Raisa pun tersenyum senang saat lelaki ini mau menjawab salam mereka. Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak. Raisa mendongak ke arah lantai dua. Tepatnya pada arah jendela kamar Mariana.
"Haaaahhh!"
Hampir saja ember yang dibawanya jatuh dan tumpah. Segera Delon menyambarnya.Dan melihat ke arah Raisa yang memucat.
"Ka-kamu ini kenapa sih, Sa?"
"Aku melihatnya, Mas. Dia memang bener-bener ada di kamar itu!"
"Dia siapa?"
"Entahlah. Sosok gadis itu aku melihatnya. Mungkinkah itu Mariana?"
Seketika Delon mendongak ke atas. Dia juga tak melihat siapa pun. Lalu menggeleng ke arah Raisa.
"Enggak ada siapa-siapa, Sa."
Kembali Raisa mendongak ke atas. Ternyata apa yang dikatakan oleh Delon itu benar adanya. Raisa sampai berdecak keheranan.
"Aneh juga. Padahal aku benar-benar melihatnya lho."
"Ya, udah. Kasihan Mbok Yumna sudah menunggu. Keburu mobil ambulan datang, Sa."
Gadis itu mengikuti
"Aaaahhh!" Mbok Yumna hampir berteriak. Dia benar-benar terkejut dengan cengkeraman tangan Naning yang begitu kuat. Padahal sebelumnya untuk menggerakkan jemari tangan saja Nanin Tak mampu."Ka-kamu kenapa, Mbak Naning? Ini bikin tanganku sakit," desis Yumna.Sepertinya Naning tak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Yumna. Atau memang sengaja tidak mau mendengarkan. Perlahan jemari tangan Naning mulai bergerak pelan-pelan memutar. Ke arah yang berlawanan. Membuat Yumna semakin kesakitan. Sampai tubuh Yumna terduduk dengan kedua lutut di lantai."Aaaaraghhh ... Aaaarghhh!"Sontak erangan kesakitan Mbok Yumna membuat Raisa dan Hamaz melongok ke dalam. Mereka berdua sangat terkejut melihat kenyataan yang ada di depan kedua mata mereka. "Mbok Yumnaaa!" teriak Raisa yang langsung berlari kencang ke arahnya. Gadis itu segera mengangkat tubuh Mbok Yumna. Tapi, kala pandangannya mengarah pada tangan wanita tua itu. Raisa terbela
Tanpa banyak bicara lagi. Hamaz mengeluarkan garam pemberian Abah Harun. Setelah mengambil sejumput. Hamaz taburkan ke wajah Naning.Dan saat mulutnya terbuka lebar. Dengan cepat Hamaz memasukkan garam ke dalam mulut Naning. Sampai membuat wanita itu tersedak. Tampaknya Naning kesakitan."Erghhhh ... erghhhh!""Mas Hamaz lihat!"Hamaz melihat ke arah tangan Raisa, yang menunjuk pada tangan Naning yang terlihat kembali seperti semula. Bersamaan dengan itu terdengar deru mobil yang mendekat. Seketika Delon berlari masuk ke dalam kamar."Mobil ambulannya sudah datang!" teriak Delon, yang semula bersemangat langsung terperanjat. "Mbok Yumna kenapa, Sa?" Dia pun melangkah cepat melihat luka bekas cakaran Naning yang cukup dalam."Nanti aja Mas ceritanya," sahut Raisa sembari membersihkan darah yang terus mengucur dari tangan keriput Mbok Yumna.Tak lama kedua lelaki juga mengikuti langkah Delon yang memasuki kamar."Mas, ambul
Mereka pun meninggalkan rumah Naning. Seketika Raisa merasakan seluruh tubuh yang merinding parah. Merasa ada yang memperhatikan. Raisa pun mendongak ke atas. Sontak kedua bola matanya membulat lebar."Mar ... lihat itu!" bisik Raisa sembari berdesis. Membuat Mbok Yumna ikut mendongak. Namun tak ada yang dia lihat."Mar siapa, Nak?""Ehhh ... Mar?" ulang Raisa. Dia baru tersadar kalau salah menyebut nama. "Maaf, Mbok. Saya juga enggak tau kenapa tiba-tiba menyebutkan nama itu."Sampai akhirnya mereka sampai di rumah warga. Lelaki tua yang ternyata bernama Samiran, tersenyum lebar saat mereka datang."Mari masuk, Mas!"Lelaki itu langsung masuk rumah. Sepertinya dia meminta pada sang istri untuk membuatkan minuman."Maaf, Pak sebelumnya. Kami ini mau numpang sholat," ujar Hamaz."Ohhh, ayo saya antar ke belakang ada mushola kecil. Tapi, bersih kok.""Sa, kamu di sini?""Iya, Mas. Masih belum bersih."Diteman
Wanti pun mulai gelisah. Dia takut kalau Raisa sampai pergi ke rumah itu sendirian. Langkah kakinya berjalan mondar mandir menunggu kedatangan mereka dari musholla."Apa aku harus susul mereka ya?"Tak menunggu lama lagi. Wanti berlari kecil ke arah belakang. Menyusul mereka yang berada di musholla yang tak begitu jauh."Pak ... Pak!" Wanti berteriak memanggil Bapaknya."Husssst! Jangan teriak gitu!""Ta-tapi, Mbak nya yang tadi itu enggak ada di depan.""Lah di mana?" tanya Samiran dengan wajah yang tegang.Delon dan Hamaz segera mendatangi mereka berdua."Ada apa ini, Pak?""Ehhh, kata anak saya ini Mbak nya tadi udah enggak ada di tempat.""Wahhh, Raisa pasti langsung ke rumah itu!" seru Delon. "Ayok, Mas!""Tunggu bentar Mas! Aku akan menyuruh Mbok Yumna agar menunggu di rumah Pak Samiran saja."Delon mengangguk tanda sepakat dengan pemikiran Hamaz. Sedangkan di sisi lain. Dalam waktu yang
Buru-buru Raisa keluar bermaksud untuk mengejarnya. Saat di depan pintu. Dia tak melihat siapa pun juga. Dalam kebingungan dan ketakutan yang campur aduk. Raisa mendengar lagi derit pintu kamar yang berbeda. "Ruangan itu? Apa yang pernah diceritakan sama Mbok Yumna ya? Yang ada kursi goyangnya?" Perlahan Raisa mulai melangkah mendekat. Jemari tangannya menggapai handle pintu dan mulai mendorong pelan-pelan. Sengaja Raisa membuka pintu itu dengan lebar. Pandangan matanya berpendar. Mengitari seluruh ruang kamar. Berulang kali Raisa mengusap hidungnya, yang terkena debu yang tebal. Dan udara yang begitu pengap. Sesekali tangannya bergerak menghalau dan mengibas ke udara. Bermaksud agar debu yang bertebaran di udara tak menyentuh wajahnya. Ruang kamar ini tak begitu banyak perabotan. Hanya ada lemari kecil. Raisa mencari di mana kursi goyang seperti cerita Mbok Yumna. Tanpa Raisa sadari. Terdengar bunyi yang snagat dia kenal. Dug dug dug!
Saat Raisa berusaha untuk mengerjap. Kelopak matanya seperti tak kuasa untuk terbuka. Lalu, sebuah bayangan yang tidak jelas. Mengangkat sosok gadis yang ada di sampingnya. Namun entah mengapa, dirinya merasa seperti di gendong seseorang."Aku ini di mana? Kenapa kayak dibawa sama seseorang begini?"Masih antara sadar dan tidak. Raisa merasakan seperti dimasukkan ke dalam sebuah kendaraan. Tapi saat dia berusaha ingin mengintip. Kepalanya masih terasa sakit. Hanya dalam waktu sekian detik. Tubuh Raisa seperti diangkat kembali. Dalam sebuah ruangan entah di mana?""Aku ini di mana?"Saat Raisa ingin bangun. Dia merasakan sesuat yang menahan dirinya. Seperti ada sebuah kekuatan yang membuat gadis itu tak bisa bergerak.Lalu, Raisa mendengar erangan kesakitan yang ternyata berasal dari gadis yang dia jumpai saat di ruangan rumah Naning."Siapa gadis ini sebenarnya? Apa dia Mariana atau Mariyati?" Suara Raisa tertahan di tenggorokan. Panda
Raisa mengikuti apa yang dikatakan Delon. Sedangkan Hamaz masih tinggal di ruangan itu. Dia mulai membuka lemari kecil. Yang hanya terlihat beberapa potongan kertas dan pakaian yang diacak tikus sepertinya.Lalu pandangan matanya tertuju pada sebuah pigura kecil. Sebuah foto kuno dua orang wanita."Foto siapa ini?" bisik Hamaz. Lalu dia menyimpan foto itu. Di tengah sibuk mencari suatu petunjuk tentang dua batang emas itu.Dug dug dug!Hamaz mendengar seperti suara kursi goyang. Yang bergerak pelan di dekatnya. Saat dia menoleh. Hamaz melihat sosok wanita yang berwajah pucat menoleh ke arahnya. Saat Hamaz berkedip sosok itu menghilang.Namun sesaat Hamaz seperti mendengar sebuah suara yang samar."Temukan aku segera! Temukan aku segera!"Sontak Hamaz terkejut."Sepertinya dua batang emas itu enggak ada di sini. Dan yang tahu di mana emas dan jasad Mariana, hanya Bu Naning. Aku harus bilang Mas Delon ini!"
"Haaahhh, ke mana dia?" tanya Raisa kebingungan."Sepertinya dia sangat takut dengan sosok Bu Naning, Mbak Raisa. Cuman yang dia ingat hanya tumpukan batu. Tapi, itu ada di mana?""Kalau gitu kita harus cepat ke Bu Naning, Mas. Aku takut kekuatan sosok itu semakin merasuki dia, dan akan terjadi hal yang lebih mengerikan lagi." Raisa segera menarik pergelangan tangan Hamaz. Untuk segera meninggalkan ruma naning."Ayo, Mas Delon! Buruan kita susul Bu Naning di rumah sakit!" seru Raisa."Oke, langsung masuk ke mobil aja. Dan jemput Mbok Yumna." Delon segera menyalakan mesin mobil. Hamaz dan Raisa dengan langkah cepat segera naik. "Memang apa yang kalian lihat di atas?""Mas Delon lihat aja di jendela lantai dua!" tunjuk Raisa.Sekilas Delon menurunkan jendela mobil. Dan mengeluarkan kepalanya. Serta mendongak ke arah jendela."Mas Delon bisa lihat?" tanya Raisa lagi.Lelaki tampan itu menggeleng."Sosok Mariana muda selalu
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga