"Ka-kamu, kok bisa mengenal Mbah Karsiyem?"
"Bu Marto juga kenal dengan Mbah Karsiyem?"
"Ehhhh ... enggak sengaja sih, Bu. Kenalan di musholla kita."
Seketika matanya melotot. Membuat Raisa ketakutan. Saat melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Bu Marto.
"A-ada apa, Bu? Apa ada yang salah?"
"Salah, Raisa. Semua yang kamu lihat ini juga salah!"
Kedua manik mata Raisa bergetar. Seakan berkaca-kaca. Dia tak tahu kenapa semua mengatakan hal yang menakutkan buatnya.
"Salah bagaimana sih, Bu?"
"Mbah Karsiyem itu sudah lama meninggal. Dulu dia teman baik Emak Haji. Mereka berdua berteman baik. Malah sangat baik."
"Me-meninggal?"
Bu Marto mengangguk pelan.
"Jadi kalau kamu sampai melihat Mbah Karsiyem. Itu enggak mungkin sekali."
Raisa merasakan dadanya menjadi sesak. Seakan sulit baginya saat ini untuk bernapas lega.
"Ka-mu enggak apa-apa?"
"Entahlah, Bu. Pikirannya saya tiba-tiba jadi kalut.
Momoy terlihat ragu saat ingin membangunkan Raisa. Dia melihat sang kakak yang terlelap. "Tapi ... bungkusan ini?" Akhirnya Momoy putuskan untuk membangunkan Raisa. Dia mencolek ujung jari kaki kakaknya. Sekali sampai dua kali masih belum ada reaksi sama sekali. Cukup kesal Momoy menarik paksa jempol kaki Raisa. "Apaan sih, Moy?" "Bangunlah, Mbak!" "Ngantuk aku, Moy." "Ta-tapi, Mbak. Ini ada yang kasih bungkusan." Mendengar ucapan Momoy. Seketika Raisa terbangun. Pandangan matanya mengarah pada Momoy yang masih berdir di dekat kakinya. "Bungkusan apa sih Moy?" "Enggak tau, Mbak. Aku enggak berani buka. Dia pesan kalau nanti Mbak Raisa pasti paham katanya." Seketika Raisa mengernyitkan dahinya. Dia bingung saat menerima bungkusan dari Momoy. "Memangnya ini dari siapa?" Momoy mengangkat kedua bahunya. "Loh kok enggak tau gimana sih, Moy? Kok enggak ditanya dari siapa atau dari mana
Penjelasan Momoy semakin membuat Harso penasaran."Raisa, mana kadonya? Bawa sini!" Suara Harso terdengar tegas penuh penekanan."Bentar, Pak."Gadis itu setengah berlari menuju kamar. Tangannya bergerak cepat meraih foto dan kebaya yang ada di atas kasur. Lalu secepatnya dia kembali ke meja makan."Ini, Pak!"Bagai tersentak, Harso langsung menatap Raisa."Dari mana kamu dapatkan ini?""Adek Pak yang terima."Harso mengalihkan pandangannya pada Momoy. Yang seketika menghentikan suapannya."Haaahhh?"Terlihat Momoy kebingungan. Dia yang sedari tadi tak memerhatikan mereka. Bingung untuk menjawab pertanyaan yang tak dia dengar."Siapa yang kasih foto dan baju ini, Moy?""Seorang nenek, Pak. Mungkin yang Mbak Raisa kenal itu.""Kamu mengenalnya, Raisa?"Raisa pun mulai kebingungan untuk menjawab."Ada apa Raisa? Katakan sama Bapak!""Kita kalau malam sering ketakutan, Pak."
Tenggorokan Raisa terasa tercekat oleh pertanyaan Harso. Dia sampai tak berani menatap sang Bapak."Jawab Bapak, Raisa!""Raisa tak berniat menyimpannya, Pak. Tapi, memang kuku itu datang sendiri.""Haaahhh? Datang sendiri?""Karena renda jilbab. Kuku itu akhirnya enggak ikut terkuburkan Pak. Lalu, Raisa sudah coba menguburkan kuku itu sebelumnya. Tapi--" Gadis itu menggeleng."Kuku itu ada di kamar lagi, Pak," sahut Momoy.Harso menegrutkan keningnya. Dia berpikir soal hubungan antara keduanya. Antara Mbah Karsiyem dan Bu Sapto."Apa yang disampaikan Mbah Karsiyem sama kamu?""Dia menyuruh aku menemui keluarga Bu Sapto, Pak."Mendengar cerita Raisa membuat Harso tersnetak. Cerita yang menurut dia sangat tidak masuk akal. Tapi ini terjadi pada anak-anaknya. Dan ini nyata. Walaupun tak semua orang akan mempercayai dirinya, saat dia bercerita."Kapan rencana kamu, akan datang ke keluarga Bu Sapto?""Raisa mas
'Apa yang terjadi dengan Mbah Karsiyem?' gumam Raisa dalam hati.Lalu dia menatap Bapaknya. Seakan berharap dia mau bercerita tentang Mbah Karsiyem."Apa Bapak bisa cerita tentang Mbah Karsiyem? Kematiannya enggak wajar gimana sih Pak?"Dia tahu kalau bapaknya enggan untuk bercerita. Mungkin ada kenangan buruk saat itu. Yang dia tak ingin mengenangnya. Apalagi ini pasti berhubungan dengan Emak Haji."Kalau Bapak enggak mau cerita. Enggak usah, Pak!""Bapak akan cerita, tapi di kamar aja. Kasihan adek kamu sudah ngantuk kayaknya.""Apa Bapak enggak mandi dulu?""Mau ganti baju aja. Udah malam, Sa. Lagian tadi sebelum pulang Bapak udah mandi kok."Gadis itu pun mengangguk. Dia mengajak Momoy untuk segera menuju kamar depan."Adek biar tidur sama Raisa, Pak."Harso manggut-manggut. Lalu dia pergi ke kamar mandi.Sedangkan Momoy langsung naik ke atas kasur dan langsung terlelap. Raisa menyelimuti tubuh
"Dar--" Belum sampai selesai dia memanggil nama gadis itu. Sosok Darsih sudah bergerak terlebih dulu. Dia menoleh ke arahnya.Dan ....Terdengar teriakan histeris Riyani."Aaaaaarghhh!"Seketika tubuhnya terkulai lemas. Jatuh ke lantai. Beberapa keluarga pasien langsung memanggilkan perawat. Mereka menggotong tubuh Riyani.Setelah mendapatkan perawatan. Riyani mulai sadar. Sesaat dia kelihatan bingung."A-aku ini ada di mana?""Ibu di rumah sakit. Sepertinya Ibu sedang mengunjungi keluarga korban kecelakaan."Dia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi."Dar-sih?""Kenapa, Bu?" tanya salah seorang perawat padanya."Apakah korban kecelakaan itu masih hidup?"Perawat itu menggeleng."Tapi aku melihat dia duduk di kasurnya.""Saya yang mengurusi perawatan dia tadi, Bu. Jadi saya lebih tahu kondisinya."Riyani berusaha untuk bangkit dari atas kasur. Lalu duduk dengan memegan
Namun tak ada seorang pun yang mendengar teriakan Riyani. Padahal dia sudah berteriak sekencang mungkin. Tapi, semua orang yang berada di bilik ini hanya mengurusi Karsiyem. Yang tangisannya belum berhenti sedari tadi."Cobalah kalian lihat itu! Lihatlah, apa yang bergerak di balik selimut Darsih?"Riyani berusaha untuk terus memberitahukan mereka. Tapi, tetap saja mereka seolah tak peduli. Seakan tak mendengar apa yang dia ucapkan."Kenapa semua menjadi terlihat aneh kayak gini?"Riyani yang berada cukup jauh dari ranjang pasien. Mendengar sesuatu yang bergerak. Hingga membuat ranjang itu berderit lirih. Seperti ada seseorang yang sedang turun atau naik."A-pa kalian semua tak mendengarnya?" tanya Riyani untuk kesekian kali. Namun tetap saja tak ada yang menghiraukan diirnya.Riyani bergerak mundur beberapa langkah.'Sebaikny aku tunggu di ruang depan saja. Aku bisa ikutan gila kalau di sini terlalu lama. Masa m
Sosok itu terdiam. Dia hanya memandang Riyani dengan cucuran darah segar. Seakan membasahi lantai yang berwarna putih. Riyani bisa melihat dan merasakan basah di sekitar kakinya. "Darah?" Kemudian Riyani mendongak ke arah Darsih. "Kau masih menuntut aku mencari bola mata kamu yang hilang?" Sosok itu hanya berdiri dengan mengarah pada Riyani. "Misal aku tak melakukannya. Apa yang akan kau lakukan padaku?" "Aku akan terus menghantui, Bu Yani." "Haaahhh?" Dia mengibaskan tangannya. Meminta sosok Darsih untuk menjauh. "Aku takut melihatmu. Pergilah sekarang!" Sosok Darsih terus menggeleng. "Tolong aku, Bu!" "Baiklah! Aku akan membantumu untuk mencarikan bola matamu yang sebelah." "Sampaikan pada Ibu saya, Bu Yani." "I-iya, pergilah sekarang!" ucap Riyani tanpa menoleh pada sosok itu. Sejenak Riyani terpaku dan mematung. Dia terus memikirkan ucapan Darsih yang m
Mereka bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Riyani memeluk Karsiyem yang terlihat semakin lemas."Sebaiknya Mbak Yem, urusi semua keperluan di rumah. Minta tolong sama Harso. Aku akan urusi semua jasad Darsih di rumah sakit."Karsiyem mengangguk. Dia mengikuti semua yang dikatakan teman baiknya itu. Mereka berdua mulai berbagi tugas. Setelah mengantar Riyani ke rumah sakit. Delman melaju mengantarkan Karsiyem menuju rumahnya."Berhenti di rumah Riyani aja, Pak!""Iya, Mbak."Tak lama setelah itu. Delman berhenti di depan rumah Riyani. Dia langsung turun. Langkahnya tergopoh menuju rumah Riyani. Pintu depan terbuka lebar."Harso! Harsooo!""Ada apa Budhe?""Kamu disuruh Ibu, bantu aku urusi di rumah. Jasad Darsih segera tiba."Sesaat Harso tercengang. Mendengar perkataan Karsiyem."Ja-jadi, Darsih meninggal?""Iya, Le. Tolong bantu aku ya."Harso mengangguk. Dia bergegas menuju perangkat desa. Memb