"Haaaahhh!"
Bu Marto tercengang. Dia hanya bisa menutup mulutnya dan berlari menuju Bu Saiful.
"A-ada apa, Bu?"
"To-tolong pinjam telepon rumahnya, Bu. Boleh?"
"Boleh, Bu. Tapi mana mereka yang ibu cari?"
Dia hanya menggeleng. Tak tahu harus berkata apa pada wanita ini.
"Entahlah Bu! Saya merasa aneh dengan wanita tua itu. Seperti bukan dia yang tadi saya temui. Wajahnya sama tapi--"
"Tapi?"
Bu Marto tak sanggup berkata-kata lagi. Mereka berdua buru-buru pulang. Sesampai di rumah. Bu Saiful mengajak dia untuk menelepon nomer ponsel Raisa.
"Maaf ya, Bu. Pulsa saya habis. jadi enggak bis abuat telepon."
"Enggak apa-apa"
Berulang kali dia menekan nomer ponsel Raisa, selalu jawaban operator yang menjawab. Tampak Bu marto semakin kebingungan.
Terdengar suara guntur yang gemuruh. Sepertinya hujan akan turun. Ditambah angin kencang berhembus.
"Tenang aja Bu. Semoga mereka enggak apa-apa.
"Kalau isi dalam toples itu masih baru. Siapa yang mengambil sisa tubuh korban tumbal itu?" tanya Raisa semakin merasa aneh. "Kamu mulai merasa ada yang janggal 'kan?" "Iya, Mas Delon. Dan yang buat aneh lagi. Sosok Bu Aminah yang menurut aku selalu terlihat berbeda." "Memang!" sahut Bu Marto. "Ibu merasa kayak saya juga?" tanya Raisa." Wanita pasruh baya itu mengangguk kuat. "Bahkan kalian enggak tau 'kan? kalau tadi ada kecelakaan di depan rumahnya Bu Sapto." "Haaaahhh?" Keduanya saling beradu pandang. Lalu Delon menghentikan mobilnya. Mereka pun sudah sampai di depan rumah Raisa. "Ayo kita bicara di rumah saya, Bu!" "Tapi, aku enggak bisa lama-lama ya?" "Enggak apa-apa, Bu. Raisa cuman ingin tau kejadian kecelakaan itu." Setelah itu. Mereka segera memasuki rumah Raisa. "Assalamualaikum!" teriak Raisa. Sembari berharap Momoy sudah pulang. Tapi, rumah masih sepi. Lalu Raisa
Tampak Raisa berusaha untuk mengejar. Namun wanita tua itu terus berjalan seolah tak mendengar panggilan gadis itu."Mbah, tunggu saya!" Untuk yang kedua kali, dia mengulang panggilannya.Raisa berlari cepat. Sampai dia bisa berjalan sejajar dnegna wanita tua itu."Mbah kok langsung ninggalin Raisa?"Dia tak menjawab. Hanya terdiam tanpa mengucap sepatah kata sama sekali."Mbah, kenapa menyuruh saya berhati-hati? Ada apa sebenarnya? Apa yang Mbah lihat?"Raisa terus mencecar dengan banyak pertanyaan pada wanita itu. Tetap saja dia terdiam dengan melangkah semakin cepat.Hingga mereka akhirnya sampai di sebuah rumah yang snagat sederhana."Maaf aku tadi tak menjawab semua pertanyaan kamu. Aku masih wiridan. Lagian sosok Bu Sapto itu selalu mengikuti kamu, Nak!""Bu Sapto?""Iya. Sepertinya meninggal dia dengan cara yang enggak wajar. Atau bisa juga selama hidup dia telah melakukan kesalahan fatal."Lalu, bag
"Siapa?!" Suaranya hampir berteriak. "Mbah Karsiyem, Mak," ulang Raisa. Sejenak hening. Tak ada suara yang terdengar sama sekali. "Emak Haji kok diam?" "Ehhh, dari mana kamu tau soal Mbah Karsiyem, Raisa?" "Barusan Raisa diajak ke rumahnya, Mak. Kata Mbah Karsiyem dia selalu mimpi Emak." "M-mimpi?" "Iya, Mak. Raisa juga enggak paham." "Dan kamu juga diajak ke rumahnya?" "Iya." "Memang kamu lagi ada masalah apa?" Raisa terlihat kebingungan menjawab. Dia kembali terdiam sesaat. Ingin hatinya berkata yang sebenarnya, pada sang nenek. Tapi Raisa tak ingin malah membuat neneknya cemas. "Enggak ada apa-apa, Mak." "Sebaiknya enggak usah kau temui lagi Mbah Karsiyem itu. Emak juga enggak tau maksud dia apa, Raisa. Ya, jangan temui lagi dia." "Emak jangan ditutup dulu teleponnya!" Suara Raisa berteriak. "Apal
Momoy terus menarik pergelangan tangan Raisa. Yang terus melihat ke arah rumah Mbah Karsiyem."Ada apa sih, Mbak?""Ki-kita masuk aja!" ajak Raisa bagai tersadar.Namun Raisa sulit melepas bayangan wanita tua itu. Sangat jelas Raisa melihat dia berjalan dari seberang jalan menuju ke rumah dia.'Tapi, apa yang dia katakan mungkin ada benarnya. Aku harus bicara dengan keluarga Bu Sapto.'"Mbak Sebenarnya mikirin apa sih?" Momoy terus memerhatikan sang kakak. Yang menurut dia terlihat tak biasanya."A-pa Mbak mikirin penunggu rumah kosong itu?""Haaahhh? Ngomong apa kamu? Jangan ngawur!""Habis Mbak dari tadi kayak orang yang ngelamun terus. Kan aneh."Jam dinding terus berdetak hingga menunjukkan pukul delapan malam. Momoy yang sedang menunggu bapak mereka mulai gelisah. Sesekali dia menarik lengan Raisa menyuruhnya untuk telepon."Mbak, telepon Bapak lah!""Bapak jangan ditelepon, Moy. Masi
