Kukerjapkan mata dengan mulut yang menguap lebar. Mataku memicing mengitari sekeliling. Kamar ini … oh, ya aku ingat telah memutuskan tidur di rumah Ibu. Ini semua karena Erika berulah kembali ingin bermanja dan tidur denganku. Katanya semua ini karena permintaan bayi dalam kandungannya.
Namun seketika mataku melebar saat melihat jam di atas nakas. Astaga! Aku telat. Bergegas turun dari ranjang dan ….Dbugh!! Aku terjatuh ke lantai. "Mas, kenapa?" Erika bertanya masih dengan mata tertutup. Mungkin ia terbangun saat mendengar suara benturan keras dariku yang terjatuh dari atas ranjang. "Argh! Kamu kenapa nggak bangunin Mas sih?" Bersungut kesal sambil meringis kesakitan. Aku menyalahkan Erika. "Aku juga baru bangun, Mas. Kok nyalahin aku," sanggahnya tidak mau disalahkan. Ia menguap lebar dan merebahkan diri lagi. Dasar, istri nggak becus. Paling tidak bangun lebih pagi, shalat subuh dan masak di dapur seperti kebiasaan Andin. Bukannya malah tidur. Aku hanya mengomel dalam hati, malas mengucapkan, yang ada kami akan bertengkar. Ya Allah, jadi kepikiran Andin. Dia lagi apa di sana? Baru beberapa hari ditinggalkan pergi, ternyata terasa sekali kehilangannya. "Masak apa Bu?" Aku masuk ke dapur dengan tergesa-gesa. "Awww …! Panas!" Lidahku terasa terbakar saat meneguk cepat kopi yang berada di atas meja. "Itu masih panas, Jak. Kenapa terburu-buru begitu?" Aku masih sibuk mengelap bekas semburan kopi di baju yang sedang kukenakan sekarang."Sudah ganti saja lagi bajumu, itu masih kotor nggak bakal hilang kalau nggak dicuci. Lagian kenapa bajumu kucek begini? Seperti tidak disetrika?" Kuhela napas dan membuangnya kasar. Ibu tidak tahu kalau cuma ini baju yang tersisa di sini. Baju kantorku yang lainnya ada di rumahku bersama Andin. Baju ini kucek karena Erika tidak pernah memperhatikan pakaianku. Ia cuma melipat dan meletakkannya ke lemari. Tidak seperti Andin. Lagi-lagi Andin. Ya, hanya Andin yang mengerti diriku seutuhnya. "Jak, kok malah bengong. Ayo cepat ganti, nanti telat ke kantornya," titah Ibu. Aku bergegas pergi menuju kamar. Mengambil baju yang kemarin. Tidak, baju ini sudah berbau. Penuh keringat dan kotor. Kuletakkan kembali ke dalam keranjang. Kuambil baju kaos oblong dan mengenakannya. "Mas, katanya telat, kok malah memakai baju biasa?" Mataku mendelik tajam ke arahnya. Lalu menggeleng dan keluar dari kamar. Malas meladeni Erika, hanya membuat darah tinggiku kumat. "Mas! Mas …!" Sayup kudengar panggilan darinya tapi tidak kugubris. Heran, darimana Ibu menemukan wanita pemalas sepertinya. Rasa menyesal tiba-tiba menyergap. Aku merasa sangat bersalah dengan Andin.*** "Bagaimana Jak? Kamu suka?" Ibu mengenalkanku pada teman anaknya yang bernama Erika. Wanita manis, cantik, berkulit putih mulus dan lebih muda dari Andin. Entah kenapa kepalaku mengangguk mengiyakan pertanyaan Ibu. Lelaki manapun kalau disuguhkan tampilan wanita seperti Erika, tentu saja menganggukkan kepala. Apalagi aku mulai bosan dengan penampilan istriku di rumah. Sudah badannya besar, wajah berjerawat dan selalu memakai daster di rumah membuat penampilannya semakin memuakkan untuk dipandang. Berbeda dengan wanita di hadapanku. Ia mengenakan dres selutut yang menampilkan kaki jenjangnya. Tingginya pun ideal sesuai dengan berat badannya. Ah … mataku jadi cerah dan segar membayangkan melihat Erika di rumah. "Tapi Bu bagaimana dengan Andin?" Aku merasa bersalah padanya karena telah menerima permintaan Ibu untuk menikahi Erika. Apalagi tadi mereka telah menentukan tanggal pernikahanku dengan Erika. Terlalu cepat dan terburu-buru. Entah kenapa aku cuma diam dan manut saja dengan semua yang dikatakan Ibu di sana. "Terserah kamu. Mau bilang silakan, mau diam-diam dulu juga boleh. Untung lo kamu dapat gadis lagi. Sudah itu cantik lagi, lebih cantik dari Andin. Eh … jauh. Bagai bumi dan langit deh mereka berdua. Orang tuanya juga nggak mempermasalahkan kamu yang sudah punya istri dengan catatan segera menceraikan istrimu itu. Ibu setuju, kamu setelah menikah dengan Erika, segera ceraikan Andin. Ibu sudah malas punya menantu yang nggak bisa dibangga-banggakan sedikitpun. Harta nggak ada, wajah pas-pasan, ngasih cucu juga belum. Kamu pasti kena pelet dia waktu dulu. Makanya Ibu minta kamu ruqyah, biar jin-jin kiriman Andin di badanmu itu hilang semua." Bingung mau menjawab apa, Ibu memang suka sekali menjelek-jelekkan Andin. Namun apa mungkin benar yang dikatakan Ibu? Dulu, kulihat Andin itu adalah gadis yang sangat cantik sebelum badannya melebar seperti sekarang ini. Banyak juga laki-laki lain yang mengejarnya dan akulah yang beruntung, menjadi pemenangnya. Entahlah … sebenarnya aku beruntung apa buntung mendapatkan Andin? Akhirnya aku menikah diam-diam tanpa sepengetahuan Andin. Aku izin padanya beralasan ada dinas pekerjaan ke luar kota, dan ia percaya begitu saja. Setiap seminggu sekali aku akan izin padanya ke luar kota, padahal tidak kemana-mana, hanya pergi ke rumah Ibu mengunjungi istri mudaku--Erika. Itulah yang membuatku masih betah dengannya, ia sangat mempercayai mulut suaminya ini. Sayang mulutnya saja yang cerewet dan suka bicara panjang lebar kalau lagi curhat atau cerita, selebihnya Andin adalah istri yang sempurna. Ternyata menikah lagi itu sangat menyenangkan. Hidup semakin berwarna dan cerah. Setiap pulang ke rumah Ibu, bawaannya sejuk, nyaman, apalagi kalau Erika sangat pintar memanjakanku di atas tempat tidur. Tidak seperti Andin. Memiliki dua istri ternyata membuatku bisa membandingkan dan menilai siapa yang terbaik dalam pelayanannya. Kalau Erika terbaik di tempat tidur, maka Andinlah yang terbaik dalam hal mengurus rumah tangga. Tangannya sangat terampil, berbeda dari Erika. Dia bisanya hanya mempercantik penampilan. Yang lainnya nol besar. *** "Pak Jaka, ini ada kiriman buat Bapak." Seorang OB di kantor memberikan sebuah amplop besar berwarna cokelat. Keningku mengerut melihatnya."Terima kasih, Yud," balasku segera mengambil amplop tersebut. Belum sepenuhnya kubuka amplop tersebut, bayangan Yudhi yang masih berdiri di depan meja mengusikku."Apa lagi? Ada kiriman yang lain?" tanyaku padanya dengan raut wajah bingung. "Eh, tidak. Pak Jaka penampilannya agak beda hari ini," tuturnya membuat kerutan di dahiku semakin bertambah.Kuperhatikan penampilan dari baju dan celana yang kukenakan. Alisku naik satu isyarat bertanya padanya. "Penampilan Bapak hari ini tidak Serapi sebelumnya. Eh, maaf Pak jangan tersinggung, cuma nanya. Kalau begitu saya pergi dulu," pamitnya mengundurkan diri dari hadapan dengan takut-takut. Kupindai kembali penampilanku. Lalu akhirnya mendesah pelan. Menyedihkan. Warna pakaian kerjaku tidak senada. Baju dan celana tidak sinkron, bertolak belakang, ditambah belum disetrika menjadi kurang enak dipandang. Lupakan, setelah ini kupinta Erika menyetrika semua pakaianku tanpa ada alasan apapun darinya. Sepertinya, orang seperti Erika harus dikerasin. Kalau tidak, dia