'Apa yang terjadi dengan Mbah Karsiyem?' gumam Raisa dalam hati.
Lalu dia menatap Bapaknya. Seakan berharap dia mau bercerita tentang Mbah Karsiyem.
"Apa Bapak bisa cerita tentang Mbah Karsiyem? Kematiannya enggak wajar gimana sih Pak?"
Dia tahu kalau bapaknya enggan untuk bercerita. Mungkin ada kenangan buruk saat itu. Yang dia tak ingin mengenangnya. Apalagi ini pasti berhubungan dengan Emak Haji.
"Kalau Bapak enggak mau cerita. Enggak usah, Pak!"
"Bapak akan cerita, tapi di kamar aja. Kasihan adek kamu sudah ngantuk kayaknya."
"Apa Bapak enggak mandi dulu?"
"Mau ganti baju aja. Udah malam, Sa. Lagian tadi sebelum pulang Bapak udah mandi kok."
Gadis itu pun mengangguk. Dia mengajak Momoy untuk segera menuju kamar depan.
"Adek biar tidur sama Raisa, Pak."
Harso manggut-manggut. Lalu dia pergi ke kamar mandi.
Sedangkan Momoy langsung naik ke atas kasur dan langsung terlelap. Raisa menyelimuti tubuh
"Dar--" Belum sampai selesai dia memanggil nama gadis itu. Sosok Darsih sudah bergerak terlebih dulu. Dia menoleh ke arahnya.Dan ....Terdengar teriakan histeris Riyani."Aaaaaarghhh!"Seketika tubuhnya terkulai lemas. Jatuh ke lantai. Beberapa keluarga pasien langsung memanggilkan perawat. Mereka menggotong tubuh Riyani.Setelah mendapatkan perawatan. Riyani mulai sadar. Sesaat dia kelihatan bingung."A-aku ini ada di mana?""Ibu di rumah sakit. Sepertinya Ibu sedang mengunjungi keluarga korban kecelakaan."Dia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi."Dar-sih?""Kenapa, Bu?" tanya salah seorang perawat padanya."Apakah korban kecelakaan itu masih hidup?"Perawat itu menggeleng."Tapi aku melihat dia duduk di kasurnya.""Saya yang mengurusi perawatan dia tadi, Bu. Jadi saya lebih tahu kondisinya."Riyani berusaha untuk bangkit dari atas kasur. Lalu duduk dengan memegan
Namun tak ada seorang pun yang mendengar teriakan Riyani. Padahal dia sudah berteriak sekencang mungkin. Tapi, semua orang yang berada di bilik ini hanya mengurusi Karsiyem. Yang tangisannya belum berhenti sedari tadi."Cobalah kalian lihat itu! Lihatlah, apa yang bergerak di balik selimut Darsih?"Riyani berusaha untuk terus memberitahukan mereka. Tapi, tetap saja mereka seolah tak peduli. Seakan tak mendengar apa yang dia ucapkan."Kenapa semua menjadi terlihat aneh kayak gini?"Riyani yang berada cukup jauh dari ranjang pasien. Mendengar sesuatu yang bergerak. Hingga membuat ranjang itu berderit lirih. Seperti ada seseorang yang sedang turun atau naik."A-pa kalian semua tak mendengarnya?" tanya Riyani untuk kesekian kali. Namun tetap saja tak ada yang menghiraukan diirnya.Riyani bergerak mundur beberapa langkah.'Sebaikny aku tunggu di ruang depan saja. Aku bisa ikutan gila kalau di sini terlalu lama. Masa m
Sosok itu terdiam. Dia hanya memandang Riyani dengan cucuran darah segar. Seakan membasahi lantai yang berwarna putih. Riyani bisa melihat dan merasakan basah di sekitar kakinya. "Darah?" Kemudian Riyani mendongak ke arah Darsih. "Kau masih menuntut aku mencari bola mata kamu yang hilang?" Sosok itu hanya berdiri dengan mengarah pada Riyani. "Misal aku tak melakukannya. Apa yang akan kau lakukan padaku?" "Aku akan terus menghantui, Bu Yani." "Haaahhh?" Dia mengibaskan tangannya. Meminta sosok Darsih untuk menjauh. "Aku takut melihatmu. Pergilah sekarang!" Sosok Darsih terus menggeleng. "Tolong aku, Bu!" "Baiklah! Aku akan membantumu untuk mencarikan bola matamu yang sebelah." "Sampaikan pada Ibu saya, Bu Yani." "I-iya, pergilah sekarang!" ucap Riyani tanpa menoleh pada sosok itu. Sejenak Riyani terpaku dan mematung. Dia terus memikirkan ucapan Darsih yang m
Mereka bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Riyani memeluk Karsiyem yang terlihat semakin lemas."Sebaiknya Mbak Yem, urusi semua keperluan di rumah. Minta tolong sama Harso. Aku akan urusi semua jasad Darsih di rumah sakit."Karsiyem mengangguk. Dia mengikuti semua yang dikatakan teman baiknya itu. Mereka berdua mulai berbagi tugas. Setelah mengantar Riyani ke rumah sakit. Delman melaju mengantarkan Karsiyem menuju rumahnya."Berhenti di rumah Riyani aja, Pak!""Iya, Mbak."Tak lama setelah itu. Delman berhenti di depan rumah Riyani. Dia langsung turun. Langkahnya tergopoh menuju rumah Riyani. Pintu depan terbuka lebar."Harso! Harsooo!""Ada apa Budhe?""Kamu disuruh Ibu, bantu aku urusi di rumah. Jasad Darsih segera tiba."Sesaat Harso tercengang. Mendengar perkataan Karsiyem."Ja-jadi, Darsih meninggal?""Iya, Le. Tolong bantu aku ya."Harso mengangguk. Dia bergegas menuju perangkat desa. Memb
"Aku tau ini kamu, Dar!"Pintu kamar berderit pelan.Krieeet!Seakan ada yng ingin menampakan perwujudannya."Aku sudah mencari bola mata kamu. Bahkan sama Ibu kamu juga. Tapi, bola mata kamu, enggak ada di tempat kecelakaan."Belum sampai Riyani menyelesaikan semua kalimatnya.Tiba-tiba ....Pintu kamar yang semula terbuka pelan. Terbanting dengan keras.Braaakkk!"Haaahhh!"Riyani langsung berjingkat. Sungguh dia terkejut."Dar! Aku tau kamu marah. Tapi, bagaimana aku mencarinya?""Rumah!""Rumah katamu?"Namun tak ada seseorang pun yang terlihat di kamar itu. Dia hanya mendengar bisikan. Yang mengatakan rumah."Tapi, rumah siapa?"Riyani melirik jam dinding. Yang menunjukkan angka sebelas. Hingga sebuah ketukan di kamar terdengar.Tok tok tok!"Emak!" Suara Harso lirih."A-apa?""Emak belum tidur?""Belum. Mas
Lelaki itu seperti tidak terkejut sama sekali."Apa kejadian ini sering terjadi?""Sangat sering.""Haaahhh! Sering?" ulang Riyani semakin terperanjat."Iya, entahlah? Mungkin sepertinya ada yang mencari tumbal. Dan memasangnya di jalan ini."Seketika Riyani terperangah. Saat mendnegar kata tumbal."Ta-tapi, siapa Pak yang kira-kira memakai tumbal ini?""Sayangnya kita juga enggak ada yang tau, Bu. Banyak juga warga yang menanykan pada orang pintar. Mereka enggak mampu menembus kemampuan dukun orang itu. Ada juga yang bilang. Kalau pemiliknya meninggal baru ketahuan.""Wahhh, kok bisa begitu Pak. Jahat sekali ini!""Memang, Bu. Katanya ada yang bilang. Sisa anggota badan yang tercecer, memang sengaja diambil dan disimpan. Untuk persembahan dan bukti tumbal yang sudah diserahkan.""Haaaahhh!"Riyani semakin ternganga. Begitu juga dengan Harso sampai tak bisa berkata-kata lagi."Memangnya itu tumbal un
"Lalu sekarang enaknya gimana, Mbak? Aku sama Raisa dihantui Darsih terus Mbak.""Aku akan cari caranya, Yan. Aku akan balas perbuatan orang itu sama anakku! Kita lihat saja, Yan. Akan aku balaskan semuanya!" seru Karsiyem dengan pandangan mata yang kosong.Suaranya terdengar hingga balik pintu. Membuat Harso terlihat sangat tegang. Dan kata-kata itu bagai terpatri dalam kepalanya hingga kini.Saat dia menceritakan itu semua. Tersirat dalam bola matanya kegelisahan. Lalu menatap pada Raisa. Yang terbengong dengan cerita sang bapak."Ja-jadi Mbah Karsiyem itu teman Emak Haji?""Iya, Raisa. Hubungan mereka sangat dekat.""Lalu, Pak. Apakah Mbah Karsiyem bisa menemukan bola mata itu?"Harso menggeleng."Tapi, sepertinya Mbah Karsiyem tau siapa pelakunya. Hanya saja dia tak pernah cerita. Enggak tau juga kalau ke Emak.""Lalu, Pak?""Sejak kejadian itu. Mbah Karsiyem jarang keluar rumah, Sa. Dia jadi sangat tertutup s
Rumah kediaman DelonDi teras rumah belakang. Terdengar suara orang yang sedang berbincang serius. Ternyata Delon bersama Pak Karjo.Delon menceritakan semua kejadian yang dia alami bersama Raisa. Kejadian yang menurut dia sangat tidak masuk akal. Sungguh di luar akal pikirannya."Jadi, Mas Delon belum bertemu keluarganya sama sekali?""Belum, Pak!""Hemmm. Tapi kira-kira tau di mana mereka tinggal sekarang?"Delon menggeleng."Cuman kalau soal itu. Mudah lah aku carinya, Pak. Cuman aku ngeri juga bayangin kejadian tadi. Apalagi waktu teringat toples-toples itu."Karjo terus memerhatikan yang diucapkan Delon. Sampai sebuah suara cukup keras. Sangat mengejutkan terdengar mereka berdua.Bleeep!"Suara apa itu, Pak?" Suara Delon penuh penekanan. Dia sepertinya tahu dari arah mana suara itu berasal."Suara pintu mobil, Mas. Sepertinya dari garasi.""A-apa dia lagi?" ucap Delon t