[Gimana rasanya dimadu, Lin? Tunggu saja tanggal mainnya, kamu pasti akan dicampakkan][Nggak perlu mikir pusing siapa saya. Yang harus kamu pikirkan adalah gimana caranya kamu bisa hamil agar kembali mendapatkan perhatian dan cinta] [Tak perlu telepon! Aku hanya ingin memberitahumu. Setelah anak itu lahir, kamu pasti akan semakin dimasabodohkan. So, segera ambil keputusan sekarang, daripada penderitaanmu makin panjang]Aku masih memikirkan siapa pengirim pesan-pesan itu. Lamunanku buyar saat Mas Gilang mengucap salam setelah pulang dari masjid. Dia meletakkan kembali sarung dan sajadahnya ke dalam lemari, lalu mengganti koko dengan kaos pendeknya. "Kenapa, Lin?" Mas Gilang mengangkat kedua alisnya menatapku. Mungkin dia menyadari ekspresiku yang berbeda saat ini. Aku menghela napas pelan. "Mas tahu nomor ini nggak?" tanyaku kemudian. Aku serahkan handphone yang berisi pesan dari nomer tak dikenal itu ke telapak tangannya. Laki-laki itu berpikir sejenak lalu mengernyitkan dahi. "G
Aku ikut berjalan tergesa mengikuti langkah Mas Gilang menuju kamar dahlia nomor tujuh. Sebelumnya, kami sudah menjemput ibu di kontrakan Maya. Ibu terlihat kecapekan karena jalan lumayan cepat menuju kamar menantunya itu. "Pelan-pelan saja, Bu. Biar Mas Gilang yang duluan," pintaku pada Ibu, disertai anggukan pelan. Kuminta Mas Gilang menuju kamar Maya lebih dulu, aku dan ibu menyusul belakangan. Wajah ibu tampak begitu tirus, lebih tepatnya kurus. Semenjak dia tinggal bersama Maya, sepertinya dia kurang terurus. Beberapa kali kudengar ibu mengeluh pada Mas Gilang di telepon. Dia bilang capek, pusing, kurang tidur dan lainnya. Kadang aku merasa kasihan pada ibu, tapi ya sudahlah toh semua keinginannya sendiri. Mas Gilang sempat meminta ibu untuk kembali ke rumahku, tapi dia menolak. Dia bilang, Maya masih labil. Dia sering marah-marah nggak jelas, terkadang memukul-mukul sendiri perutnya. Ibu takut Maya kelewat batas, hingga membahayakan janin yang ada di dalam perutnya.Ibu tak i
"Ibu mau pulang atau di sini menjaga Maya, Bu?" tanyaku pelan saat aku pamit pulang karena besok pagi mau beres-beres di ruko, mumpung tanggal merah. Aku sudah mencari empat orang untuk menjaga ruko itu. Dua orang shift pagi sampai sore dan dua orang shift sore sampai malam. Semoga saja hari berikutnya ruko sudah bisa dibuka. "Ibu di sini saja, jagain Maya. Kasihan kalau ditinggal sendirian," ucap ibu pelan, lagi-lagi sambil memijit lengan Maya."Besok pagi, Gilang ke sini ya, Bu," pamit Mas Gilang pada ibunya. Ibu hanya mengangguk pelan. "Jaga kandunganmu baik-baik, May. Jangan melakukan hal-hal yang membahayakan."Pesan Mas Gilang sebelum keluar kamar bersamaku. Maya hanya melirik, tanpa menjawab sepatah kata pun. Mas Gilang menggamit lenganku keluar dari gedung rumah sakit menuju tempat parkir. Di dalam mobil, dia bercerita banyak hal tentang usaha bengkelnya yang kian maju. Bahkan dia berencana ingin membuka cabang kedua. Mungkin empat atau lima bulan lagi, katanya. Masih men
Samar kudengar suara Mas Gilang. Kubuka mata pelan. Ruangan serba putih. Selang infus menancap di punggung tangan.Aku mengerjapkan mata pelan. Tante Deby dan Mas Adam berdiri di samping kanan. Mas Gilang duduk disebelah sambil memijit pelan lengan kiriku, berhadapan dengan mereka. Aku berada di tengah, sebagai pemisah di antara mereka. Tak ada ibu di sini, mungkin dia masih menjaga Maya. Atau Maya sudah diperbolehkan pulang? Entahlah."Alhamdulillah, kamu sudah siuman, Lin," ucap Mas Gilang pelan penuh kekhawatiran. Aku mengangguk lemah.Badan rasanya tak enak. Mataku masih berat, kepala pusing. Rasa mual itu masih saja mengaduk-aduk perutku. Sebisa mungkin kutahan, lagipula pasti tak ada isinya apa-apa.Sejak muntah tadi pagi, aku belum juga makan lagi. Rasanya malas untuk sekedar makan sesuap nasi pun.Oh Allah ... apakah benar aku hamil? Kata orang, ciri orang hamil memang seperti itu. Tapi, aku takut jika terlalu berharap. Seperti yang sudah-sudah, nyatanya aku hanya tak enak bad
Pulang dari rumah sakit, Mas Gilang begitu protektif. Dia ingin aku istirahat dan tak banyak aktivitas seperti biasanya. Dia bilang takut jika jatuhlah, pusing dan takut jika aku pingsan lagi saat dia bekerja. Alhasil, aku harus patuh dan sering tiduran diranjang daripada sibuk ini dan itu.Aku cukup maklum jika Mas Gilang sekhawatir itu. Dia pasti takut jika aku kenapa-kenapa karena kehamilan ini begitu dia tunggu selama sebelas tahun belakangan. Aku pun sama. Sangat bersyukur karena akhirnya Dia mempercayaiku untuk merasakan yang namanya berbadan dua seperti yang dirasakan perempuan pada umumnya. Detik ini, Mas Gilang mencium perutku berkali-kali. Kedua matanya berkaca saking bahagianya. Dia mengusap perutku pelan lalu mendekatkan telinganya. Seolah sedang ngobrol dan mendengarkan suara buah hatinya. Padahal di usia sepuluh minggu dia belum dikaruniai nyawa."Papa kerja dulu ya, sayang. Jaga mama. Bilang sama mama, jangan capek-capek, harus banyak istirahat dan jangan ngeyel," ucap
POV : AdamSebelas tahun sudah aku meninggalkannya. Berharap dia bahagia dengan pilihan hidupnya. Lelaki yang konon sangat mencintai dan dicintainya. Laki-laki sederhana yang berjanji akan membuatnya bahagia. Kupikir, semua ceritanya saat itu akan menjadi nyata. Dia telah menemukan tambatan hati yang akan memberi warna lebih dalam hidupnya. Jadi, aku memilih pergi dan tak mengganggunya lagi. Tak ingin membuatnya merasa bersalah jika dia tahu aku terluka karena cinta tulusku yang hanya bertepuk sebelah tangan.Namun, detik ini aku paham jika semua harapanku dan harapannya itu hanya semu belaka. Dia tak sepenuhnya bahagia. Boneka kecilku itu menderita. Dia tak bahagia. Sekalipun dia tak pernah cerita apapun, tapi aku yakin jika dia tak benar-benar bahagia seperti harapannya saat itu. Dia memang selalu tersenyum dan tak menunjukkan lukanya pada siapapun. Hanya saja aku tahu jika senyumnya hanya tameng agar dia terlihat baik-baik saja. Aku sangat paham karakternya.Dia memang selalu tert
Pagi ini, rencananya aku mau ke ruko. Sudah beberapa hari aku tak ke sana. Aku harus memeriksa beberapa barang yang akan datang. Selain itu juga cek barang yang sudah menipis di toko. Sekalipun badan terasa lemas, aku harus tetap semangat. Di rumah terus juga suntuk dan membosankan. Bahkan aku merasa semakin lemas dan mual jika hanya berkutat di atas ranjang. Kata orang-orang, trimester satu kehamilan itu kebanyakan memang diisi dengan mual dan muntah. Semua itu wajar dan aku tak perlu risau. Asupan nutrisi pun sering berkurang karena keseringan muntah. Tiap kali diisi selalu keluar lagi dan lagi. Namun, aku berusaha untuk tetap menjaga nutrisi agar janin dalam kandunganku tetap sehat dan berkembang dengan baik. Aku cukup beruntung karena masih bisa beraktivitas dengan wajar. Tak terlalu sering muntah meski lemas jelas terasa. Mual hanya terjadi sesekali, seringnya saat bangun tidur atau pasca gosok gigi saja. Setelah itu, aku kembali seperti biasanya.Sedikit kenormalan itulah yan
"Haiiiii Linaaaaaa," panggil bunda dengan hebohnya saat aku mulai menuruni anak tangga. Bunda Sintia memang selalu begitu tiap kali berjumpa denganku. Dia masih saja seperti dulu. Cantik, modis dan ramah di usianya yang tak lagi muda. Aku heran, wanita sesempurna dia masih saja diduakan.Entah apa yang dicari kebanyakan lelaki. Mereka sudah memiliki istri yang halal dan istimewa di rumah, masih saja mencari perempuan lain di luar rumah. Bukannya selingkuh dan main petak umpet itu terlalu melelahkan? "Suamimu mana, Lin? Kerja?" tanyanya lagi lalu mengajakku duduk di sofa dekat kamar ganti. "Ada di lantai atas, Bun. Masih di kamar mandi," jawabku pelan sambil tersenyum tipis. Aku tak tahu, kenapa tiba-tiba bunda menghubungiku. Dia bilang ingin menceritakan sesuatu. Entah apa. Mungkinkah bunda mulai curiga dengan Om Indra? "Nggak kerja?" tanya bunda lagi, melongok ke atas tangga. "Nanti ke bengkel, Bun. Ada sesuatu yang harus dikerjakan katanya," balasku lagi. Bunda mengangguk pel
Althaf Radhika Alfahri.Anak laki-laki pertamaku yang rupawan. Dia adalah pelita yang menyinariku di saat gelap dan rapuh. Dia yang membuatku semakin kuat dan semangat di setiap keadaan dan dia yang membuatku semakin menyadari jika tak akan pernah ada kata sia-sia dari sebuah perjuangan dan kesabaran. Ada harapan dan doa yang kutanamkan dalam nama itu. Aku dan Mas Gilang sangat berharap kelak dia akan tumbuh menjadi anak laki-laki yang berhati lembut, sukses dan memiliki semangat untuk berbagi kebaikan hingga bisa bermanfaat untuk banyak orang.Detik ini, kulihat Mas Gilang yang sedang mengazani anak sulungnya dengan hati berbunga. Senyumnya mengembang. Wajahnya yang tampan memancarkan aura kebahagiaan. Ibu yang dulu seolah tak pernah memberi restu untukku, sekarang justru berbalik 180 derajat.Dia begitu menyayangiku setelah rencana buruk dan sandiwara menantu kesayangannya itu terbongkar semuanya. Cinta dan perhatian ibu padaku semakin bertambah saat anak pertamaku lahir. Ibu terli
Pov : Maya"May, kamu di mana? Aku mau ketemu," ucap Mbak Dewi tiba-tiba setelah sekian minggu tak ada kabar."Mau ngapain sih, Mbak?" tanyaku cepat.Hatiku berdebar-debar, jangan sampai Mbak Dewi merencanakan sesuatu untuk mencelakakan Mbak Lina lagi. Aku nggak mau ikut campur. Mereka bisa benar-benar menjebloskanku ke sel."Rumah tanggaku hancur, May. Mas Indra menceraikanku. Istri tua dan keriputnya itu mengambil semua yang kupunya. Rumah dan mobil itu. Sekarang, aku di rumah ibu," ucap Mbak Dewi panjang.Mulutku ternganga seketika mendengar ceritanya. Aku yakin, Mbak Dewi pasti tak akan rela dan diam begitu saja. Dia pasti akan membalas perlakuan Mbak Lina. Karena masih menganggap Mbak Lina dalang semuanya."Sudahlah, Mbak. Jangan ganggu keluarga Mas Gilang lagi. Bahaya, Mbak. Mbak bisa benar-benar dimasukkan penjara nanti."Aku masih terus berusaha menasehati. Walaupun bagaimana, dia tetap kakakku. Aku sangat menyayanginya, meski kelakuannya seperti itu dan sering membuatku pusin
Pov : Dimas Maya. Aku ingin sekali membencinya karena dia sudah tega menghianati cinta yang kupunya. Dia diam-diam berhubungan dengan lelaki lain yang jauh lebih mapan dan tampan. Saat tahu kabar itu, rasanya benar-benar sulit digambarkan.Banyak hal yang kami lakukan bersama, teganya dia pergi begitu saja. Namun, aku cukup heran kenapa sampai detik ini belum bisa melupakannya. Berulang kali mencoba untuk move on, berulang kali pula selalu gagal. Aku benci dengan perasaanku sendiri. Aku tak tahu mengapa harus mencintai perempuan yang sudah terang-terangan menghianatiku. Bahkan secara sengaja menikah dengan laki-laki lain yang lebih mapan, meski hanya menjadi istri kedua. Entah siapa yang bodoh dalam hal ini. Aku yang dibutakan oleh cinta dan nafsu atau dia yang hanya mengejar harta, tanpa peduli adanya cinta. Entah.Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat akan jatuh juga. Begitu pula dengan sandiwara Maya. Aku mengetahui gerak-gerik pengkhianatannya sebelu
Sebelum maghrib, kami sudah sampai di rumah. Maya dan Bi Minah turun dari mobil Mas Adam. Perempuan itu masih saja menunduk dalam diam."Lang, aku pamit pulang, ya?" ucap Mas Adam tiba-tiba. Mas Gilang yang baru saja menutup pintu mobil, menoleh seketika."Nggak mampir dulu, Dam? Btw Makasih banyak atas bantuannya ya? Maaf selalu ngrepotin kamu," jawab Mas Gilang kemudian."Santai aja, Lang. Aku balik dulu deh, habis maghrib mau ada perlu soalnya," lanjut Mas Adam lagi."Oh, okey. Hati-hati kalau begitu," jawab Mas Gilang pelan sembari tersenyum.Mas Adam menatapku sekilas sebagai tanda pamit pulang. Dia kembali masuk ke mobilnya dan berlalu dari halaman.Tak berselang lama, muncul mobil hitam dop dari arah kanan, berhenti tepat di depan gerbang.Mas Gilang melangkah pelan menghampirinya. Bercakap sebentar dengan sang supir lalu menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah."Pak Roby dan Pak Emon. Dia datang membawa laki-laki itu. Ayah si Haikal," ucap Mas Gilang lirih di sampingku. Aku men
Perempuan itu keluar kamar juga setelah sekian menit menunggu. Geram, kesal dan benci kembali menyergapku. Kutatap matanya yang menyiratkan ketakutan.Rasanya ingin sekali kumaki dan kutampar dia berulang kali, agar dia sadar. Kelakuannya selama ini bukanlah sesuatu yang lucu.Bagaimana mungkin dia berhubungan dengan orang lain tapi justru meminta suamiku untuk bertanggung jawab! Benar-benar keterlaluan. Tak punya adab.Apakah seperti itu yang diajarkan Dewi padanya? Merusak rumah tangga orang bagaimana pun caranya. Seperti syaitan yang begitu riang ketika sebuah keluarga di ambang perceraian."Maya!" Bentakku tiba-tiba. Dia terlonjak kaget. Mas Gilang memegang lenganku pelan. Membisikkan istighfar berulang kali.Mataku memanas menahan amarah yang memuncak namun aku tak kuasa mengungkapkannya. Kupendam sedemikian rupa, namun kali ini rasanya aku ingin membuat sedikit pelajaran padanya. Biar dia kapok, tak mengulangi kesalahannya lagi.Kucengkeram lengannya sekuat mungkin dengan tangan
Pov : Maya Mas Gilang masih saja mencecarku dengan berbagai pertanyaan tentang Denis dan anak itu. Tak bisa mengelak dan begitu tersudut, akhirnya kuceritakan saja semuanya. Beragam bukti dia genggam membuatku tak bisa berkelit lagi. Kini aku mulai pasrah. Mungkin memang sudah waktunya aku menyerah dan kalah. "Kenapa kamu berbuat seperti ini, May? Apa kamu kira, aku akan membuangmu begitu saja saat aku tahu anak itu bukan darah dagingku?" tanyanya dengan penuh penekanan dan ketegasan.Aku tetap menunduk. Rasanya tak mampu membalas apapun yang akan dikatakan dan dituduhkannya nanti. Sesekali menyeka kedua pipiku yang makin lama makin basah. Ibu mertua ikut mengomel tak karuan. Membuat makin banyak polusi telinga. "Aku sudah menyuruh orang untuk memata-mataimu sejak lama. Aku juga tahu, kalau selama ini kamu tak kuliah. Uang kuliah dan jatah bulananmu sengaja kamu tabung untuk membangun rumah ini, kan?" tanyanya lagi. Bukan bertanya, namun dia memang sudah mengantongi kuncinya. Membu
Pov : Maya Semua usaha dan pengorbananku selama ini tak sia-sia. Aku sudah memiliki tabungan yang cukup dan sebuah rumah lumayan megah di pinggiran kota. Uang kuliah dan sebagian jatah bulanan dari Mas Gilang memang aku gunakan untuk membeli tanah dan membangun rumah di sana. Sengaja aku pilih di daerah itu, karena aku suka dengan suasananya yang damai.Warga di sana juga sangat ramah. Beberapa kali aku datang, mereka selalu tersenyum dan mengajakku mengobrol santai. Mereka menceritakan profesi dan kehidupan sehari-hari yang mayoritas sebagai petani dan pedagang di pasar. Pantas saja, masih banyak sekali sawah terbentang luas. Bahkan, di samping dan belakang rumahku masih ada beberapa hektar sawah dengan tanaman padi yang mulai menguning. Setidaknya nanti jika memang Mas Gilang mengetahui semua kecuranganku, aku sudah bisa berlenggang dengan tenang. Dia tak bisa mendepakku begitu saja, karena rumah ini sengaja aku atas namakan ibuku agar dia tak bisa memasukkannya dalam harta gono-g
Pov : GilangBuru-buru kuparkir mobil ke halaman. Rumah ini memang belum punya garasi atau carport. Hanya saja halamannya luas. Jadi bisa untuk parkir beberapa mobil. Rumahnya pun bukan rumah bertingkat atau rumah dengan gaya modern seperti di tengah kota. Rumah sederhana dengan gaya klasik bahkan masih banyak yang bernuansa pedesaan menggunakan lantai papan. Seperti rumah panggung. Unik. Terdengar teriakan Maya dari kamarnya. Ibu sepertinya berusaha menenangkannya. Aku segera masuk rumah bercat putih itu dengan salam lirih. Memasuki kamar Maya dengan tergesa. Dia masih saja menangis dan mengoceh nggak jelas. "May!" bentakku tiba-tiba saat dia mendorong bahu ibu. Hampir saja ibu terjungkal karenanya. "Jangan macam-macam kamu, May. Apalagi sama ibu!" Aku melotot tajam ke arahnya. "Aku bukan laki-laki yang suka ingkar janji, May. Kamu tenang saja. Nggak perlu sekhawatir itu. Nggak perlu takut aku bakal kabur," ucapku pelan. Kutekan emosiku, jangan sampai Maya semakin meronta dan t
Pov : LINAKepala masih terasa pening sekali karena menangis semalaman. Detik ini, mungkin mataku terlihat sangat sembab. Aku tak peduli dan tak terlalu memikirkan hal itu. Rasa lelah mulai mendera. Capek. Kesal. Marah. Entah apalagi yang kini kurasakan.Setelah salat Subuh, aku kembali ke kamar untuk merebahkan badan. Pikiranku tak tenang. Berbagai pertanyaan dan kekhawatiran kembali menyelinap dalam benak. Tak tahu lagi harus bagaimana. Sampai sekarang, aku belum jua menemukan jejak Mas Gilang dan ibu, pun saat mencarinya di rumah itu. Rasanya, semua berlalu begitu cepat dan tak menyangka jika Mas Gilang sudah menghilang lima hari yang lalu. Kalau sampai hari ini tak ada kabar juga, aku benar-benar akan melaporkan kejadian ini pada polisi. Aku mulai menyerah dan tak tahu harus mencarinya kemana lagi. Semua terasa buntu dan aku benar-benar membutuhkan pertolongan polisi.Kutatap langit-langit kamar. Teringat lagi kejadian kemarin saat aku dan Mas Adam datang kembali ke rumah itu.