"Cukup, Azmi! Saya ucapkan terima kasih atas bantuan kamu telah mengantarkan anak saya ke sini, tapi tolong mengertilah. Jangan ganggu Mia lagi. Kalian sudah bukan suami istri lagi, jadi jangan pernah usik dia lagi!""Tidak Pak, saya mohon ....""Keluarga Nyonya Mia?" Kata-kata Azmi terputus saat dari arah lorong kamar perawatan, dua orang petugas rumah sakit berpakaian putih-putih, tiba-tiba datang mendekat dengan langkah tergopoh-gopoh."Benar, Bu. Ada apa?" Bapak Mia menyahut dengan kening mengernyit."Maaf, Pak kami hendak menyampaikan kabar jika bayi Nyonya Mia tiba-tiba mengalami penurunan kesadaran karena paru-parunya tidak bisa berkembang dengan baik, begitu pun organ yang lain sehingga ... .""Sehingga apa, Bu? Cucu saya kenapa?" sergah bapak Mia tak sabar karena petugas di depannya tiba-tiba menjeda ucapannya."Bayi Nyonya Mia tidak bisa diselamatkan, Pak. Maaf, kami sudah berusaha melakukan yang terbaik, tapi Tuhan ternyata berkehendak lain."Degg! Lutut lelaki paruh baya i
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Mia sudah diperbolehkan untuk pulang kembali ke rumah.Dokter menyarankan agar Mia banyak-banyak bergerak agar otot dan syaraf yang luka akibat tindakan operasi, bisa segera pulih kembali. Mia mengiyakan nasehat dokter tersebut sembari tak lupa mengucapkan banyak terima kasih karena telah menyelamatkan ia dan bayinya.Pada dokter dan perawat yang menangani Mia, kedua orang tuanya memang sudah meminta agar mereka tidak membicarakan lebih dahulu soal kondisi bayinya yang sudah meninggal dunia pada Mia, sehingga sampai hari terakhir di rumah sakit, Mia belum juga mengetahui kabar jika putri yang barusan ia lahirkan ternyata sudah tiada.Mia hanya tahu jika bayinya masih perlu perawatan intensif lebih lanjut demi memulihkan kondisinya yang lahir prematur, bukan meninggal akibat tidak bisa diselamatkan lagi.Bapak, Ibu, Sindy dan Rika bergegas mengemasi barang-barang yang dibawa saat menemani Mia melewati masa perawatan di rumah sakit ini
"Mi, lagi ngapain? Di luar ada Nak Yusuf tuh nyari kamu. Temuin sana," tegur ibu Mia dari balik pintu kamar saat wanita itu sedang konsentrasi menulis demi melanjutkan beberapa cerita bersambung yang tertunda ia lanjutkan sebab harus melahirkan dan merawat lukanya pasca operasi Caesar kemarin.Mendengar ucapan ibunya, Mia tersenyum lalu mengangguk kecil.Barusan Yusuf memang mengirim pesan whatsapp padanya jika hendak silaturahmi ke rumah. Katanya sih hendak memberikan penghasilannya bulan kemarin dari berjualan online produk dari toko pakaian lelaki itu padanya.Meski sedikit heran karena tak biasanya lelaki itu memberikan secara langsung penghasilannya padanya, melainkan biasanya akan memberikan gajinya lewat transfer via mobile banking, Mia setuju saja saat lelaki itu minta izin ingin mengantarnya langsung ke rumah.Ya, mungkin sekali-kali Yusuf ingin memberikannya sendiri sebagai penghargaan atas kerja sama dagang mereka.Sebelum keluar dari kamarnya untuk menemui Yusuf, Mia mempe
Sinta tak henti-hentinya mematut penampilannya di cermin. Kebaya pengantin berwarna krem tampak membalut tubuh rampingnya dengan pas. Sebuah untaian melati nan indah juga tampak menghiasi kepala, membuat penampilannya terlihat semakin cantik dan sempurna.Hari ini hari pernikahannya bersama Tony akan digelar. Sedari pagi ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Pokoknya, tak akan ia sia-siakan momen spesial bersanding dengan seorang manager perusahaan perkebunan ini berlalu begitu saja tanpa penampilan cetar membahana yang akan diingat semua orang seumur hidupnya.Tukang rias telah dikirim ke rumahnya oleh Tony untuk menghias penampilannya supaya terlihat cantik mempesona di hari spesial ini. Begitu juga ibu dan adiknya, Mila. Karena sesuai rencana, pesta pernikahan akan dilangsungkan di kediaman mewah ibunya Tony, maka penampilan mereka pun harus dijaga dengan sempurna, demi tidak memalukan dan mengecewakan keluarga besar Tony yang merupakan salah satu orang terkaya di kota ini. Me
"Tunggu, sebelum ijab kabul, saya mau tanya dulu, apa mahar yang akan diberikan pada anak saya untuk pernikahannya?" tanya Bu Rina sesaat sebelum Sinta diminta untuk menempati posisinya sebagai mempelai perempuan."Seperangkat alat sholat, Bu," sahut Tony singkat dan cepat. Malas menunda-nunda waktu."Cuma seperangkat alat sholat? Bukannya kemarin kami minta mahar perhiasan emas murni sebanyak lima puluh gram? Itu juga masih terlalu sedikit untuk melamar anak gadis saya," ucap Bu Rina dengan nada tinggi."Emas? Maaf, Bu. Saat ini harga perhiasan emas sedang melonjak tinggi. Jadi saya berpikir sayang jika beli emas sekarang. Harga sangat mahal, takutnya besok-besok turun drastis, rugi nanti, Bu," sahut Tony lagi dengan ekspresi tenang."Kalau begitu, beri saja anak saya mahar lima puluh juta rupiah, setara dengan emas yang dia minta kemarin!""Maaf, Bu. Saat ini saya nggak bawa uang cash. Nanti setelah menikah saja, gampang urusannya," sahut Tony lagi dengan sabar.Lalu setelah berucap
"Mas, apa maksud kamu membohongiku soal status kamu dan semua yang terjadi hari ini yang sama sekali tak sesuai dengan semua yang kamu ucapkan sebelum menikah?" tanya Sinta sesaat setelah ibu Tony menggiring tamu-tamunya pergi akibat salah seorang di antara mereka dianggap lancang karena telah membocorkan soal status Tony yang sudah duda pada gadis itu dan keluarganya.Sinta sendiri tak mampu lagi menahan rasa gundah yang mendera dadanya karena kenyataan yang sungguh di luar dugaan itu. Niatnya semula ingin membuat ibu dan keluarganya bangga karena ia berhasil memikat hati seorang manager perusahaan perkebunan yang tampan dan kaya, tetapi bukannya rasa bangga yang didapat, justru sebaliknya, rasa malu yang begitu besar.Ia berdecak sebal. Semua janji-janji yang diucapkan Tony nyatanya tidak ada satu pun yang terealisasi. Mulai dari ijab kabul yang indah, mahar yang menggiurkan, juga pesta perkawinan yang katanya akan berlangsung dengan super meriah di kediamannya.Semuanya nol besar.
"Sinta! Kamu baru bangun?" sapa sebuah suara saat Sinta melangkahkan kakinya menuju dapur rumah yang luas itu.Seorang wanita berparas dan berpakaian sederhana, kalau tidak bisa disebut lusuh, terlihat sedang jongkok di lantai, mengepel lantai yang mengkilat dengan kain basah menggunakan tangan.Sinta memaksakan senyum."M--mbak siapa? Pembantu di rumah ini?" tanya Sinta ragu-ragu.Penampilan wanita itu memang lebih mirip pembantu dari pada menantu. Tapi, kalau di rumah ini sudah ada pembantu, kenapa ibu mertuanya memintanya menyelesaikan pekerjaan sehari-hari rumah ini dengan tangannya sendiri tadi?Perempuan di depannya menggeleng lemah."Bukan ... aku istri Mas Vino, kakak suami kamu," sahutnya sembari kembali memaksakan senyum. Miris.Deg!!!Jantung Sinta seolah hendak tanggal dari tempatnya. Menantu? Jadi seperti ini penampilan menantu di keluarga ini? Keluarga kaya yang tadinya membuat Sinta ngiler ingin jadi bagian dan tinggal di rumah mewah ini? Ya, Tuhan ... ."Istri Mas Vino
Setelah setengah jam perjalanan, mereka pun sampai di kediaman Bu Indah yang sekaligus juga kosan Rika.Bu Indah menyambut dengan gembira saat Mia datang, sementara Rika langsung menuju kosannya."Ayo masuk. Ibu udah nungguin dari tadi lho," ujar Bu Indah sembari tersenyum semringah saat Mia mengetuk pintu.Siang tadi, Bu Indah memang memintanya datang ke rumah. Selain urusan bisnis putranya dan kangen ingin bincang-bincang setelah lama tak bersua, Bu Indah juga ingin membicarakan sesuatu dengannya. Entah apa itu, Mia tak bisa mengira-ngira. "Iya, Bu. Maaf toko baru saja bisa ditutup, jadi baru bisa ke sini. Hari ini pembeli ramai sekali. Mungkin karena sebentar lagi bulan puasa, Bu jadi mereka sudah mulai berburu baju lebaran dari sekarang sebelum harga-harga naik," sahut Mia sembari balas tersenyum.Mendengar jawabannya, Bu Indah ikut tersenyum."Oh iya ya, bulan puasa sebentar lagi. Orang-orang biasanya memang sudah mulai berburu baju lebaran di bulan-bulan ini. Hmm ... berarti ca
POV DeniHari ini akhirnya aku mendapatkan juga promosi naik jabatan dari seorang staf menjadi kepala divisi. Entah aku harus senang atau tidak, karena aku sendiri masih ragu-ragu apakah posisi ini nantinya akan dapat membuatku hidup lebih baik atau tidak. Tapi meskipun begitu, aku tetap berusaha memupuk harapan terbaik, semoga suatu saat keapesan dan kesialanku ini akan segera berakhir.Pagi tadi promosi jabatanku telah dilaksanakan dan hari ini kedudukanku telah resmi menjadi seorang atasan di divisi yang aku pimpin.Ahmad yang tadinya merupakan rekan sejawatku, sekarang telah menjadi bawahanku begitu pun Sinta, sekarang menjadi stafku. Meski demikian, di rumah aku tetaplah suami yang harus patuh atas semua kendalinya. Sebab, bagaimanapun juga ialah pemegang kunci kendali atas hidupku sebab adanya perjanjian sialan mengenai hutang mahar yang mencekik leher itu.Ah, andai aku tahu menikahi ponakan direktur ternyata membuat hidupku jadi sengsara begini, mungkin lebih baik aku menduda
POV Deni"Bu, ini uang buat ibu. Maaf Deni baru bisa kasih segini karena ... karena Deni harus bayar hutang ke Pak Anton dulu, Bu. Maafkan Deni ya, Bu tapi Deni janji Deni akan usahakan untuk menambah uang ke ibu nanti. Deni mau banyakin lembur biar bisa ngasih uang ke ibu lagi ya, Bu," ujarku sambil menyerahkan uang pemberian Sinta pada ibu yang menerima dengan mata tidak percaya.Dua ratus ribu pastilah jumlah yang sangat sedikit buat ibu karena biasanya jatah bulanan beliau adalah empat juta rupiah."Kok bisa-bisanya sih, Den kamu cuma dikasih segini sama Sinta? Apa ibu bilang, nggak usah dekati perempuan itu lagi. Tapi kamu ngeyel, begini kan jadinya!" Ibu menghela nafas panjang sambil memanyunkan bibirnya. Tatapan kecewa tampak jelas dalam rona matanya.Aku pun ikut menghembuskan nafas. Dadaku terasa sakit dan sesak. Sialan, Sinta, gara-gara rayuannya untuk menggelar pesta mewah dan uang mahar yang tidak sedikit, sekarang aku harus terjerat hutang pada Pak Anton. Benar-benar meny
POV Deni"Den, mana jatah bulanan buat ibu? Kamu udah gajian bulan ini kan? Hari ini kan tanggal satu?" tanya ibu saat aku menyempatkan pulang sore hari.Niatku pulang, ingin bertanya pada ibu, barangkali masih punya sedikit sisa uang untuk pegangan tangan karena amplop gaji sudah di tangan Sinta dan dikuasainya. Sementara ia belum memberiku uang untuk transportasi karena katanya belum sempat ketemu Om Anton dan membicarakan berapa nominal sisa gaji yang bisa diberikan padaku sebab aku harus mulai mencicil hutang pada Om-nya itu."Nanti ya, Bu. Uang gajiku masih dipegang Sinta, soalnya Deni kan harus membayar hutang mahar kemarin. Ini aja Deni malah mau pinjam uang dari ibu buat dipake menjelang Sinta ngasih uang ke Deni. Ibu masih ada tabungan nggak?" tanyaku dengan suara tak enak. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur basah. Pernikahan dengan Sinta sudah terlanjur terjadi. Tak mungkin dibatalkan hanya karena hal ini. Lagi pula aku sudah terlanjur teken perjanjian pinjam uang pad
POV DeniHari ini pernikahanku dengan Sinta akhirnya digelar. Gedung pernikahan yang disewa Pak Anton terlihat meriah meski tak semewah seperti yang ada dalam pikiranku. Ya, barangkali saja Pak Anton menurunkan budget pesta pernikahan kami ini. Selain karena efek pandemi Corona masih melanda tanah air sehingga orang-orang belum begitu nyaman mendatangi keramaian. Mungkin hal itu juga bertujuan supaya hutangku tak terlalu banyak dan membengkak. Baguslah, jadi aku tak perlu terjerat terlalu lama dalam kubangan hutang pada bos perusahaan itu.Sebenarnya aku sendiri menginginkan pernikahan kecil-kecilan saja. Selain demi menghemat biaya, tujuan pernikahanku dengan Sinta memang bukan semata-mata untuk menjadikannya istri atau membuatnya merasa senang dan tersanjung sebagai istriku, tetapi karena aku sendiri juga menginginkan kehidupan yang lebih baik bila menjadi suaminya.Itu sebabnya aku tak terlalu antusias saat keluarga besar Sinta menginginkan sebuah hajatan besar sementara aku just
POV Deni"Gimana, Sin? Udah ngomong belum sama Om Anton? Diizinkan nggak kamu menikah sama mas?" tanyaku tak sabar saat keesokan harinya sampai di kantor dan kembali bertemu dengan pujaan hati yang hari ini terlihat semakin cantik saja itu.Semalam aku sudah menanyakan berulang kali melalui pesan whatsapp, tetapi gadis itu menyatakan akan menjawabnya besok pagi di kantor sebab malam tadi masih harus bicara panjang lebar dengan Om-nya dan merenungkan segala sesuatunya.Jadilah pagi aku baru bisa kembali menanyakannya pada Sinta."Sabar dong, Mas. Kenapa sih kamu buru-buru banget pengen tahu? Emang udah benar-benar nggak sabar ya?" ujar Sinta balik bertanya, membuatku gemas dan refleks mencubit pangkal hidupnya yang bangir.Untung saja kantor masih sepi jadi aksiku tak sempat dilihat rekan kerja yang lain."Ish, Mas Deni usil banget sih, ah!" Sinta pura-pura merajuk sambil memegangi puncak hidungnya yang memerah. Aku hanya tertawa dan kali ini ganti mengacak gemas rambutnya."Makanya, j
POV Deni"Beneran mas kamu sudah cerai?" tanya Sinta dengan bola mata membulat.Aku menganggukkan kepala mendengar pertanyaannya."Benar dong, Sin. Kenapa? Mau daftar jadi pendamping hidup mas yang baru ?" tanyaku sambil melempar pandangan penuh arti ke arahnya.Melihat tatapanku, Sinta menunduk dan tampak tersipu malu."Ah, Mas Deni bisa aja. Tapi omong-omong kenapa sih mas kalian bisa bercerai?" tanyanya.Aku pura-pura menghembuskan nafas berat."Dia itu sebagai istri nggak bisa patuh dan taat sama suami, Sin. Jadi ya terpaksa mas ceraikan lah," sahutku beralasan."Maksudnya? Kenapa mantan istri mas nggak bisa taat? Mas ngasih nafkah ke dia nggak? Mas nggak lalai dari tanggung jawab sebagai seorang suami bukan? Karena biasanya perempuan yang suka nggak mau patuh sama suami itu karena nggak dinafkahi dengan baik, Mas?" tanyanya beruntun dan terdengar serius, membuatku sedikit terganggu dan tak nyaman. Kok bisa sih dia tahu masalah rumah tanggaku dengan Zahra yang sebenarnya?Namun, s
POV DeniPagi-pagi sekali aku sudah melajukan roda dua menuju kediaman Pak Anton, direktur perusahaan di mana aku bekerja.Dari luar tampak bangunan rumah yang megah bak istana. Melihat bangunan itu aku sontak berdecak kagum. Hmm, Pak Anton memang kaya raya. Tak salah lagi, bila aku bisa mendekati Sinta dan menikahinya, tentu aku juga bisa ikut kecipratan sukses dan kaya seperti dirinya. Tak mungkin Pak Anton akan terus membiarkan diriku menjadi karyawan biasa di perusahaan yang dimilikinya. Tentu beliau akan mengangkatku menaiki posisi jabatan yang lebih tinggi dan lebih banyak menghasilkan uang.Tadi malam, bos perusahaan di mana aku bekerja itu juga sudah meneleponku dan memintaku bersedia mengantarkan keponakan cantiknya itu ke luar kota, itu artinya secara tidak langsung, Pak Anton menaruh kepercayaan padaku. Tentu saja ini awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sinta.Itu sebabnya, sehabis ini aku berencana akan secepatnya menceraikan Zahra supaya bisa
POV ZahraAku menatap gedung pengadilan agama yang tampak menjulang tinggi di depanku. Memantapkan hati, kulangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Dina yang berjalan lebih dulu di depanku."Ayo, Ra, kamu udah mantap mau daftarin permohonan gugatan ke pengadilan ini kan?" tanya gadis itu sambil membalikkan badannya dan menatapku.Aku mengangguk.Ya, pagi ini aku memutuskan untuk mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama kota ini. Tekadku sudah bulat, tak ada lagi maaf dan kesempatan untuk Mas Deni lagi.Semuanya sudah usai. Laki-laki itu tak pernah berubah, meski telah berkali-kali kuberikan kesempatan. Jadi inilah akhir kisah pernikahan kami, berpisah demi ketenangan hidup masing-masing.Masuk ruangan pengadilan, aku disambut petugas pendaftaran yang menyambut di pintu masuk."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya petugas tersebut padaku."Iya, Pak. Saya mau mendaftarkan gugatan perceraian atas suami saya, Pak.""Oh ya? Sudah bawa persyaratan yang diperlukan?" Petugas itu menat
"Gimana, Den? Ketemu sama si Zahra?" tanya ibu begitu aku tiba di rumah.Tak langsung menjawab, kuhempaskan tubuh ke atas sofa tamu lebih dulu lalu menghembuskan nafas kuat-kuat."Ketemu, Bu. Tapi ... Zahra nggak mau pulang," ujarku setengah mengeluh.Batinku memang kecewa bukan main sebab Zahra tak mau lagi diajak pulang ke rumah."Lho, kok nggak mau pulang? Kenapa?" Ibu mengernyitkan alisnya. Terlihat heran dan tak percaya."Dia bilang aku udah tiga kali mengusir dia, Bu. Jadi dia nggak mau lagi terjadi untuk yang ke empat kalinya, makanya nggak mau lagi pulang ke rumah. Dia juga bilang lebih baik fokus mengurus usaha dia yang baru dirintis, timbang jadi istri Deni yang nggak pernah dinafkahi dan selalu dikasari katanya, Bu," jelasku lagi sembari menelan rasa gundah.Perkataan Zahra tentang sikapku selama ini padanya memang membuatku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Aku merasa tertampar sekaligus malu. Jika benar itu yang selama ini Zahra rasakan, apa mungkin d