Kado Biru Istriku
"Dek, ini uang bulanan buat kamu. Ingat, digunakan sebaik mungkin. Jangan belanja yang nggak perlu." Andin menerima pemberian uang dariku tanpa suara. Uang itu segera diletakkannya di atas nakas begitu saja tanpa menyimpannya dalam dompet seperti biasanya. Bahkan ia tidak menghitung berapa jumlah uang tersebut. Aneh, biasanya selalu ia hitung di hadapanku dan lalu mengeluh kalau uangnya kurang. "Kamu tidak menghitungnya?" tanyaku penasaran. Ia menggeleng. Lalu mengambil handuk yang kuletakkan sembarang setelah mandi di atas tempat tidur tanpa suara pula. Keningku mengernyit. Biasanya ia akan protes dan ngedumel panjang lebar hingga memekikkan gendang telinga. Kali ini tidak, ada apa dengannya?Kuperhatikan ia dengan seksama. Ada yang berbeda. Ia lebih kurusan. Kukucek mata dan mengerjapkannya beberapa kali.Iya, benar. Ia memang kurus. Apa diet? Sepertinya. Mungkin teguranku seminggu yang lalu itu manjur, kena di hatinya, makanya dia memutuskan untuk diet. Syukurlah. "Din, kamu diet?" Andin diam seperti tidak mendengar."Din …!" Kupanggil ulang. "Hah?" Ia melongo seolah baru dengar. Bisa-bisanya melamun di saat aku mengajaknya bicara. "Kamu diet? Abang lihat badanmu agak kurusan." Bibirnya terbuka ingin mengucapkan sesuatu, tapi gegas kupotong. "Syukurlah, setidaknya uang belanja tidak akan berkurang banyak karena kebiasaanmu yang jajan di luar. Ibu sering bilang kamu selalu memanggil penjual makanan yang lewat di depan rumah kita.""Berhematlah sedikit, Din. Ibu benar menyuruhku mengurangi jatah bulananmu. Setidaknya kamu nggak boros lagi. Uang bulan lalu masih ada sisa kan?" imbuhku melanjutkan. Andin terdiam. Ia terpaku memandangku tanpa berkedip, kuharap apa yang barusan kuucapkan masuk ke telinga kiri dan langsung terkirim ke otaknya untuk direnungkan."Hei, kok bengong?" Kujentikkan tangan di depan wajahnya, baru ia mengerjap. Kugelengkan kepala dengan sedikit. Kesal. "Ya sudah, Abang pergi kerja dulu nggak sarapan, takut telat," ucapku pamit setelah tidak ada sahutan apapun darinya. Kulangkahkan kaki berjalan menuju pintu, baru beberapa langkah kutolehkan kepala ke arahnya. Dia hanya diam memandangku datar. Tanpa suara, tanpa senyuman. Ia bahkan lupa mencium tanganku seperti biasanya, ritual saat kupamit kerja. Ada apa dengan istriku? Dia terlihat aneh. Sebenarnya dari seminggu yang lalu sudah tampak perubahan darinya. Namun kali ini sikapnya beda, lebih dingin, sedingin es kutub Utara. Tidak seperti biasanya cerewet dan berbicara banyak hal kepadaku.Apa mungkin yang kuucapkan seminggu lalu itu keterlaluan?*** "Dek, bisa nggak badanmu itu dikurusin? Capek aku, dijadikan bahan tertawaan keluarga kalau lagi ngumpul. Kamu dijuluki gendut lah, kulkas dua pintu, gajah bengkak. Lama-lama aku malu kalau hadir di acara keluarga. Belum lagi tetangga dan teman kantor Abang bilang istrinya Jaka gendut." "Abang malu, memangnya kamu nggak malu apa dibilang begitu?" imbuhku lagi menyinggungnya. Andin diam. Gestur tubuh dan ekspresinya datar saja. Tidak ada keterkejutan atau sangkalan darinya. "Din?" panggilku. "Oh …, Abang malu?" Ia tersenyum tipis sembari tangannya sibuk melipat pakaian. "Tentu saja malu, Din. Orang-orang memanggil kamu begitu dan Abang terkena imbasnya juga. Seluruh orang memanggil Abang--Jaka suaminya si Andin gendut," jawabku mengeluh. "Mau gimana lagi Bang emang bentukannya kayak gini, disyukuri aja. Yang penting istrimu ini sehat," sahutnya berkilah tampak santai menyahutku. "Nggak, pokoknya kamu harus kurus. Kalau nggak, Abang akan cari istri yang kurus dan lebih cantik darimu." Andin melongo mendengar ancamanku barusan tapi tak kupedulikan. "Sabtu ini kamu nggak perlu hadir di acara arisan keluarga. Biar Abang wakilin. Kurusin dulu badan bengkak itu baru boleh pergi," ancamku memperingatkannya lagi. Padahal sengaja karena aku berencana hadir membawa orang lain, bukan dia. *** "Jak, kamu kenapa? Kok makannya melamun gitu? Masakannya nggak enak, ya?" Ibu bertanya dengan netra menelisik. "Enak, kok, Bu," jawabku dengan tersenyum tipis menatapnya. "Kalau enak kenapa makannya malas-malasan, Mas?" Erika ikut bersuara. Nada bicaranya terdengar kesal. "Enak, kok," jawabku sembari memasukkan makanan ke dalam mulut dengan lahap. "Kamu ada masalah sama Andin? Dia kenapa? Sakit?" "Ibu tahu Andin sakit?" tanyaku terkejut. Jangan-jangan Andin memang sakit. Makanya dia terlihat lebih kurus. Entah kenapa aku jadi kepikiran Andin. "Seminggu yang lalu kan Ibu ada datang ke sana, minta dijahitkan baju. Badannya agak kurusan kayak orang sakit. Waktu Ibu tanya, katanya magh-nya kambuh." "Kok Andin nggak ada cerita ya? Biasanya dia paling susah nahan sakit dan memaksaku membelikannya obat. "Mas, kok bengong? Pasti mikirin Andin, ya?" Erika tampak merajuk. Wajahnya cemberut. Ibu mengkodeku supaya membujuk Erika. "Ini kamu yang masak? Enak. Mas habisin ya," pujiku berbohong berusaha membuatnya senang. Senyum Erika kembali merekah."Kapan kamu ceraikan Andin, Ibu sudah eneg lihat mukanya. Kemarin saja dia sudah berani menolak menjahitkan baju Ibu. Pake alasan sakit magh. Nggak perlu nunggu lama, menantu nggak guna dan memalukan itu secepatnya saja dicerai." Kuhembuskan napas pelan menanggapi perkataan Ibu barusan. Berat rasanya menceraikan Andin. Selama ini walaupun cerewet dan gendut, ia adalah istri yang baik, pengertian dan penurut. Masalah utama kami hanyalah soal anak. Sampai sekarang di usia pernikahan yang ketiga, Andin belum juga hamil. Sudah segala hal kami lakukan. Bahkan mungkin karena pengaruh suntik, obat dan sebagainya itulah yang membuatnya jadi gendut seperti sekarang. Aku tidak jadi menginap di rumah Ibu. Padahal sudah kukirim pesan pada Andin tidak akan pulang karena alasan lembur, tapi setelah mendengar cerita Ibu, perasaanku jadi tidak enak. Kuputuskan pulang cepat untuk memastikan Andin dalam keadaan baik-baik saja. *** Kutekan bel berulang kali tapi belum juga terdengar derap langkah kaki Andin ke depan pintu. Bahkan kupanggil namanya pun masih tidak ada sahutan. Aku ingat membawa kunci cadangan. Dengan kunci cadangan itu, pintu berhasil dibuka. Kaget. Saat pintu kubuka, di dalam keadaannya gelap, tapi lampu teras