KrekeeeekSuara pintu yang berdecit ketika Tama menutup pintu rumah Mang Yayat kini terdengar dengan sangat pelan oleh kedua telinganya, mungkin karena saat ini dia berada di suatu kampung yang sangat sunyi dan sepi. Sehingga suara yang kecil saja bisa terdengar oleh dirinya sehingga hal itu membuatnya sedikit agak kaget.Rumah Mang Yayat berada di paling depan di Kampung Sepuh, sehingga Tama dengan jelas bisa melihat pepohonan yang menjulang tinggi di sebelah rumah Mang Yayat, yang menjadi pembatas antara Kampung Sepuh dan jalanan yang menembus ke jalan provinsi di depan sana.Pepohonan karet dan kayu jati yang para warga tanam, dan akan dipanen di waktu-waktu tertentu terlihat seram ketika malam tiba. Apalagi ketika sinar dari lampu minyak tidak bisa menyinari semua kegelapan yang ada di sekeliling Tama, sehingga membuat Tama agak ragu untuk melangkah, bahkan beberapa kali dia mengurungkan niatnya dan berbalik untuk membuka kembali pintu rumah yang sudah dia tutup sebelumnya.Namun,
Sebuah hawa dingin yang menusuk kulit kini kembali terjadi di dalam warung, lampu-lampu minyak yang menyala kini mendadak redup seperti tertiup angin yang entah darimana. Benda-benda itu seperti tidak bisa mempertahankan cahayanya ketika ada sesuatu yang terjadi di warung tempat aku berdiam diri di malam ini. Aku yang sibuk membaca kembali catatan-catatan yang sudah aku tulis selama beberapa tahun ini di dalam warung, seketika langsung berdiri dan menoleh ke arah luar, dan tak lama aku pun menyimpan kembali catatan tersebut di atas lemari uang yang ada di sebelahku. Aku berjalan secara perlahan ke arah depan, di saat lampu-lampu minyak yang menerangiku kini memancarkan cahaya yang sedikit redup, bahkan barang-barang dagangan yang menggantung di warung mendadak bergerak sendiri, warung seolah-olah bergetar dengan hebat pada saat itu. Sehingga, aku yakin akan ada sesuatu yang datang ke warung dengan niat yang tidak baik. Aku yakin hal itu terjadi atas apa yang aku lakukan tadi siang.
Mas Parto dan Istrinya, serta Parman tampaknya masih terbangun dan menemani Yuyun, Citra dan Esih yang masih sibuk dengan laporanya meskipun waktu sudah mulai gelap. Mereka terlihat seperti sedang melakukan wawancara untuk bahan laporan mereka sebagai kuisioner atas apa yang mereka lakukan tadi siang terhadap anak-anak di kampung, dan harapan dari para warga atas apa yang mereka kerjakan. Yuyun, Esih dan Citra tidak mewawancarai Mas Parto dengan serius, terkadang mereka tertawa dengan penuh senyum karena terkadang Mas Parto bercanda atas apa yang ditanyakan. “Ya mau gimana lagi atuh Mbak yu, aku aja yang tinggalnya jauh dari tempat ini saja terpikat sama kampung ini mah, apalagi ketika ketemu dengan si Ibu, uh makin cinta deh dengan kampung ini,” Katanya dengan sedikit tersenyum. “Ya paling kalau saran ya, minimal di kampung ini dibangun satu sekolah lagi lah, yaitu sekolah menengah, biar anak-anak kampung gak terlalu jauh menyusuri sawah ke Kampung Parigi untuk sekolah.” “Kalian j
Obrolan itu berlangsung singkat, Esih yang mengetahui tentang Kampung Sepuh versi dirinya, mau tidak mau harus menjelaskan kenapa dia mengetahui tentang kampung ini ketika malam tiba. Esih bercerita bahwa dia pernah sekali ke Kampung Sepuh saat dia dan bapaknya sedang mencari Cepi, saudaranya. Juga menjelaskan tentang Mang Badru dan Mang Suhay yang dulu pernah dia temui, Esih terpaksa jujur kepada keluarga Mas Parto kala itu. Karena dia sudah tidak bisa lagi mengelak atas pertanyaan yang dia tujukan kepadanya. Bu Lela hanya tersenyum ketika dia mendengar jawabannya, dia bersyukur bahwa Esih tidak seperti orang-orang yang datang ke kampung ini pada malam hari untuk melakukan ritual di Gunung Sepuh. Namun ternyata dia dan bapaknya lah yang membantu Amat dan para pemilik layar tancap untuk keluar dari jeratan para makhluk yang menjebaknya di dalam sana. Bu Lela yang awalnya curiga kepada Esih kini malah berterima kasih atas apa yang dia dan bapaknya lakukan, karena dirinya sebagai warg
Aku menutup pintu rumah Mas Parto dengan sangat rapat, dan berteriak dari luar agar mereka segera mengunci kembali pintu itu dan tidak keluar hingga pagi tiba. Yuyun dan Citra tampak kebingungan, wajah-wajah shock pun terlihat karena kejadian tersebut terjadi dengan cepat dan tanpa bisa mereka perkirakan sebelumnya. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, mereka hanya terdiam di depan pintu yang tersinari oleh lampu minyak yang menyala di dinding dibelakang mereka. Saking shocknya mereka, nafas mereka terasa sangat berat dan sama sekali tidak bisa berbicara dengan tubuhnya yang mendadak kaku. Esih yang menyadari hal itu langsung mengunci pintu dan menepuk pundak mereka berdua, berusaha agar mereka menjauh dari pintu karena dia yakin situasinya masih belum aman. “Yuyun, Citra, sadar, sadar hey, sadar!” Kata Esih yang menepuk pundak mereka dengan sedikit agak keras. Yuyun dan Citra yang awalnya terdiam langsung berkedip beberapa kali, menggerakan tangannya secara tiba-tiba dan pandangan
Yuyun dan Citra pun hanya bisa terdiam dengan wajah yang tidak percaya atas ucapan Mas Parto pada saat itu.Bagaimana tidak, sebagai seorang mahasiswa yang sudah menghabiskan banyak waktunya untuk hidup di kota-kota besar. Kini mereka terpaksa harus percaya kepada tahayul yang dibicarakan oleh salah satu warga kampung yang ada di depannya.Sebuah kampung terpencil yang harus hidup di dalam rumah ketika malam, dan mereka hanya bisa keluar untuk beraktivitas kembali ketika pagi menjelang.Mereka sudah melakukan hal itu bertahun-tahun, bahkan karena hal itu berlangsung lama. Para warga kampung sudah terbiasa akan hal itu, dan menganggap hal tersebut menjadi bagian dari hidupnya selama berada di Kampung Sepuh.“Aku yakin kalian tidak percaya, namun apakah kalian tidak pernah bertanya pada diri kalian, kalau memang ucapanku adalah suatu kebohongan, terus apa yang terjadi kepada teman kalian yang satu ini,” Kata Mas Parto yang menunjuk ke arah Tama yang masih tak sadarkan diri disana.Yuyun
Yoga yang kini masih duduk sendirian dengan berbagai laporan yang harus dia tulis di malam itu, dia sama sekali tidak mempedulikan teman-temannya yang belum pulang sekarang. Dia hanya memikirkannya sekali dan kembali fokus kepada catatan-catatan yang berserakan di depannya. Yoga memang anak yang pintar, dia masuk Fikom memakai jalur prestasi dan beasiswa atas apa yang dia capai sewaktu SMA. Apalagi pada saat itu pula dia aktif di radio sekolah, dan juga sempat menjadi ketua OSIS di SMA nya, sebuah SMA terkenal di Kota Bandung yang sudah terkenal mencetak siswa-siswa terbaik seperti Yoga. Sehingga wajar, dia yang seolah-olah menjadi pemimpin dan ketua dari kelompok KKN yang mereka lakukan di Kampung Parigi ini, dengan keahliannya dia bisa berkomunikasi dan mengarahkan semua program kerjanya kepada Pak Kades dan para warga, bahkan dengan para anggota kelompok KKN sehingga program kerja yang mereka jalankan bisa berjalan lancar seperti sekarang. Apalagi, program kerja irigasi kampung a
Keh keh kehKeh keh kehKEH KEH KEHSuara dari seorang nenek-nenek yang tampaknya sedang melewati pintu rumah yang sedang Yoga tempati memang terdengar pelan.HaaaaaahhhhhHaaaaaahhhhhYoga terdiam dengan nafas yang berat, namun karena waktu yang tepat berada di sepertiga malam, membuat telinganya sangat sensitif terhadap suara-suara sekecil apapun. Sehingga, dia yang kini sedang berada di dalam kamar para perempuan pun mendengar suara yang ada di dekat pintu rumahnya.DegDegDeg, deg, deg,Jantung Yoga tiba-tiba berdetak dengan sangat kencang, dia hanya terdiam tanpa bisa melakukan gerakan apapun di dalam kamar. Lampu minyak yang terang dan menjadi penerangan satu-satunya di rumah itu, saat ini dia bawa ke dalam kamar. Sehingga dia tidak tahu kondisi di ruangan tengah karena kondisinya pasti sangat gelap.Wajahnya yang awalnya santai menanggapi hal-hal yang seperti ini kini perlahan mulai panik, tubuhnya bergetar dengan sangat hebat, bahkan beberapa kali dia hampir menjatuhkan lampu
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya
Rasa dingin yang menusuk kulit kini aku rasakan kembali di depan warung yang sangat sunyi dan sepi ini, kejadian yang terjadi dalam seminggu yang lalu membuatku banyak berpikir tentang apa yang aku hadapi di dalam Gunung Sepuh yang gelap itu. Fuhhhhhhhh Asap tebal mengepul keluar dari mulutku, aku yang kembali beraktifitas seperti biasa kini duduk di depan warung seperti biasa. Menikmati suasana malam yang ada di depan warung ini sambil menghisap rokok kretek yang menjadi teman satu-satunya bagiku di setiap malamnya. Aku kembali banyak melamun atas kejadian yang menimpaku pada saat itu, keilmuan yang aku pelajari dan aku asah, rupanya masih belum cukup untuk menjaga keluargaku, bahkan untuk menjaga Kampung Sepuh yang sudah dipercayakan oleh leluhurku sewaktu dia mendapatkan kutukan ini. Apalagi, dibalik rasa senang dan haru ketika Ujang lahir di dunia ini, ada rasa khawatir yang semakin lama semakin besar, rasa yang muncul apabila dia harus menjadi seseorang yang sepertiku, terkeka
“Enggak, enggak, enggak, kamu bukan manusia, kamu bukan karyawanku!”“Mana karyawanku semua, karyawan yang shift malam yang seharusnya bekerja di tempat ini sekarang?”Doni benar-benar panik karena di depannya terlihat sebuah sosok yang tidak dia kenali, wajahnya yang tampak hancur kini terlihat jelas ketika cahaya dari korek apinya menyinari dirinya dari dekat.Doni beberapa kali berteriak memanggil karyawan yang seharusnya bekerja di shift malam pada malam ini, tubuhnya yang awalnya tidak bergerak kini mendadak kaku sehingga dia tidak melarikan diri dan keluar dari ruangan produksi tersebut.“Kenapa, Bapak tidak mengakui kami sebagai karyawan lagi?” Kata sosok itu yang kini tersenyum dengan giginya yang hancur dan menyisakan beberapa gigi yang masih tersisa di dalam wajahnya yang remuk dan tidak berbentuk itu.“Bapak tidak ingat, aku adalah orang yang terkena mesin ini Pak sehingga wajahku hancur, aku seperti didorong oleh sesuatu yang membuat kepalaku terkena mesin press dan mening
Sudah beberapa hari ini, Doni termenung di meja kerjanya, surat-surat resign yang dia terima dari bagian HRD pabriknya kini berserakan di mejanya.Semenjak kejadian itu, karyawan Doni banyak sekali yang mengundurkan diri, tidak hanya karyawan produksi yang selama ini mengawasi mesin-mesin besar untuk pabriknya, namun banyak juga staf-staf di divisi tertentu yang tiba-tiba resign dengan berbagai alasan.Meja Doni kini tampak berantakan, kertas-kertas coretan yang bertumpuk dengan file-file berkas tentang laporan penjualan yang kini menurun akibat kekurangan staf dan pekerja kini memenuhi sebagian meja kerjanya pada saat itu.Alat-alat tulis yang awalnya rapi pun kini berserakan tidak karuan, Doni yang awalnya menyukai kerapihan dan kesempurnaan kini mendadak tidak peduli dengan ruangan kerjanya sendiri. Bahkan, dia lebih banyak termenung sekarang, menyesali semua perbuatannya yang dia lakukan beberapa hari yang lalu.Jujur, dia bukan menyesal karena dia melakukan hal itu, namun dia men