Harvey diam dan menatap Lillian, mencerna setiap kata yang diucapkan oleh wanita kesayangannya. Sebuah senyuman terbit di bibirnya. Bukan senyuman menggoda atau pun menertawakan kekonyolan Lillian seperti yang biasa dilakukannya. Tapi senyum itu senyum bahagia yang benar - benar keluar dari hati.Menyadari dirinya salah ucap, Lillian sedikit menggeser posisi duduknya untuk menjaga jarak. Sebaliknya Harvey malah mendekat lalu memegang kedua bahu Lillian dan memutar tubuh gadis itu dengan lembut. Posisi mereka kini berhadapan."Apa kamu sedang menyatakan perasaanmu kepadaku?" tanya Harvey dengan mata berbinar - binar."Hah? Sembarangan saja! Tidak akan pernah." semprot Lillian kesal."Kamu marah karena tidak kuasa menolak keinginanmu sendiri yang terus menginginkan kakak iparmu yang tampan ini, hm?"Sekarang Harvey malah bicara dengan nada menggoda dan melanjutkan kata - katanya, "Aku juga menginginkan adik iparku. Selalu menginginkanmu. Bahkan sejak dulu. Sebelum kamu bucin sama Ernest
Lillian merasakan tangan Harvey terus berada di bahunya menunjukkan kalau Harvey akan ada bersamanya saat mendengar hal yang tidak menyenangkan. Dengan hati - hati Harvey bercerita, membantu Lillian memanggil kembali ingatan terhadap peristiwa menyakitkan yang ingin dia lupakan.Jadi, inilah sebabnya Harvey tidak berani bercerita hal yang sesungguhnya.Lillian mengusap lengannya sendiri dan merinding. Dia menggelengkan kepala ketika akhirnya bisa mengingat kalau Ernest menuduhnya hamil anak Harvey. Suaminya itu memukulnya dengan brutal, sekuat tenaga Lillian berusaha melindungi bayinya. Untunglah, saat itu bayinya selamat. Sakit hati dan marah pada Ernest, pada kesempatan pertama Ernest melemparkan surat cerai maka saat itu juga Lillian langsung menanda tanganinya. Dia tak perlu lagi berpikir ulang akan keputusannya.Setelah itu dia memutuskan meninggalkan San Antonio diam - diam, rencanaya Lillian ingin hidup berdua bersama anak yang dikandungnya. Di St. Moritz Lillian sudah punya pe
Dicoret dari daftar ahli waris adalah hal yang paling mengerikan dalam hidup Ernest. Dia menundukkan kepala sambil menahan geram yang menggelegak di dalam hatinya. Selama ini dia tidak pernah tahu bekerja dalam arti yang sesungguhnya. Bekerja adalah melakukan sesuatu dengan tujuan mendapatkan hasil yang bisa dinikmati oleh dirinya sendiri. Hal seperti itu benar - benar tidak pernah ada di dalam kamus hidupnya. Baginya bekerja hanyalah predikat."Ernest?" panggil Bernard penuh penekanan. "Apa kamu mendengarkan aku?""Iya, Papa," jawab Ernest pelan. Lagi - lagi tidak ada kata maaf terucap karena telah mengecewakan orang tua.Beberapa saat ketiga orang itu hening tanpa suara, meredakan emosi di hati masing - masing."Sebaiknya kita lupakan masalah Gloria dan fokus pada cara mengeluarkanku dari sini, Papa. Abaikan saja Gloria. Dia hanya mengancam tapi tak akan berani bertindak apa pun."Bernard membelalakkan matanya tak habis pikir dengan kelakuan Ernest."Selama ini kamu adalah putera kes
Harvey mulai memeriksa pesan yang dikirimkan lewat email oleh sekretarisnya. Laporan perusahaan mencatat perkembangan yang baik. Aliran keuangan yang berjalan lancar, tagihan investor terselesaikan dengan baik, target pesanan juga sudah tercapai melampaui yang diharapkan. Lega dengan laporan yang ada, Harvey mengirim pesan kepada sekretarisnya untuk memajukan jadwal pekerjaan ke minggu ini. Dengan begini, minggu depan dia bisa mengajak Lillian berlibur dengan tenang.Harvey melirik jam tangan. Lillian belum juga turun. Sembari menunggu Lillian bangun, Harvey duduk di sofa depan ruang TV dan mulai berselancar di internet mencari - cari tempat wisata yang kira - kira akan disukai oleh Lillian, lalu dia membaca review yang sudah disematkan oleh orang - orang yang sudah pernah mampir kesana.Beberapa saat Harvey larut dalam kegiatannya merencanakan liburan. Mulai dari memesan tempat hingga membuat list tempat yang akan mereka kunjungi sembari berkhayal apa saja yang akan mereka berdua ker
Satu minggu ini Harvey mau pun Lillian sangat sibuk dengan pekerjaan mereka sebagai persiapan liburan. Harvey menyelesaikan pekerjaan yang tidak bisa ditangani dari tempat mereka berlibur. Sementara Lillian menyelesaikan desain - desain pesanan orang sesuai target waktu oleh perusahaan tempatnya bekerja. Beberapa pesanan sengaja dikerjakan sebelum jatuh tempo dateline supaya beban tanggung jawabnya berkurang.Hari jumat, Lillian pulang lebih dahulu dari Harvey karena laki - laki itu masih ada satu rapat yang tidak bisa ditunda. Niat Lillian ingin berkemas supaya besok pagi mereka bisa langsung berangkat. Amara tiba - tiba menelepon dan mengajaknya ngobrol."Sudah siap ke Lausanne?" tanya Amara dari seberang sana."Hm-hm," jawab Lillian sambil mengambil sebuah crackers dari toples dan menjejalkannya ke mulut. Dia mengunyah - ngunyah lalu menelannya, kemudian berkata, "Aku masih packing, bersih - bersih rumah, besok berangkat. Menurutmu apa saja yang perlu aku bawa?" tanya Lillian.Suar
Meski Lillian berkata dia tidak suka kejutan, Harvey tetep pada pendiriannya untuk memberi kejutan pada liburan mereka."Seharusnya kamu sudah biasa sama aku. Kamu sudah mengenalku dari kecil," ujar Harvey sambil mengulum senyum melihat Lillian ternganga. Wanita itu memegang lengannya dengan satu tangan, sementara tangan yang satu bertumpu di atas topi jeraminya supaya tidak terbang ditiup angin.Setelah melihat matahari terbit dan menikmati sarapan di salah satu restaurant di pinggir pantai, akhirnya Harvey mengajak Lillian bergegas menuju kapal.Di ujung dok, tertambat sebuah kapal pesiar berukuran kecil yang hanya cukup mengangkut rombongan kecil. Seorang pemandu berteriak pada mereka, "Selamat Datang! Impianmu datang menghampiri!""Apa kita akan berlayar hanya berdua?!" seru Lillian antara heran dan bahagia. Selama ini dia pikir mereka akan ikut rombongan tour dan beramai - ramai menikmati perjalanan.Harvey hanya tersenyum lebar, lalu menjawab, "Ya, kita akan berlayar selama dua
Kapten Michael membawa mereka ke sebuah teluk supaya mereka bisa memancing sekaligus olah raga kayak. Kru kapal dengan cekatan menyiapkan peralatan bagi mereka."Hah? Aku tidak tahu sama sekali soal Kayaking!" jerit Lillian panik. Dia lebih suka bersantai di kapal menikmati angin sepoi - sepoi, berbincang dengan Harvey, berjemur atau membaca di atas dek kapal.Tapi yang lainnya terlihat antusias dengan perjalanan singkat mereka. "Kalau gitu, kamu lihat kami saja. Atau mau mancing?" usul Harvey memberikan pilihan kegiatan lain untuk Lillian.Henry, seorang pemandu berpengalaman, tersenyum ramah. Penampilannya santai dengan rambut bagian depan yang mulai menipis, suaranya lembut dan mengalun merdu saat berbicara. Cocok sekali untuk menjadi pemandu, seperti sedang mendengarkan dongeng.Akhirnya mereka memutuskan untuk membagi menjadi dua kelompok. Richard dan Harvey akan kayaking, sementara Lillian dan Amara tetap di kapal belajar memancing ikan yang berkeliaran di sekitar teluk."Seumur
Kalimat pemandu wisata masuk dari telinga kiri, keluar dari telinga kanan. Lillian jelas - jelas duduk dengan tatapan menerawang. Tidak menaruh perhatian pada Henry, kapten Michael atau siapa pun yang ada di sekitarnya.Lillian hanya mengunyah makanan tanpa benar - benar menikmati potongan - potongan masakan yang masuk ke dalam mulutnya. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang berseliweran tiada henti di kepalanya."Ada apa dengan Harvey?""Kenapa laki - laki itu terkesan menolak dirinya?""Apa Harvey sudah tidak suka lagi padanya?""Apa sebenarnya memang Harvey tidak benar - benar jatuh cinta kepadanya?""Harvey hanya kasihan pada nasibnya yang menikah dengan laki - laki yang salah. Dan kebetulan laki - laki itu adiknya sendiri."Sesekali Lillian melirik Harvey yang duduk tak jauh darinya. Ini juga aneh. Tidak biasanya Harvey seperti ini yang lebih memilih duduk di seberang meja dari pada duduk di sampingnya. Tadi mereka hanya saling menyapa 'selamat pagi' saat berpapasan di koridor. T
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per
"Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t
Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert
"Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang