Ansel dan Bumi berjalan cepat keluar dari lift. Aruna menghubungi mereka jika Emily ada di kantor Aruna, membuat dua pria itu langsung pergi ke sana. Bumi dan Ansel masuk ruang kerja Aruna, hingga melihat Aruna yang sedang menyelimuti Emily. “Runa.” Bumi memanggil Aruna, sedangkan Ansel hanya diam memandang tanpa berani menyapa. Aruna menoleh ke Bumi, hingga melihat Ansel yang berdiri di samping Bumi. Dia menatap sejenak ke Ansel, hingga kemudian langsung mengalihkan pandangan ke Bumi. “Dia baru saja tidur karena kelelahan,” ucap Aruna lantas menjauh dari sofa. Ansel mendekat ke sofa untuk melihat Emily. Dia pun merasa sedih dan bersalah, meski berusaha bersikap biasa. Aruna pun memilih mundur menghampiri Bumi untuk memberikan ruang ke Ansel. Ansel berlutut di samping sofa sambil memandang Emily. Dia benar-benar merasa bersalah karena membuat Emily sampai kabur dari sekolah. “Di mana kamu menemukannya?” tanya Bumi saat Aruna berdiri di sampingnya. “Dia jalan kaki ke sini. Tad
[Bagaimana kondisi Emi ….] [Dia baik-baik saja?] [Apa kata dokter?] “Ish ….” Aruna menghapus berkali-kali pesan yang diketiknya. Dia bingung apakah harus menanyakan kabar Emily atau tidak. “Jika tidak kutanyakan, aku penasaran bagaimana kondisinya. Jika aku tanyakan, apakah Ans akan besar kepala?” Aruna galau sendiri. Dia bimbang harus bersikap bagaimana. Dia sampai tidak sadar jika Bumi mengiriminya pesan sejak tadi karena sibuk mengetik dan menghapus berulang kali. Hingga di saat Aruna sibuk menghapus dan mengetik pesan berulang kali, terdengar suara ketukan pintu dari luar. “Masuk!” perintah Aruna mempersilakan. Siska terlihat diambang pintu yang baru saja terbuka. Dia hanya berdiri di sana dengan satu tangan masih memegang gagang pintu. “Ada apa?” tanya Aruna keheranan karena Siska tak langsung masuk. “Ada kiriman makanan, Bu.” Aruna mengerutkan alis mendengar ucapan Siska. “Kiriman makanan? Dari siapa?” tanya Aruna keheranan. “Ibu lihat saja,” jawab Siska lantas meno
“Kamu Aruna, kan?” Aruna sedang berjalan di lobi. Dia terkejut saat ada seseorang yang menyebut namanya. Dia pun berhenti melangkah, lantas memandang wanita yang kini ada di hadapannya. “Iya,” balas Aruna sopan ke wanita itu. Aruna memperhatikan wanita itu. Dia seperti pernah melihat, tapi lupa di mana. “Aku mamanya Ansel,” ucap Ayana yang memang sengaja menemui Aruna. Aruna sangat terkejut mendengar ucapan wanita itu. Dia sampai gelagapan karena bingung harus bagaimana. “Apa kamu punya waktu? Apa kita bisa bicara sebentar?” tanya Ayana sambil menatap penuh harap ke Aruna. Aruna masih tidak percaya kalau wanita itu menemuinya dan ingin bicaranya dengannya. Dia juga bingung kenapa Ayana harus menemuinya, sedangkan dia tak ada hubungan sama sekali dengan keluarga wanita itu. Hingga pikiran negatif muncul di kepala Aruna, mungkinkan Ayana datang karena masalah Emily. Aruna pun akhirnya menerima ajakan Ayana. Dia pergi bersama wanita itu untuk bicara berdua. Mereka pergi ke sebua
‘Apa anak itu benar-benar darah dagingmu, Ans?’ ‘Menurutmu? Apa dia mirip denganku?’ ‘Jadi, dia bukan anakmu? Jawab, Ans. Jangan membuatku penasaran. Jangan tersenyum seperti itu.’ ‘Dia memang bukan anakku, tapi sejak dia lahir ke dunia ini, aku sudah berjanji ke Citra untuk menjaganya. Bukankah aku bodoh, sedangkan aku seharusnya bisa memberikannya ke keluarga Citra saja, tapi entah kenapa aku tidak bisa.’ ‘Kamu menikahinya karena dia hamil, tapi bukan hamil anakmu?’ “Hm ….’ ‘Kamu terlalu baik untuk menjadi seseorang yang jahat, Ans.’ ‘Aku lega, Bum. Lega bisa membicarakan apa yang sudah kupendam selama ini sendirian. Terima kasih mengajakku minum.’ Aruna kembali memutar rekaman suara yang diterimanya dari Bumi. Dia sudah mendengarkan berulang kali, membuatnya diam berpikir kenapa Ansel sampai melakukan itu serta apakah benar jika Ansel jujur saat bicara. Belum lagi pertemuannya dengan Ayana yang memintanya membantu memperbaiki hubungan dengan Ansel, membuatnya semakin berpi
“Sejak kecil aku sudah kehilangan sosok ayah dan kecewa kepada ayahku. Aku mungkin tidak bisa melihatnya lebih lama, tapi tolong tetap jaga dia, Ans. Dia akan kehilanganku, jadi jangan sampai dia kehilangan sosok ayah juga.” “Kamu pasti bisa bertahan. Kamu akan menjaganya dan merawatnya hingga besar.” “Aku merasa tak punya kesempatan itu, Ans. Aku belum bisa menebus kebaikanmu, maaf jika aku menambah bebanmu.” Ansel memejamkan mata setelah mengingat permintaan Citra sebelum meninggal. Dia mengembuskan napas kasar, lantas memandang Emily yang terbaring dengan selang infus terpasang di lengan. “Maafkan papi yang tidak bisa menjagamu, Emi. Seharusnya papi tidak mengekangmu,” ucap Ansel penuh penyesalan. Ansel menggenggam telapak tangan Emily, lantas mencium punggung tangan gadis kecil itu. Ayana berdiri sambil memperhatikan Ansel. Dia pun ikut sedih dengan kondisi Emily. “Bagaimana kondisi Emi?” tanya Deon yang baru saja datang. “Masih nunggu hasil labnya, semoga tidak ada masala
Aruna datang ke rumah sakit saat pagi hari setelah melihat pesan yang dikirimkan Ansel. Dia masuk ruang inap Emily, hingga melihat gadis kecil itu berbaring miring, sedangkan Ansel tidur di kursi dengan menyandarkan kepala di tepian ranjang. Aruna mendekat perlahan karena tak ingin membuat Ansel bangun, hingga dia melihat jika Emily sebenarnya sudah bangun. “Emi.” Amily terkejut mendengar suara Aruna. Dia langsung menoleh dan terlihat senang melihat keberadaan Aruna di sana. “Kakak Cantik!” teriak Emily yang senang. Aruna terkejut mendengar Emily berteriak. Baru saja dirinya ingin memberi isyarat agar Emily tak berteriak, ternyata gadis kecil itu sudah melakukannya. Ansel terbangun karena terkejut mendengar suara Emily. Hingga tatapannya langsung tertuju ke Aruna yang berdiri di dekat ranjang, bahkan dia secara spontan berdiri karena panik. Bahkan kakinya tersandung kursi yang membuatnya hampir jatuh. “Kamu datang,” ucap Ansel sambil mengusap tengkuk untuk memulihkan seluruh kes
Seharusnya Aruna menanyakan itu ke Ansel, tapi entah kenapa dia tidak bisa mengatakannya dan hanya bisa memendamnya dalam hati. Pertanyaan yang berputar di kepala sejak semalam, harus dipendam tetap dalam kepala sampai Ansel mau jujur langsung kepadanya. Dia tidak mau pria itu mengira jika dirinya masih berharap banyak ke pria itu. “Aku harus pergi,” ucap Aruna setelah keduanya diam cukup lama. Ansel hanya mengangguk membalas ucapan Aruna, tapi terlihat senyum kecil dengan sebuah kelegaan dari pancaran matanya. Ansel memandang Aruna yang pergi. Tatapannya tak teralihkan sedetik pun dari punggung wanita itu. Dia terus menatap sampai akhirnya Aruna hilang dari pandangan. Ansel pun kembali ke kamar, hingga melihat Emily yang sudah menunggu. “Kakak Cantik siang nanti benar akan datang, kan?” tanya Emily memastikan karena takut jika dibohongi Aruna. “Ya, kalau dia bilang begitu, pasti akan datang,” jawab Ansel sambil merapikan selimut Emily. “Papi, kenapa Kakak Cantik ga suka Papi?
“Emi, kenapa tidak mau makan?” tanya Ayana yang siang itu menemani Emily di rumah sakit. “Ga mau makan kalau Kakak Cantik belum datang,” tolak Emily sambil melipat kedua tangan di depan dada, bahkan bibirnya mengerucut menggemaskan. Ayana terkejut mendengar ucapan Emily. Dia sampai menoleh Ansel yang baru saja menerima telepon dari kantor. “Kakak Cantik?” Ayana menatap Ansel dengan ekspresi bingung. Ansel menatap Emily yang merajuk, lantas memandang ke sang mama. “Biarkan dia menunggu Runa dulu. Runa sudah janji akan datang, kalau memaksa makan yang ada Emi akan semakin kesal,” ucap Ansel menjelaskan. Ayana cukup terkejut mendengar penjelasan Ansel, apalagi putranya itu bicara biasa saja, tidak seperti sebelumnya. “Ya sudah kalau memang seperti itu,” ucap Ayana tak ingin memaksa. Baru saja Ayana meletakkan piring di meja, pintu kamar inap Emily terbuka, membuat Ayana dan Ansel menoleh ke pintu. Aruna benar-benar datang untuk menjenguk Emily. Dia terdiam saat melihat Ayana dan