"Ka-kamu, kok bisa mengenal Mbah Karsiyem?""Bu Marto juga kenal dengan Mbah Karsiyem?""Ehhhh ... enggak sengaja sih, Bu. Kenalan di musholla kita."Seketika matanya melotot. Membuat Raisa ketakutan. Saat melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Bu Marto."A-ada apa, Bu? Apa ada yang salah?""Salah, Raisa. Semua yang kamu lihat ini juga salah!"Kedua manik mata Raisa bergetar. Seakan berkaca-kaca. Dia tak tahu kenapa semua mengatakan hal yang menakutkan buatnya."Salah bagaimana sih, Bu?""Mbah Karsiyem itu sudah lama meninggal. Dulu dia teman baik Emak Haji. Mereka berdua berteman baik. Malah sangat baik.""Me-meninggal?"Bu Marto mengangguk pelan."Jadi kalau kamu sampai melihat Mbah Karsiyem. Itu enggak mungkin sekali."Raisa merasakan dadanya menjadi sesak. Seakan sulit baginya saat ini untuk bernapas lega."Ka-mu enggak apa-apa?""Entahlah, Bu. Pikirannya saya tiba-tiba jadi kalut.
Momoy terlihat ragu saat ingin membangunkan Raisa. Dia melihat sang kakak yang terlelap. "Tapi ... bungkusan ini?" Akhirnya Momoy putuskan untuk membangunkan Raisa. Dia mencolek ujung jari kaki kakaknya. Sekali sampai dua kali masih belum ada reaksi sama sekali. Cukup kesal Momoy menarik paksa jempol kaki Raisa. "Apaan sih, Moy?" "Bangunlah, Mbak!" "Ngantuk aku, Moy." "Ta-tapi, Mbak. Ini ada yang kasih bungkusan." Mendengar ucapan Momoy. Seketika Raisa terbangun. Pandangan matanya mengarah pada Momoy yang masih berdir di dekat kakinya. "Bungkusan apa sih Moy?" "Enggak tau, Mbak. Aku enggak berani buka. Dia pesan kalau nanti Mbak Raisa pasti paham katanya." Seketika Raisa mengernyitkan dahinya. Dia bingung saat menerima bungkusan dari Momoy. "Memangnya ini dari siapa?" Momoy mengangkat kedua bahunya. "Loh kok enggak tau gimana sih, Moy? Kok enggak ditanya dari siapa atau dari mana
Penjelasan Momoy semakin membuat Harso penasaran."Raisa, mana kadonya? Bawa sini!" Suara Harso terdengar tegas penuh penekanan."Bentar, Pak."Gadis itu setengah berlari menuju kamar. Tangannya bergerak cepat meraih foto dan kebaya yang ada di atas kasur. Lalu secepatnya dia kembali ke meja makan."Ini, Pak!"Bagai tersentak, Harso langsung menatap Raisa."Dari mana kamu dapatkan ini?""Adek Pak yang terima."Harso mengalihkan pandangannya pada Momoy. Yang seketika menghentikan suapannya."Haaahhh?"Terlihat Momoy kebingungan. Dia yang sedari tadi tak memerhatikan mereka. Bingung untuk menjawab pertanyaan yang tak dia dengar."Siapa yang kasih foto dan baju ini, Moy?""Seorang nenek, Pak. Mungkin yang Mbak Raisa kenal itu.""Kamu mengenalnya, Raisa?"Raisa pun mulai kebingungan untuk menjawab."Ada apa Raisa? Katakan sama Bapak!""Kita kalau malam sering ketakutan, Pak."
Tenggorokan Raisa terasa tercekat oleh pertanyaan Harso. Dia sampai tak berani menatap sang Bapak."Jawab Bapak, Raisa!""Raisa tak berniat menyimpannya, Pak. Tapi, memang kuku itu datang sendiri.""Haaahhh? Datang sendiri?""Karena renda jilbab. Kuku itu akhirnya enggak ikut terkuburkan Pak. Lalu, Raisa sudah coba menguburkan kuku itu sebelumnya. Tapi--" Gadis itu menggeleng."Kuku itu ada di kamar lagi, Pak," sahut Momoy.Harso menegrutkan keningnya. Dia berpikir soal hubungan antara keduanya. Antara Mbah Karsiyem dan Bu Sapto."Apa yang disampaikan Mbah Karsiyem sama kamu?""Dia menyuruh aku menemui keluarga Bu Sapto, Pak."Mendengar cerita Raisa membuat Harso tersnetak. Cerita yang menurut dia sangat tidak masuk akal. Tapi ini terjadi pada anak-anaknya. Dan ini nyata. Walaupun tak semua orang akan mempercayai dirinya, saat dia bercerita."Kapan rencana kamu, akan datang ke keluarga Bu Sapto?""Raisa mas
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga