"Kami sudah sepakat. Hantaran yang harus dibawa itu dua ratus juta dan perlengkapan buat Belinda. Sebenarnya itu pun masih kurang. Segala jenis makanan dan perlengkapan rumah tangga juga sangat perlu. Tapi kalau memang gak bisa, ya kami akan coba maklumi," ucap Bu Yuni.
"Kalau perlengkapan rumah tangga untuk Belinda, itu sudah menjadi kewajiban saya, Bu. Tentang aneka makanan, saya akan usahakan dengan maksimal," jawab Aditya sekenanya."Perlengkapan rumah tangga buat kalian dengan yang dibawa ke sini beda dong. Kami sudah membesarkan Belinda sampai jadi sarjana dan bekerja di perusahaan besar itu butuh waktu dan tenaga. Dia sudah kami kasih perlengkapan hidup yang mewah. Soal begitu aja perhitungan," tanggap calon ibu mertua Aditya itu kecut.Aditya menelan salivanya. Bagaimana ada seorang ibu yang tega menghitung-hitung jasanya sebagai orang tua?"Soal uang hantaran, saya hanya sanggup lima puluh juta tunai, Bu.""Loh, kok bisa sedikit sekali? Bisa malu kami sebagai keluarga terhormat di komplek ini.""Tetangga sebelah aja, anaknya cuma lulusan D3, seabrek-abrek hantarannya. Belum lagi emasnya, penuh. Ini gimana sih, calon suami kamu, Bel?" ketus wanita tua itu membuang wajah.Belinda yang sedari tadi agak gelisah hanya menggigit bibirnya. Dia tidak bisa membohongi perasaannya pada Aditya tapi tak punya nyali untuk melawan ibunya."Maaf ya, Bu. Saya hanya mampu segitu. Lagi pula, saya sudah menyanggupi mahar emas dua puluh gram sesuai permintaan Belinda. Untuk resepsi, saya sudah siapkan dananya," ujar Aditya menambahkan.Biar bagaimana pun, Aditya sungguh-sungguh mencintai Belinda. Pemuda itu mencoba terus menawar pada calon mertuanya, tapi bukan berarti menuruti semua permintaannya."Bel! Kamu kok minta sedikit sekali?!" berang Yuni melotot pada anak gadisnya."Memangnya itu sedikit ya, Ma?" tanya Belinda polos."Iiih kamu ya. Zaman sekarang, itu cuma harga sapi doang."Tiba-tiba ayah Belinda menyela ucapan istrinya."Ma ... kontrol mulutmu itu," bisik Pak Imron, ayah Belinda. Suaranya masih jelas terdengar oleh Aditya.Pria yang sudah dipenuhi uban di kepalanya itu mencubit paha istrinya karena gemas."Maaf ya, Pak, Bu, istri saya memang orangnya nyablak," kekeh Pak Imron membuang rasa malunya."Tak apa-apa, Pak Imron. Kami maklum, Belinda anak gadis satu-satunya," jawab Parjo yang dianggukan oleh Romlah. Mereka berdua adalah kedua pelayan setia Aditya yang sudah dianggap seperti orang tuanya."Jadi bagaimana ya? Apa bisa Minggu depan, saya kembali membawa keluarga besar ke sini?" tanya Aditya meminta kejelasan.Semakin lama pemuda itu mulai muak dengan gerak-gerik dan ucapan calon ibu mertuanya itu."Kami serahkan semuanya pada Belinda," ujar Pak Imron mencoba mengambil keputusan sebagai kepala keluarga.Namun tiba-tiba, Bu Yuni memukul bahu suaminya yang tua itu."Jangan gegabah kamu, Pak! Aku gak mau ya, anak gadisku menikah dengan laki-laki yang gak jelas bobotnya."Hati Aditya rasanya seperti disengat, namun melihat sosok wanita yang dicintai seperti berusaha menenangkan ibunya, Aditya mencoba sabar."Gak apa-apa, Ma. Please, terima aja Mas Aditya ya, Ma.""Terserah kalau kamu mau hidup miskin."Belinda langsung menggeleng-geleng keras. Gadis berambut blonde yang terawat itu melipat bibirnya seperti berpikir. Otaknya sedang berputar menimbang-nimbang semua ucapan ibunya itu. Yang gadis itu tahu, Aditya hanya karyawan biasa, sebagai admin pemasaran di perusahaan tempat mereka bekerja. Sedangkan Belinda adalah sekretaris yang memiliki gaji yang jauh berbeda dengan Aditya.Kliiink!Suara cangkir yang sedikit beradu dengan meja kaca di depannya membuyarkan pikiran Belinda. Belinda menatap Aditya lalu menunduk."Silahkan diminum," ucap sosok yang bersuara lembut yang sedari tadi menyebarkan cangkir-cangkir teh. Sepintas ekor mata Aditya melirik. Rupanya, seorang wanita berhijab yang manis."Bel, kamu mau kan terima lamaranku?" tanya Aditya menatap sendu wanita yang dicintainya itu."Gimana ya? Aku berat Mas. Apa kamu beneran gak bisa memenuhi permintaan ibuku?" tanya Belinda seperti berbisik."Aku cuma mampu segitu, Bel. Kamu tahu kan posisiku di kantor, baru sebagai admin pemasaran."Aditya menggenggam kedua tanggannya sendiri. Nafasnya sedikit tersedat. Akan sulit jika benar sesuai firasatnya, Belinda akan menolaknya hanya karena kurang harta."Kamu jangan pelit-pelit dong, Mas. Jual apa kek. Katanya kamu cinta sama aku. Kok gak ada usahamu sedikit pun.""Ini aku sedang usaha, Bel. Aku cinta sama kamu. Tapi kamu juga harus percaya sama aku. Aku janji, akan rajin kerja dan bahagiain kamu. Kamu percaya deh, aku pasti naik pangkat," ujar Aditya mencoba meyakinkan calon istrinya.Belinda hanya belum tahu siapa Aditya yang sebenarnya dan belum saatnya dia tahu."Kamu baru kerja enam bulan, mau naik pangkat dari Hongkong, Mas. Kamu minjem online ajalah Mas," usul Belinda.Aditya menghela nafasnya kuat-kuat. Pemuda itu tak suka nada bicara Belinda juga usul gilanya itu. Hidup tenang itu sederhana. Salah satunya, jangan banyak gaya lalu membebani diri dengan hutang hanya untuk sebuah pengakuan."Jadi intinya gimana?" tanya Aditya dengan nada tegas."Kok, masih bisa nanya intinya sagala," ketus Yuni dengan mata memincing sinis."Anak gadisku gak ditakdirkan buat hidup miskin apalagi sama laki-laki kere. Dengar-dengar, kamu hanya admin di sana. Gimana ceritanya, bisa suka sama anakku yang sudah jadi sekretaris? Lucu."Setiap ucapan Yuni bagai sembilu bagi Aditya. Namun Aditya masih menahan diri. Jawaban Belinda adalah kunci setiap tindakannya ke depan."Maaf, Bu. Saya ingin dengar ucapan Belinda secara langsung. Gimana Bel? Apa ucapanmu mau menemaniku berjuang itu masih berlaku?"Belinda mengigit bibirnya. Gadis itu menatap Aditya. Sepertinya dia sudah memiliki keputusan."Kamu memang tampan tapi tak modal, Mas. Mulai hari ini kita putus. Kamu cari perempuan lain ajalah."Sejenak hanya hening di ruang itu. Kecuali suara tangan gadis pembawa teh tadi yang sedang meletakkan tisu makan di atas meja. Gadis itu seolah abai dengan segala pembicaraan di ruangan itu. Kini dia bersiap kembali lagi ke dapur."Baiklah. Aku akan menikahi wanita itu," ucap Aditya menoleh pada sosok gadis pembawa teh yang sedang melangkah menjauh.Kedua bola mata Belinda seperti akan keluar dari tempatnya. Manik matanya terus mengikuti tangan Aditya yang sedang menunjuk gadis berhijab coklat muda. Seolah akalnya hilang, Belinda mencoba menerka maksud dari ucapan dan perilaku Aditya. "Dahlia?" Suara Belinda bergetar. 'Oh rupanya, namanya Dahlia. Hemmm ... tak buruk.' Aditya membatin. Gadis itu berhenti. Ia membalik tubuhnya lalu celingak-celinguk. Semua mata di ruangan itu sedang menatapnya serius. Ia semakin bingung. "Saya Non?""Tak usah berdiri di situ! Enyah lah dari pandanganku!" perintah Belinda yang dipenuhi rasa was-was. Ia takut apa yang sedang dipikirannya itu sesuai dengan pikiran Aditya. "Jangan pergi. Kita harus bicara sekarang, Mbak," ujar Aditya terdengar luwes dan meyakinkan. "Kamu jangan gila, ya!" seru Bu Yuni berang pada Aditya. Aditya tak peduli. Ia mendekati Dahlia memberikan sorot mata yang tajam. Siapa pun akan tahu, Aditya sedang tidak bermain-main. Dia serius dengan apa yang sedang direncanakannya
Aditya langsung melingkarkan cicin berlian itu di jari manis Dahlia. Mulutnya sedikit mengerucut heran. Mengapa bisa pas seolah-olah cincin itu memang diciptakan untuknya? "Apa perlu kami abadikan, Tuan?" tanya pelayannya. "Boleh," jawab Aditya singkat. Pelayan itu mengeluarkan ponselnya yang ada gambar apel yang digigit dengan tampilan edisi terbaru. Belinda menghampiri mereka dengan wajah pucat. Jantungnya sebentar lagi akan jatuh karena silau dengan kilauan cincin itu. Dengan kasar, dia meraih tangan Dahlia. "Ini apa Mas?! Kamu bohong kalau harganya ratusan juta!" serunya marah seperti tak percaya. Aditya tersenyum kecut. Laki-laki itu mencebik karena Belinda seperti bunglon, bisa berubah-rubah. Baru melihat yang berkilau langsung mencoba mesra. Aditya bertekad tidak akan luluh. Ia merasa harga dirinya sudah diinjak. Ia tak akan berubah pikiran. "Memangnya matamu rabun? Itu cincin," ketus Aditya. "Iya! Aku juga tahu, ini cincin! Ini cicin kw apa asli?!"Belinda memekik semb
"Lepasin, ih!" Dahlia menyentak tangan Aditya kasar. Aditya juga baru sadar masih mencekal pergelangan tangan gadis itu. Segera dilepaskannya begitu saja. Aditya pura-pura tak bereaksi, seolah tak merasa bersalah. Dahlia terus melihat ke belakang meskipun mobil sudah bergerak meninggalkan rumah Belinda. Terlihat ada keragu-raguan pada sorot matanya. Aditya acuh saja. Laki-laki itu merasa baru saja mengangkat statusnya. Meski tak selamanya, tapi setidaknya untuk beberapa waktu. "Mana sepuluh jutanya?"Tiba-tiba suara Dahlia membuyarkan pikiran Aditya yang sedang memutar otak membuat rencana. Gadis itu sekarang menengadahkan tangannya, tepat di depan wajahnya. "Cincin yang di tanganmu itu nilainya ratusan juta. Sekarang kamu mau minta sepuluh juta. Apa kamu sedang memerasku?!"Aditya menarik nafas. Apa jangan-jangan dia lebih matre dari Belinda? Begitu pikir laki-laki itu. "Ini cincinmu!" Dahlia meraih tangan Aditya lalu meletakkan benda berkilau itu begitu saja."Eeeeh!" Aditya m
