Indri merasakan dunia sedang berguncang hebat lalu dia jatuh ke dalam lubang yang amat dalam dan gelap. Melihat Dareen sesak nafas sembari memegang dada, Indri tak bisa bersuara.
"Da-da-dareeeen!!!" teriak mulutnya sebisa yang dia mampu.
Wanita itu mengguncang-guncang tubuh anak laki-lakinya yang menggelepar. Dingin sekujur tubuh Dareen, perlahan kulitnya memucat. Indri berteriak sangat kencang. Nihil. Wanita itu segera mengambil kesadarannya. Ia menopang lututnya dan berlari keluar. Kakinya berlari tanpa jeda menuruni tangga rumah itu.
Kraaak!
Kakinya terpeleset lalu tubuh tua Indri menggelinding melewati anak tangga yang kecil-kecil. Sekuat tenaga dia menahan kepalanya menggunakan tangan. Sakit sekali seperti habis diremuk redamkan namun itu sama sekali tak ingin dia rasa. Nyawa Dareen yang utama.
"Tuhan, bantu aku, bantu aku! Demi anakku!"
Indri gemetar dengan wajahnya yang sudah bengkak karena terlalu banyak menangis."Kenapa dia bisa menelan racun di depanmu?!!! Jawab aku!" teriak Aditya menghempaskan kedua tangannya sendiri. Laki-laki itu meremas rambutnya karena kepalanya sudah tak bisa berpikir lagi."A-aaku tidak tahu, Aditya! Mungkin kalian terlalu kejam mengabaikannya, mentang-mentang dia bukan anak kandung Hadi Pratama!"Wushhhh!"Mas!" teriak Dahlia memperingati suaminya.Tangan Aditya sudah melayang naik bersiap menampar Indri namun sekuat tenaga dia menahan dirinya."Aku kenal sekali adikku. Hatiku ini yakin sekali, tindakan Dareen ada kaitannya denganmu, Bu Indri. Perilakumu yang menjijikan itu pasti membuatnya tertekan dan kau makin menekannya agar terus melindungimu!"Mulut Indri terkunci. Ia memilih kembali menangis. Hatinya sed
"Sarah! Sarah, ibumu yang telah meminum racun itu, Aditya!"Hening. Tidak ada perkataan apapun dari mulut Aditya. Wajahnya yang merah padam tadi tiba-tiba menjadi kosong. Seperti ringan rasa tubuhnya. Kakinya yang kokoh tak mampu menopang raganya. Tangannya meraba mencari pegangan, namun kosong. Meski sedetik, ia tak mampu berdiri lagi. Aditya merunduk, kedua tangannya menggapai lantai agar tak ambruk tubuhnya. "Mas!" teriak Dahlia meninggalkan Indri begitu saja. Mantan mertuanya itu hanya terus menangis meratapi nasib baiknya yang sudah berakhir. Baru saja Dahlia menyentuh suaminya, terlihat ayah mertuanya sedang berusaha menarik nafas dengan tersendat-sendat. Hadi Pratama yang mendengar ucapan Indri tiba-tiba merasakan nyeri dadanya yang merambat hingga bahu, leher, rahang, dan punggung. Semua menyentak begitu sangat cepat hingga membuat napas juga terasa berat sekali. Hadi mendongak ke atas, mencari udara yang terasa lebih menyakitkan daripada ditusuk ribuan jarum. Dahinya mengelu
Tak lama, tenaga medis yang tadi berbicara dengan Indri itu sedang menghampiri mereka.“Keluarga Pak Dareen?”“Sa-saya!” seru Indri sembari mencoba berdiri. Sekujur tubuhnya terasa berdenyut sakit. “Katakan, apa yang terjadi dengan adik saya, Pak?” tanya Aditya dengan jantung berdebar-debar.“Pasien atas nama Dareen sudah mampu melewati masa kritisnya dengan baik. Dia sudah berhasil memuntahkan sebagian zat racun itu. Kami masih harus memberikannya anti racun melalui infus. Pasien akan sering buang air kecil dan ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama agar kembali pulih.”Seketika Aditya rukuk, menahan gelombang rasa gembira di hatinya. Bayang-bayang kematian ibunya yang sedari tadi menyelimuti pikirannya kini mulai pudar. Aditya bahkan memeluk Dahlia dengan erat sembari menangis.“Alhamdulillah, Mas. Aku sudah katakan padamu, Dareen pasti bisa melewati masa sulitnya” ucap Dahlia dengan senyum merekah di bibirnya.“
Hadi menoleh ke arah Aditya. Pandangan mereka beradu. "Aa-aaku sudah ta-tau keja-kejahatannya, Pa. Kuminum ra-racun itu agar setimpal," lanjut Dareen masih terbata. Aditya membuang wajah dan langsung keluar. Ia tak tahu harus menanggapi apa. Hadi pun tak bisa berkata apa pun. Laki-laki tua itu mengisyaratkan agar Dahlia mendorong kursinya. "Aditya! Aditya! Tunggu Papa!" teriak Hadi. "Aku tak bisa menerima permintaan Dareen, Pa. Sampai kapanpun aku tak mungkin melepaskan wanita itu!""Iya, kamu tenang dulu, Aditya. Jangan rusuh begini!"Hadi mencoba mendekati anaknya yang sedang mondar-mandir membawa amarah. Sebisa mungkin Hadi menyentuh tangan Aditya agar tenang. "Mau pecah kepalaku ini, Pa. Aku akan membuat wanita yang sudah membunuh mamaku itu mati di dalam penjara! Dia Kejam, Pa! Kejam sekali!""Tenanglah, Aditya. Papa akan bicarakan ini dengan pengacara."Aditya meremas rambutnya sendiri dengan
Aditya memasuki markas preman yang dia bayar untuk menemukan Bramasta. Melihat seorang Laki-laki yang sedang diikat di sebuah kursi, Aditya tak berkata apapun selain langsung melayangkan tinjunya berkali-kali. Buuuugh! "Kurang ajar! Kamu kira bisa sembunyi dariku? Tidak. Beraninya kamu membuat ayahku hampir kehilangan nyawanya karena bukti kotor yang kau kirim!""Ampuni aku, Aditya. Aku hanya ingin kehancuran Indri. Maafkan aku.""Tapi tak begini caranya. Bajingan kau!'Buuuggh! Kembali Aditya meninju perut Bramasta. Laki-laki itu hanya bisa meringis dan pasrah. Setelah berhari-hari mampu bersembunyi rupanya ia bisa ditemukan. Rupanya komplotan Aditya memiliki jaringan yang sangat kuat hingga tak butuh waktu panjang, ia bisa ditangkap. "Sekarang temani kekasihmu itu di dalam penjara!""Jangan coba-coba penjarakan aku, Aditya. Aku sudah menyetel orang luar untuk menyebarkan foto bugil istri papamu itu jika sa
"Ka-kamu hamil?" Dareen seperti merasa sedang bermimpi. Secara tidak langsung Dahlia mengatakan takkan ada harapan untuknya lagi karena dia dan Aditya telah menyatu dan kini berbuah. "He'em. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu, Dareen. Kamu akan menjadi seorang paman. Paman ganteng atau om tampan?" goda Dahlia dengan pandangan berbinar. Tiba-tiba dari arah dalam kamar Dareen terdengar suara Hadi Pratama. "Siapa yang Om tampan?" "Papa di sini?!" Dahlia terkesiap. Kedua mata Hadi langsung melihat tespack digital yang di tangan Dareen. "Aa-apaa itu?" suara Hadi gemetar. Dadanya bedebar. Ia meragukan mata tuanya. "Tes-tespack, Pa," jawab Dahlia jadi gugup. "Siapa yang punya?!!" tanya Hadi tak sabaran. "Romlah yang punya," jawab Dareen ketus. Wussh! Dahlia merampas tespack itu dengan cepat dari tangan Dareen. "Enak aja. Aku yang punya, Pa!" seru Dahlia dengan nada tinggi. Upss! Wanita itu menutup mulutnya karena keceplosan. Hadi Pratama tertawa senang sampa
@Kantor Central Glori"Pak Aditya, sudah waktunya kita ke ruang pertemuan," ujar Pak Nyoman membukakan Aditya pintu ruangan.Aditya mengangguk. Dia tersenyum lebar sembari bangkit dari kursinya."Sepertinya bulan purnama semalam menetap di wajah Anda, Pak," gurau Nyoman."Aku sedang bahagia hari ini. Sebentar lagi aku akan menjadi ayah," ujar Aditya senang."Waaah selamat ya, Pak. Saya turut senang."Sembari mengeluarkan tabnya dan merapikan dasinya, Aditya terus saja bicara."Dan hari ini, semoga kesepakatan bekerja sama dengan Martha Bumi Tbk menjadi titik tolak Central Glori semakin mengepakkan sayapnya," ujar Aditya semangat."Tentu saja, Pak. Mereka adalah perusahaan yang sudah memiliki puluhan cabang di luar negeri. Akan sangat menguntungkan jika mereka bisa mengambil produk k
Mandala mendehem menyamarkan perasaannya yang membuncah. Rupanya menerima Belinda di perusahaannya adalah pilihan yang sangat tepat. Ini akan sangat menguntungkan jika resep slice potato chips ala Central Glori benar-benar bisa diadopsi dan dimodifikasi."Begini, Pak Aditya. Sepertinya saya harus memusyawarahkan ini kembali dengan jajaran devisi Martha Bumi. Kami akan menghubungi Anda kembali.""Baik, Pak Mandala. Saya berharap, kami akan mendapatkan berita gembira."Mandala bangkit dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Aditya. Keduanya tersenyum. Belinda mengikuti langkah bosnya, keluar dengan pinggul yang berlenggak-lenggok."Dia CEO yang tampan."Mandala membuka percakapan saat berada di dalam mobil bersama Belinda.Tadi, wanita itu datang menggunakan grab. Belinda hanya mengangguk dingin. Ia kesal sekali karena Aditya sama sekali tak memberikan mat
Yuni pias luar biasa. Dingin dan gemetar tangannya saat mencoba menghubungi nomor Belinda."Bu! Apaan sih?! Dari tadi ribut terus!" bentak salah seorang gadis yang merasa kesal karena Yuni menghalangi jalannya."Ma-maaf," ucap Yuni bahkan tak menatap lawan bicaranya. Biasanya ia takkan pernah terima dibentak begitu, apalagi oleh bocah ingusan di matanya. Namun kali ini, rasa takutnya melebihi egonya."Jangan bilang kamu kabur dan memilih melahirkan anak itu, Bel," lirih Yuni berlari kecil menuju parkiran.Ia langsung melesat pulang, berharap anaknya sudah di rumah. Namun nihil, Belinda tak ditemukan. Yuni menghubungi suaminya untuk pulang dari kantor. Sayang, bukan rangkulan penenang yang dia dapatkan tapi kemurkaan suaminya."Kalau sampai Belinda tak pulang, kamu ha
