Momoy terlihat ragu saat ingin membangunkan Raisa. Dia melihat sang kakak yang terlelap.
"Tapi ... bungkusan ini?"
Akhirnya Momoy putuskan untuk membangunkan Raisa. Dia mencolek ujung jari kaki kakaknya. Sekali sampai dua kali masih belum ada reaksi sama sekali. Cukup kesal Momoy menarik paksa jempol kaki Raisa.
"Apaan sih, Moy?"
"Bangunlah, Mbak!"
"Ngantuk aku, Moy."
"Ta-tapi, Mbak. Ini ada yang kasih bungkusan."
Mendengar ucapan Momoy. Seketika Raisa terbangun. Pandangan matanya mengarah pada Momoy yang masih berdir di dekat kakinya.
"Bungkusan apa sih Moy?"
"Enggak tau, Mbak. Aku enggak berani buka. Dia pesan kalau nanti Mbak Raisa pasti paham katanya."
Seketika Raisa mengernyitkan dahinya. Dia bingung saat menerima bungkusan dari Momoy.
"Memangnya ini dari siapa?"
Momoy mengangkat kedua bahunya.
"Loh kok enggak tau gimana sih, Moy? Kok enggak ditanya dari siapa atau dari mana
Penjelasan Momoy semakin membuat Harso penasaran."Raisa, mana kadonya? Bawa sini!" Suara Harso terdengar tegas penuh penekanan."Bentar, Pak."Gadis itu setengah berlari menuju kamar. Tangannya bergerak cepat meraih foto dan kebaya yang ada di atas kasur. Lalu secepatnya dia kembali ke meja makan."Ini, Pak!"Bagai tersentak, Harso langsung menatap Raisa."Dari mana kamu dapatkan ini?""Adek Pak yang terima."Harso mengalihkan pandangannya pada Momoy. Yang seketika menghentikan suapannya."Haaahhh?"Terlihat Momoy kebingungan. Dia yang sedari tadi tak memerhatikan mereka. Bingung untuk menjawab pertanyaan yang tak dia dengar."Siapa yang kasih foto dan baju ini, Moy?""Seorang nenek, Pak. Mungkin yang Mbak Raisa kenal itu.""Kamu mengenalnya, Raisa?"Raisa pun mulai kebingungan untuk menjawab."Ada apa Raisa? Katakan sama Bapak!""Kita kalau malam sering ketakutan, Pak."
Tenggorokan Raisa terasa tercekat oleh pertanyaan Harso. Dia sampai tak berani menatap sang Bapak."Jawab Bapak, Raisa!""Raisa tak berniat menyimpannya, Pak. Tapi, memang kuku itu datang sendiri.""Haaahhh? Datang sendiri?""Karena renda jilbab. Kuku itu akhirnya enggak ikut terkuburkan Pak. Lalu, Raisa sudah coba menguburkan kuku itu sebelumnya. Tapi--" Gadis itu menggeleng."Kuku itu ada di kamar lagi, Pak," sahut Momoy.Harso menegrutkan keningnya. Dia berpikir soal hubungan antara keduanya. Antara Mbah Karsiyem dan Bu Sapto."Apa yang disampaikan Mbah Karsiyem sama kamu?""Dia menyuruh aku menemui keluarga Bu Sapto, Pak."Mendengar cerita Raisa membuat Harso tersnetak. Cerita yang menurut dia sangat tidak masuk akal. Tapi ini terjadi pada anak-anaknya. Dan ini nyata. Walaupun tak semua orang akan mempercayai dirinya, saat dia bercerita."Kapan rencana kamu, akan datang ke keluarga Bu Sapto?""Raisa mas
'Apa yang terjadi dengan Mbah Karsiyem?' gumam Raisa dalam hati.Lalu dia menatap Bapaknya. Seakan berharap dia mau bercerita tentang Mbah Karsiyem."Apa Bapak bisa cerita tentang Mbah Karsiyem? Kematiannya enggak wajar gimana sih Pak?"Dia tahu kalau bapaknya enggan untuk bercerita. Mungkin ada kenangan buruk saat itu. Yang dia tak ingin mengenangnya. Apalagi ini pasti berhubungan dengan Emak Haji."Kalau Bapak enggak mau cerita. Enggak usah, Pak!""Bapak akan cerita, tapi di kamar aja. Kasihan adek kamu sudah ngantuk kayaknya.""Apa Bapak enggak mandi dulu?""Mau ganti baju aja. Udah malam, Sa. Lagian tadi sebelum pulang Bapak udah mandi kok."Gadis itu pun mengangguk. Dia mengajak Momoy untuk segera menuju kamar depan."Adek biar tidur sama Raisa, Pak."Harso manggut-manggut. Lalu dia pergi ke kamar mandi.Sedangkan Momoy langsung naik ke atas kasur dan langsung terlelap. Raisa menyelimuti tubuh