"Dahlia!" teriak Aditya dari dalam mobil. Untuk pertama kali Aditya memanggil nama gadis itu."Lusa sore, aku akan ke sini lagi!"Gadis berhijab itu mengangguk samar lalu kembali membelakangi Aditya. "Kita langsung pulang ke rumah ya, Pak!""Baik, Tuan Muda," jawab Suparman santai. Setelah cukup lama menit terbuang, tiba-tiba saja hati Aditya terusik. "Menurutmu, dia gimana?""Manis, Tuan. Hanya belum dipoles dan dirawat saja."Pemuda itu tersenyum."Tapi gadis-gadis yang sudah pernah dijodohkan denganmu, jauh lebih cantik dan terawat. Hmm ... mereka terlihat lebih elegan dan pastinya memiliki pendidikan yang terbaik. Apalagi kalau Tuan Besar tahu, sepertinya dia tidak akan setuju. Bibit, bobot dan bebet itu adalah hal yang paling utama. Bukan maksudku untuk menginterfensimu. Namun perkara pernikahan bukan hal yang mudah.""Hanya kau dan Parjo juga istrinya yang tahu masalah ini. Aku mohon, rahasiakanlah. Gadis itu akan kunikahi bukan semata-mata untuk segera mendapatkan kepercayaa
"Huwaaaaa!!!"Belinda menangis histeris, menghentak-hentakkan kakinya. Gadis itu masih terus menantap gerbang besi yang dilewati mobil mewah yang dinaiki Aditya dan Dahlia. "Kamu kenapa sih, Bel!? Sudah miring urat syarafmu?!" bentak Yuni sembari mendorong bahu anak gadisnya. "Mas Adit, Ma! Mama gak lihat, mobil yang jemput dia tadi itu kek gimana? Itu mobil mewah, Ma!" pekik Belinda. Seolah tak peduli dengan ucapan anaknya, Yuni duduk santai, menyalakan tv tanpa menoleh pada Belinda sedikitpun. "Paling grab itu yang jemput. Kamu jangan mau ditipu sama dia. Mama dari awal sudah gak srek sama laki-laki itu," timpalnya. "Itu Rolls Royce seharga puluhan milyar, Ma! Gak mungkin dipake buat ngegrab!" sentak Belinda kesal dengan ibunya. "Paling mobil pinjaman atau kamu salah lihat. Banyak yang kw sekarang, siapa yang tahu, itu juga bisa jadi mobil kw."Belinda merobek-robek tisu makan yang di atas meja untuk melampiaskan kekesalannya. "Tapi mataku masih bisa bedain mana kw dan ori! H
"Assalamu'alaikum!" salam Dahlia lalu melepas sandalnya. Tanpa menjawab salam, Marni keluar menyambut anaknya. Mulutnya sudah siap membuka dan akan mencecar anaknya namun seketika langsung tertutup ketika ia melihat sebuah mobil yang terlihat begitu mewah dan gagah masih terparkir lalu perlahan bergerak menjauh. Marni segera berbalik masuk, meletakkan bayi di gendongannya ke lantai beralaskan kasur bayi. "Siapa itu?" tanya Marni. "Hanya teman baru, Bu," jawab Dahlia grogi. "Kamu yang jujur. Tadi Belinda dan ibunya datang. Kata mereka, kamu kabur dari rumah itu, meninggalkan pekerjaan demi ikut laki-laki. Apa itu sikap perempuan baik?" lanjut Marni mencecar anaknya. Dahlia menegak salivanya kasar. Hatinya bertalu-talu. Bagaimana ia bisa menceritakan tentang semua kejadian yang sangat cepat itu? Ia pun masih seperti tak percaya. "Anu, Bu ... aku ...." "Katakan, apa yang kamu lakukan dengan dia sampai harus meninggalkan pekerjaanmu? Ibu yakin, kamu masih punya akal sehat, Nak
Yuni mengangkat kakinya di atas sofa, sembari menatap sinis pada Dahlia yang sedang membersihkan beberapa hiasan dinding dengan kemoceng. Gadis itu pun seolah tak peduli, majikannya sedang memperhatikan dirinya dengan cermat. Kedua mata Yuni menelisik ke jemari tangan Dahlia. Tidak ada cincin. Sejak gadis itu sampai, tak ada ucapan apapun dari mulutnya juga dari mulut Dahlia. Hanya salam saja ketika dia baru sampai pukul enam pagi tadi."Bel! Sudah jam delapan ini! Gak takut telat kamu, ha?!"Yuni menegur anak gadisnya yang baru keluar kamar. Tampak Belinda masih menggunakan baju tidur."Santai, Ma. Aku hanya nemenin boss meeting nanti jam sepuluh," jawab Belinda dari dalam kamarnya.Dahlia sama sekali tak menoleh apalagi menyapa nona rumah itu seperti biasa. Ingin rasanya gadis itu mengumpat dua wanita penghuni rumah itu. Hatinya makin dongkol. B
Dahlia menapaki setapak demi setapak marmer mahal yang sudah bertahun-tahun selalu dirawatnya. Di sini memang ia menggantungkan nasib dan kehidupan keluarganya. Bu Yuni selalu memberikannya gaji tepat waktu meski sering dipotong karena menurutnya pekerjaan Dahlia kurang bersih, kurang cepat."Jangan nekad kamu, Dahlia! Ingat, kamu dan keluargamu itu tak akan bisa melanjutkan hidup tanpa gaji dari sini!" ancam Yuni melototkan matanya."Wanita sinting!" umpat Belinda menambahkan.Dahlia terus melangkah. Di sini, tempatnya selalu menempa kesabaran. Karakter Bu Yuni yang asal perintah dan memiliki mulut tanpa saringan itu kerap kali membuatnya menahan air mata. Ditambah sikap Belinda yang memandangnya sebelah mata, membuatnya harus menambah stok kesabaran. Seharusnya gadis itu lebih bersahabat dengannya karena mereka seusia. Namun faktanya tidak.Belinda mengejar Dahlia lalu mendo
Yuni pias luar biasa. Dingin dan gemetar tangannya saat mencoba menghubungi nomor Belinda."Bu! Apaan sih?! Dari tadi ribut terus!" bentak salah seorang gadis yang merasa kesal karena Yuni menghalangi jalannya."Ma-maaf," ucap Yuni bahkan tak menatap lawan bicaranya. Biasanya ia takkan pernah terima dibentak begitu, apalagi oleh bocah ingusan di matanya. Namun kali ini, rasa takutnya melebihi egonya."Jangan bilang kamu kabur dan memilih melahirkan anak itu, Bel," lirih Yuni berlari kecil menuju parkiran.Ia langsung melesat pulang, berharap anaknya sudah di rumah. Namun nihil, Belinda tak ditemukan. Yuni menghubungi suaminya untuk pulang dari kantor. Sayang, bukan rangkulan penenang yang dia dapatkan tapi kemurkaan suaminya."Kalau sampai Belinda tak pulang, kamu ha
"Tidak, Dahlia! Janin itu harus digugurkan!" seru Yuni memberang."Kita tidak tahu masa depan seseorang, Bu Yuni. Siapa yang tahu, janin itu kelak akan menjadi laki-laki atau perempuan yang berguna?!""Omong kosong! Aku tetap tak akan mau memiliki cucu haram, Dahlia! Jangan mentang-mentang kamu sekarang punya kekuasan, kamu mempengaruhi anakku!"Dahlia masih berdiri. Ia sama sekali tak diminta duduk apalagi disuguhkan apa pun meskipun dia datang sebagai tamu. Sepulang dari rumah sakit, Dahlia memutuskan ikut dengan mobil Belinda sedangkan Aditya memilih kembali le kantor. Sepanjang jalan laki-laki itu menggerutu karena keputusan istrinya yang di luar logikanya."Aku hanya tak rela, ada janin yang dibunuh, Bu. Bahkan saat ini, detak jantungnya begitu terdengar luar biasa," ucap Dahlia mencoba meyakinkan."T*i kucing!" umpat Yuni makin meradang dan menuju kamar an
Seolah abai, Dahlia meraih tas selempangnya dan sudah siap dengan tampilannya. Ia memilih tak ingin menanggapi ucapan suaminya. Ia memiliki rencana untuk sedikit menggoyahkan hati seorang ibu."Mari, Bel! Kita ke dokter kandungan bersama. Ikut mobil kami!" seru Dahlia membuka pintu yang ia sendiri kunci."Menyesal aku ke sini," ketus Belinda mengikuti langkahnya.Tak punya pilihan, Aditya menyetir dengan membawa dua wanita hamil. Satu istrinya, satu mantannya. Bahkan ketika mereka sampai di poli kandungan, Aditya begitu amat canggung karena kedua wanita itu mendapatkan buku pink secara bersamaan dan semua mata memandangnya aneh.'Sial, pasti mereka mengira aku memiliki dua istri' rutuk hati Aditya.Nama Dahlia lebih dulu dipanggil untuk masuk. Aditya mengikuti istrinya ke dalam dan bertemu dokter kandungan."Selamat ya, kandungan
"Ke-kenapa kamu harus gugurkan?!" Dahlia seolah kehilangan akal. Sebagai seorang wanita yang pernah kehilangan janinnya, setidaknya ia merasa, tindakan Belinda itu akan menjadi sangat kejam. "Ya karena dia bukan anak dari laki-laki yang kumau. Dia anak dari kakek-kakek tua bangka, seorang napi!" Dahlia langsung mendekati Belinda. Ia meraih lengan wanita itu dengan tatapan tajam. "Janin itu tak berdosa, Bel!" "Aku tak peduli." "Umurnya pasti sudah dua bulan bahkan lebih!" sambut Dahlia nanar. "Ya. Ayahku mencegahku, tapi ibuku mendukungku. Aku sudah muak." Belinda melepaskan tangannya dari genggaman Dahlia. "Lepas. Aku datang bukan untuk meminta persetujuanmu, Dahlia. Kamu ... ada saat kejadian itu, jadi aku merasa, kamu harus tahu." Dahlia menggeleng keras. Ia tak mungkin membiarkan seorang janin diaborsi. "Kalau kamu benar-benar sudah berubah menjadi pribadi yang baik, please, jangan tambah dosamu lagi!" "Kamu enak ngomong dosa, kamu kira sejak kejadian itu, aku bisa
"Maafkan kami, Pak Hadi. Maafkan kami. Kami sangat menyesal," ucap Imron dengan suara bergetar.Sedari awal ia tak memiliki masalah dengan Aditya, Yuni lah yang memiliki kriteria khusus. Namun sebagai suami, Imron pasang badan untuk melindungi istrinya."Tak masalah. Aku justru berterima kasih karena sudah memperkerjakan Dahlia di rumah kalian sehingga anakku bisa bertemu dengannya."Imron dan Yuni kompak dia kehabisan kata. Rasa malu seperti sedang membenamkan mereka ke dasar bumi."Untuk apa kalian ke sini?""Kami, kami ingin mengucapkan te-terimakasih, Pak. Berkat dukungan pengacara-pengacara hebat dari Bapak, Mandala mendapatkan hukuman yang setimpal meski kehormatan anak kami tak bisa kembali," jawab Imron terbata karena gugup."Aku tidak melakukan apa pun untuk anak kalian. Aku melakukan semua itu karena menantuku."
Masih di rumah sakit. Aditya menarik tangan Dareen agar menjauh dari ayah mereka yang sekarang duduk di dekat Dahlia yang masih dipasangi infus. Wanita itu masih perlu infus nutrisi agar kondisi tubuhnya kembali stabil."Kenapa kamu mesti bawa Papa ke sini? Paling nanti sore Dahlia dikasih pulang," ujar Aditya mencubit lengan adiknya."Apa sih, Bang! Masih sakit badanku ini! Harusnya aku juga dirawat di sini!"Aditya menciut setelah dihardik balik oleh adiknya. Ia melipat alisnya seolah meminta penjelasan."Papa yang maksa mau ke sini. Lagi pula, dia seperti kesurupan gatot kaca karena menjadi benar-benar pulih saat mendengar menantunya dirawat di sini," cerita Dareen dengan nada menggerutu."Papa benar-benar menyayangi Dahlia. Aku tak menyangka, semua ini berjalan sangat cepat. Kasih sayang tulus Dahlia telah meruntuhkan batu karang ego seorang Hadi Prata
"Katakan lagi. Aku ingin mendengarnya sekarang," ucap Aditya berkaca-kaca."Aku mencintaimu, Mas. Tak peduli siapa kamu. Apakah kamu CEO atau laki-laki biasa, aku tetap mencintaimu."Tubuh Dahlia kembali direngkuh Aditya. Dibiarkannya wanita itu mendengar detak jantungnya yang berdebar-debar."Kamu dengar, Dek?! Sekarang, setiap detakannya untuk mencintaimu. Selamanya.""Ehheeem!"Refleks Dahlia dan Aditya berlepas diri mendengar suara deheman. Seolah abai dengan apa yang dilihat dan didengarnya, Dareen menyerahkan kunci mobil pada abangnya."Hati-hati. Aku akan di sini menunggu petugas kepolisian."Dengan cepat, Dareen meninggalkan Aditya dan berpura-pura menjauh dari keduanya. Hatinya seperti ada yang meremas hebat. Cemburu? Mungkin itu kata yang paling tepat. Namun di dasar hatinya, ia bahagia, kakaknya sudah mengatak
Mandala mencabut beberapa pecahan kaca yang menempel di otot-ototnya. Seolah kulitnya kebal setebal baja sehingga sekedar pecahan kaca bukan hal yang membuatnya gentar. Aditya mendekat. Dareen mengangguk samar memberi isyarat agar dia saja yang maju. "Kali ini, biarkan aku bertarung tanpa bantuanmu, Bang," lirih Dareen mendecih. Tak berpikir panjang, Mandala berlari cepat dan menyerang Dareen. Ia menendang sisi kiri Dareen. Pemuda itu bisa menangkisnya meskipun hampir tersungkur. Namun gerakan Mandala juga cepat. Ia kembali menendang pinggang Dareen, tidak hanya sekali tapi tiga kali tanpa jeda. Dareen berusaha menepis dan menghindar namun sayang, ia sempurna terjungkal karena Mandala luar biasa keras seperti bongkahan beton. "Kamu mungkin kekar, tapi denganku, kau bukan apa-apa, Bocah," ucap Mandala jumawa. Sama sekali Mandala tak terlihat sebagai pimpinan perusahaan besar yang berwibawa. Rupanya laki-laki itu memiliki topeng yang luar biasa menipu. Bahkan tak ada orang ya
Kedua bola mata Darien menangkap sosok laki-laki berwajah sangar tanpa baju duduk di atas kayu yang bulat panjang. Di belakang punggung laki-laki itu, ada tubuh laki-laki juga yang sedang merunduk tertutupi kayu."Ada dua orang laki-laki. Salah satunya terlihat aneh. Di malam sedingin ini, dia membuka baju seperti terengah-engah. Apa mereka pemotong kayu illegal? Karena ada potongan kayu besar di sana," gumam Dareen sendirian."Harusnya mereka bersembunyi jika mereka adalah pelaku ilegal. Bisa jadi mereka mengira mobil ini, polisi hutan kan? Kau tau sendiri, jalur ini jarang dilewati kendaraan di malam hari," tambah Aditya terus melaju."Atau mereka begal? Kalau begal kenapa tak berusaha menghentikan kita?" gumam Dareen lagi."Sedang apa mereka? Selain yang duduk tadi, salah satunya sedang merunduk, memungut sesuatu? Atau ... menutupi sesuatu?!" lanjut Dareen mengalisis pemand