Pak Sudrajat menarik paksa lengan Rusly dan akun untung saja diriku sudah memakai pakaian. "Ki-kita mau ke mana, Pak?!" tanyaku terbata. Aku mencoba meronta, tetapi tidak bisa. Akhirnya aku pasrah walaupun tidak merela."Kita ke kantor polisi. Aku mau buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Biar tidak ada dusta diantara kita semua."Setelah sampai di teras rumah. Pak Sudrajat meminta kunci mobilku. Aku lupa letak di mana. Ternyata mobilku sudah terparkir rapi di garasi. Seingatku masih berada di luar pagar. 'Kenapa bisa dia masuk ke dalam garasi? Apa dia bisa jalan sendiri?' pertanyaan konyol lahir di benakku."Nggak usah panik gitu. Aku kok yang memarkirkannya ke garasi. Kulihat kamu sudah lelah dan ngantuk itu sebabnya kuparkirkan ke dalam. Takut mobil kesayanganmu hilang ditelan bumi begitu saja.""Nggak usah sok menjadi pahlawan kesiangan. Bilang saja kamu –," ucapku terjeda ketika melihat Ririn datang di depan pagar. Mau ngapain lagi wanita piranha itu datang kemari?' ta
Tepat di parkiran lapas. Aku sengaja lebih cepat turun dari dalam mobil. Selain apek dan sumpek, aku muak melihat Ririn di sini. Padahal aku sudah tidak mau lagi melihat batang hidungnya. Namun, sang pencipta alam bertolak belakang dengan apa yang aku harapkan."Mohon maaf bapak dan ibu mau besuk siapa?" tanya penjaga sipir. Beliau sudah hafal betul dengan wajah kami karena hampir setiap hari membesuk Bu Aisyah di sini selama dia dipenjara."Mau besuk atas nama Aisyah," jawab Pak Sudrajat parau. Dia mengusap keningnya yang sudah mulai di banjiri keringat. Cuaca pagi menjelang siang ini sangat gerah membuat semua orang rentan keringat."Beliau sudah bebas –," jawabnya terjeda sembari melihat wanita yang sedang melangkah gontai menghampiri meja piket."Kenapa dia bisa bebas? Terus siapa yang membebaskan dirinya?!" racau Pak Sudrajat tidak terima. Kepalan tangan hendak melayang ke atas permukaan meja yang ada di depannya. Namun, batas kesabarannya masih terkontrol."Ka-kalau masalah itu
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 68: Ditabrak LariRusly sudah mumet memikirkan masalah yang datang silih berganti tanpa henti. Dia ingin bebas dari belenggu dosa yang dia perbuat selama ini. Namun, hatinya tidak kuasa untuk menentukan apa yang harus dia putuskan untuk masa depan."Bagaimana langkah selanjutnya?" tanya Rusly memecahkan keheningan di meja piket. Sudah lima belas menit aku, Pak Sudrajat dan Rusly mematung. Tidak ada berucap sama sekali."Kita harus mencari tahu di mana keberadaan Aisyah. Aku mau membuktikan semuanya kepada kalian," balas Pak Sudrajat sinis. Dia sudah merasa geram atas kebebasan yang diberikan Ririn kepadanya. Ponsel milik Rusly berdering. Ada notif masuk. Dia langsung merogoh gawainya di kantong celana. Nomor baru memanggil. 'Siapa ini?' tanyanya dalam hati sembari mengerutkan dahi. Masih menerka-nerka dan menunggu sejauh mana nomor itu terus melakukan panggilan. Tidak lama layarnya mati dan kembali menyala lagi. 'Nomor itu lagi. Pasti penting in
Aku pasrah saja. Mau kucari pun tidak tahu harus ke mana kucari. Takut dia baper kalau aku kangen kepadanya. Walaupun ada rasa itu kadang-kadang.Sudah lima belas menit setelah kejadian itu, jalanan mulai gerak. Aku merasa senang akhirnya bisa keluar dari jalan yang macet dan membuat jiwa raga tidak tenang.Suara klakson bersahutan kembali agar saling duluan keluar dari arus macet."Cepat naik kalau mau ikut! Atau kamu di sini saja!" perintah Pak Sudrajat dengan raut wajah garang. Aku terkejut mendengar perkataan beliau. Ternyata dia garang juga kalau marah. Kuelus dada sembari membaca istighfar. Setelah terasa adem, aku naik ke dalam mobil dan langsung memasang seat belt.***Baru saja aku menutup mata, tiba-tiba sudah dibangunkan kembali. "Ki-kita di mana, Pak?" tanyaku kaget. Aku menyapu ke sembarang tempat. Tidak tahu jelasnya ini apa. Cuma ada beberapa orang memakai kostum putih-putih. Antara sadar dan tidak sadar aku melihat seorang perempuan berjalan gontai dengan gaya songong.
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 69: Senjata Makan Tuan"Bagaimana kabar pasien, Dok?" sapa Ririn dengan wajah datar. Dia berharap Bu Aisyah bisa lenyap secepatnya dari muka bumi ini. Dia tidak mau kalau semua kebenaran terbongkar. Bisa-bisa dirinya kena imbasnya."Kita masih melakukan yang terbaik buat pasien agar bisa diselamatkan," jawabnya datar. Walau bagaimana pun itu, sumpah seorang dokter untuk menolong pasien harus tetap dijalankan. Walaupun terkadang ada oknum jahat untuk meminta mereka tidak melakukan kewajiban sebagaimana mestinya."Bu-bukannya pasien sudah koma dan tidak ada harapan tertolong?" tanyanya lirih dengan terbata. "Soalnya informasi yang aku dengar beliau sudah kehabisan darah.""Ya, benar. Namun, kita tidak bisa menantang kehendak Tuhan Pencipta Alam."Ririn menautkan kedua alis sembari berpikir bagaimana caranya agar dokter bisa diajak kerja sama dengannya. Namun, dari jawaban beliau dia merasa sudah untuk melanjutkan aksinya."Baik kalau begitu. Aku tu
"Kenapa bisa kalian percaya begitu saja dengan Nesya?!" tanya Ririn tidak terima kalau dia sudah ditangkap polisi. Dia dan anak buahnya masih di dalam mobil dan menuju kantor polisi."Aku juga tidak tahu. Ini pasti gara-gara dia yang tergiur dengan uang lebih banyak dari apa yang bos berikan kepada kita," ucap Bernat dengan polos. Dia anak buahnya Ririn yang tidak banyak cerita. Kali ini dirinya buka suara."Aku sudah bilang jangan gegabah!" ucap Ririn kesal. Nasi sudah jadi bubur. Tidak ada gunanya menyesal."Bos pula tidak mau memberikan uang yang sudah dijanjikan. Ada tawaran lebih besar, kenapa tidak ditampung," jawabnya lagi dengan datar tanpa merasa bersalah.Tiba sudah di kantor polisi. Mau tidak mau mereka bertiga harus mempertanggung jawabkan apa yang mereka perbuat. Namun, Ririn masih bersikeras tidak mau dipenjara. Itu bukan salahnya, dia hanya pesuruh dan tidak terlibat secara langsung."Lepaskan aku! Aku tidak bersalah!" racaunya terus meronta. Sehingga pihak polisi meras
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 70: Lupa Ingatan"Aa-aku ada di mana?" ucap Bu Aisyah terbata. Dia baru saja sadar dari pasca operasi.Aku langsung terbangun setelah mendengar ucapannya. Sengaja kutekan tombol bel untuk memberi tahu tim medis kalau beliau sudah sadar. "Alhamdulillah ibu sudah sadar." Aku berdiri lalu menatap wajahnya yang pucat pasi. "Ka-kamu siapa?! Dan kenapa aku ada di sini?" tanyanya kembali dengan pertanyaan tidak beraturan. Aku menghela napas lalu membuangnya dengan kasar.Jarum infus melekat di tangan sebelah kanan. Aku takut kalau jarum itu terantuk. Tidak berapa lama, tim medis datang dan langsung memeriksa keadaan Bu Aisyah. "Alhamdulillah beliau tidak kenapa-napa," ucap Rio seorang dokter muda. Namanya jelas tertaut di name tag-nya."Bo-boleh saya bicara dengan ibu sebentar di luar," ucapnya setelah selesai memeriksa keadaan beliau."Bo-boleh, Dok," jawabku terbata. Aku grogi ketika menjawab pertanyaannya. Tidak tahu kenapa itulah yang aku alami.
"Ya.""Aku menelan ludah terasa getir. Apakah tidak ada sedikit kata maaf kepada beliau?" tanyaku memberanikan diri."Tidak," balasnya cepat."Aku mohon berilah rasa belas kasihan kepadanya. Aku kasihan karena beliau dalam keadaan tidak sehat. Kalau dia sehat seperti sebelumnya. It's ok! Namun, ini beda konteks," jelasku memohon agar beliau berubah pikiran. Ternyata apa yang aku katakan tidak ada respon baik. Aku hanya bisa pasrah.****Dua Minggu setelah kejadian itu, Bu Aisyah mulai sehat seperti biasa. Ingatannya mulai pulih kembali. "Mas, maafkan aku yang telah melukai hati dan perasaanku. Aku sungguh amat menyesal atas perbuatan yang kulakukan kepadamu."Bu Aisyah memulai percakapan di tengah heningnya suasana di dalam kamarnya. Pak Sudrajat sebenarnya tidak tega ingin mengintrogasi beliau dalam keadaan seperti ini. Namun, perasaannya terus bergejolak dengan hati nuraninya. Dia masih belum ikhlas menerima apa yang telah diperbuat Bu Aisyah kepada dirinya beberapa tahun yang sila