Raisa mulai bergerak perlahan. Dia mendongakkan kepala mengarah pada Hamaz dan Rustam. Pandangannya seperti melihat sesuatu yang aneh.
"A-aku ... di mana sekarang?"
Hamaz langsung memberikan segelas air mineral padanya. Raisa yang merasa kelelahan meneguk habis tanpa sisa. Lalu dia mulai memerhatikan mereka satu persatu. Dia merasa tak mengenalnya.
"Si-siapa kamu?"
"Aku, Hamaz. Dan, Bapak ini Rusatam. Teman saya."
"Lalu, untuk apa ada di kamar ini?" tanya Raisa. Pandangan matanya memutari sekeliling kamar. Dia terhenyak saat menyaksikan semua menjadi sangat berantakan. Hingga pandangan matanya tertuju pada sebuah foto di lantai.
"Foto itu!"
Telunjuknya mengarah di mana foto itu berada. Sontak membuat Hamaz menoleh. Lalu dia berjalan mendekati dan meraihnya.
"Jangan perhatikan keduagadis itu. Jangan! Dia akan merasuki siapa saja yang melihat bayangan hitam itu, Mas."
Seketika Raisa terkejut mendapati tubuh Delon yang amsi
"Iya, Mas. Tapi, yang saya heran tadi. Kok bisa Mas Hamaz ujug-ujug ke kamar saya? Dan sempat bunyikan bel, lalu ketuk-ketuk pintu juga 'kan?"Hamaz mengangguk."Tapi, kok bisa langsung balik lagi, setelah saya coba mati-matian agar bisa menendang pintu, Mas. Tujuan aku cuman satu. Agar aku bisa menimbulkan bunyi=bunyian. Biar Mas hamaz tahu aku di dalam.""Saya tahu. Jadi setiba saya di hotel. Saya langsung hubungi HP Mas Delon. Lama saya telepon enggak ada nada suara.""Iya, Mas. Aneh juga sih menurut saya ini. Setelah menelepon Mas Hamaz. Hp saya langsung terbakar.""Terbakar?""Iya Mas. Dan menurut saya karena faktor X yang enggak bisa dijelasin."Hamaz manggut-manggut."Memang itu ulah makhluk hitam yang merasuki Mbak Raisa.""Terus dari mana kalau Mas Hamaz tau keadaan kita dalam bahaya?" Delon menoleh pada Hamaz yang terfokus pada jalan.Lelaki muda itu pun tak langsung menjawab."Apa dia akan datang
Segera Raisa menutup teleponnya. Lalu dia berjalan menuju sebuah ruang yang cukup luas. Di sana Delon dan Hamaz sudah duduk di atas karpet yang tergelar."Silakan duduk, Mbak Raisa!""Makasih Mas Hamaz. Pondoknya kok sepi ya Mas?""Pondoknya di belakang Mbak Raisa. Kalau ini tempat tinggal saya."Terlihat Raisa manggut-manggut."Coba keluarkan lagi foto usang itu, Mas Delon!""Baik, Mas."Saat Delon menarik koper coklat itu. Tiba-tiba Raisa berteriak kencang. Dia manehan agar Delon tak membukanya."Jangan, Mas Delon!""Ta-tapi, kenapa Raisa?""A-aku takut dia datang lagi."Mendengar ketakutan Raisa. Hamaz mencondongkan wajahnya. Hingga mendekat ke arah mereka."Apa yang membuat Mbak Raisa takut?" bisik Hamaz."Makhluk hitam itu. Kukunya tajam, hitam, terus kedua matanya juga hitam besar. Dia bisa jadi wanita itu. Wanita yang aku lihat di kamar.""Kamar?""Iya, Mas. Kamar rumahnya
"Di gendong?" "Iya, Mas Hamaz. Saya melihat ini, dalam mimpi saya. Antara sadar dan tidak sadar. Saya melihat semua." Tampak lelaki muda itu, berpikir keras. Lalu mengarahkan pandangannya bergantian pada Raisa dan Delon. "Lalu apa yang harus kami lakukan Mas?" tanya Raisa. "Tolong ceritakan dulu dari awal. Bagaimana kalian bisa berhubungan dengan Bu Sapto ini?" Perlahan Raisa mulai menceritakan dari awal mula. Saat pertama mendapat tugas memandikan jasad Bu Sapto. Sampai pertemuan dia dengan Mbah Karsiyem. Hingga kematian para pemandi jenazah. Sampai akhirnya mereka berkunjung ke rumah Bu Sapto. Menyaksikan toples-toples yang berisi potongan atau sisa tubuh korban kecelakaan. Tumbal dari pesugihan Bu Sapto. Hingga mereka berkunjung ke salah seorang anaknya. Tampak Hamaz mendengarkan dengan mimik wajah yang sangat serius. Lalu sekilas memerhatikan Raisa. Yang terlihat kuyu dan lelah. "Dari anak Bu Sapto, Mas Delon dan Mb
"Kau bisa merasakannya Raisa?" bisik Delon. "Iya, tengkuk aku berdiri, Mas. Merinding benagt, kayak ada angin dingin." "Itu kekuatan dari makhluk ini. Dia ingin berusaha menembus rumah ini tapi tak bisa. Dia juga ingin menembus Mbak Raisa juga enggak bisa. Makanya Mbak Raisa merasakan hal aneh." Lalu Hamaz mengambil sebuah buku tua yang tersimpan di dalamnya. Lalu menunjukkan pada Raisa dan Delon. "Apa Mas Delon dan Mbak Raisa sudah membaca ini?" Mereka menjawab dengan gelengan kepala. "Saat kami ingin membaca, Raisa sudah dirasuki terlebih dahulu, Mas Hamaz." "Kita baca sama-sama. Jangan lupa sholawat ya. Karena makhluk ini mengincar Mbak Raisa. Jangan lupa dalam hati kalian terus berdoa. Dia benar-benar bisa merasuki kita dalam keadaan apa pun. Jadi hanya diri kita yang harus bisa menjadi benteng yang kuat. Untuk diri kita sendiri." "Baik, Mas," ucap mereka berdua. Hamaz mulai memerhatikan buku yang ada di tan
Tetap saja tak ada sosok yang muncul di hadapan Mariman. Saat dia hendak berbalik. Sebuah bayangan hitam sudah berdiri tak jauh darinya. Sontak membuat Mariman terkejut."Si-siapa kamu?" Dengan suara yang tergagap. Mariman mundur beberapa langkah. Dia melihat sosok wanita yang memakai pakaian serba hitam dan kerudung hitam. Menutupi wajahnya, dengan membawa sebuah keranjang. Digantung di lengan."Si-siapa kamu, Mbak?" ulang Mariman.Sorot matanya tajam mengarah pada sosok wanita itu. Yang masih berdiri tegak di hadapannya. Dengan sorot mata merah teru menatappada Mariman yang gelagapan. Antara rasa takut dan bingung."Apa yang kau ingin kan?""A-aku ...?"Wanita itu tetap diam tanpa ekspresi sama sekali."Apa yang kau ingin kan?" ulang sosok wanita itu.Tubuh Mariman bergetar seketika. Dai mulai merasa semilir angin malam ini begitu dingin menembus hingga ke dalam daging dan tulang. Dagunya bergetar hebat. Hingga dia kesulitan
Mereka berdua bagai terkesiap, saat mendengar Hamaz menceritakan isi diary dari Marsinah. Hamaz pun menutup buku itu dan mengangkat wajahnya mengarah pada mereka. "Apakah yang dipanggil Dewi itu yang merasuki Raisa, Mas?" "Sepertinya iya. Hanya saja saya sangat yakin ini semua dikendalikan oleh seorang dukun atau seperti itulah." "Kenapa Mas Hamaz berpendapat seperti itu?" "Karena persyaratan itu, tak mungkin dikatakan langsung oleh sang iblis dengan gamblang." "Apakah mungkin kalau saat itu, iblis yang merasuki tubuh seseorang?" lanjut Raisa. "Bisa saja seperti itu, Mbak. Para manusia-manusia sesat yang memang menunggu mangsa. Untuk dijerat dan dijadikan budak napsu manusia itu sendiri." Mereka berdua manggut-manggut. Apa yang disampaikan oleh Hamaz sangat masuk akal. Bisa saja itu semua memang terjadi. Benar-benar semua hal yang terungkap di luar logika mereka berdua. Sangat mengejutkan. "Menurut Mas Hamaz. Apakah Bu
"Kenapa aku merasa Mas Mariman benar-benar telah berubah. Dia tak pernah lagi menyentuh tubuhku. Apalagi sampai mengajak untuk berhubungan intim. Kenapa? Apa aku sudah tak menarik lagi buat dia?" Tepat pada lembaran ini. Terdapat coretan yang tebal menghapus beberapa kalimat. Membuat Hamaz melewati untuk membuka lembar berikutrnya. "Kenapa kok di lewati Mas?" "Enggak tau ini dihapus, Mbak." Lalu Hamaz memerlihatkan lembaran itu, ke arah mereka. Raisa langsung menoleh pada Delon yang juga menoleh kearahnya. "Kira-kira kalimat apa itu Mas Hamaz?" "Saya juga enggak tau Mbak Raisa. Mungkin dia tak ingin ada yang tau, tentang perasaannya ini." "Ya udah Mas Hamaz, lanjut aja ke lembar berikutnya," cetus Delon. Hamaz melanjutkan lagi membaca lembaran berikutnya. Sangat terlihat jelas kegelisahan Marsinah tentang suaminya. Serta hubungan mereka yang semula harmonis, kini mulai berubah hambar dan dingin. Sampai suatu mal
"Sudah! Cukup untuk semuanya Marsinah. Kalau kau tak ingin aku dan harta aku. Sebaiknya kau pergi saja keluar dari rumah ini!"Kedua tangan Marsinah mengepal erat. Kali ini dia benar-benar marah. Apalagi melihat sang suami yang seperti tak bersalah sama sekali."Kau mengusir aku, Pak?" Kepalanya mendongak ke arah sang suami yang bertubuh tinggi besar."Kalau kau tak mengikuti apa yang aku bilang dan selalu mennetang aku. Silakan pergi!""Mana ada aku mennetang kamu, Pak. Aku hanya menanyakan dirimu yang sudah berubah. Kenapa kamu sekarang tak mau menyetuh aku lagi? Apa aku sudah enggak menarik buat kamu?"Mariman hanya bisa berdiri mematung dengan pandangan mata yang mengarah pada kamar itu. Sepintas Marsinah melihat korden kamar itu bergerak seperti ada seseorang yang sengaja menyibaknya.'Ada apa dengan kamar itu?' bisik Marsinah penasaran.Entah berasal dari mana pemikiran yang ada dalam kepala Marsinah saat ini. Tiba-tiba