"Bangun, Mbak! Ayo lawan semua gangguannya dengan Bismillah. Hanya Allah sebaiknya pelindung, Mbak! Allahu Akbar!" Hamaz terus berbisik pada telinga gadis itu.
"Erghhh ... sakit, Mas! Tolong aku. Dia ingin membunuh aku!" teriak Raisa dalam keadaan belum tersadarkan.
Hamaz bergerak menuju kedua kaki Raisa.
"Mas Hamaz, tolong pegang Mbak Raisa dengan kuat. Harus sangat kuat ya Mas Hamaz. Kalau ada sapu tangan, tolong ikat di bagian gigi Mbak Raisa. Agar dia tak melukai bibirnya."
"Ba-baik, Mas Hamaz." Delon hanya mengikuti apa katanya. Yang terpenting Raisa bisa segera tersadar.
"Terus setelah ini apa yang harus kita lakukan, Mas?" tanya Delon penasaran. Mbok Yumna yang mulai tenang, mendekati mereka. Dan duduk di samping Raisa membelai lembut tangan gadis itu.
"Saya harus mengusir sosok atau bayangan yang dilihat Mbak Raisa saat ini. Tapi, akan sangat sakit." "Apa akan sangat sakit ?" Wajah Delon pun terlihat tegang.Tubuh gadis itu semakin keras meronta. Keringat mulai membasahi wajah dan tubuh. Raisa merasakan, seperti sesuatu yang sangat tajam sedang menguliti tubuhnya saat ini. Air mata terus berlinang dari kedua matanya yang terpejam."Tahan Mbak Raisa! Sedikit lagi!" ucap Hamaz lirih.Sesaat Hamaz menghentakkan kedua tangan mengarah pada perut gadis itu. Kedua tangan itu, langsung menggenggam erat seperti mendapatkan sesuatu. Dengan gerakan sangat cepat, Hamaz menggulingkan tubuh Raisa ke samping. Dia seperti mencabut sesuatu dari punggung gadis itu, kemudian seperti mengikatnya dengan genggaman tangan yang sebelah. Pandangan mata Delon tercekat, menyaksikan semua gerakan yang diperlihatkan oleh Hamaz. Tak ada satu pun dari mereka yang berani mengembuskan napas atau bergerak sedikit pun. Perlahan, Hamaz menarik berapa helai rumput yang berada di sekitarnya. Dan mengikat sesuatu yang tak nampak.Hingga akhirnya, gerakan tangan Hamaz berhenti. Seketika Raisa memb
"Bagaimana Mas mobilnya bisa?""Insyaallah bisa, Mas. Cuman ringsek aja bagian depan. Tapi, masih bisa dipake. Kita lanjut jalan aja. Keburu malam!"Mereka pun segera naik ke mobil. Tampak Delon melaju dengan kekuatan sedang menuju rumah Bu Sapto."Mas Hamaz! Sewaktu aku pingsan, badan aku kayak ada yang narik-narik. Sampai sekarang, punggung aku ini kerasa sakit banget.""Iya, Mbak. Tadi Mbak Raisa itu kayak dihalangin untuk masuk ke dalam raga Mbak. Makanya saya paksa tarik makhluk suruhan dari sosok wanita iblis itu.""Ditarik, Mas?""Iya. Makanya buat badan Mbak Raisa itu."Gadis itu manggut-manggut."Kamu juga dirasuki sama mariana," sela Mbok Yumna lirih."Mariana?"Mbok Yumna mengangguk pelan."Untuk apa Mariana merasuki aku, Mas Hamaz?""Dia minta agar kita mencari makam dia. Dan yang lebih membuat kita terkejut. Dia bilang kalau pembunuhnya bukan cuman Naning aja. Ada orang lain
"Assalamualaikum, Pak RT!""Waalaikumsalam. Mbak Raisa?""Iya, Pak. Kami akan ke rumah itu lagi. Cuman kalau ajak Mbok Yumna. Kita takut terjadi apa-apa.""Kalian ini kok datangnya malam-malam?""Maunya sih siang tadi, Pak. Hanya saja banyak masalah di tengah jalan.""Kalau gitu, masuklah dulu! Yang lainnya di mana?""Mas Delon dan Mas Hamaz menunggu di dalam mobil. Di depan rumah Bu Sapto Pak."Lelaki itu terlihat sangat cemas. Lalu mengulurkan sel;embar kertas yang tak terlalu besar."Tadi Abah Harun ke sini. Katanya telpon kalian enggak bisa. Di situ ada catatan yang harus dibaca Mas Hamaz.""Baiklah, Pak. Kalau gitu saya segera temuin mereka.""Tunggu!" cegah Pak RT. "Saya mau cerita sedikit, Mbak Raisa. Dari kemarin malam. Rumah itu terdengar gaduh. Pokoknya sangat ramai. Sampai siang tadi kita periksa sekitar halaman, tapi kayak biasa. Enggak ada apa-apa. Dan yang aneh, rumput-rumput di hampir tanah belakang
Hamaz segera menaburkan garam dari depan halaman. Bertujuan makhluk yang bukan berasal dari rumah itu tak bisa masuk. Untuk ikut mengganggu."Assalamualaikum!" ucap Hamaz.Lalu dia mendorong pintu pagar yang tak terkunci. Derit engsel besi terdengar mencekam. Menambah keseraman rumah ini. Yang cahaya lampu penerangan hanya samar. Membuat mereka harus menajamkan penglihatan.Dari sini saja. Raisa bisa merasakan aura yang mulai berbeda. Sesekali tangannya bergerak mengusap bagian tengkuk.Terlihat Hamaz berjalan terlebih dahulu. Dengan tangan yang terus bergerak menaburkan garam. Angin malam yang dingin berembus cukup kencang, langsung menerpa tubuh dan rambut mereka."Untung kita pakai jaket, Sa. Cukup dingin juga ternyata malam ini," celetuk Delon yang berjalan berjajar dengan Raisa.Mereka mulai melewati pekarangan samping yang berada di sisi kiri dari bangunan rumah. Semerbak bau bunga mangga, menebar melesak masuk ke rongga hidung mereka.
Raisa semakin merasa tidak tenang. Sesekali dia melihat ke arah belakangnya. Tampak dari kejauhan, dia melihat sosok wanita berambut panjang, sedang bermain di dahan pohon jambu.Melihat raut wajah Raisa yang mulai tidak tenang, Delon menarik pergelangan tangannya."Kamu, harus tetap fokus! Jangan ketakutan dengan apa yang bisa kamu lihat sekarang, Sa! Benar kan Mas Hamaz?""Iya!Gadis itu mengangguk, tanpa membantah sama sekali."Iya, akan aku coba Mas!"Tiba-tiba ...."Raisaaa ...!"Terdengar suara berbisik yang tengah memanggil, lembut. Persis di belakang telinga kirinya. Raisa mencoba untuk memiringkan wajahnya sedikit demi sedikit. Seketika bola mata Raisa terbalalak. Saat melihat kepala wanita yang hancur, tengah bergelayut di pundaknya."Aaaaaaaaarghhh!"Sontak teriakan Raisa membuat Delon dan Hamaz membalikkan badan. Mereka berdiri terpaku menatap gadis berjilbab itu.
"Raisaa! Kembali, Sa!" Hamaz dan Delon terus berteriak dan berusaha untuk mengejar langkahnya.Namun, Raisa semakin kencang berlari meninggalkan mereka berdua. Yang terecengan melihat kejadian sangat cepat itu. Derap langkah Hamaz dan Delon terhentyi sesaat."Ke-kenapa dia masuk rumah itu lagi, Mas?""Kejar Mbak Raisa sekarang Mas Delon. Biar aku yang mencangkul tanah dibawah tumpukan batu bata itu!" tegas Hamaz."Baik, Mas Hamaz." Sembari dia meletakkan cangkul.Delon kembali mengejar Raisa dan tanpa sadar dia masih menggenggam golok Yang harusnya dia tinggalkan bersama Hamaz.Dalam penglihatan Delon pintu rumah terbuka lebar. Makanya tak heran juga, kalau dengan mudah Raisa menerobos masuk."Raisaaaa ... Saaa! Di mana kamu?!" Suara teriakan Delon menggema di seisi rumah. " Raisaaa!"Perlahan kakinya mulai menapaki lantai rumah. Kini, Delon masih berdiri di ruang tamu. Tiba-tiba saja pintu kembali terbanting keras.Bruaaa
"A-apa ini, Mas?" Saat tangan Raisa bergerak pelan. Menggapai kepala. Lagi-lagi dia harus terbeliak. Ada tetes darah di atas kepalanya. Saat Raisa beralih dan mendongak. "Aaaarghhhh!" Dia menarik lengan Delon, lalu menunjuk ke atas mereka. "Lihat itu, Mas!" Delon hanya bisa tercengang. Saat melihat sosok yang bergelantungan. Dengan penuh luka dan darah yang menebarkan bau amis dan anyir. Yang kini mulai membasahi mereka. "Sebaiknya kita kabur, Sa!" "Ke-kemana Mas Coba lihat saja itu! Mereka mulai mendatangi kita!" Sekilas Raisa bisa melihat Bu Marto, yang tengah tersenyum lebar padanya. Menyeringai dingin. "Raisa, tolong aku!" Suaranya begitu memelas, seolah mengiba pada dirinya. Tak hanya Bu Marto saja. Dia juga melihat Bu Hana, Bu Tyas, Bu Martyo, sampai Darsih dan Mbah Karsiyem. Semuanya terlihat begitu saja. Membuat Raisa semakin pucat, ketakutan. Mereka berdua merangkak mundur perlahan. Namun kaki mer
"Eeeeerghhh!"Sosok itu mengerang penuh kesenangan. Lalu dia mulai menggerakkan tangannya. Naik ke atas dengan pelan-pelan. Seolah sedang memegang sesuatu.Tiba-tiba Raisa ikut memegang leher yang terasa sangat panas. Seperti ada bara api yang tengah menyulutnya."Aaarggghhh ... panas! Mas De-lon ... to-looong!" Suara Raisa terdengar lirih."Raisa, kamu kenapa?""D-dia ... seperti mencekik--"Raisa berguling-guling kesakitan. Delon pun tampak kebingungan. Saat dia hendak membantu gadis itu. Tangan sosok wanita mengerikan itu, bergerak ke arah depan. Dan mengibaskan dengan sangat cepat.Wussshhh!Sontak tubuh Delon terpelanting jauh dari Raisa.Buuuugh!"Aaaarghhh!"Keduanya benar-benar tak berdaya."Allah ... Allah!"Tiba-tiba, tubuh Raisa terangkat tinggi. Hampir menyentuh langit kamar. Raut wajahnya memerah kehabisan napas. Delon yang ingin bergerak untuk membantunya. Merasa lema
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga