Tania sedang duduk di sebuah restoran, berhadapan dengan Raka yang masih menghabiskan makanannya.Wanita itu yang mengajak bertemu. Apalagi tujuannya selain untuk meminta jatah uang? Lumayan juga karena Raka pasti membungkuskan makanan untuk dibawa pulang."Ada yang mau aku katakan, Rak. Ini ... tentang Nadia," bisik Tania yang sontak membuat Raka mendongak.Raka menatap tajam ke arah Tania, seakan meminta Tania untuk segera melanjutkan ucapannya."Ternyata Ayah menyimpan nomor Nadia yang baru, kemarin aku sudah kirim pesan lewat ponsel ayah, dan katanya dia tinggal di apartemen," kata Tania."Apartemen?" Pria dalam balutan kaos putih itu mengernyit, berpikir keras apartemen mana yang menjadi tempat tinggal Nadia."Aku nggak tahu apartemen mana, soalnya dia nggak balas," sambung Tania.Raka menggeser piring yang ada di depannya. "Mana nomornya, Tan? Kalau hanya melacak lokasi saja, aku bisa," ujarnya dengan tatapan serius.Tania mengeluarkan ponsel, setelah menemukan nomor Nadia ia la
Kondisi Nadia sudah semakin stabil, gadis itu bisa makan banyak tanpa masalah setelah Darren menjanjikan akan membawa Toni ke Jakarta lusa. Entah bagaimana caranya, yang jelas Darren akan mengusahakan. "Besok jadwal kita terapi, Nad. Kamu harus siap dan yakin kalau bakal sembuh," kata Darren. "Patah tulang bisa disembuhkan 'kan, Kak?" "Bisa, dong. Asalkan ada niat, semuanya bisa. Aku akan selalu menemani kamu, jadi kamu jangan merasa takut." Nadia mengulum senyum, masih tidak menyangka kakak iparnya itu yang akan menemani di saat-saat terpuruk, hingga bisa bangkit. "Aku jadi inget mendiang ibuku, Kak. Kalau aku down, pasti ada ibu yang menyemangati. Dulu keluarga kami sangat harmonis, setelah ibu meninggal ... a-aku jadi kehilangan senyum. Apalagi saat awal-awal kedatangan Ibu Mella, Ayah lebih berpihak kepada Kak Tania dari pada kepadaku," ujar Nadia, dengan kepala tertunduk. Darren tidak menyahut, ia membiarkan Nadia mengeluarkan semua uneg-unegnya. "Tapi semua sudah
Setelah memastikan Nadia menghabiskan makanannya, Darren langsung kembali ke unitnya karena Ara sudah datang. Pria itu langsung menelepon Anton untuk mendapatkan informasi tentang tujuan Raka ke Jakarta. "Selamat malam, Pak Anton. Maaf mengganggu waktunya," ucap Darren setelah teleponnya tersambung. "Sama sekali tidak mengganggu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Anton dari seberang telepon. "Oh, iya ... apa Anda sekarang bersama Raka? Saya tadi menelepon Raka, tapi tidak terjawab." Pria itu berkacak pinggang, memikirkan kata yang pas agar Anton tidak curiga. "Setelah makan malam tadi Raka berangkat ke Jakarta, Pak. Memangnya ada apa? Apa Raka melakukan kesalahan?!" Nada pria paruh baya itu mulai terdengar panik. "Tidak, Pak. Saya ingin menawarkan proyek kerjasama. Tapi ternyata Raka tidak ada di rumah, ya?" "Benar, Pak Darren. Raka ke Jakarta, ada yang harus dia selesaikan di sana. Dia datang sendirian, kalau urusannya sudah selesai, saya akan meminta Raka berkunjung
"Hei! Cepat kembali ke ruangan anakku, Dokter sudah datang kamu harus tanggung jawab." Bu Mita datang dan langsung menepuk bahu Raka, membuat pria itu mencebik kesal."Sebentar, Bibi. Aku nggak akan kabur, tapi aku juga ada keperluan di sini. Bibi duluan saja, aku akan menyusul!" pekik Raka."Bibi-bibi! Sejak kapan aku jadi bibimu?" Wanita paruh baya itu melotot, membuat Raka semakin kesal apalagi saat tiba-tiba tangannya ditarik paksa. "Ayo! Kamu ini tipe laki-laki yang suka berbohong, terlihat jelas di wajahmu kalau playboy. Makanya aku nggak percaya."Raka berusaha melepaskan cekalan tangan itu, tetapi tenaganya kalah. Dia juga heran, bagaimana seorang wanita paruh baya bisa menggelandangnya dengan kuat?Bu Mita membawa Raka masuk, wanita yang ia tabrak sudah sadar. Kepala dan beberapa anggota tubuh lain diperban, dokter masih di sana sambil membantu pasiennya makan."Siapa walinya?" tanya Dokter."Saya ibunya, Dok."Wanita muda dalam balutan jas putih itu mengangguk sambil tersen
"Hei, ngapain berhenti di tengah jalan? Ayo masuk!" perintah Bu Mella.Raka gelagapan, ia segera berjalan menggandeng Embun. Niatnya ingin duduk di sebelah meja Nadia, tetapi sudah penuh semua.Meja mereka berjarak sepuluh meter, tidak sekalipun Raka melepaskan tatapannya. Pria itu tidak sadar kalau sejak tadi Embun memandangnya, wanita itu memakai masker dan kacamata hitam karena tidak ingin ketahuan oleh Raka.Ara dan Nadia sudah selesai makan, Raka langsung berdiri hendak mengejar, tetapi tangannya langsung ditarik oleh Bu Mita."Ada apa, sih, Bu?!" pekik Raka dengan suara tertahan."Kamu yang ada apa. Mau ke mana, hah? Kita belum selesai, kok, mau kabur."Raka melongo saat lagi-lagi dituduh. "Anda ini suka sekali menuduh orang, ya, Bu. Dari kemari saya diam, tapi mulut Anda tidak bisa dijaga. Saya datang ke Jakarta ingin menemui seseorang, dan barusan saya melihat orang itu, makanya saya ingin mengejar!"Embun mengisyaratkan ibunya untuk diam, tidak tega melihat wajah Raka yang su
Darren tiba di kediaman megah itu, ia langsung disambut oleh bodyguard dan diantarkan masuk. Ternyata sudah banyak keluarga yang berkumpul di sana, Darren langsung menyalami satu-persatu sambil menunggu Kakek Brata yang katanya masih ganti baju."Darren ... cucu kesayanganku!" panggil pria senja itu.Satu perawat membantunya berjalan, di usia yang ke seratus dua ini Kakek Brata masih bisa berjalan memakai tongkatnya."Bagaimana kabarnya, Kek?" tanya Darren seraya mengecup kedua pipi kakeknya."Kakek baik-baik saja, Nak. Kamu juga sehat 'kan?" Pria senja itu sudah kehilangan sedikit penglihatannya, tetapi ia masih mengenali wajah Darren.Pendengarannya sudah tidak berfungsi dan kini harus menggunakan alat bantu dengar, tetapi suaranya masih terdengar lantang."Aku baik-baik saja, Kek. Tidak menyangka kakek akan mengundang banyak orang."Kakek Brata tersenyum simpul. "Ini semua untuk merayakan ulang tahunmu, Nak."Keduanya terkekeh, Brata membawa cucunya berkeliling menemui beberapa sau
"Pergi ...!" teriak Nadia, tangannya menunjuk ke arah Raka. "Aku nggak mau dekat-dekat lagi sama kamu, Raka! Kenapa kamu muncul lagi di hadapanku, hah?!""Nad, tolong dengerkan penjelasanku. Aku datang ke sini untuk mencarimu, aku mau minta maaf karena sudah membuatmu kecewa," kata Raka.Raka semakin mendekat, membuat Nadia langsung membuang pandangan. Ulu hatinya terasa nyeri. Perih tak terperi saat takdir membawanya kembali berhadapan dengan Raka. Demi apapun, Nadia ingin pingsan saja daripada menahan sakit.Seluruh badan gemetaran, pikiran kacau serasa darah berhenti mengalir. Nadia membawa tangannya menekan dada, menahan hatinya yang sudah hancur lebur karena luka batin yang kembali menganga."Aku mohon ... izinkan aku menjelaskannya dulu. Aku memang salah, Nad. Tapi tolong beri kesempatan." Raka terus membujuk Nadia, tidak peduli meskipun gadis itu menutup telinga dengan kedua tangan.Nadia tidak mau mendengarkan apapun, trauma masa lalunya masih membekas. Ia menyaksikan bagaima
Ara datang dan terkejut melihat Nadia tengah berbincang dengan pria asing, dia tidak pernah melihat Raka sebelumya."Kamu ngobrol sama siapa, Nad?" tanyanya sambil memegang bahu Nadia."Kak ...." Nadia menoleh ke arah Ara, menunjukkan air mata yang masih mengalir deras di wajah cantik itu. "Dia Raka, Kak. Dia orang yang sudah membuatku hancur."Kedua netra Ara membelalak, menatap ke arah Raka dan memperhatikan garis wajah pria itu."Berani-beraninya kau menemui Nadia!" teriak Ara.Wanita itu langsung memanggil bodyguard dan meminta untuk membawa Raka pergi. Awalnya Raka memberontak, tetapi akhirnya menurut saat Ara mengancam akan melaporkan ke polisi atas tuduhan tindakan tidak menyenangkan.Ara mendorong kursi roda Nadia untuk kembali ke unit, sepanjang perjalanan gadis itu masih sesenggukan. Seakan sulit sekali menghentikan tangisannya."Nadia ... kamu denger aku?" tanya Ara, mereka baru saja tiba di unit tempat tinggal Nadia, Ara sudah memastikan aman karena ada dua bodyguard yang
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka