"Haaahhh, ke mana dia?" tanya Raisa kebingungan.
"Sepertinya dia sangat takut dengan sosok Bu Naning, Mbak Raisa. Cuman yang dia ingat hanya tumpukan batu. Tapi, itu ada di mana?"
"Kalau gitu kita harus cepat ke Bu Naning, Mas. Aku takut kekuatan sosok itu semakin merasuki dia, dan akan terjadi hal yang lebih mengerikan lagi." Raisa segera menarik pergelangan tangan Hamaz. Untuk segera meninggalkan ruma naning.
"Ayo, Mas Delon! Buruan kita susul Bu Naning di rumah sakit!" seru Raisa.
"Oke, langsung masuk ke mobil aja. Dan jemput Mbok Yumna." Delon segera menyalakan mesin mobil. Hamaz dan Raisa dengan langkah cepat segera naik. "Memang apa yang kalian lihat di atas?"
"Mas Delon lihat aja di jendela lantai dua!" tunjuk Raisa.
Sekilas Delon menurunkan jendela mobil. Dan mengeluarkan kepalanya. Serta mendongak ke arah jendela.
"Mas Delon bisa lihat?" tanya Raisa lagi.
Lelaki tampan itu menggeleng.
"Sosok Mariana muda selalu
"Kalau melihat kondisi badan Ibu. Beliau ini sudah sakit-sakitan. Berarti sesudah Mariana pergi bersama Mbak Naning.""Tepat sekali! Ada kemungkinan yang mengirim pembunuh itu adalah Bu Naning sendiri. Masih ingat bagaimana Mariman terus tak mengakui bila dia yang membunuhnya.""Tapi, Sa? Mariyati melihat dalam bayangan di cermin. Kalau itu memang sosok Bapaknya 'kan?""Mas Delon, hal-hal seperti itu, bisa saja dilakukan oleh mereka untuk menipu manusia. Termasuk kita."Tampak Delon manggut-manggut."Tapi yang dipikirkan Raisa ada benarnya juga. Mungkin Naning ini cemburu pada Bu Marsinah. Dan ingin membunuhnya dengan cara memakai klenik kayak gitu.""Bisa jadi, Mas."Mobil pun melaju dengan kecepatan kencang membelah jalan raya. Delon mengambil jalan tol agar lebih cepat sampai. Lalu tangannya bergerak menekan sebuah nomer pada ponselnya.Tut tut tut!"Kenapa nih Pak Karjo sulit dihubungi?"Dua
Karno sedikit lega. Dia mempercepat laju kendaraannya. Sampai untuk yang kedua kalinya terdengar suara gesekan itu lagi. Krekkk krekkkk krekkk! Keduanya saling berpandangan. Samsul yang semula terlihat tenang. Kali ini, mulai penasaran. Dia langsung mengintip ke arah jendela kecil yang tepat berada di belakang jok. Pandangan matanya nyalang saat melihat ke arah Bu Naning. Yang kini tak berada di posisinya. "Kar ... Kar!" "Apa?" "D-dia kok enggak ada?" "Dia? Si Ibu itu?" Samsul mengangguk pelan. "Kok bisa?" "Aku juga enggak tahu!" teriak Samsul lebih panik dari pada Karno. "Coba kamu lihat lagi, Sul!" Perlahan dia kembali membalikkan tubuhnya. Saat pandangan mata Samsul melihat ke arah jendela itu. Bughhh! Dia dikejutkan dengan sebuah benturan yang sangat kuat. Menghantam jendela kecil, sampai membuat Samsul terbalak tanpa berkata-kata. Dia melihat s
Raisa pun langsung maju dua langkah."Karena terlalu membenci, sampai Bu Naning membunuh Mariana? Karena Ibu pada akhirnya tahu merekalah yang membunuh Bapak mereka sendiri. Iya 'kan Bu Naning?"Perlahan Naning mengangkat kepala, tanpa bantuan tumpuan tangan. Lalu menoleh pada Raisa. Matanya melotot."Siapa ... kamu?""Saya Raisa, Bu.""Untuk apa kamu ikut campur?!"Kemudian, Hamaz mencolek Raisa. Lalu dia menyodorkan sebotol air yang telah dicampurkan air zam-zam pemberian Abah Harun."Untuk apa Mas?""Minumkan ke dia!""Mana mau, Mas.""Kalau enggak mau kita paksa!"Raisa pun manggut-manggut. Lalu gadis itu menuangkan pada air pada gelas plastik yang ada di meja."Bu Naning, minum dulu!"Tiba-tiba, Naning mengibaskan tangannya dengan sangat kuat. Hingga gelas yang dibawa Raisa terpental. Dan jatuh ke lantai."Kalian pikir aku ini siapa?" teriak Nnaing melengking tinggi.;Hamaz
"Menurut kalian, bata itu mana?" tanya Raisa. "Soalnya tadi pun, dalam penglihatan aku. Si Mariana ini, sempat menyebutkan batu juga."Cukup lama mereka saling terdiam. Dan berpikir mengenai keberadaan Mariana."Aku ingat!" teriak Raisa kencang."Apa?" sahut Delon dan Hamaz bersamaan."Bukannya Bu Naning selalu menyapu bagian samping rumah? Waktu aku cari dia di sana kapan hati itu. Aku sempat lihat tumpukan batu bata di bawah pohon mangga.""Serius kamu, Sa?""Iya, Mas. Kalau enggak salah, semoga itu maksud dari tumpukan batu bata itu."Mendengar ucapan Raisa Delon semakin mempercepat laju mobil. Namun di tengah perjalanan. Saat mobil dalam kecepatan tinggi, tiba-tiba mesinnya mati."Gawat!!!" teriak Delon mengejutkan Hamaz dan Raisa yang mendengar."Ada apa Mas Delon?" tanya keduanya hampir bersamaan.Delon yang tegang. Tak menjawab pertanyaan mereka. Dia langsung memberi sign. Dan dengan tanggap, Delon membanti
"Perasaan aku semakin enggak enak nih, bulu kuduk aku aja udah merinding. Bisa Mas Delon lebih kencang lagi nyetirnya?" Raisa mencolek bahu Delon. Belum ada sekian detik dari Raisa bicara.Suara ketukan aneh itu berbunyi lagi.Bug bug bug!Membuat Delon semakin terperanjat. Konsentrasinya mulai terpecah. Berulang kali dia mencoba untuk melirik ke arah spion dalam. Seketika, jantungnya seperti berhenti berdetak."Astaghfirullah!!!" teriaknya kencang."Mas Delon, awaaaas ...!!!" teriak Hamaz, manakala melihat sebuah truk tronton sudah berada di jalur yang sama seperti mobil mereka."Maaaaaassss!" Teriakan Raisa pun tak kalah kencangnya dengan suara klakson dari truk besar itu."Ada truuuk, Naaaak!" Suara Mbok Yumna sampai tak bisa keluar suaranya. Matanya melotot dan berkaca-kaca saat melihat sebuah truk sudah berhadapan dengan mereka.Tret tret tret ten!Tret tret tret ten!Tret tret tret
"Ja-jangan ... jangan bunuh aku!"Tiba-tiba, Raisa meracau tidak karuan. Membuat Hamaz dan Delon saling berpandangan."Kamu oke 'kan, Raisa? Please, bangun lah!" Delon berusaha terus mengguncang kedua pundak gadis itu. Namun masih belum ada pergerakan yang berarti. Dia pun melirik pada Hamaz, yang juga terlihat sangat cemas.Sedangkan dalam penglihatan Raisa. Semua terlihat sangat gelap. Mencekam dan begitu suram. Entah ada rasa ketakutan yang melanda dirinya saat ini.Samar dia mendengar suara Hamaz dan Delon yang terus berbisik. Begitu juga Raisa merasakan tubuhnya yang terus diguncang oleh seseorang. Sampai gadis itu, teringat kembali pada saat di dalam mobil.Tiba-tiba ....“Awassss Mas Delon!!! Berhentiiii …!” teriak Raisa sangat kencang.Di saat yang bersamaan. Sorot lampu truk yang terang benderang. Seakan membuat pandangan Raisa silau. Membuat gadis itu tak bisa melihat dengan jelas
"Bangun, Mbak! Ayo lawan semua gangguannya dengan Bismillah. Hanya Allah sebaiknya pelindung, Mbak! Allahu Akbar!" Hamaz terus berbisik pada telinga gadis itu."Erghhh ... sakit, Mas! Tolong aku. Dia ingin membunuh aku!" teriak Raisa dalam keadaan belum tersadarkan.Hamaz bergerak menuju kedua kaki Raisa."Mas Hamaz, tolong pegang Mbak Raisa dengan kuat. Harus sangat kuat ya Mas Hamaz. Kalau ada sapu tangan, tolong ikat di bagian gigi Mbak Raisa. Agar dia tak melukai bibirnya.""Ba-baik, Mas Hamaz." Delon hanya mengikuti apa katanya. Yang terpenting Raisa bisa segera tersadar."Terus setelah ini apa yang harus kita lakukan, Mas?" tanya Delon penasaran. Mbok Yumna yang mulai tenang, mendekati mereka. Dan duduk di samping Raisa membelai lembut tangan gadis itu."Saya harus mengusir sosok atau bayangan yang dilihat Mbak Raisa saat ini. Tapi, akan sangat sakit.""Apa akan sangat sakit ?" Wajah Delon pun terlihat tegang.
Tubuh gadis itu semakin keras meronta. Keringat mulai membasahi wajah dan tubuh. Raisa merasakan, seperti sesuatu yang sangat tajam sedang menguliti tubuhnya saat ini. Air mata terus berlinang dari kedua matanya yang terpejam."Tahan Mbak Raisa! Sedikit lagi!" ucap Hamaz lirih.Sesaat Hamaz menghentakkan kedua tangan mengarah pada perut gadis itu. Kedua tangan itu, langsung menggenggam erat seperti mendapatkan sesuatu. Dengan gerakan sangat cepat, Hamaz menggulingkan tubuh Raisa ke samping. Dia seperti mencabut sesuatu dari punggung gadis itu, kemudian seperti mengikatnya dengan genggaman tangan yang sebelah. Pandangan mata Delon tercekat, menyaksikan semua gerakan yang diperlihatkan oleh Hamaz. Tak ada satu pun dari mereka yang berani mengembuskan napas atau bergerak sedikit pun. Perlahan, Hamaz menarik berapa helai rumput yang berada di sekitarnya. Dan mengikat sesuatu yang tak nampak.Hingga akhirnya, gerakan tangan Hamaz berhenti. Seketika Raisa memb
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga