Beranda / Pernikahan / Kado Biru Istriku / 13. Rencana Berpisah

Share

13. Rencana Berpisah

Penulis: Syarlina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

POV Andin.

"Harus begini Lol?" Dahiku mengernyit diminta Lola membuat surat ucapan perpisahan. Menurutku, kita sekarang hidup di era teknologi yang berkembang pesat. Bukan jamannya lagi menggunakan surat sebagai alat komunikasi. Bisa saja kan langsung berkirim pesan lewat ponsel atau bikin video.

"Ini biar lebih dramatis, Ndin. Biar Jaka itu tersayat hatinya. Kalau perlu menangis darah," sahut Lola dengan ekspresi wajah berlebihan.

"Iya kalau dibaca. Kalau nggak? Sia-sia Lol," bantahku kurang yakin dengan ide Lola. Kami sekarang berada di rumahku mendiskusikan sebuah rencana yang dibuat Lola untuk membuat Bang Jaka menyesal. Lagipula Bang Jaka tidak akan pulang karena dia lagi bersenang-senang di rumah Ibu. Izinnya denganku ada kerjaan dinas ke luar kota. Padahal bohong belaka. Aku tahu semua ini dari informasi yang diberikan Lola. Orang suruhan Lola selalu cepat memberikan info terkini tentang Bang Jaka dan segala aktivitas yang dilakukannya.

"Pasti dibaca, percaya sama aku. Le
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
dinati syarafina
bagussssss
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kado Biru Istriku   14. Pertemuan Tak Terduga, dam dimulainya sebuah kisah baru

    Kucoba membuka tirai lebih lebar dari sebelumnya, tapi tetap saja wajahnya masih kurang jelas. Mungkin cuma perasaanku saja. Namun entah kenapa wajah itu sangat familiar bagiku. Kenapa juga tadi sok kenal, Padahal wajahnya saja tidak jelas terlihat. Sudahlah, lebih baik menunggu Lola masuk. Sekarang sakit kepalaku kambuh lagi. Mualnya pun ikutan juga. Sepaket. Jadi begini rasanya hamil? Nggak apa, aku harus kuat. Demi dia yang telah lama kunantikan. "Sehat-sehat ya Nak. Mama akan berusaha fighting untukmu." Kuelus lembut perut yang sudah mengembang sebelum hamil. Orang yang mengenalku sebelumnya pasti tidak mengira kalau sekarang perut gendutku ini ada isinya."Nyebelin. Suamimu itu nyebelin Ndin." Masuk ke dalam rumah, Lola marah-marah sambil berjalan menghentakkan kaki. . "Tadi pasti kamu ngintip kan?" tebaknya dengan muka kesal dan jawabannya benar. Aku menganggukkan kepala dengan tersenyum malu. "Memangnya Bang Jaka bilang apa?" Kucoba bertanya. "Dia bersikeras ingin berte

  • Kado Biru Istriku   15. Terlalu Abai

    Rintik hujan mengawali status baru yang kusandang, duda. Status itu tidak akan kusandang lama, karena setelah ini aku telah mengajukan berkas untuk melegalkan pernikahanku dengan Erika. Artinya aku tetaplah berstatus pria beristri. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, kalau akhirnya aku harus berpisah dengan Andin. Dulu kami berjanji akan setia sampai mati. Mungkin itu yang membuat Andin tidak bisa menerima keputusanku menikahi wanita lain, dan menggugat cerai. Aku pun akan bertindak demikian andai dia yang lebih dulu mengkhianati pernikahan kami. Egois, iya. Itu sifat lelaki. Kami yang berkhianat, tapi kami tidak suka dikhianati.*** Hening. Hanya suara rintik hujan yang menemani perjalanan kami pulang ke rumah. Ibu mendadak jadi pendiam setelah mengetahui keadaan Andin. Ia tidak banyak bicara lagi. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Sebelumnya ia sangat bawel. Aku ingat selama sidang berlangsung, Ibu selalu mencuri pandang pada Andin. Bola matanya yang cokelat tidak pernah le

  • Kado Biru Istriku   16. Menyesali yang Telah Terjadi

    Ibu menangis dalam pelukanku. Ia sangat terpukul mengetahui cucu yang dinantikan kehadirannya telah tiada. Ya, anakku dalam kandungan Erika ternyata sudah meninggal, dan Erika tidak menyadarinya. *** "Anak bapak-ibu berkelamin laki-laki, ya." Bibirku mengulas senyum saat mendengarnya. Padahal sudah tahu dari USG lima bulan lalu yang dilakukan Erika. Itu adalah momen pertama dan terakhir menemaninya periksa. Seketika kening dokter di depanku ini mengernyit. Ia sangat serius menatap layar monitor. "Detak jantungnya tidak terdeteksi. Suaranya pun tidak terdengar." Matanya masih fokus ke layar segi empat tersebut."Frekuensi denyut jantung tidak terlihat di layar," lanjutnya lagi."Bahkan janin Ibu tidak bergerak. Lihatlah?" Dokter di depanku yang bernama Dokter Risa ini menunjuk gambar janin yang hanya diam tanpa gerakan apapun. Aku dapat melihatnya. Deg. Dadaku terasa nyeri."Dok, tolong cek lagi. Siapa tahu alatnya yang rusak!" Perasaanku sudah tidak enak. Aku harap alatnya meman

  • Kado Biru Istriku   17. Apa lagi Ini?

    Motor segera kutepikan di parkiran khusus roda dua setelah memasuki halaman rumah sakit. Berjalan dengan langkah cepat menuju ruangan perawatan Erika. Belum juga hilang rasa lelah yang mendera, ada lagi yang menambahkan, Erika. Entah kenapa istriku itu selalu membuat masalah. Tidak bisakah ia tenang sebentar tanpa membuat kehebohan. Mengamuk? Apa lagi yang harus diamukkan? Mataku memicing melihat pemandangan di depan mata ketika membuka pintu kamar inap. Erika, ia tertidur lelap dengan Mama Sisil yang duduk di sebelahnya. Tidak ada keributan yang dibuat istriku seperti yang diberitakan Ibu, lalu apa maksudnya meneleponku seperti itu hingga membuatku terdesak menuju kemari? Mataku juga mengerling ke arah Ibu mencari jawaban. Ia menganggukkan kepala seakan paham dengan apa yang kumaksud. "Kita bicara di luar, Jak," ajaknya. Kuikuti langkahnya yang lebih dulu berjalan keluar dan duduk di kursi yang berada di depan ruangan Erika. "Tadi Erika ngamuk teriak-teriak nggak bisa ditenangka

  • Kado Biru Istriku   18. Kenyataan yang Menyakitkan

    "Anaknya siapa?" ulangku lagi masih dengan suara lantang bertanya, ditambah tatapan tajam yang kuhunuskan ke arah mereka. Kedua ibu-anak yang berada di hadapanku ini berpegangan tangan dengan wajah pucat pias. Erika bahkan tidak berani menatapku. "Ehm … anak a--apa Jak. Kamu salah dengar. Maksud Erika itu." Dengan tergagap Mama Sisil menjawab. Gerak matanya tak fokus. Aku tahu ia gugup. "Saya tidak tuli Ma, saya masih bisa mendengar!" Selaku memotong ucapannya dengan suara tegas. Aku mendekat dan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan keduanya. Kulonggarkan dasi yang semakin menjerat leher setelah mengetahui pembicaraan rahasia mereka. Mama Sisil tampak menyenggol lengan Erika, dia bahkan melempar kode lewat tatapan matanya. Kenapa hal seperti ini ia tampakkan? Bukankah malah membuat kecurigaanku semakin nyata. "Ka--kami ta-di bicara tentang anaknya temanku. Dia sudah bercerai dan suaminya tidak tahu kalau anaknya telah meninggal. Makanya tadi kubilang dia berhak tahu ke

  • Kado Biru Istriku   19. Ketika Nasi sudah Menjadi Bubur

    Jam sebelas malam baru pulang ke rumah. Aku yang awalnya ingin pulang cepat, berubah pikiran karena tahu pasti Ibu akan memarahiku panjang lebar saat tiba. Kuputuskan berkeliling jalan raya dulu, mengulur waktu pulang. Keadaan rumah sepi saat kumasuki. Lampu ruang tamu dalam keadaan mati yang artinya Ibu pasti sudah tidur. Baru saja meletakkan tas kerja ke atas meja ruang tamu, aku malah dikejutkan oleh sebuah suara. "Akhirnya pulang juga kamu, Jak." Jantungku hampir copot saking terkejutnya. Lampu juga tetiba menyala dengan sendirinya bersamaan dengan suara yang menegurku barusan. Ibu. Ternyata ia belum tidur. Ia pasti sengaja menungguku pulang. "Mau kemana?" tanyanya ketika kaki ini ingin melangkah menuju kamar untuk menghindarinya. "Duduk!" titahnya dengan wajah datar. Matanya tajam menghunus padaku. Tidak ada senyum di kedua sudut bibirnya saat memerintahkan hal tersebut. Kuputar tubuh dan kembali menghadapnya. Aku duduk di depannya. Diam dan menunggu apa yang ingin dibic

  • Kado Biru Istriku   20. Penyesalan Selalu Datang di Akhir

    Mataku menyipit saat melihat nama yang tertera di layar depan ponsel. Pak Adnan--suami Bu Yayuk--tetangga seberang rumah Ibu. Ada apa beliau menghubungi? Apa ada masalah? Karena selama ini kami jarang berinteraksi dan berkomunikasi lewat gawai. Apalagi semenjak aku pindah dari rumah Ibu dan memutuskan tinggal di rumah yang yang baru bersama Andin. Interaksi yang pernah kami lakukan waktu dulu itu, hanya sekedar ngopi bareng sambil main catur, dan itupun terjadi saat kena giliran ngeronda bersama. Selebihnya jarang. Sesekali saja kala tak sengaja ketemu. Sedari tadi, gawaiku tidak berhenti juga bergetar yang artinya nomor itu masih menghubungi. Daripada penasaran, ada baiknya kuangkat saja, takutnya memang ada hal yang penting. "Assalamualaikum, Pak Jaka," sapa suara wanita di seberang sana terlebih dulu. Nadanya terdengar panik. Lo, bukankah ini nomornya Pak Adnan? Tapi kenapa malah suara wanita yang kudengar? Dan anehnya dia tahu namaku. Kulihat lagi layar depan ponsel untuk m

  • Kado Biru Istriku   21. Menyelidiki

    "Andin bakal punya anak kembar!" Bu Yayuk antusias mengatakannya. "Bu Yayuk tahu dari mana? Andin yang cerita?" Senyum lebar tidak lepas dari bibir Ibu. "Temannya yang bilang waktu itu. Selamat ya, Bu Menik bakal dapat dua cucu sekaligus." Seketika wajah Ibu yang awalnya bahagia, berubah murung mendengar ucapan selamat dari Bu Yayuk. Aku tahu apa penyebabnya. Sama sepertiku, ibu pun merasakannya juga. Senang ketika tahu bakal dapat dua anak sekaligus dalam kandungan Andin, berkah yang tidak terduga, tapi sedih karena anak itu tidak akan pernah dapat kusentuh. Aku tak yakin Andin bakal mengizinkanku mendekatinya. *** "Aaa ...!" Mataku mengerjap dengan posisi duduk. Napas masih tersengal, seakan baru saja habis berlari. Tidak! Mimpi itu datang lagi. Sejak Bu Yayuk cerita tentang Andin, mimpi buruk itu selalu datang. Mimpi ketemu Andin bersama dua anak kembar, tapi mereka tidak mau mendekat. Mereka lebih memilih pergi dengan laki-laki lain. Entah siapa lelaki itu, wajahnya tidak per

Bab terbaru

  • Kado Biru Istriku   Ending

    Aku tidak menjawab permintaan Ibu untuk melepaskan Andin. Sulit untuk menjawab iya. Nyatanya hati ini masih menginginkannya. Hubunganku dengan Ibu sedikit renggang. Bukan maksud menjauhinya. Hanya sedikit menjaga jarak, dengan tidak mengajaknya banyak bicara, seperti yang biasanya kami lakukan. Aku tidak mungkin memusuhinya. Bagaimanapun ia orang yang paling berarti dalam hidupku. Diam-diam aku mengikuti Andin. Namun sayangnya ia lebih sering beraktivitas di dalam rumah. Dari cerita Ibu memang Andin menjadikan sebuah ruangan untuk tempat bisnisnya, dan memang berkembang pesat. Kuakui jiwa bisnis Andin dari dulu memang tinggi. Teknik marketing yang ia kuasai sangat menunjang usaha bisnis yang sedang ia geluti sekarang. *** "Abang tahu kenapa kuajak bertemu di luar?" Andin tiba-tiba menghubungiku untuk meminta bertemu. Aku senang, tapi di satu sisi juga tak tenang kenapa harus di luar? Kenapa tidak dibicarakan di rumahnya saja, karena aku akan kesana bersama Ibu pada hari ini, yai

  • Kado Biru Istriku   Cerita Ibu

    "Namanya Albiru Fauzan. Umur 32 tahun." Aku tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan Karyo, orang suruhanku untuk memata-matai lelaki yang bernama Al. Yang kuingat nama lengkapnya saja. Albiru Fauzan. "Pak!" "Pak!" panggil Karyo membuyarkan lamunanku. "Ya," jawabku terkaget. "Bapak dengar saya kan?" tanyanya menyelidik, menatapku lekat."I--iya. Saya dengar. Lalu apa lagi?" Kuletakkan kembali gelas kopi yang sudah kosong. Kami melakukan pertemuan di sudut cafe, di pinggir jalan. "Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal sejak setahun yang lalu." Karyo melanjutkan ceritanya. "Mempunyai tiga tempat gym dan satu kantor." "Kantor? Kantor apa?" Keningku mengerut mendengarnya. Ternyata banyak juga bisnis yang ia geluti. Salut, semuda ini dia sudah mempunyai banyak usaha. Bisa jadi karena bantuan orang tua. "Oh, itu Pak Jaka. Kantor yang khusus untuk bertemu klien atau apa ya …." Karyo tampak berpikir. "Sudahlah, tidak penting. Terus apa lagi?" selaku memotong ucapannya. Rasa

  • Kado Biru Istriku   Kalah Saing

    Astaga … aku baru ingat kalau laki-laki itu adalah orang yang bertengkar denganku di depan rumah Lola. Sebenarnya bukan bertengkar, hanya saja waktu itu aku tidak suka dia ikut campur dan sok mengurusi urusan kami, hingga Lola merasa benar waktu itu dan memojokkanku di hadapan warga sana. Waktu itu dia ngaku tetangganya Lola? Kalau dia memang tetangga Lola, tapi kenapa bisa akrab dengan Andin? Apa jangan-jangan …. Dengan cepat kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menekan nomor Lola. "Lol, siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Andin?" Aku sampai lupa mengucap salam ketika panggilanku disambut olehnya di seberang sana. Bukan jawaban yang kudapat malah tawa terbahaknya yang ia semburkan. Sialan, dia paling suka mengejekku. "Puas!" serangku ketika tawanya mereda.Lola masih terkekeh kecil di ujung sana. "Lagian kamu menelepon langsung bertanya seperti itu, ya aku tertawa jadinya," jawabnya tidak mau disalahkan. "Seperti itu apanya?" tanyaku tidak paham maksud pertan

  • Kado Biru Istriku   Akhirnya Bertemu

    "An, aku pulang dulu," ucapnya memandangi wajah Andin dengan seulas senyum tipis. Ada yang berbeda dari tampilan Andin. Badannya lebih kurus dari sebelumnya dan dia semakin cantik walau tanpa polesan make up. Sudah lama tidak ketemu membuatku sedikit pangling melihatnya. "Iya Mas, hati-hati ya, dan terima kasih hadiahnya untuk Ghaffar dan Ghani," balas Andin. Ghaffar dan Ghani adalah nama kedua anak kembarku. Siapa laki-laki itu dan apa hubungannya dengan Andin? Aku dan Ibu masih terpaku di depan rumahnya. Andin sama sekali belum menyapa kami. Genggaman tangan Ibu begitu erat di lenganku. Kucoba mengusapnya sebagai upaya menenangkan. "Masuklah!" titah Andin tanpa senyum setelah lelaki itu pergi. Aku dan Ibu masuk dengan ragu. Kami berjalan beriringan dengan Andin yang memimpin di depan. Rangkulan tangan Ibu belum lepas dari lenganku. "Duduklah, saya ke kamar dulu menjemput Ghaffar dan Ghani. Mau minum apa?" Aku dan Ibu saling pandang. "Air putih saja," ucapku diaminkan Ibu de

  • Kado Biru Istriku   siapa Lelaki Itu?

    Lagi aku membujuknya berharap sangat ia mau membantu. Hanya Lola harapanku satu-satunya. "Iya, tunggu saja kabar baik dariku. Kali ini kucoba percaya. Sudah ya, kututup." Lola mematikan teleponnya lebih dulu, obrolan kami pun berakhir. *** Hari ini Ibu sudah bisa pulang. Wajah Ibu masih pucat khas orang sakit. Ini pun terpaksa membawa pulang atas permintaannya. Bujukan untuk memaksanya tetap tinggal sehari lagi, sesuai rekomen dokter ditolaknya dengan alasan sudah bosan. "Jangankan Ibu, Jaka pun sama Bu, bosan ke rumah sakit terus. Bolak-balik kantor, rumah sakit, tapi kalau pulang sekarang, lalu Ibu sakit lagi gimana? Itu malah memperpanjang masa Ibu dirawat di sini." "Kamu sudah bosan ya urus Ibu? Iya, Ibu bisanya nyusahin kamu saja, sudah hancurin rumah tang--" "Hussstttt! Bukan itu, Bu. Bukan salah Ibu, tapi Jaka. Kalau Jaka bisa teguh sama prinsip Jaka, mau dibujuk bagaimanapun harusnya nggak akan goyah. Jadi stop menyalahkan diri sendiri. Ibu juga salah paham, Jaka nggak

  • Kado Biru Istriku   Mencari Cara

    Ibu dimasukkan ke IGD, dan sekarang dalam penanganan dokter. Aku terduduk lemas di kursi depan ruangan, menunggu dengan harap cemas. Ada penyesalan yang teramat dalam, karena ulahku Ibu sampai begini. Seharusnya tidak perlu kutanyakan pertanyaan yang bakal menyakiti hatinya, membuka tabir pesakitannya. "Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" Kuhampiri dengan cepat saat pintu ruangan UGD terbuka. Tampak seorang dokter keluar dari sana. "Anda anaknya Bu Menik?" Kuanggukkan kepala. "Syukur Ibu Menik cepat dibawa kemari. Kalau terlambat sedikit saja maka …." Dokter di depanku menggelengkan kepala dengan membuang napas pelan. "Lalu bagaimana kondisinya, dok?" ulangku karena ingin memastikan keadaannya, kuharap Ibu baik-baik saja. "Alhamdulillah masih bisa diselamatkan, tapi beliau masih dalam pantauan. Kita lihat perkembangannya. Kalau sudah membaik, maka bisa kita pindahkan segera ke ruang perawatan." Aku bernapas lega mendengarnya. Syukurlah Ibu tertolong. Aku tidak boleh ceroboh dan

  • Kado Biru Istriku   Jatuh Sakit

    "Bu …, Ibu!" panggilku di depan kamarnya. Tumben jam segini Ibu belum keluar dari kamarnya. Kulirik jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul enam pagi. Sebentar lagi aku harus berangkat kerja. "Bu …!" Kuulang kembali memanggil ibunda tercinta. Namun masih tidak ada sahutan. Perasaanku tiba-tiba jadi tidak enak. Segera kutekan ke bawah knop pintu dan terbuka. Kamar Ibu memang kuminta untuk tidak dikunci. Takut terjadi apa-apa karena sebulanan ini Ibu sering mengeluh tidak enak badan.Tampal Ibu masih terbaring di tempat tidurnya. Aku bergegas menghampiri. "Ya Allah. Badan Ibu panas sekali. Ibu demam?" Saat kuhampiri, refleks tangan ini menyentuh keningnya. memastikan bagaimana keadaannya saat ini. Kulihat Ibu menggigil. Bibirnya pucat. Melihatnya aku tak tega. "Kita ke dokter ya?" ajakku. Ibu menggeleng lemah. Ia ingin menegakkan badan, duduk, tapi kucegah. "Rebahan saja Bu, biar Jaka panggilkan dokter." Suaraku kunaikan sedikit untuk menekannya, agar mau menurut. Tan

  • Kado Biru Istriku   Penolakan Andin

    Air mata luruh juga saat melihat dua malaikat kecil hadir di hadapanku. Tangis keras mereka, membuatku sadar kalau ini bukanlah mimpi, tapi nyata. Benar, Andin melahirkan bayi kembar laki-laki dengan normal. Secara bergantian dokter menyuruhku mendekap satu per satu bayi mungil yang wajahnya mirip sekali denganku dan mengazankan mereka. Lagi, air mata mengalir dengan derasnya. Suaraku bergetar saat melantunkan seruan solat ke dekat telinga mereka. Ada sesak yang menghimpit dada, kala diri ini merasakan kealpaan pada Tuhan, hingga tega berbuat zalim pada ibu dari anak-anak ini. Kedua bayi itu diberikan pada ibunya usai kuazankan untuk inisiasi menyusui dini. Kusapu bekas air mata yang tidak berhenti mengalir. Sama sepertiku, Andin pun meneteskan air mata, bahagia pastinya. "Terima kasih, tugasmu sudah selesai." Datar tanpa menatapku Andin berucap lirih. Aku tahu perkataan itu tertuju untukku.Namun aku masih terkesiap. Seakan tidak menyangka. Ucapannya bagaikan godam yang dihan

  • Kado Biru Istriku   22. Yang Diharapkan Akan Hadir

    Ponselku yang tergeletak diatas meja berdering. Kulihat di layar depan tertera nomor asing. Walaupun ragu, tetap kuangkat dan berharap itu nomor Lola. Sudah tiga kali hari ini ada nomor asing yang masuk menelepon. Kukira itu Lola, ternyata bukan, hanya nomor tak penting menawarkan barang atau dari jasa asuransi. Ingin sekali mematikan ponsel ini, tapi lagi-lagi aku takut itu telepon dari Lola. Bodohnya aku tak mampu mendapatkan nomor telepon sahabat mantan istriku itu, tidak tidak mau memberikan. Aku hanya dimintanya untuk menunggu. "Andin di rumah sakit Harapan Bunda, cepatlah datang! Ia mau melahirkan." Suara Lola. Aku yakin itu karena dia memberikan informasi tentang Andin. lagian siapa yang tahu kondisi Andin kalau bukan dia, sahabatnya? mereka bahkan berjanji hidup semati. Namun Tuhan berkehendak lain. "Lola? Benarkan ini Lola?" Memastikan. "Kenapa masih bertanya? Siapa lagi yang mau memberitahukan tentang Andin ke kamu kalau bukan aku?" Gegas ia menjawab. Ternyata benar d

DMCA.com Protection Status