Sementara itu, Jing Ling mulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk perbekalan selama perjalanan. Salah seorang pengasuh Jing Ling juga ikut terlibat di dalam kesibukan tersebut. Di sudut ruangan, Su Ruo, pengasuh setia Jing Ling, tengah melipat pakaian dengan penuh perhatian. Jemarinya yang halus bergetar ringan, seolah setiap helai kain membawa beban emosi. "Tuan Muda." Suara Su Ruo terdengar serak, ada kegetiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Kali ini Anda akan pergi ke tempat yang asing dan jauh. Bibi harap, Anda berhati-hati dan tidak ceroboh." "Hemm." Jing Ling hanya merespons dengan gumaman kecil sambil membungkus tombaknya yang baru dengan sehelai kain merah, ia menatap Su Ruo sekilas dengan pandangan acuh tak acuh. Su Ruo melanjutkan dengan suara yang lebih lirih, hampir seperti bisikan, "Anda juga harus mengikuti nasihat Tuan Besar. Jangan sampai merepotkan beliau selama dalam perjalanan nanti." Jing Ling dengan sikap tenang berkata, "Bibi Ruo jangan
Hua Yan dan Jing Yue menghentikan aktivitas mereka, saling memandang dengan tatapan rumit disertai sedikit kekecewaan. Keduanya mengatur napas dan masing-masing berusaha menenangkan diri. "Ibu, tidakkah Ibu ingin mengucapkan sesuatu padaku sebelum aku pergi?" Suara Jing Ling mengejutkan kedua orang tuanya. "Bocah nakal itu lagi!" Hua Yan sedikit merasa kesal dengan suara teriakan dari balik pintu. Hua Yan mendengus kecil, lalu melepaskan pelukannya dengan sedikit enggan. Jing Yue sendiri hanya tersenyum tipis melihat kekecewaan di wajah suaminya, lalu kemudian menyahut, "Sebentar, Ah Ling. Ibu sedang menyiapkan semua keperluan untuk ayahmu." Di balik pintu, Jing Ling mengerutkan kening dengan sedikit pertanyaan dalam hati. Sebenarnya, apa yang sedang orang tuanya lakukan di dalam sana pada siang hari panas seperti ini? Namun, ia tak ingin terlalu memikirkannya. Akhirnya, pemuda itu berkata, "Baik, Ibu. Maafkan kalau aku sudah mengganggu Ibu dan Ayah. Aku akan menunggu di luar
"Maka saya akan mendesaknya!" Mu Lei tiba-tiba berkata tegas.Mu Lei adalah orang luar yang pernah diselamatkan oleh Hua Yan pada tragedi berdarah Suku Mu lima tahun lalu, saat terjadi pemberontakan salah satu kubu 'pakaian kotor' yang berselisih dengan kubu 'pakaian bersih' Suku Mu, dan itu membuatnya nyaris mati terpenggal.Namun, rupanya dewa mengirim Hua Yan pada waktu nyawanya sudah di ujung tanduk. Ia pun lolos dari kematian di mata pedang milik Mu Yan, pengkhianat Suku Mu, dan semua itu berkat pertolongan Hua Yan.Semenjak saat itu, ia bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya demi membalas jasa kepada dewa penyelamatnya. Meskipun Hua Yan sudah membebaskan dan tidak mengungkit lagi tentang hal tersebut, Mu Lei tetap bersikeras untuk menjadi penjaga bagi Hua Yan dan keluarganya."Baiklah. Kita lihat saja nanti," Tetua Hua Lei yang bicara kali ini.Semua orang hanya bisa berharap kalau Hua Yan tidak keberatan dengan persiapan keamanan yang mereka lakukan kali ini.*****Sementa
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda
"Maka saya akan mendesaknya!" Mu Lei tiba-tiba berkata tegas.Mu Lei adalah orang luar yang pernah diselamatkan oleh Hua Yan pada tragedi berdarah Suku Mu lima tahun lalu, saat terjadi pemberontakan salah satu kubu 'pakaian kotor' yang berselisih dengan kubu 'pakaian bersih' Suku Mu, dan itu membuatnya nyaris mati terpenggal.Namun, rupanya dewa mengirim Hua Yan pada waktu nyawanya sudah di ujung tanduk. Ia pun lolos dari kematian di mata pedang milik Mu Yan, pengkhianat Suku Mu, dan semua itu berkat pertolongan Hua Yan.Semenjak saat itu, ia bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya demi membalas jasa kepada dewa penyelamatnya. Meskipun Hua Yan sudah membebaskan dan tidak mengungkit lagi tentang hal tersebut, Mu Lei tetap bersikeras untuk menjadi penjaga bagi Hua Yan dan keluarganya."Baiklah. Kita lihat saja nanti," Tetua Hua Lei yang bicara kali ini.Semua orang hanya bisa berharap kalau Hua Yan tidak keberatan dengan persiapan keamanan yang mereka lakukan kali ini.*****Sementa