"Tidak, Dahlia! Janin itu harus digugurkan!" seru Yuni memberang."Kita tidak tahu masa depan seseorang, Bu Yuni. Siapa yang tahu, janin itu kelak akan menjadi laki-laki atau perempuan yang berguna?!""Omong kosong! Aku tetap tak akan mau memiliki cucu haram, Dahlia! Jangan mentang-mentang kamu sekarang punya kekuasan, kamu mempengaruhi anakku!"Dahlia masih berdiri. Ia sama sekali tak diminta duduk apalagi disuguhkan apa pun meskipun dia datang sebagai tamu. Sepulang dari rumah sakit, Dahlia memutuskan ikut dengan mobil Belinda sedangkan Aditya memilih kembali le kantor. Sepanjang jalan laki-laki itu menggerutu karena keputusan istrinya yang di luar logikanya."Aku hanya tak rela, ada janin yang dibunuh, Bu. Bahkan saat ini, detak jantungnya begitu terdengar luar biasa," ucap Dahlia mencoba meyakinkan."T*i kucing!" umpat Yuni makin meradang dan menuju kamar an
Seolah abai, Dahlia meraih tas selempangnya dan sudah siap dengan tampilannya. Ia memilih tak ingin menanggapi ucapan suaminya. Ia memiliki rencana untuk sedikit menggoyahkan hati seorang ibu."Mari, Bel! Kita ke dokter kandungan bersama. Ikut mobil kami!" seru Dahlia membuka pintu yang ia sendiri kunci."Menyesal aku ke sini," ketus Belinda mengikuti langkahnya.Tak punya pilihan, Aditya menyetir dengan membawa dua wanita hamil. Satu istrinya, satu mantannya. Bahkan ketika mereka sampai di poli kandungan, Aditya begitu amat canggung karena kedua wanita itu mendapatkan buku pink secara bersamaan dan semua mata memandangnya aneh.'Sial, pasti mereka mengira aku memiliki dua istri' rutuk hati Aditya.Nama Dahlia lebih dulu dipanggil untuk masuk. Aditya mengikuti istrinya ke dalam dan bertemu dokter kandungan."Selamat ya, kandungan
"Ke-kenapa kamu harus gugurkan?!" Dahlia seolah kehilangan akal. Sebagai seorang wanita yang pernah kehilangan janinnya, setidaknya ia merasa, tindakan Belinda itu akan menjadi sangat kejam. "Ya karena dia bukan anak dari laki-laki yang kumau. Dia anak dari kakek-kakek tua bangka, seorang napi!" Dahlia langsung mendekati Belinda. Ia meraih lengan wanita itu dengan tatapan tajam. "Janin itu tak berdosa, Bel!" "Aku tak peduli." "Umurnya pasti sudah dua bulan bahkan lebih!" sambut Dahlia nanar. "Ya. Ayahku mencegahku, tapi ibuku mendukungku. Aku sudah muak." Belinda melepaskan tangannya dari genggaman Dahlia. "Lepas. Aku datang bukan untuk meminta persetujuanmu, Dahlia. Kamu ... ada saat kejadian itu, jadi aku merasa, kamu harus tahu." Dahlia menggeleng keras. Ia tak mungkin membiarkan seorang janin diaborsi. "Kalau kamu benar-benar sudah berubah menjadi pribadi yang baik, please, jangan tambah dosamu lagi!" "Kamu enak ngomong dosa, kamu kira sejak kejadian itu, aku bisa
"Maafkan kami, Pak Hadi. Maafkan kami. Kami sangat menyesal," ucap Imron dengan suara bergetar.Sedari awal ia tak memiliki masalah dengan Aditya, Yuni lah yang memiliki kriteria khusus. Namun sebagai suami, Imron pasang badan untuk melindungi istrinya."Tak masalah. Aku justru berterima kasih karena sudah memperkerjakan Dahlia di rumah kalian sehingga anakku bisa bertemu dengannya."Imron dan Yuni kompak dia kehabisan kata. Rasa malu seperti sedang membenamkan mereka ke dasar bumi."Untuk apa kalian ke sini?""Kami, kami ingin mengucapkan te-terimakasih, Pak. Berkat dukungan pengacara-pengacara hebat dari Bapak, Mandala mendapatkan hukuman yang setimpal meski kehormatan anak kami tak bisa kembali," jawab Imron terbata karena gugup."Aku tidak melakukan apa pun untuk anak kalian. Aku melakukan semua itu karena menantuku."