"Dar--" Belum sampai selesai dia memanggil nama gadis itu. Sosok Darsih sudah bergerak terlebih dulu. Dia menoleh ke arahnya.Dan ....Terdengar teriakan histeris Riyani."Aaaaaarghhh!"Seketika tubuhnya terkulai lemas. Jatuh ke lantai. Beberapa keluarga pasien langsung memanggilkan perawat. Mereka menggotong tubuh Riyani.Setelah mendapatkan perawatan. Riyani mulai sadar. Sesaat dia kelihatan bingung."A-aku ini ada di mana?""Ibu di rumah sakit. Sepertinya Ibu sedang mengunjungi keluarga korban kecelakaan."Dia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi."Dar-sih?""Kenapa, Bu?" tanya salah seorang perawat padanya."Apakah korban kecelakaan itu masih hidup?"Perawat itu menggeleng."Tapi aku melihat dia duduk di kasurnya.""Saya yang mengurusi perawatan dia tadi, Bu. Jadi saya lebih tahu kondisinya."Riyani berusaha untuk bangkit dari atas kasur. Lalu duduk dengan memegan
Namun tak ada seorang pun yang mendengar teriakan Riyani. Padahal dia sudah berteriak sekencang mungkin. Tapi, semua orang yang berada di bilik ini hanya mengurusi Karsiyem. Yang tangisannya belum berhenti sedari tadi."Cobalah kalian lihat itu! Lihatlah, apa yang bergerak di balik selimut Darsih?"Riyani berusaha untuk terus memberitahukan mereka. Tapi, tetap saja mereka seolah tak peduli. Seakan tak mendengar apa yang dia ucapkan."Kenapa semua menjadi terlihat aneh kayak gini?"Riyani yang berada cukup jauh dari ranjang pasien. Mendengar sesuatu yang bergerak. Hingga membuat ranjang itu berderit lirih. Seperti ada seseorang yang sedang turun atau naik."A-pa kalian semua tak mendengarnya?" tanya Riyani untuk kesekian kali. Namun tetap saja tak ada yang menghiraukan diirnya.Riyani bergerak mundur beberapa langkah.'Sebaikny aku tunggu di ruang depan saja. Aku bisa ikutan gila kalau di sini terlalu lama. Masa m
Sosok itu terdiam. Dia hanya memandang Riyani dengan cucuran darah segar. Seakan membasahi lantai yang berwarna putih. Riyani bisa melihat dan merasakan basah di sekitar kakinya. "Darah?" Kemudian Riyani mendongak ke arah Darsih. "Kau masih menuntut aku mencari bola mata kamu yang hilang?" Sosok itu hanya berdiri dengan mengarah pada Riyani. "Misal aku tak melakukannya. Apa yang akan kau lakukan padaku?" "Aku akan terus menghantui, Bu Yani." "Haaahhh?" Dia mengibaskan tangannya. Meminta sosok Darsih untuk menjauh. "Aku takut melihatmu. Pergilah sekarang!" Sosok Darsih terus menggeleng. "Tolong aku, Bu!" "Baiklah! Aku akan membantumu untuk mencarikan bola matamu yang sebelah." "Sampaikan pada Ibu saya, Bu Yani." "I-iya, pergilah sekarang!" ucap Riyani tanpa menoleh pada sosok itu. Sejenak Riyani terpaku dan mematung. Dia terus memikirkan ucapan Darsih yang m
Mereka bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Riyani memeluk Karsiyem yang terlihat semakin lemas."Sebaiknya Mbak Yem, urusi semua keperluan di rumah. Minta tolong sama Harso. Aku akan urusi semua jasad Darsih di rumah sakit."Karsiyem mengangguk. Dia mengikuti semua yang dikatakan teman baiknya itu. Mereka berdua mulai berbagi tugas. Setelah mengantar Riyani ke rumah sakit. Delman melaju mengantarkan Karsiyem menuju rumahnya."Berhenti di rumah Riyani aja, Pak!""Iya, Mbak."Tak lama setelah itu. Delman berhenti di depan rumah Riyani. Dia langsung turun. Langkahnya tergopoh menuju rumah Riyani. Pintu depan terbuka lebar."Harso! Harsooo!""Ada apa Budhe?""Kamu disuruh Ibu, bantu aku urusi di rumah. Jasad Darsih segera tiba."Sesaat Harso tercengang. Mendengar perkataan Karsiyem."Ja-jadi, Darsih meninggal?""Iya, Le. Tolong bantu aku ya."Harso mengangguk. Dia bergegas menuju perangkat desa. Memb
"Aku tau ini kamu, Dar!"Pintu kamar berderit pelan.Krieeet!Seakan ada yng ingin menampakan perwujudannya."Aku sudah mencari bola mata kamu. Bahkan sama Ibu kamu juga. Tapi, bola mata kamu, enggak ada di tempat kecelakaan."Belum sampai Riyani menyelesaikan semua kalimatnya.Tiba-tiba ....Pintu kamar yang semula terbuka pelan. Terbanting dengan keras.Braaakkk!"Haaahhh!"Riyani langsung berjingkat. Sungguh dia terkejut."Dar! Aku tau kamu marah. Tapi, bagaimana aku mencarinya?""Rumah!""Rumah katamu?"Namun tak ada seseorang pun yang terlihat di kamar itu. Dia hanya mendengar bisikan. Yang mengatakan rumah."Tapi, rumah siapa?"Riyani melirik jam dinding. Yang menunjukkan angka sebelas. Hingga sebuah ketukan di kamar terdengar.Tok tok tok!"Emak!" Suara Harso lirih."A-apa?""Emak belum tidur?""Belum. Mas
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga