mengumpulkan modal sendiri dari gaji kalian? Minim risiko dan jelas lebih aman.""Kelamaan kalau kami harus mengumpulkan uang dulu, El." Kali ini Lika yang menjawab. "Berapa sih gaji pegawai seperti kami ini?""Tentu lumayan kalau digabungkan berdua," sahut Elkan kalem. "Saranku, kalian menabung dulu sambil memikirkan gambaran bisnis apa yang ingin kalian wujudkan. Investor kaya sekalipun, dia akan tetap mempertanyakan proposal bisnis kalian."Andika melirik Lika dengan isyarat seolah dia sudah menduga jika menemui Elkan adalah perbuatan yang sia-sia saja.Jaka tiba untuk mengantarkan minuman sesuai permintaan Nayara."Maaf menunggu lama, Pak ....""Apa Nayara tidak kasih tahu kamu kalau saya ada tamu?" tanya Elkan."Sudah
“Sudah dari tadi, Bu!” Nayara sengaja mengeraskan suaranya, seraya melirik ayah tirinya. “Anak datang kok nggak disuruh masuk sih,” omel ibu sambil menggamit lengan Nayara. “Ngomel terus perasaan, bikin pusing lama-lama di rumah ....” “Jangan di rumah kalau begitu, kerja sana!” “Aku ini suami lho, kepala keluarga, kok dibentak-bentak begini ... Kualat gimana?” “Nggak akan kualat kalau kepala keluarganya kayak kamu,” gertak ibu. “Yuk Nay, kita masuk saja.” Ayah tiri Nayara melengos, kemudian keluar dari rumah sambil mengentakkan kakinya. “Kok kayaknya aku datang di saat yang salah ya, Bu?” tanya Nayara tidak enak. “Aku pikir sudah lama nggak nengok Ibu, makanya sengaja datang. Tapi ayah malah marah-marah nggak jelas, memang aku yang salah sih ... Nggak pernah kirim kabar, apalagi kirim uang.” Ibu mengembuskan napas panjang. “Ibu lihat kamu sehat begini saja sudah senang, kamu tambah kinclong ... Itu artinya kamu bahagia, kurang apa lagi, coba?” “Kurang membaha
Andika hanya meringis, dia bersedia melakukan segala cara supaya bisa meraih simpati Elkan kembali. “Besok Anda ada kunjungan kerja, Pak.” Nayara memberi tahu Elkan di hari pertama akhir bulan. “Bersama Pak Kalandra dari Lazuardi, agenda kegiatannya meninjau pabrik daur ulang ... Saya tidak ikut kan, Pak?” Nayara mendongak menatap Elkan yang sedang menyeruput kopinya. “Pak?” Elkan hanya balas menatap Nayara dengan cangkir masih menempel di bibirnya. “Pak!” “Ohok!” Elkan langsung tersedak dan terbatuk-batuk. “Eh maaf, Pak!” Nayara jadi merasa bersalah karena memanggil Elkan di saat atasannya itu sedang minum kopi, buru-buru diulurkannya beberapa lembar tisu kepada Elkan. “Kamu ini ya ...” Elkan masih terbatuk-batuk. “Mau bunuh saja?” “Kejam amat, tersedak saja tidak akan membuat Anda lewat, Pak!” Elkan tidak menjawab, melainkan sibuk membersihkan tumpahan air kopi sembari masih terbatuk-batuk kecil. “Saya pesankan kopi baru ya, Pak!” Lagi-lagi Elkan tida
Elkan mendengus. “Saya kok tidak percaya.” “Lho, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa untuk percaya, apalagi orangnya juga belum saya temukan.” Elkan tidak bicara lagi, melainkan fokus mengemudi karena sudah ada pekerjaan yang menunggunya di kantor. “Argh, menyebalkan!” Lika memukul-mukul tangannya sendiri dengan kesal. “Kenapa sih janda satu itu selalu saja nempel sama Elkan? Bikin aku jadi susah untuk melancarkan pesonaku, padahal aku yakin kalau Elkan sebenarnya ramah ... Semua gara-gara si janda!” Lika mengembuskan napas gusar, dia memperbaiki posisi duduknya kemudian mengambil bedak untuk merias ulang wajahnya yang merah padam. “Semoga saja apa yang aku lakukan baru-baru ini bisa bikin Andika mendapatkan jabatan sekretaris lagi, uang jajanku sudah menipis ... Aku nggak mau hidup hemat kayak orang susah,” gumam Lika yang tidak bisa menutupi perasaan gusarnya. Salah satu alasan dia bersedia menjalin hubungan dengan Andika adalah karena pria itu sangat loyal da
“Jangan bahas itu di sini,” tegur Lika diiringi gelengan kepala. Sore harinya di kediaman orang tua Elkan .... “Bikin pusing saja.” “Kenapa, Pa?” Alvi menatap Elkan, lalu menarik napas panjang. “Masalah di kantor Al Drink, ada lagi, ada lagi!” “Namanya juga bisnis, Pa. Ada kalanya dapat ujian,” sahut mama Elkan. “Ujian apa sih yang tidak bisa papa hadapi?” komentar Elkan sembari meraih cangkir berisi teh. “Ini lain, kalian tidak akan menyangka ...” Alvi menatap istri dan anaknya bergantian. “Papa dapat kabar dari Pak Bobi, katanya ada pegawai lain yang ikut terlibat selain Andika.” Elkan terdiam, dia teringat kembali dengan kasus yang ditimbulkan Andika di kantor ayahnya. “Jadi Andika tidak bertindak sendiri, Pa?” “Tidak, makanya papa heran. Kecewa, lebih tepatnya. Kalau seperti ini, gimana perusahaan kita mau maju dan bertahan?” “Kalau memang kesalahan mereka sangat fatal, mungkin sudah saatnya Papa mempertimbangkan untuk memecat mereka.” “Elkan
Andika melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Bobi sembari membawa bukti rekaman yang sudah dia edit sedemikian rupa. “Pak Mantyo sudah sembuh?” sapa Wildan saat bertemu dengan Wildan yang akan menyeduh kopi. “Saya ... sedikit lelah,” jawab Mantyo linglung. “Oh ya, mana Lika?” Kening Wildan berkerut ketika mendengar pernyataan Mantyo. “Dia ada di mejanya, Pak.” “Kalau Andika?” Kening Wildan berkerut lagi. “Tadi sih setahu saya, Andika bersih-bersih ruang rapat. Memangnya kenapa, Pak?” “Tidak, tidak apa-apa.” Wildan mengangguk dan segera pergi setelah dia selesai menyeduh kopi. Baru saja dia mau masuk ke ruangannya, Andika muncul dan memanggil nama Wildan. “Kamu dipanggil Pak Bobi tuh!” “Oke, terima kasih sudah kasih tahu.” Andika tidak menanggapi ucapan terima kasih itu, Wildan sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti musuh kepadanya. Tanpa menunggu waktu lama, Wildan segera pergi menemui Bobi di ruangannya. Selang beberapa menit, Wildan keluar
Lika terus melakukan pendekatan-pendekatan melalui nada bicaranya yang manja. Mantyo dengan mudah terperangkap dalam pesona semua yang Lika pancarkan. “Kamu ... tidak kembali kerja?” “Pekerjaan saya adalah membuat Bapak bahagia, enak kan kopinya?” “Enak sekali ....” “Mau yang lebih enak?” “Ap—pa maksudnya?” Lika tersenyum dan terus mendekat Mantyo untuk meneguk kopi itu hingga tandas. “Saya agak kesulitan, Pak ...” Lika mulai mengeluh dengan gaya manjanya yang khas. “Kesulitan kenapa! Siapa yang berani-berani membuat kamu merasa kesulitan?” Lika tidak segera menjawab, hanya saja dia membuat wajahnya terlihat semelas mungkin. “Katakan apa yang kamu alami, Lika! Saya pasti akan bantu kamu,” bujuk Mantyo dengan wajah memerah. “Mana bisa kamu bekerja di sini, tapi tidak merasa nyaman seperti itu.” Lika mengangguk dengan wajah muram. “Terima kasih atas motivasinya, Pak ....” “Katakan siapa orang yang bikin kamu tidak nyaman?” “Saya ... tidak enak