akan semakin manja. Sekarang lebih baik fokus ke pekerjaan. Mata ini tidak sengaja melirik ke arah amplop yang hampir saja terlupakan. Entah apa isinya. Segera kubuka dan aku tercengang. Tanganku sampai gemetar saat membaca isinya. Surat dari pengadilan agama. Apakah ini ....Matahari sudah tidak nampak di langit, ia menghilang ketika awan menunjukkan warna kelabunya. Mirip seperti suasana hatiku saat ini, kelam. Mungkin dia ingin memuntahkan air matanya sama sepertiku yang diliputi kesedihan. Aku pulang dengan hati yang nelangsa. Sakit kepala tidak mau hilang sejak mendapatkan surat dari pengadilan. Surat gugatan cerai dari Andin. Kenapa harus dikirim ke kantor? Sekarang orang kantor jadi tahu kalau aku dan Andin akan bercerai. Sebenarnya ini semua karena kecerobohanku yang tidak segera menyimpan surat pemberitahuan gugatan cerainya Andin.***"Jak, ini kamu kasih ke Pak bos, tanyakan berkas yang kemarin sudah ditandatangani--" Boni terdiam. Aku yang semula masih menatap laptop berusaha menyelesaikan pekerjaan, mendongak ke arahnya. "Ini apa?" Matanya melirik ke arah surat gugatan cerai yang kuletakkan begitu saja di atas meja setelah membacanya. Segera kuraih dan menyimpannya ke dalam tas kerja."Bukan apa-apa," jawabku cepat tak ingin diketahui. "
Suasana rumah berbeda. Ada beberapa benda yang menghilang dari tempatnya. Seperti foto-foto Andin yang berjejer di dinding. Itu semua sudah tidak ada. Aku masuk ke dalam kamar. Hal yang sama terjadi juga. Foto Andin menghilang. Bahkan foto besar pernikahanku dengannya juga lenyap. Yang membuatku tercengang terdapat dua koper besar di depan lemari pakaian. Segera kuhampiri. Berat. Itu artinya ada isinya. Penasaran dengan cepat kebuka salah satu koper tersebut. Hah! Isinya pakaianku semua. Koper satunya kubuka juga, dan isinya pun sama. Semua pakaianku tersusun berantakan di dalamnya. Isi lemari pakaian juga kosong, semua pakaianku pasti sudah dimasukkan ke dalam koper tersebut."Argh!" Aku mengerang nyaring dan membanting kursi yang ada di depanku. Kesal. Apa benar semua ini pekerjaan Andin? Tega sekali dia melakukan semua ini. Paling tidak semua bisa dibicarakan baik-baik dan mungkin dengan rayuan mautku Andin mau rujuk kembali. Bukan seperti ini, Din, caranya. Ini sangat menge
"Syukurlah kandungannya masih bisa diselamatkan. Erika harus banyak istirahat, kata dokter ia harus bed rest total. Jangan terlalu banyak beraktivitas yang berat di masa trimester pertama karena masih rawan," ujar Ibu mengulang penjelasan dokter. "Untung saja cuma flek kecil, Ibu kaget waktu dia bilang ada darah, kira Ibu pendarahan," lanjutnya dengan mengelus dada. Kutarik napas perlahan dan membuangnya kasar setelah mendengar informasi dari Ibu. Lega, syukurlah Erika dan kandungannya masih dilindungi Tuhan, dan apa yang kuduga tidak terjadi. "Jak, tenanglah, Erika dan bayinya baik-baik saja. Sekarang kita harus ekstra menjaga Erika, biar kandungannya sehat." Ibu menepuk bahuku pelan mencoba menenangkan. Mungkin Ibu menyadari mataku yang menerawang dengan pikiran kosong seperti orang banyak pikiran. Ibu pikir masih mencemaskan Erika, padahal bukan, melainkan Andin. "Ingat, Jak. Secepatnya kamu urus perceraianmu dengan Andin. Ibu rasa faktor lain yang membuat Erika mengalami flek
Alunan nada menggema dari benda pipih yang berada di atas nakas. Entah sudah berapa berapa lama benda tersebut berdering, tapi tidak kuhiraukan. Pikiran kacau, bahkan setelah sampai di rumah Ibu, aku hanya merebahkan diri di kasur tidak ingin beranjak kemanapun. Masih dengan pakaian sama yang sudah tidak jelas bentuknya. Tanganku menggapai ke atas nakas mencari benda yang masih berdering tersebut. Suaranya memekakkan telinga, terlalu bising untukku yang saat ini butuh ketenangan. "Jaka, kamu kemana saja? Tidur? Ibu lama nungguin kamu hampir sejam kenapa tidak datang?" Omelan Ibu menyadarkanku yang lupa untuk kembali ke rumah sakit. Beringsut kuturuni ranjang dengan malas. "Iya, Bu. Maaf Jaka ketiduran," jawabku berbohong sembari melepas baju bersiap ke kamar mandi. "Jaka … Jaka. Benar dugaan Ibu kamu pasti tidur. Ya sudah, cepat ke sini, Ibu tunggu!" Telepon dimatikan Ibu sepihak. Sepertinya beliau marah. Aku sudah tidak peduli. Kulempar sembarang ponsel ke atas tempat tidur dan
POV Andin Sudah berapa lama aku berdiri di depan jendela. Menikmati gemericik air hujan yang turun membasahi bumi pertiwi. Buliran air bening hangat juga ikut merembes di pelupuk mata membasahi kedua pipi. Sudah sekian kali dihapus, jejaknya tetap masih ada. Kusibak gorden jendela, berharap sosok yang kutunggu itu hadir, tapi kenyataan tak seindah harapan. Lelaki yang sudah membersamaiku selama tiga tahun ini belum juga menampakkan batang hidungnya. Janjinya untuk pulang malam ini sepertinya hanya tinggal janji. Mungkin benar kabar itu kalau saat ini ia sedang bersenang-senang dengan wanita lain, seperti yang telah dilaporkan oleh seseorang kepadaku.*** "Andin, suamimu mana?" Dahiku mengernyit saat ditanya Lola seperti itu. Dia meneleponku bukan salam yang diucapkannya terlebih dahulu, melainkan sebuah pertanyaan yang mengherankan. "Salam dulu zheyenk, assalamualaikum," tegurku mengingatkan. "Iya, assalamualaikum. Waalaikumsalam," ujarnya menjawab sendiri salamnya. Aku hanya m
POV Andin. "Harus begini Lol?" Dahiku mengernyit diminta Lola membuat surat ucapan perpisahan. Menurutku, kita sekarang hidup di era teknologi yang berkembang pesat. Bukan jamannya lagi menggunakan surat sebagai alat komunikasi. Bisa saja kan langsung berkirim pesan lewat ponsel atau bikin video. "Ini biar lebih dramatis, Ndin. Biar Jaka itu tersayat hatinya. Kalau perlu menangis darah," sahut Lola dengan ekspresi wajah berlebihan. "Iya kalau dibaca. Kalau nggak? Sia-sia Lol," bantahku kurang yakin dengan ide Lola. Kami sekarang berada di rumahku mendiskusikan sebuah rencana yang dibuat Lola untuk membuat Bang Jaka menyesal. Lagipula Bang Jaka tidak akan pulang karena dia lagi bersenang-senang di rumah Ibu. Izinnya denganku ada kerjaan dinas ke luar kota. Padahal bohong belaka. Aku tahu semua ini dari informasi yang diberikan Lola. Orang suruhan Lola selalu cepat memberikan info terkini tentang Bang Jaka dan segala aktivitas yang dilakukannya. "Pasti dibaca, percaya sama aku. Le
Kucoba membuka tirai lebih lebar dari sebelumnya, tapi tetap saja wajahnya masih kurang jelas. Mungkin cuma perasaanku saja. Namun entah kenapa wajah itu sangat familiar bagiku. Kenapa juga tadi sok kenal, Padahal wajahnya saja tidak jelas terlihat. Sudahlah, lebih baik menunggu Lola masuk. Sekarang sakit kepalaku kambuh lagi. Mualnya pun ikutan juga. Sepaket. Jadi begini rasanya hamil? Nggak apa, aku harus kuat. Demi dia yang telah lama kunantikan. "Sehat-sehat ya Nak. Mama akan berusaha fighting untukmu." Kuelus lembut perut yang sudah mengembang sebelum hamil. Orang yang mengenalku sebelumnya pasti tidak mengira kalau sekarang perut gendutku ini ada isinya."Nyebelin. Suamimu itu nyebelin Ndin." Masuk ke dalam rumah, Lola marah-marah sambil berjalan menghentakkan kaki. . "Tadi pasti kamu ngintip kan?" tebaknya dengan muka kesal dan jawabannya benar. Aku menganggukkan kepala dengan tersenyum malu. "Memangnya Bang Jaka bilang apa?" Kucoba bertanya. "Dia bersikeras ingin berte
Rintik hujan mengawali status baru yang kusandang, duda. Status itu tidak akan kusandang lama, karena setelah ini aku telah mengajukan berkas untuk melegalkan pernikahanku dengan Erika. Artinya aku tetaplah berstatus pria beristri. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, kalau akhirnya aku harus berpisah dengan Andin. Dulu kami berjanji akan setia sampai mati. Mungkin itu yang membuat Andin tidak bisa menerima keputusanku menikahi wanita lain, dan menggugat cerai. Aku pun akan bertindak demikian andai dia yang lebih dulu mengkhianati pernikahan kami. Egois, iya. Itu sifat lelaki. Kami yang berkhianat, tapi kami tidak suka dikhianati.*** Hening. Hanya suara rintik hujan yang menemani perjalanan kami pulang ke rumah. Ibu mendadak jadi pendiam setelah mengetahui keadaan Andin. Ia tidak banyak bicara lagi. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Sebelumnya ia sangat bawel. Aku ingat selama sidang berlangsung, Ibu selalu mencuri pandang pada Andin. Bola matanya yang cokelat tidak pernah le
Aku tidak menjawab permintaan Ibu untuk melepaskan Andin. Sulit untuk menjawab iya. Nyatanya hati ini masih menginginkannya. Hubunganku dengan Ibu sedikit renggang. Bukan maksud menjauhinya. Hanya sedikit menjaga jarak, dengan tidak mengajaknya banyak bicara, seperti yang biasanya kami lakukan. Aku tidak mungkin memusuhinya. Bagaimanapun ia orang yang paling berarti dalam hidupku. Diam-diam aku mengikuti Andin. Namun sayangnya ia lebih sering beraktivitas di dalam rumah. Dari cerita Ibu memang Andin menjadikan sebuah ruangan untuk tempat bisnisnya, dan memang berkembang pesat. Kuakui jiwa bisnis Andin dari dulu memang tinggi. Teknik marketing yang ia kuasai sangat menunjang usaha bisnis yang sedang ia geluti sekarang. *** "Abang tahu kenapa kuajak bertemu di luar?" Andin tiba-tiba menghubungiku untuk meminta bertemu. Aku senang, tapi di satu sisi juga tak tenang kenapa harus di luar? Kenapa tidak dibicarakan di rumahnya saja, karena aku akan kesana bersama Ibu pada hari ini, yai
"Namanya Albiru Fauzan. Umur 32 tahun." Aku tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan Karyo, orang suruhanku untuk memata-matai lelaki yang bernama Al. Yang kuingat nama lengkapnya saja. Albiru Fauzan. "Pak!" "Pak!" panggil Karyo membuyarkan lamunanku. "Ya," jawabku terkaget. "Bapak dengar saya kan?" tanyanya menyelidik, menatapku lekat."I--iya. Saya dengar. Lalu apa lagi?" Kuletakkan kembali gelas kopi yang sudah kosong. Kami melakukan pertemuan di sudut cafe, di pinggir jalan. "Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal sejak setahun yang lalu." Karyo melanjutkan ceritanya. "Mempunyai tiga tempat gym dan satu kantor." "Kantor? Kantor apa?" Keningku mengerut mendengarnya. Ternyata banyak juga bisnis yang ia geluti. Salut, semuda ini dia sudah mempunyai banyak usaha. Bisa jadi karena bantuan orang tua. "Oh, itu Pak Jaka. Kantor yang khusus untuk bertemu klien atau apa ya …." Karyo tampak berpikir. "Sudahlah, tidak penting. Terus apa lagi?" selaku memotong ucapannya. Rasa
Astaga … aku baru ingat kalau laki-laki itu adalah orang yang bertengkar denganku di depan rumah Lola. Sebenarnya bukan bertengkar, hanya saja waktu itu aku tidak suka dia ikut campur dan sok mengurusi urusan kami, hingga Lola merasa benar waktu itu dan memojokkanku di hadapan warga sana. Waktu itu dia ngaku tetangganya Lola? Kalau dia memang tetangga Lola, tapi kenapa bisa akrab dengan Andin? Apa jangan-jangan …. Dengan cepat kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menekan nomor Lola. "Lol, siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Andin?" Aku sampai lupa mengucap salam ketika panggilanku disambut olehnya di seberang sana. Bukan jawaban yang kudapat malah tawa terbahaknya yang ia semburkan. Sialan, dia paling suka mengejekku. "Puas!" serangku ketika tawanya mereda.Lola masih terkekeh kecil di ujung sana. "Lagian kamu menelepon langsung bertanya seperti itu, ya aku tertawa jadinya," jawabnya tidak mau disalahkan. "Seperti itu apanya?" tanyaku tidak paham maksud pertan
"An, aku pulang dulu," ucapnya memandangi wajah Andin dengan seulas senyum tipis. Ada yang berbeda dari tampilan Andin. Badannya lebih kurus dari sebelumnya dan dia semakin cantik walau tanpa polesan make up. Sudah lama tidak ketemu membuatku sedikit pangling melihatnya. "Iya Mas, hati-hati ya, dan terima kasih hadiahnya untuk Ghaffar dan Ghani," balas Andin. Ghaffar dan Ghani adalah nama kedua anak kembarku. Siapa laki-laki itu dan apa hubungannya dengan Andin? Aku dan Ibu masih terpaku di depan rumahnya. Andin sama sekali belum menyapa kami. Genggaman tangan Ibu begitu erat di lenganku. Kucoba mengusapnya sebagai upaya menenangkan. "Masuklah!" titah Andin tanpa senyum setelah lelaki itu pergi. Aku dan Ibu masuk dengan ragu. Kami berjalan beriringan dengan Andin yang memimpin di depan. Rangkulan tangan Ibu belum lepas dari lenganku. "Duduklah, saya ke kamar dulu menjemput Ghaffar dan Ghani. Mau minum apa?" Aku dan Ibu saling pandang. "Air putih saja," ucapku diaminkan Ibu de
Lagi aku membujuknya berharap sangat ia mau membantu. Hanya Lola harapanku satu-satunya. "Iya, tunggu saja kabar baik dariku. Kali ini kucoba percaya. Sudah ya, kututup." Lola mematikan teleponnya lebih dulu, obrolan kami pun berakhir. *** Hari ini Ibu sudah bisa pulang. Wajah Ibu masih pucat khas orang sakit. Ini pun terpaksa membawa pulang atas permintaannya. Bujukan untuk memaksanya tetap tinggal sehari lagi, sesuai rekomen dokter ditolaknya dengan alasan sudah bosan. "Jangankan Ibu, Jaka pun sama Bu, bosan ke rumah sakit terus. Bolak-balik kantor, rumah sakit, tapi kalau pulang sekarang, lalu Ibu sakit lagi gimana? Itu malah memperpanjang masa Ibu dirawat di sini." "Kamu sudah bosan ya urus Ibu? Iya, Ibu bisanya nyusahin kamu saja, sudah hancurin rumah tang--" "Hussstttt! Bukan itu, Bu. Bukan salah Ibu, tapi Jaka. Kalau Jaka bisa teguh sama prinsip Jaka, mau dibujuk bagaimanapun harusnya nggak akan goyah. Jadi stop menyalahkan diri sendiri. Ibu juga salah paham, Jaka nggak
Ibu dimasukkan ke IGD, dan sekarang dalam penanganan dokter. Aku terduduk lemas di kursi depan ruangan, menunggu dengan harap cemas. Ada penyesalan yang teramat dalam, karena ulahku Ibu sampai begini. Seharusnya tidak perlu kutanyakan pertanyaan yang bakal menyakiti hatinya, membuka tabir pesakitannya. "Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" Kuhampiri dengan cepat saat pintu ruangan UGD terbuka. Tampak seorang dokter keluar dari sana. "Anda anaknya Bu Menik?" Kuanggukkan kepala. "Syukur Ibu Menik cepat dibawa kemari. Kalau terlambat sedikit saja maka …." Dokter di depanku menggelengkan kepala dengan membuang napas pelan. "Lalu bagaimana kondisinya, dok?" ulangku karena ingin memastikan keadaannya, kuharap Ibu baik-baik saja. "Alhamdulillah masih bisa diselamatkan, tapi beliau masih dalam pantauan. Kita lihat perkembangannya. Kalau sudah membaik, maka bisa kita pindahkan segera ke ruang perawatan." Aku bernapas lega mendengarnya. Syukurlah Ibu tertolong. Aku tidak boleh ceroboh dan
"Bu …, Ibu!" panggilku di depan kamarnya. Tumben jam segini Ibu belum keluar dari kamarnya. Kulirik jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul enam pagi. Sebentar lagi aku harus berangkat kerja. "Bu …!" Kuulang kembali memanggil ibunda tercinta. Namun masih tidak ada sahutan. Perasaanku tiba-tiba jadi tidak enak. Segera kutekan ke bawah knop pintu dan terbuka. Kamar Ibu memang kuminta untuk tidak dikunci. Takut terjadi apa-apa karena sebulanan ini Ibu sering mengeluh tidak enak badan.Tampal Ibu masih terbaring di tempat tidurnya. Aku bergegas menghampiri. "Ya Allah. Badan Ibu panas sekali. Ibu demam?" Saat kuhampiri, refleks tangan ini menyentuh keningnya. memastikan bagaimana keadaannya saat ini. Kulihat Ibu menggigil. Bibirnya pucat. Melihatnya aku tak tega. "Kita ke dokter ya?" ajakku. Ibu menggeleng lemah. Ia ingin menegakkan badan, duduk, tapi kucegah. "Rebahan saja Bu, biar Jaka panggilkan dokter." Suaraku kunaikan sedikit untuk menekannya, agar mau menurut. Tan
Air mata luruh juga saat melihat dua malaikat kecil hadir di hadapanku. Tangis keras mereka, membuatku sadar kalau ini bukanlah mimpi, tapi nyata. Benar, Andin melahirkan bayi kembar laki-laki dengan normal. Secara bergantian dokter menyuruhku mendekap satu per satu bayi mungil yang wajahnya mirip sekali denganku dan mengazankan mereka. Lagi, air mata mengalir dengan derasnya. Suaraku bergetar saat melantunkan seruan solat ke dekat telinga mereka. Ada sesak yang menghimpit dada, kala diri ini merasakan kealpaan pada Tuhan, hingga tega berbuat zalim pada ibu dari anak-anak ini. Kedua bayi itu diberikan pada ibunya usai kuazankan untuk inisiasi menyusui dini. Kusapu bekas air mata yang tidak berhenti mengalir. Sama sepertiku, Andin pun meneteskan air mata, bahagia pastinya. "Terima kasih, tugasmu sudah selesai." Datar tanpa menatapku Andin berucap lirih. Aku tahu perkataan itu tertuju untukku.Namun aku masih terkesiap. Seakan tidak menyangka. Ucapannya bagaikan godam yang dihan
Ponselku yang tergeletak diatas meja berdering. Kulihat di layar depan tertera nomor asing. Walaupun ragu, tetap kuangkat dan berharap itu nomor Lola. Sudah tiga kali hari ini ada nomor asing yang masuk menelepon. Kukira itu Lola, ternyata bukan, hanya nomor tak penting menawarkan barang atau dari jasa asuransi. Ingin sekali mematikan ponsel ini, tapi lagi-lagi aku takut itu telepon dari Lola. Bodohnya aku tak mampu mendapatkan nomor telepon sahabat mantan istriku itu, tidak tidak mau memberikan. Aku hanya dimintanya untuk menunggu. "Andin di rumah sakit Harapan Bunda, cepatlah datang! Ia mau melahirkan." Suara Lola. Aku yakin itu karena dia memberikan informasi tentang Andin. lagian siapa yang tahu kondisi Andin kalau bukan dia, sahabatnya? mereka bahkan berjanji hidup semati. Namun Tuhan berkehendak lain. "Lola? Benarkan ini Lola?" Memastikan. "Kenapa masih bertanya? Siapa lagi yang mau memberitahukan tentang Andin ke kamu kalau bukan aku?" Gegas ia menjawab. Ternyata benar d