Masih di rumah sakit. Aditya menarik tangan Dareen agar menjauh dari ayah mereka yang sekarang duduk di dekat Dahlia yang masih dipasangi infus. Wanita itu masih perlu infus nutrisi agar kondisi tubuhnya kembali stabil."Kenapa kamu mesti bawa Papa ke sini? Paling nanti sore Dahlia dikasih pulang," ujar Aditya mencubit lengan adiknya."Apa sih, Bang! Masih sakit badanku ini! Harusnya aku juga dirawat di sini!"Aditya menciut setelah dihardik balik oleh adiknya. Ia melipat alisnya seolah meminta penjelasan."Papa yang maksa mau ke sini. Lagi pula, dia seperti kesurupan gatot kaca karena menjadi benar-benar pulih saat mendengar menantunya dirawat di sini," cerita Dareen dengan nada menggerutu."Papa benar-benar menyayangi Dahlia. Aku tak menyangka, semua ini berjalan sangat cepat. Kasih sayang tulus Dahlia telah meruntuhkan batu karang ego seorang Hadi Prata
"Katakan lagi. Aku ingin mendengarnya sekarang," ucap Aditya berkaca-kaca."Aku mencintaimu, Mas. Tak peduli siapa kamu. Apakah kamu CEO atau laki-laki biasa, aku tetap mencintaimu."Tubuh Dahlia kembali direngkuh Aditya. Dibiarkannya wanita itu mendengar detak jantungnya yang berdebar-debar."Kamu dengar, Dek?! Sekarang, setiap detakannya untuk mencintaimu. Selamanya.""Ehheeem!"Refleks Dahlia dan Aditya berlepas diri mendengar suara deheman. Seolah abai dengan apa yang dilihat dan didengarnya, Dareen menyerahkan kunci mobil pada abangnya."Hati-hati. Aku akan di sini menunggu petugas kepolisian."Dengan cepat, Dareen meninggalkan Aditya dan berpura-pura menjauh dari keduanya. Hatinya seperti ada yang meremas hebat. Cemburu? Mungkin itu kata yang paling tepat. Namun di dasar hatinya, ia bahagia, kakaknya sudah mengatak
Mandala mencabut beberapa pecahan kaca yang menempel di otot-ototnya. Seolah kulitnya kebal setebal baja sehingga sekedar pecahan kaca bukan hal yang membuatnya gentar. Aditya mendekat. Dareen mengangguk samar memberi isyarat agar dia saja yang maju. "Kali ini, biarkan aku bertarung tanpa bantuanmu, Bang," lirih Dareen mendecih. Tak berpikir panjang, Mandala berlari cepat dan menyerang Dareen. Ia menendang sisi kiri Dareen. Pemuda itu bisa menangkisnya meskipun hampir tersungkur. Namun gerakan Mandala juga cepat. Ia kembali menendang pinggang Dareen, tidak hanya sekali tapi tiga kali tanpa jeda. Dareen berusaha menepis dan menghindar namun sayang, ia sempurna terjungkal karena Mandala luar biasa keras seperti bongkahan beton. "Kamu mungkin kekar, tapi denganku, kau bukan apa-apa, Bocah," ucap Mandala jumawa. Sama sekali Mandala tak terlihat sebagai pimpinan perusahaan besar yang berwibawa. Rupanya laki-laki itu memiliki topeng yang luar biasa menipu. Bahkan tak ada orang ya
Kedua bola mata Darien menangkap sosok laki-laki berwajah sangar tanpa baju duduk di atas kayu yang bulat panjang. Di belakang punggung laki-laki itu, ada tubuh laki-laki juga yang sedang merunduk tertutupi kayu."Ada dua orang laki-laki. Salah satunya terlihat aneh. Di malam sedingin ini, dia membuka baju seperti terengah-engah. Apa mereka pemotong kayu illegal? Karena ada potongan kayu besar di sana," gumam Dareen sendirian."Harusnya mereka bersembunyi jika mereka adalah pelaku ilegal. Bisa jadi mereka mengira mobil ini, polisi hutan kan? Kau tau sendiri, jalur ini jarang dilewati kendaraan di malam hari," tambah Aditya terus melaju."Atau mereka begal? Kalau begal kenapa tak berusaha menghentikan kita?" gumam Dareen lagi."Sedang apa mereka? Selain yang duduk tadi, salah satunya sedang merunduk, memungut sesuatu? Atau ... menutupi sesuatu?!" lanjut Dareen mengalisis pemand