menyala. Aneh, apa lampu di dalam yang rusak? Tambah kaget setelah kutekan saklar di dinding, lampunya menyala. Artinya Andin yang lupa menghidupkan lampu di dalam rumah ini, tapi dimana dia? Kenapa main gelap-gelapan?Kupanggil dari tadi tidak ada sahutan darinya. Bahkan di kamar pun tidak kutemukan keberadaannya. Lampu kamar juga dalam keadaan mati. Ini sangat aneh. Aku duduk di tepi ranjang mengambil ponsel dan segera menghubunginya. Nomornya tidak aktif. Ponselnya mati? Ini makin tidak masuk diakal. Berulang kali mencoba menghubungi, tetap tidak bisa. Kemana dia pergi? Apa terjadi sesuatu padanya?Saat ingin beranjak pergi mataku tidak sengaja melihat sebuah kotak persegi dengan kertas kecil diatasnya. Terletak di atas nakas. Aku terpaku, apa itu? Kenapa baru sadar ada benda itu di sana? Untuk Bang Jaka. Di kertas kecil tersebut tertulis seperti itu. Apa ini kado dari Andin? Sudut bibirku tertarik ke atas. Sepertinya, Andin ingin memberikan sebuah kejutan, tapi bukankah sekarang bukan hari ulang tahunku? Jadi ini untuk apa?Kado ini sangat ringan saat kuangkat. Apa isinya, hingga tidak terasa berat. Penasaran segera kubuka kado tersebut. Mataku memicing saat melihatnya. Kosong. Hanya ada selembar kertas dengan tulisan tangan Andin. Ini pasti surat untukku. Tunggu, kukira kosong, ternyata ada benda lain. Seketika mataku melebar melihatnya. Bukankah ini testpack? Benda ini pernah kubeli di supermarket untuk mengecek kehamilan Erika. Untuk apa Andin memberikanku testpack dengan dua garis merah? Apa jangan-jangan ….Aku tahu rahasiamu, Bang.Degh. Kaget. Rahasiaku? Kalimat pembuka surat Andin, benar-benar memacu cepat degup jantungku. Selamat Bang, atas kehamilan perempuan itu. Kamu pasti bahagia 'kan, sampai-sampai berencana ingin menalakku. Oke, Bang, aku terima, karena itu sebelum kamu mengucapkannya, aku sudah terlebih dulu mengajukannya ke pengadilan agama. Jadi tidak perlu repot merangkai kata untuk menyampaikannya kepadaku. Tunggu saja. Paling tidak, dua-tiga hari bakalan datang surat gugatan dariku itu. Maaf kalau aku harus pergi dari rumah tanpa seizinmu. Jangan mencariku, karena aku tidak ingin ditemukan. Ini ada hadiah untukmu, Bang, siapa tahu kamu suka, atau kalaupun tidak suka, tidak mengapa, karena aku masih sanggup menjaganya. Andin. Tanganku gemetar membaca surat darinya. Jadi Andin sudah tahu semuanya? Kapan? Dan apakah test pack ini artinya … Andin hamil? Ya Tuhan … kenapa aku bisa sebodoh ini tidak mengetahui arti perubahan sikap Andin. Argh! "Andin …!" erangku memangg
"Jaka, kamu darimana saja?" Baru datang sudah dicecar pertanyaan oleh Ibu. "Mukanya kusut gitu? Andin?" Aku mendongak menatapnya saat disebut nama Andin. Hanya sebentar lalu terus berjalan masuk ke dalam menuju dapur. "Mama telepon juga nggak diangkat." Ibu penasaran. Ia mengekor langkahku sampai ke dapur. "Kamu kenapa, Jak? Lihat penampilanmu? Kacau begini." Ibu masih menelisik penampilanku. Diguncangnya tubuh ini tapi segera kutepis tangannya. Kuacuhkan dengan menuangkan air mineral ke dalam gelas dan menandaskannya. "Andin kabur, Bu," ungkapku dengan muka sedih setelah melepaskan dahaga. Aku nanar menatap atas meja yang kosong. "Kabur? Maksudnya?" Ibu mendekat dan menarik kursi di sebelahku. "Andin tahu kalau Jaka sudah menikah lagi. Andin pun tahu kalau sebentar lagi Ibu akan mendapatkan cucu. Sepertinya Andin marah dan memutuskan menggugat cerai." "Serius? Andin menggugat cerai kamu?" Kuanggukkan kepala, iya. Ibu tersenyum kecut. "Punya apa dia sampai berani melakukan s
Kami makan dalam diam. Erika bermuka masam sejak duduk didepan meja makan. Aku malas meladeninya apalagi bertanya untuk membujuknya. Entah apa lagi yang ia keluhkan. Pikiranku masih melayang ke mimpi malam tadi. Mimpi yang sangat buruk yang membuatku tidak dapat melanjutkan tidur, dan akhirnya malah duduk di depan laptop memaksakan diri bekerja."Sudahlah Jak, jangan terlalu khawatir dengan istrimu itu. Dia pasti balik. Minta cerai sok kecakepan. Badan besar dengan wajah pas-pasan memangnya bisa apa dia." Ibu masih menghina Andin. Memang sedari awal kami menikah, Ibu kurang setuju. Ibu ingin aku menikahi Erika--anak temannya. Ibu kurang suka karena Andin hanya anak yatim piatu dari keluarga biasa. Padahal Ibu tidak tahu, rumah yang kami tempati itu adalah rumah Andin. Bukan rumahku. Bahkan waktu dulu aku di PHK kerja, Andinlah yang membantu perekonomian kami. Ia membuka usaha menjahit, ditambah dengan rumah orang tuanya yang dikontrakkan dan hasilnya selalu ia bagi denganku. Lebih te
"Kamu siapa?" tanyaku pada lelaki itu. Aku kesulitan untuk mengingat orang yang saat ini berada di hadapan. Wajahnya tidak asing tapi tidak dapat kuraba dalam pikiran siapakah ia. "Maaf, saya cuma tetangga di sini. Saya dengar ada keributan. Kalau ada masalah bisa diselesaikan di dalam rumah, tidak perlu dengan teriak-teriak," ujarnya sok menasihati. Sepertinya memang iya. Dia hanya tetangga di sini. Mungkin cuma perasaanku saja karena wajahnya yang kuakui cukup rupawan mirip seorang artis di televisi hingga aku merasa pernah melihatnya. "Maaf, Mas. Masalahnya saya tidak suka orang ini di depan rumah saya. Sudah diusir tetap tidak mau pergi," sahut Lola mencari pembelaan. Orang-orang mulai datang menghampiri kami. Aku jadi risih diperhatikan, apalagi Lola menjelaskan seolah aku yang bersalah dan mencari keributan di depan rumahnya. Semua mata memandangku. Menatap heran penuh tanya. "Eh, jangan salah sangka dulu. Aku cuma ingin bertemu dengan istriku yang ada di rumahnya. Dia,"
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Kami bertiga duduk mengelilingi meja makan dalam diam. Ibu baru tiba dari rumahnya setelah kuminta datang segera ke sini. Kerumahku. Diteguknya air dingin yang disediakan oleh Erika sampai habis. "Ahhh …." Gumamnya setelah menandaskan minuman tersebut. "Jadi kamu menyuruh Ibu ke sini cuma untuk bermalam? Supaya tetanggamu tidak curiga?" tanyanya dengan tatapan tajam ke arahku. Kuanggukkan kepala mengiyakan. "Bukan bermalam, lebih tepatnya tinggal sampai Jaka bisa mengumumkan siapa Erika di komplek ini. Kalau kami cuma tinggal berdua dan dalam keadaan Erika yang sedang hamil, maka orang akan menuduh Jaka yang bukan-bukan. Jujur Sekarang pun siapa Erika bakal membahayakan posisi Jaka di perumahan ini." "Ini nih yang jadi merepotkan Ibu. Sudah dari awal Ibu minta kamu cerita saja sama Andin, jadi nggak kayak gini jadinya. Andin kabur ya kalau tetanggamu tahu, tentu kamu yang dituduh bejat di sini. Seolah Andin pergi dari rumah karena ka
Kukerjapkan mata dengan mulut yang menguap lebar. Mataku memicing mengitari sekeliling. Kamar ini … oh, ya aku ingat telah memutuskan tidur di rumah Ibu. Ini semua karena Erika berulah kembali ingin bermanja dan tidur denganku. Katanya semua ini karena permintaan bayi dalam kandungannya. Namun seketika mataku melebar saat melihat jam di atas nakas. Astaga! Aku telat. Bergegas turun dari ranjang dan ….Dbugh!! Aku terjatuh ke lantai. "Mas, kenapa?" Erika bertanya masih dengan mata tertutup. Mungkin ia terbangun saat mendengar suara benturan keras dariku yang terjatuh dari atas ranjang. "Argh! Kamu kenapa nggak bangunin Mas sih?" Bersungut kesal sambil meringis kesakitan. Aku menyalahkan Erika. "Aku juga baru bangun, Mas. Kok nyalahin aku," sanggahnya tidak mau disalahkan. Ia menguap lebar dan merebahkan diri lagi. Dasar, istri nggak becus. Paling tidak bangun lebih pagi, shalat subuh dan masak di dapur seperti kebiasaan Andin. Bukannya malah tidur. Aku hanya mengomel dalam hati,
Matahari sudah tidak nampak di langit, ia menghilang ketika awan menunjukkan warna kelabunya. Mirip seperti suasana hatiku saat ini, kelam. Mungkin dia ingin memuntahkan air matanya sama sepertiku yang diliputi kesedihan. Aku pulang dengan hati yang nelangsa. Sakit kepala tidak mau hilang sejak mendapatkan surat dari pengadilan. Surat gugatan cerai dari Andin. Kenapa harus dikirim ke kantor? Sekarang orang kantor jadi tahu kalau aku dan Andin akan bercerai. Sebenarnya ini semua karena kecerobohanku yang tidak segera menyimpan surat pemberitahuan gugatan cerainya Andin.***"Jak, ini kamu kasih ke Pak bos, tanyakan berkas yang kemarin sudah ditandatangani--" Boni terdiam. Aku yang semula masih menatap laptop berusaha menyelesaikan pekerjaan, mendongak ke arahnya. "Ini apa?" Matanya melirik ke arah surat gugatan cerai yang kuletakkan begitu saja di atas meja setelah membacanya. Segera kuraih dan menyimpannya ke dalam tas kerja."Bukan apa-apa," jawabku cepat tak ingin diketahui. "
Suasana rumah berbeda. Ada beberapa benda yang menghilang dari tempatnya. Seperti foto-foto Andin yang berjejer di dinding. Itu semua sudah tidak ada. Aku masuk ke dalam kamar. Hal yang sama terjadi juga. Foto Andin menghilang. Bahkan foto besar pernikahanku dengannya juga lenyap. Yang membuatku tercengang terdapat dua koper besar di depan lemari pakaian. Segera kuhampiri. Berat. Itu artinya ada isinya. Penasaran dengan cepat kebuka salah satu koper tersebut. Hah! Isinya pakaianku semua. Koper satunya kubuka juga, dan isinya pun sama. Semua pakaianku tersusun berantakan di dalamnya. Isi lemari pakaian juga kosong, semua pakaianku pasti sudah dimasukkan ke dalam koper tersebut."Argh!" Aku mengerang nyaring dan membanting kursi yang ada di depanku. Kesal. Apa benar semua ini pekerjaan Andin? Tega sekali dia melakukan semua ini. Paling tidak semua bisa dibicarakan baik-baik dan mungkin dengan rayuan mautku Andin mau rujuk kembali. Bukan seperti ini, Din, caranya. Ini sangat menge
Aku tidak menjawab permintaan Ibu untuk melepaskan Andin. Sulit untuk menjawab iya. Nyatanya hati ini masih menginginkannya. Hubunganku dengan Ibu sedikit renggang. Bukan maksud menjauhinya. Hanya sedikit menjaga jarak, dengan tidak mengajaknya banyak bicara, seperti yang biasanya kami lakukan. Aku tidak mungkin memusuhinya. Bagaimanapun ia orang yang paling berarti dalam hidupku. Diam-diam aku mengikuti Andin. Namun sayangnya ia lebih sering beraktivitas di dalam rumah. Dari cerita Ibu memang Andin menjadikan sebuah ruangan untuk tempat bisnisnya, dan memang berkembang pesat. Kuakui jiwa bisnis Andin dari dulu memang tinggi. Teknik marketing yang ia kuasai sangat menunjang usaha bisnis yang sedang ia geluti sekarang. *** "Abang tahu kenapa kuajak bertemu di luar?" Andin tiba-tiba menghubungiku untuk meminta bertemu. Aku senang, tapi di satu sisi juga tak tenang kenapa harus di luar? Kenapa tidak dibicarakan di rumahnya saja, karena aku akan kesana bersama Ibu pada hari ini, yai
"Namanya Albiru Fauzan. Umur 32 tahun." Aku tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan Karyo, orang suruhanku untuk memata-matai lelaki yang bernama Al. Yang kuingat nama lengkapnya saja. Albiru Fauzan. "Pak!" "Pak!" panggil Karyo membuyarkan lamunanku. "Ya," jawabku terkaget. "Bapak dengar saya kan?" tanyanya menyelidik, menatapku lekat."I--iya. Saya dengar. Lalu apa lagi?" Kuletakkan kembali gelas kopi yang sudah kosong. Kami melakukan pertemuan di sudut cafe, di pinggir jalan. "Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal sejak setahun yang lalu." Karyo melanjutkan ceritanya. "Mempunyai tiga tempat gym dan satu kantor." "Kantor? Kantor apa?" Keningku mengerut mendengarnya. Ternyata banyak juga bisnis yang ia geluti. Salut, semuda ini dia sudah mempunyai banyak usaha. Bisa jadi karena bantuan orang tua. "Oh, itu Pak Jaka. Kantor yang khusus untuk bertemu klien atau apa ya …." Karyo tampak berpikir. "Sudahlah, tidak penting. Terus apa lagi?" selaku memotong ucapannya. Rasa
Astaga … aku baru ingat kalau laki-laki itu adalah orang yang bertengkar denganku di depan rumah Lola. Sebenarnya bukan bertengkar, hanya saja waktu itu aku tidak suka dia ikut campur dan sok mengurusi urusan kami, hingga Lola merasa benar waktu itu dan memojokkanku di hadapan warga sana. Waktu itu dia ngaku tetangganya Lola? Kalau dia memang tetangga Lola, tapi kenapa bisa akrab dengan Andin? Apa jangan-jangan …. Dengan cepat kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menekan nomor Lola. "Lol, siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Andin?" Aku sampai lupa mengucap salam ketika panggilanku disambut olehnya di seberang sana. Bukan jawaban yang kudapat malah tawa terbahaknya yang ia semburkan. Sialan, dia paling suka mengejekku. "Puas!" serangku ketika tawanya mereda.Lola masih terkekeh kecil di ujung sana. "Lagian kamu menelepon langsung bertanya seperti itu, ya aku tertawa jadinya," jawabnya tidak mau disalahkan. "Seperti itu apanya?" tanyaku tidak paham maksud pertan
"An, aku pulang dulu," ucapnya memandangi wajah Andin dengan seulas senyum tipis. Ada yang berbeda dari tampilan Andin. Badannya lebih kurus dari sebelumnya dan dia semakin cantik walau tanpa polesan make up. Sudah lama tidak ketemu membuatku sedikit pangling melihatnya. "Iya Mas, hati-hati ya, dan terima kasih hadiahnya untuk Ghaffar dan Ghani," balas Andin. Ghaffar dan Ghani adalah nama kedua anak kembarku. Siapa laki-laki itu dan apa hubungannya dengan Andin? Aku dan Ibu masih terpaku di depan rumahnya. Andin sama sekali belum menyapa kami. Genggaman tangan Ibu begitu erat di lenganku. Kucoba mengusapnya sebagai upaya menenangkan. "Masuklah!" titah Andin tanpa senyum setelah lelaki itu pergi. Aku dan Ibu masuk dengan ragu. Kami berjalan beriringan dengan Andin yang memimpin di depan. Rangkulan tangan Ibu belum lepas dari lenganku. "Duduklah, saya ke kamar dulu menjemput Ghaffar dan Ghani. Mau minum apa?" Aku dan Ibu saling pandang. "Air putih saja," ucapku diaminkan Ibu de
Lagi aku membujuknya berharap sangat ia mau membantu. Hanya Lola harapanku satu-satunya. "Iya, tunggu saja kabar baik dariku. Kali ini kucoba percaya. Sudah ya, kututup." Lola mematikan teleponnya lebih dulu, obrolan kami pun berakhir. *** Hari ini Ibu sudah bisa pulang. Wajah Ibu masih pucat khas orang sakit. Ini pun terpaksa membawa pulang atas permintaannya. Bujukan untuk memaksanya tetap tinggal sehari lagi, sesuai rekomen dokter ditolaknya dengan alasan sudah bosan. "Jangankan Ibu, Jaka pun sama Bu, bosan ke rumah sakit terus. Bolak-balik kantor, rumah sakit, tapi kalau pulang sekarang, lalu Ibu sakit lagi gimana? Itu malah memperpanjang masa Ibu dirawat di sini." "Kamu sudah bosan ya urus Ibu? Iya, Ibu bisanya nyusahin kamu saja, sudah hancurin rumah tang--" "Hussstttt! Bukan itu, Bu. Bukan salah Ibu, tapi Jaka. Kalau Jaka bisa teguh sama prinsip Jaka, mau dibujuk bagaimanapun harusnya nggak akan goyah. Jadi stop menyalahkan diri sendiri. Ibu juga salah paham, Jaka nggak
Ibu dimasukkan ke IGD, dan sekarang dalam penanganan dokter. Aku terduduk lemas di kursi depan ruangan, menunggu dengan harap cemas. Ada penyesalan yang teramat dalam, karena ulahku Ibu sampai begini. Seharusnya tidak perlu kutanyakan pertanyaan yang bakal menyakiti hatinya, membuka tabir pesakitannya. "Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" Kuhampiri dengan cepat saat pintu ruangan UGD terbuka. Tampak seorang dokter keluar dari sana. "Anda anaknya Bu Menik?" Kuanggukkan kepala. "Syukur Ibu Menik cepat dibawa kemari. Kalau terlambat sedikit saja maka …." Dokter di depanku menggelengkan kepala dengan membuang napas pelan. "Lalu bagaimana kondisinya, dok?" ulangku karena ingin memastikan keadaannya, kuharap Ibu baik-baik saja. "Alhamdulillah masih bisa diselamatkan, tapi beliau masih dalam pantauan. Kita lihat perkembangannya. Kalau sudah membaik, maka bisa kita pindahkan segera ke ruang perawatan." Aku bernapas lega mendengarnya. Syukurlah Ibu tertolong. Aku tidak boleh ceroboh dan
"Bu …, Ibu!" panggilku di depan kamarnya. Tumben jam segini Ibu belum keluar dari kamarnya. Kulirik jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul enam pagi. Sebentar lagi aku harus berangkat kerja. "Bu …!" Kuulang kembali memanggil ibunda tercinta. Namun masih tidak ada sahutan. Perasaanku tiba-tiba jadi tidak enak. Segera kutekan ke bawah knop pintu dan terbuka. Kamar Ibu memang kuminta untuk tidak dikunci. Takut terjadi apa-apa karena sebulanan ini Ibu sering mengeluh tidak enak badan.Tampal Ibu masih terbaring di tempat tidurnya. Aku bergegas menghampiri. "Ya Allah. Badan Ibu panas sekali. Ibu demam?" Saat kuhampiri, refleks tangan ini menyentuh keningnya. memastikan bagaimana keadaannya saat ini. Kulihat Ibu menggigil. Bibirnya pucat. Melihatnya aku tak tega. "Kita ke dokter ya?" ajakku. Ibu menggeleng lemah. Ia ingin menegakkan badan, duduk, tapi kucegah. "Rebahan saja Bu, biar Jaka panggilkan dokter." Suaraku kunaikan sedikit untuk menekannya, agar mau menurut. Tan
Air mata luruh juga saat melihat dua malaikat kecil hadir di hadapanku. Tangis keras mereka, membuatku sadar kalau ini bukanlah mimpi, tapi nyata. Benar, Andin melahirkan bayi kembar laki-laki dengan normal. Secara bergantian dokter menyuruhku mendekap satu per satu bayi mungil yang wajahnya mirip sekali denganku dan mengazankan mereka. Lagi, air mata mengalir dengan derasnya. Suaraku bergetar saat melantunkan seruan solat ke dekat telinga mereka. Ada sesak yang menghimpit dada, kala diri ini merasakan kealpaan pada Tuhan, hingga tega berbuat zalim pada ibu dari anak-anak ini. Kedua bayi itu diberikan pada ibunya usai kuazankan untuk inisiasi menyusui dini. Kusapu bekas air mata yang tidak berhenti mengalir. Sama sepertiku, Andin pun meneteskan air mata, bahagia pastinya. "Terima kasih, tugasmu sudah selesai." Datar tanpa menatapku Andin berucap lirih. Aku tahu perkataan itu tertuju untukku.Namun aku masih terkesiap. Seakan tidak menyangka. Ucapannya bagaikan godam yang dihan
Ponselku yang tergeletak diatas meja berdering. Kulihat di layar depan tertera nomor asing. Walaupun ragu, tetap kuangkat dan berharap itu nomor Lola. Sudah tiga kali hari ini ada nomor asing yang masuk menelepon. Kukira itu Lola, ternyata bukan, hanya nomor tak penting menawarkan barang atau dari jasa asuransi. Ingin sekali mematikan ponsel ini, tapi lagi-lagi aku takut itu telepon dari Lola. Bodohnya aku tak mampu mendapatkan nomor telepon sahabat mantan istriku itu, tidak tidak mau memberikan. Aku hanya dimintanya untuk menunggu. "Andin di rumah sakit Harapan Bunda, cepatlah datang! Ia mau melahirkan." Suara Lola. Aku yakin itu karena dia memberikan informasi tentang Andin. lagian siapa yang tahu kondisi Andin kalau bukan dia, sahabatnya? mereka bahkan berjanji hidup semati. Namun Tuhan berkehendak lain. "Lola? Benarkan ini Lola?" Memastikan. "Kenapa masih bertanya? Siapa lagi yang mau memberitahukan tentang Andin ke kamu kalau bukan aku?" Gegas ia menjawab. Ternyata benar d