Desa Ciboeh, 1990
Ada yang berbeda pagi ini di Ciboeh, tepatnya di Kampung Cimenyan. Saat matahari mulai menyingsing di ufuk timur, pagi yang tenang tak lagi terasa. Bak angin yang berembus cepat, satu per satu warga berlarian ke arah persawahan setelah mendengar sebuah berita.
Mobil polisi sudah terparkir di sisi jalan. Tak jauh dari sana, tiga orang pria berseragam abu-abu tengah mewawancarai beberapa petani. Jalanan menuju persawahan kian riuh oleh warga yang mulai berdatangan.
Usut punya usut, para petani itulah yang pertama kali melihat jasad yang terbujur kaku itu. Dilihat dari pakaian serta ciri-ciri fisik, warga percaya jika jenazah itu adalah Mbah Atim, penjaga makam Mak Lilin.
“Saya menemukan jenazah Mbah Atim persis di sebelah sana,” tunjuk Asep ke arah sisi jalan yang dinaungi pohon pisang, “saya pikir ... ini pembunuhan.”
Mendengar penuturan Asep, warga mulai berspekulasi. Raut wajah mereka seolah mewakilkan beragam dugaan jika hal itu benar-benar terjadi. Sebagian penduduk berpikir mengenai siapa gerangan si pembunuh, setengahnya bertanya kenapa pria tua itu dibunuh, sisanya merinding dan ngeri saat membayangkan bagaimana pembunuhan itu bisa terjadi.
“Kami akan selidiki kasus ini lebih dulu,” ucap seorang polisi bertubuh tambun, “kami juga akan bawa jenazah ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi.”
“Ada keluarganya di sini?” tanya polisi yang lain. Matanya mengawasi warga yang kian ramai berdatangan. Tak ada yang menyahut.
“Kalu begitu silakan bubar!” pinta polisi yang pertama kali berbicara.
Setelah mendengar ucapan polisi, warga mulai memeninggalkan persawahan. Sebagian besar pergi dengan masih dihantui pertanyaan, sisanya bergidik ngeri mencoba melupakan kejadian.
Asep, pria yang baru memasuki usia kepala tiga itu belum beranjak saat polisi-polisi itu sudah masuk ke mobil. Ia masih terpaku di tempat. Jemarinya sejak tadi tak berhenti gemetar, sedang dahinya terus-menerus mengeluarkan keringat. Pria itu sama sekali tak berani menoleh pada bak kendaraan. Sejak tadi, ia hanya menunduk, memandangi cangkulnya yang masih bersih dari noda tanah.
Barulah saat mobil polisi mulai berjalan, Asep memberanikan diri menoleh. Sialnya, matanya malah tertuju pada jasad Mbah Atim yang ia temukan dalam kondisi tanpa kepala.
***
Pak Dede, Kepala Desa Ciboeh, mengadakan pertemuan mendadak dengan beberapa tokoh masyarakat di kantor desa. Perkara yang sedang mereka diskusikan adalah kematian Mbah Atim yang misterius. Ada dua masalah yang timbul dari meninggalnya si penjaga makam Mak Lilin tersebut. Pertama, siapa kiranya yang bersedia memandikan, mengkafani dan menguburkan jenazah tersebut. Kedua, siapa yang akan menggantikan tugasnya sebagai kuncen.
“Kita semua bisa berdosa jika tak ada yang bersedia melaksanakan kewajiban kita pada jenazah,” ucap Rojali tegas. Tangannya terkepal kuat pada pegangan kursi.
“Saya paham, Ustaz,” timpal Pak Dede sembari mematikan rokoknya di asbak. “Tapi kalau boleh jujur, siapa pun tentu tak mau kalau harus memandikan dan mengafani jenazah tanpa kepala. Begitupun dengan Ustaz, kan?”
Rojali menghela napas panjang, kemudian mendaratkan punggung ke sandaran kursi.
Wajah letih dan cemas tampak mendominasi paras semua pria yang tengah duduk melingkar di aula desa. Beberapa di antara mereka tertunduk, sisanya menghisap rokok dalam-dalam, berusaha menyenyahkan ketakutan. Tak ada yang berbicara untuk sekian menit. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Punteun,” ujar pria berkumis yang duduk di samping Pak Dede. Yayat namanya, Kepala Dusun Cimenyan.
Semua orang seketika menoleh ke arah Pak Yayat. Merasa jadi pusat perhatian, pria kurus itu mengcengkeram kuat baju kusutnya.
“Kamu punya ide, Yat?” tanya Pak Dede.
Pak Yayat tak langsung menjawab, lebih dahulu menyeka keringat di dahi. “Punteun,” ulangnya lagi. Pria itu terlihat ragu-ragu.
“Katakan saja, Pak Yayat,” ujar Rojali.
“Bukannya ... warga Ciboeh pernah memandikan dan mengafani jenazah-jenazah yang tak utuh sebelumnya?” Pak Yayat memandang satu per satu orang yang hadir dalam pertemuan. Bukan tanpa alasan ia berkata demikian. Pria tua itu pernah mendengar cerita itu dari istrinya yang asli orang Ciboeh. Ia sendiri memang lahir di desa ini, tetapi dirinya tumbuh dan besar di desa lain.
Pak Yayat kembali tertunduk, takut salah ucap. “Punteun.”
Orang-orang dalam pertemuan berbagi pandangan satu sama lain.
“Pak Yayat,” ucap Pak Iwan, Kepala Dusun Cigeutih, “sepertinya Pak Yayat belum tahu mengenai keseluruhan cerita itu. Nyatanya, cerita yang kita dengar tentang kejadian beberapa puluh tahun lalu itu, tidak semua diceritakan orang tua kita. Hanya sedikit saja dari kita yang mengetahui kebenarannya.”
Perkataan Pak Iwan diamini oleh warga lain. Terlalu sulit untuk mengurai kembali cerita lama itu dalam pertemuan ini. Saat ini, mereka dituntut untuk mencari solusi dari permasalahan ini dalam waktu cepat.
“Tak ada satu orang pun yang akan sepenuhnya sanggup memandikan dan mengafani jenazah yang tak utuh,” lanjut Pak Iwan, “lagi pula kita tak seberani orang tua kita dulu.”
Rojali atau orang-orang di desa memanggilnya Ustaz Rojali, sebenarnya hanya pria lajang berumur 26 tahun, lulusan pesantren di kabupaten. Ia bekerja sebagai mandor di kebun sayur milik pesantren di desa ini. Usai dari kebun, kegiatannya tak jauh dari mengajari anak-anak mengaji serta memimpin acara keagaamaan.
Di antara para tokoh masyarakat yang sedang berdiskusi, Rojali sebenarnya yang paling muda. Hanya saja karena warga desa menghargai ilmu agama dan sumbangsihnya pada desa, ia masuk daftar tokoh penting di Ciboeh. Maka benar bila Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu.
“Apa tak sebaiknya kita meminta bantuan ke kecamatan?” usul Pak Yayat yang langsung memecah keheningan.
Pak Dede terkekeh sesaat. Senyum sinis timbul di sudut bibirnya. Ia bahkan sampai terbatuk-batuk setelah mendengar saran tersebut. Lucu sekali, pikirnya.
“Jangan banyak berharap sama orang kecamatan,” jawab Pak Dede, “saya tahu betul bagaimana mereka. Mereka cuma akan pura-pura simpati dengan permasalahan kita. Selebihnya mereka tidak akan peduli. Lihat jalan desa! Sudah berpuluh-puluh kali saya minta bantuan mereka untuk masalah ini, dan yang mereka bisa lakukan hanya memberi janji kosong.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Ustaz?” tanya Pak Harun, Ketua RW di Cimenyan.
Pak Dede menghabiskan kopinya dalam satu tegukan, lalu meletakkan gelas ke meja dengan agak kuat. Sejenak perhatian semua orang tertuju padanya. Pria paruh baya itu berdecak kesal karena merasa diabaikan. Dibanding bertanya pada dirinya, orang-orang ini malah lebih berharap banyak pada Rojali yang usianya sebaya dengan anaknya. Kurang ajar memang si ustaz mentahan itu.
“Jika semua setuju, saya akan minta tolong pihak pesantren di kabupaten,” ucap Rojali seraya menegakkan kembali posisi duduknya.
“Kami setuju,” sahut hampir seluruh hadirin.
Pak Dede yang ingin menolak tak kuasa berbuat banyak. Ia hanya bisa pura-pura terbatuk seraya mengetuk meja dengan jari.
“Kalo begitu saya akan berangkat siang ini juga.” Rojali sedikit membenarkan letak peci. Waktu zuhur sebentar lagi tiba.
Rojali keluar dari kantor desa ketika pertemuan selesai digelar. Kesepakatan akhir dari diskusi ini adalah Pak Dede bersama warga lain akan mengurus persiapan pemakaman jenazah Mbah Atim selama ia pergi ke kabupaten.
Rojali mengembus napas panjang, menatap awan hitam yang bergerombol di langit. Entah mengapa aliran udara yang berpapasan dengan kulit membuat hatinya menjadi tak nyaman.
Pukul satu siang, Rojali berangkat menuju kabupaten. Selama perjalanan, pikirannya terus saja tertuju pada sosok Mbah Atim. Menurut cerita yang ia dengar, kuncen Mak Lilin itu adalah pendatang yang tak diketahui asal muasalnya. Pria itu secara sukarela menawarkan diri sebagai penjaga kuburan meski tanpa diberi imbalan. Jarang sekali pria tua itu tampil dalam rapat-rapat yang diadakan desa dan warga. Aktivitasnya tak jauh dari kawasan makam seolah hidupnya terkunci di sana.
Selama dua tahun Rojali menetap di Ciboeh, hanya beberapa kali dirinya bertemu dan berbicara dengan Mbah Atim. Jika tak sengaja berjumpa, pria tua itu hanya bertanya kabar dan basa-basi lainnya. Hampir semua pertemuan itu terjadi saat di pemakaman.
Rojali memacu kendaraannya lebih cepat. Ia sedikit mengencangkan jaket. Perjalanan ini akan memakan waktu cukup panjang.
Sudah hampir tiga jam Rojali meninggalkan desa. Tiga orang warga yang ikut dalam pertemuan tadi mulai gelisah. Saat ini, mereka tengah duduk di sebuah pos ronda yang terletak tak jauh dari gerbang desa. Beberapa menit sekali, salah satu dari ketiganya akan menoleh ke arah jalan.Awan hitam sudah menumpuk di langit desa. Angin juga tak malu-malu lagi merangkak di kulit. Meski begitu, kopi yang terhidang belum sempat penghuni pos ronda jamah. Pria-pria itu sama-sama diam.“Kata istri saya, si Asep tidak mau keluar rumah sejak dia menemukan jasad Mbah Atim,” ucap Pak Yayat memulai obrolan.“Pasti dia syok, Pak Yayat,” timpal Aep yang beberapa kali menelan ludah karena ingin mencicipi kopi. Ia merasa segan untuk menyeruputnya di saat seperti ini, apalagi kedua pria paruh baya di dekatnya tidak ada yang menyentuh minuman itu.“Bagaimana kalau Ustaz Rojali tidak bisa bawa orang-orang pesantren ke desa?” tanya Pak
“Ada apa ini sebenarnya?” tanya Rojali sembari memindai keadaan. Ia mulai mencium gelagat tak beres. Mengelilingi kampung dengan kondisi masuk angin tentu membuat kepala Rojali kian pusing, terlebih ia berusaha menyemai jawaban dari kondisi desa. Di pesantren, ia menunggu Kiai hingga dua jam. Setelah bertemu, pemuda itu harus berbasa-basi lebih dahulu dengan sang pemilik pesantren. Tak elok rasanya jika berbicara langsung pada inti masalah. Rojali menghela napas panjang, kemudian masuk ke rumah untuk mengganti baju dan mengganjal perut dengan ubi rebus. Setelahnya, pemuda itu bergegas menuju kediaman Pak Dede yang berada di tengah Kampung Cimenyan. Tampilan rumahnya mencolok karena kebanyakan kediaman warga masih berupa panggung. “Pak Dede,” panggil Rojali setelah mengucap salam. Rojali mengetuk hingga beberapa kali. Pemuda itu akhirnya memutuskan pergi setelah tidak melihat tanda-tanda penghuni rumah akan membuka pintu. Ia kemudian berkunjung ke ruma
Mobil yang Rojali dan para santri naiki tengah melumat jalanan perkampungan. Akses jalan yang buruk membuat kendaraan bergoyang beberapa kali. Tak ada yang berbicara semenjak si kuda besi melaju. Dari tempatnya duduk, pemuda itu melihat bila cahaya lampu dari rumah warga mulai menghilang.Rojali menyandarkan punggung ke kursi. Sesekali pemuda itu memijat kepala. Sungguh, ia akan sangat malu bila sampai Kiai mendengar berita ini. Karena ketidakberdayaannya, masalah ini bisa terjadi.“Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, Kang,” ucap santri yang tengah mengemudi, “menurut saya, Kang Rojali sudah berjuang sebisanya.”Rojali mengembuskan napas berat, lantas mengangguk. Pemuda itu segera memakai peci begitu mobil menepi di gerbang pekuburan.Rojali dan rombongan santri mulai menapaki kawasan kuburan. Saat sampai di lokasi, Pak Yayat, Pak Harun, Aep serta beberapa aparat desa sudah berada di sana lebih dahulu.“Apa kita b
Rojali menghela napas berat begitu merebahkan diri di kasur. Ia menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. Pandangannya menerawang pada tirai jendela yang sesekali tertiup angin. Hujan kembali mengguyur Ciboeh semenjak sore.Para santri sudah kembali ke kabupaten sejak siang. Mereka akan mengabarkan masalah ini pada Kiai secepatnya. Malu sebenarnya, tetapi Rojali tak punya pilihan lain. Di sisi lain, jemaah di masjid mendadak menghilang. Setiap kali ia mengumandangkan azan dan mengimami salat, sajadah hanya akan diisi angin dan debu.Tubuh Rojali bergerak ke samping, menatap lantai papan. Malamnya hanya diisi dengan lantunan ceramah dari radio tua yang bertengger di bilik kayu. Kejadian hari ini benar-benar menguras akal dan fisiknya.Pihak desa beserta tokoh masyarakat menyerahkan semua permasalahan ini pada kepolisian. Semua mengangguk setuju tanpa terkecuali dirinya. Pembunuhan dan pencurian jenazah adalah sesuatu yang tak bisa ditangani oleh wa
Hujan kembali mengguyur Ciboeh sejak siang dan baru reda saat isya. Rojali sendiri hanya keluar untuk azan di masjid dan memimpin salat, meski pada kenyataannya tak ada satu pun warga yang datang ke surau. Saat subuh tadi, ia bangun telat dan tak sempat mengumandangkan azan. Tubuhnya menggigil dengan kepala yang teramat pusing. Mungkin karena efek masuk angin kemarin, ditambah beban pikiran yang menumpuk semenjak kasus kematian Mbah Atim. Ustaz muda itu lebih banyak berbaring di kasur seharian ini. Rojali menerawang seisi kamar. Angin kencang sesekali menerjang jendela, mnggoyang-goyangkan tirai ke kanan dan kiri. Pikirannya masih tertuju pada kejadian subuh tadi. Saat terbangun, ia mendapati dirinya terbaring di atas sajadah dengan kondisi bersimbah keringat. Perihal kejadian pertemuan dengan pocong berkafan hitam itu, ia meyakini jika hal itu sebatas mimpi. Rojali menggeleng beberapa kali, menarik selimut hingga sebatas dada. Suara derit kasur
Seminggu berlalu setelah kejadian penemuan jasad Mbah Atim. Pihak kepolisian masih kesulitan untuk mengungkap misteri dan siapa dalang di balik pembunuhan sang penjaga makam tersebut. Di sisi lain, warga Ciboeh mulai kembali beraktivitas setelah beberapa hari mengurung diri di rumah.Suara azan asar saling bersahutan di langit Ciboeh. Selain sebagai pertanda memasuki waktu salat, nyatanya lantunan tersebut menjadi salah satu pengingat bila warga tak boleh berlama-lama berada di luar rumah.Para petani tampak tergesa-gesa berjalan di pematang sawah, menarik kerbau tak sabaran sembari sesekali memecutnya dengan tali. Pangkalan kembali sepi dari tukang ojek, yang tersisa hanya kulit kacang dan bungkus rokok. Sementara itu, ibu-ibu berteriak memanggil anak-anak untuk segera pulang ke rumah. Pelototan, jeweran dan pukulan sandal dijadikan senjata untuk menakut-nakuti.Ciboeh masih terus berbenah meski belum sepenuhnya kembali ke keadaan semula. Nyatanya, ketakutan it
Rojali sontak terkejut dengan pertanyaan barusan. “Saya pulang sendiri, Za. Mungkin kamu salah liat.”“I-iya kali.” Reza menyisir rambut dengan jari, lalu menoleh ke samping. Ia yakin kalau dirinya tak salah lihat, tetapi di sisi lain, tak mungkin juga Rojali berbohong. Aneh.“Tapi ...” Ucapan Rojali menggantung. “... saya merasa kalau motor saya jadi berat pas pulang tadi.”Aep yang mendengarnya seketika mundur dan membelah jarak Rojali dan Reza. Ia berjalan di tengah keduanya, tak bila peduli rokoknya harus jatuh ke genangan air. “Punten, Ustaz,” ucapnya.“Za,” panggil Aep pelan setelah meneguk saliva beberapa kali. “Memang ... bagaimana ciri-ciri orang yang kamu liat tadi?”Reza mengembus napas kuat. Jantungnya mendadak berdebar kencang. “Orang itu ... pake pakaian serba hitam. Tapi ...” Pria berjaket itu menjeda. “... saya tidak
Satu bulan berlalu semenjak kejadian pembunuhan Mbah Atim. Pihak kepolisian terpaksa menutup kasus dengan alasan sulitnya menemukan bukti dan mengungkapkan identitas pelaku. Di sisi lain, warga Desa Ciboeh perlahan menata hidup baru. Aktivitas yang sempat terkendala, mau tak mau kembali digarap. Mereka tak bisa selamanya akan berdiam diri di rumah dan hidup dalam ketakutan. Kehidupan harus tetap berjalan, meski mereka dipaksa berdamai dengan misteri yang sampai saat ini belum menemukan titik terang.Dalam teriknya matahari siang, beberapa truk mulai memasuki gerbang desa, melibas jalan berbatu, melewati perumahan penduduk. Beberapa kali mobil tampak bergoyang, berusaha stabil dan berdamai dengan jalan yang penuh lubang.Aktivitas warga Kampung Cigeutih teralihkan beberapa saat. Para wanita yang tengah berkumpul di teras depan sengaja berpindah ke sisi jalan, menyaksikan bagaimana truk-truk itu kian masuk ke perkampungan. Anak-anak berteriak sembari melambaikan tangan.
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,