Aditya sudah tak tahan. Siang itu, dia langsung pulang ke rumahnya, berharap Dahlia pulang namun rupanya nihil. Romlah mengatakan Dahlia belum pulang. Rumah nampak lengang, Hadi Pratama ditemani Indri sedang menghadiri acara pernikahan anak rekan bisnis mereka.
"Makan dulu, Tuan Muda!" seru Romlah.
Tak ada respon dari Aditya. Seleranya serasa hilang. Ia tak lapar.
"Kemana sih dia? Sudah jam segini. Dareen juga tak nampak dari tadi. Mereka kemana?! Awas saja kalau mereka bermain di belakangku," gerutunya.
Aditya mengigit jarinyanya berpikir. Kenapa ia merasa tak nyaman dengan semua ini?
"Kenapa? Aku tak suka perasaan ini. Tak kan kubiarkan mengendalikanku."
Pemuda itu berusaha membuka laptopnya mencoba fokus. Namun tidak bisa, pikirannya kalut.
"Haiisss! Aku akan mencarinya di kampusnya yan
Aditya mengelus rambut istrinya yang harum dan tergerai indah. Sedari tadi, dia tak sungkan mencium kepala Dahlia. Entah mengapa, damai serasa di hatinya. Hilang penat dan gelisah di dalam dada, kini berganti ketenangan. Apa ini yang disebut cinta?"Kamu ngelakuin ini karena nafsu atau cinta, Mas?" tanya Dahlia dengan pelan sekali hampir tak terdengar. Pertanyaan wanita itu seolah bisa membaca pikirannya."Menurutmu?" tanya Aditya menguatkan pelukannya di tubuh istrinya."Apa sih, Mas?! Ditanya malah nanya balik!"Dahlia mencubit perut suaminya. Mereka sedang di dalam selimut yang sama tanpa sehelai benangpun di atara mereka."Iiih apa jangan-jangan kamu ini sebenarnya siluman kepiting, ya?! Sakiit ih!"Aditya menepis tangan istrinya. Dahlia tersenyum lebar."Kamu cemburu ya, Mas? Aku jalan sama cowok lain me
"Kenapa sama Papa?" tanya Dareen makin kesal karena sedari tadi, ibunya menyebalkan lalu sekarang menyebut nama ayahnya."Dia ... dia ... bukan ayah kandungmu, Dareen. Ayah biologismu yang sesungguhnya itu adalah Bram. Yang di depanmu inilah Papamu yang sebenarnya. Darah kalian sama karena kamu berasal dari benihnya."Seketika Dareen merunduk, nafasnya tersenggal. Jika ada lorong, meski gelap gempita, ia memilih akan memasukinya dan menghilang. Bagaimana rahasia sebesar itu disembunyikan ibunya sampai dia sedewasa itu?"Ma-maafkan Mama. Dulu, saat masih gadis, Mama pacaran sama Papa kandungmu ini. Kami melakukannya hingga kamu ada. Mama merahasiakannya dan minta menikah. Kakekmu tak setuju karena Bram saat itu hanya honerer di sebuah kantor pemerintah.""Oh ... itu yang membuat Mama sampai tega meracuni Mama Sarah dan me
Parjo dan Romlah kali ini saling cubit. Pertama kalinya Den Muda mereka seperti itu. Romlah menarik tangan suaminya, menjauh. Kompak, mereka menatap sosok ayah yang sedang menenangkan anak lelakinya yang sudah dewasa. "Bang, takut aku jangan-jangan ini firasat," ujar Romlah dengan wajah serius. "Sama. Apa jangan-jangan, Den Muda lagi kesambet hantu jepun di depan kah?" "Issh ngawur. Aku takut, ini firasat mereka berpisah. Tuan Besar bentar lagi nyusulin Nyonya Sarah," bisik Romlah hampir tak terdengar. Kepluuuk! Parjo memukul bahu istrinya. "Kamu yang lebih ngawur! Jangan sampe Tuan Besar mangkat. Kita akan kehilangan pegangan hidup. Kamu mau kerja terus sama Nyonya Nenek Gayung ha? Aku sih mikir seribu kali!" Parjo menekan suaranya agar tak terdengar. Namun wajahnya tegang dengan liurnya menyembur-nyembur karena semangatnya. Romlah hanya mengangguk setuju dengan ucapan suaminya. Bisa langsung kurus dia kalau hanya Indri yang menguasai rumah ini. Segini saja, dia sering di
Hadi Pratama sedang membaca laporan utama perkembangan kantor Central Glori. Ia senang, Aditya mampu membawa CG menjadi perusahaan yang disegani. Banyak investor menawarkan diri tanpa harus mereka memasukkan proposal."Ini luar biasa, Aditya! Papa senang dengan kinerjamu," ujar Hadi membuka lembaran laporan bulanan."Dareen juga ikut membantuku, Pa. Dahlia juga, dia sering live sambil mempromosikan snack produksi kita. Sok ngartis, sok okelah dia. Sekarang nama akunnya bukan Bunga Dahlia lagi tapi Princess Dahlia. Ccch, mau jadi selebgram dia. Padahal ...," omel Aditya yang tiba-tiba langsung diam membisu karena Dahlia datang membawa sop kesukaan mertua laki-lakinya.Hanya senyuman bahagia yang tersungging dari bibir Hadi melihat tingkah anaknya. Persis seperti dia yang selalu mati kutu dengan Sarah dulu. Kehadiran Dahlia kerap kali mengingatkan pada istrinya yang sudah lama tiada.
Indri menyerahkan dua koper uang pada Baramasta yang sedang duduk di kasur empuk hotel yang mewah."Sayang, ini yang aku janjikan. Kamu gak perlu nanya kepastianku. Aku gak pernah main-main," ujar Indri tersenyum."Itu yang membuat kamu tak bisa digantikan siapapun, Bidadariku. Berapa jumlah semuanya?"Bram bertanya dengan wajah berbinar. Matanya seperti akan melompat kegirangan ketika tangan Indri membuka koper itu. Seumur hidup, dia tak pernah melihat uang sebanyak itu."Yang cash ini hanya 2 milyar, hasil aku menjual semua perhiasanku, Sayang. Seperti yang kamu anjurkan, aku menurutinya karena aku sangat percaya sama kamu.""Terus?""Sisanya aku transfer bertahap. Total semuanya uang yang akan masuk di perusahaanmu nanti itu lima milyar, Sayang."Makin melebar telinga Bramasta. Namun keserakahannya membuatnya tak saba
Terlalu kaget hatinya hingga nafasnya ngos-ngosan. Susah payah dia menghirup udara. Seorang satpam mendekatinya."Mbak baik-baik saja?""I-iiya, Mas. Terimakasih ya."Meski berat, Dahlia melangkah kembali ke restoran. Sudah hilang rasa ingin ke toiletnya karena jantungnya sedang berdebar-debar hebat."Kamu kenapa?!"Aditya menyentuh dahi istrinya yang nampak berkeringat. Hati Dahlia tak ingin membohongi suaminya tapi bagaimana kalau sampai Aditya mencari kebenarannya lalu ayah mertuanya tahu? Dahlia terus diam namun wajahnya merah."Kalau kamu beneran cinta sama aku, pasti kamu gakkan sembunyikan apapun dariku, Dahlia."Kedua bola mata Dahlia membuka. Ia menegak salivanya. Bukankah sebuah kejujuran lebih menenangkan dari kebohongan? Wanita itu mengangguk pelan."Mas ... aku lihat Mama Indri di
Seketika pelukan Aditya merenggang. Ia langsung menatap mata Dareen yang layu. Tanpa ragu ia menggoyangkan rahang adiknya, kiri kanan berkali-kali. "Kamu pasti sedang mabuk. Habis minum apa kamu ha?!!" Aditya bahkan memukul perlahan pipi Dareen. Yang barusan dia dengar itu adalah omong kosong. Meskipun seringkali dia iri dengan Dareen karena begitu dimanjakan ayahnya, ia tak sampai berharap pemuda itu bukan adiknya. "Aku berkata jujur, Bang. Dia ... ayah kandungku. Itu yang mereka katakan padaku kemarin. Katanya ... katanya ...." Merah wajah Dareen. Sempurna ia menangis di depan abangnya. Aditya menggeleng berkali-kali. Ia masih belum bisa mempercayainya. "Tidak, Dareen. Meskipun kamu sering membuatku kesal tapi kamu adikku. Kita satu ayah. Walau ibumu itu wewe gombel dedemit sekalipun, kamu tetaplah adikku. Bahkan Papa sangat menyayangimu mungkin lebih dariku." "Tapi katanya aku darah daging laki-laki itu, Bang. Bukan Papa. Mereka bilang aku bukan anak Hadi Pratama. Aku bukan
"Sayang, bahkan saat kamu bangun tidur seperti ini kamu sangat cantik," puji Bram pada Indri yang terlihat masih malas membuka matanya."Apa kita tidak bisa lanjut lagi nambah harinya, Sayang?" tanya Indri merasa enggan.Bahkan sedari tadi ia terus merangkul lengan Bramasta seolah takut berpisah."Kan aku harus ke kantor, Sayang. Harus cepat urus impor barang baru biar cepat didistribusikan. Kamu mau kan kita cepat lebih kaya lagi dan menikah?"Indri meleyot dan berat. Ia menggeleng tak mau ditinggalkan. Ia justru kembali menyentuh area sensitif Bram.'Dasar nenek-nenek, ogah banget main lagi. Bisa kempes lato-latoku kalau lebih lama lagi di sini. Meskipun aku sudah tua tapi selera dan jiwaku masih suka daun muda'"Kok begong sih, Sayan
Yuni pias luar biasa. Dingin dan gemetar tangannya saat mencoba menghubungi nomor Belinda."Bu! Apaan sih?! Dari tadi ribut terus!" bentak salah seorang gadis yang merasa kesal karena Yuni menghalangi jalannya."Ma-maaf," ucap Yuni bahkan tak menatap lawan bicaranya. Biasanya ia takkan pernah terima dibentak begitu, apalagi oleh bocah ingusan di matanya. Namun kali ini, rasa takutnya melebihi egonya."Jangan bilang kamu kabur dan memilih melahirkan anak itu, Bel," lirih Yuni berlari kecil menuju parkiran.Ia langsung melesat pulang, berharap anaknya sudah di rumah. Namun nihil, Belinda tak ditemukan. Yuni menghubungi suaminya untuk pulang dari kantor. Sayang, bukan rangkulan penenang yang dia dapatkan tapi kemurkaan suaminya."Kalau sampai Belinda tak pulang, kamu ha
"Tidak, Dahlia! Janin itu harus digugurkan!" seru Yuni memberang."Kita tidak tahu masa depan seseorang, Bu Yuni. Siapa yang tahu, janin itu kelak akan menjadi laki-laki atau perempuan yang berguna?!""Omong kosong! Aku tetap tak akan mau memiliki cucu haram, Dahlia! Jangan mentang-mentang kamu sekarang punya kekuasan, kamu mempengaruhi anakku!"Dahlia masih berdiri. Ia sama sekali tak diminta duduk apalagi disuguhkan apa pun meskipun dia datang sebagai tamu. Sepulang dari rumah sakit, Dahlia memutuskan ikut dengan mobil Belinda sedangkan Aditya memilih kembali le kantor. Sepanjang jalan laki-laki itu menggerutu karena keputusan istrinya yang di luar logikanya."Aku hanya tak rela, ada janin yang dibunuh, Bu. Bahkan saat ini, detak jantungnya begitu terdengar luar biasa," ucap Dahlia mencoba meyakinkan."T*i kucing!" umpat Yuni makin meradang dan menuju kamar an
Seolah abai, Dahlia meraih tas selempangnya dan sudah siap dengan tampilannya. Ia memilih tak ingin menanggapi ucapan suaminya. Ia memiliki rencana untuk sedikit menggoyahkan hati seorang ibu."Mari, Bel! Kita ke dokter kandungan bersama. Ikut mobil kami!" seru Dahlia membuka pintu yang ia sendiri kunci."Menyesal aku ke sini," ketus Belinda mengikuti langkahnya.Tak punya pilihan, Aditya menyetir dengan membawa dua wanita hamil. Satu istrinya, satu mantannya. Bahkan ketika mereka sampai di poli kandungan, Aditya begitu amat canggung karena kedua wanita itu mendapatkan buku pink secara bersamaan dan semua mata memandangnya aneh.'Sial, pasti mereka mengira aku memiliki dua istri' rutuk hati Aditya.Nama Dahlia lebih dulu dipanggil untuk masuk. Aditya mengikuti istrinya ke dalam dan bertemu dokter kandungan."Selamat ya, kandungan
"Ke-kenapa kamu harus gugurkan?!" Dahlia seolah kehilangan akal. Sebagai seorang wanita yang pernah kehilangan janinnya, setidaknya ia merasa, tindakan Belinda itu akan menjadi sangat kejam. "Ya karena dia bukan anak dari laki-laki yang kumau. Dia anak dari kakek-kakek tua bangka, seorang napi!" Dahlia langsung mendekati Belinda. Ia meraih lengan wanita itu dengan tatapan tajam. "Janin itu tak berdosa, Bel!" "Aku tak peduli." "Umurnya pasti sudah dua bulan bahkan lebih!" sambut Dahlia nanar. "Ya. Ayahku mencegahku, tapi ibuku mendukungku. Aku sudah muak." Belinda melepaskan tangannya dari genggaman Dahlia. "Lepas. Aku datang bukan untuk meminta persetujuanmu, Dahlia. Kamu ... ada saat kejadian itu, jadi aku merasa, kamu harus tahu." Dahlia menggeleng keras. Ia tak mungkin membiarkan seorang janin diaborsi. "Kalau kamu benar-benar sudah berubah menjadi pribadi yang baik, please, jangan tambah dosamu lagi!" "Kamu enak ngomong dosa, kamu kira sejak kejadian itu, aku bisa
"Maafkan kami, Pak Hadi. Maafkan kami. Kami sangat menyesal," ucap Imron dengan suara bergetar.Sedari awal ia tak memiliki masalah dengan Aditya, Yuni lah yang memiliki kriteria khusus. Namun sebagai suami, Imron pasang badan untuk melindungi istrinya."Tak masalah. Aku justru berterima kasih karena sudah memperkerjakan Dahlia di rumah kalian sehingga anakku bisa bertemu dengannya."Imron dan Yuni kompak dia kehabisan kata. Rasa malu seperti sedang membenamkan mereka ke dasar bumi."Untuk apa kalian ke sini?""Kami, kami ingin mengucapkan te-terimakasih, Pak. Berkat dukungan pengacara-pengacara hebat dari Bapak, Mandala mendapatkan hukuman yang setimpal meski kehormatan anak kami tak bisa kembali," jawab Imron terbata karena gugup."Aku tidak melakukan apa pun untuk anak kalian. Aku melakukan semua itu karena menantuku."
Masih di rumah sakit. Aditya menarik tangan Dareen agar menjauh dari ayah mereka yang sekarang duduk di dekat Dahlia yang masih dipasangi infus. Wanita itu masih perlu infus nutrisi agar kondisi tubuhnya kembali stabil."Kenapa kamu mesti bawa Papa ke sini? Paling nanti sore Dahlia dikasih pulang," ujar Aditya mencubit lengan adiknya."Apa sih, Bang! Masih sakit badanku ini! Harusnya aku juga dirawat di sini!"Aditya menciut setelah dihardik balik oleh adiknya. Ia melipat alisnya seolah meminta penjelasan."Papa yang maksa mau ke sini. Lagi pula, dia seperti kesurupan gatot kaca karena menjadi benar-benar pulih saat mendengar menantunya dirawat di sini," cerita Dareen dengan nada menggerutu."Papa benar-benar menyayangi Dahlia. Aku tak menyangka, semua ini berjalan sangat cepat. Kasih sayang tulus Dahlia telah meruntuhkan batu karang ego seorang Hadi Prata
"Katakan lagi. Aku ingin mendengarnya sekarang," ucap Aditya berkaca-kaca."Aku mencintaimu, Mas. Tak peduli siapa kamu. Apakah kamu CEO atau laki-laki biasa, aku tetap mencintaimu."Tubuh Dahlia kembali direngkuh Aditya. Dibiarkannya wanita itu mendengar detak jantungnya yang berdebar-debar."Kamu dengar, Dek?! Sekarang, setiap detakannya untuk mencintaimu. Selamanya.""Ehheeem!"Refleks Dahlia dan Aditya berlepas diri mendengar suara deheman. Seolah abai dengan apa yang dilihat dan didengarnya, Dareen menyerahkan kunci mobil pada abangnya."Hati-hati. Aku akan di sini menunggu petugas kepolisian."Dengan cepat, Dareen meninggalkan Aditya dan berpura-pura menjauh dari keduanya. Hatinya seperti ada yang meremas hebat. Cemburu? Mungkin itu kata yang paling tepat. Namun di dasar hatinya, ia bahagia, kakaknya sudah mengatak
Mandala mencabut beberapa pecahan kaca yang menempel di otot-ototnya. Seolah kulitnya kebal setebal baja sehingga sekedar pecahan kaca bukan hal yang membuatnya gentar. Aditya mendekat. Dareen mengangguk samar memberi isyarat agar dia saja yang maju. "Kali ini, biarkan aku bertarung tanpa bantuanmu, Bang," lirih Dareen mendecih. Tak berpikir panjang, Mandala berlari cepat dan menyerang Dareen. Ia menendang sisi kiri Dareen. Pemuda itu bisa menangkisnya meskipun hampir tersungkur. Namun gerakan Mandala juga cepat. Ia kembali menendang pinggang Dareen, tidak hanya sekali tapi tiga kali tanpa jeda. Dareen berusaha menepis dan menghindar namun sayang, ia sempurna terjungkal karena Mandala luar biasa keras seperti bongkahan beton. "Kamu mungkin kekar, tapi denganku, kau bukan apa-apa, Bocah," ucap Mandala jumawa. Sama sekali Mandala tak terlihat sebagai pimpinan perusahaan besar yang berwibawa. Rupanya laki-laki itu memiliki topeng yang luar biasa menipu. Bahkan tak ada orang ya
Kedua bola mata Darien menangkap sosok laki-laki berwajah sangar tanpa baju duduk di atas kayu yang bulat panjang. Di belakang punggung laki-laki itu, ada tubuh laki-laki juga yang sedang merunduk tertutupi kayu."Ada dua orang laki-laki. Salah satunya terlihat aneh. Di malam sedingin ini, dia membuka baju seperti terengah-engah. Apa mereka pemotong kayu illegal? Karena ada potongan kayu besar di sana," gumam Dareen sendirian."Harusnya mereka bersembunyi jika mereka adalah pelaku ilegal. Bisa jadi mereka mengira mobil ini, polisi hutan kan? Kau tau sendiri, jalur ini jarang dilewati kendaraan di malam hari," tambah Aditya terus melaju."Atau mereka begal? Kalau begal kenapa tak berusaha menghentikan kita?" gumam Dareen lagi."Sedang apa mereka? Selain yang duduk tadi, salah satunya sedang merunduk, memungut sesuatu? Atau ... menutupi sesuatu?!" lanjut Dareen mengalisis pemand