BAB 2
"Apa yang kamu katakan, Melati? Bercanda kamu," ucap Mas Bima sembari terkekeh. Aku tahu pasti dia mengira aku hanya bercanda. Karena selama ini aku tidak mau memperpanjang masalah.
"Ya sudah kalau begitu, masalah sepele jangan dipermasalahkan. Aku pengennya kita rukun-rukun aja, tapi lain kali jangan diulangi lagi!" Kata-kata itulah yang selalu keluar dari mulutku jika kami berdebat. Akan tetapi, tidak pagi ini. Aku berbicara lantang dengan kepala tegak. Maaf, Mas. Aku tidak akan mengalah untuk saat ini.
"Aku tidak bercanda, Mas. Kemasi pakaian kalian dan angkat kaki dari rumah ini!" Aku segera meninggalkan ibu dan anak itu yang masih diam mematung. Berjalan cepat menyambar kunci motor yang digantung pada dinding.
"Bim- Bima …." Terdengar Ibu mertua yang meneriaki sang putra agar sadar. Karena mungkin Mas Bima tengah terserang syok akut.
Sudut bibir ini menyunggingkan senyum. Lalu berjalan menuju motor yang masih terparkir di sudut ruang tamu. Aku memutar kunci motor lantas menstaternya menuntun kuda besi itu menuju halaman rumah dengan keadaan mesin menyala. Terdengar derap langkah seseorang yang berjalan mengejarku.
Terlihat dari kaca spion Mas Bima mencoba mengejarku.
"Melati … kita perlu bicara!"
"Ha?" Sengaja aku berteriak seolah tidak mendengar ucapannya. Karena suara motor matic yang aku nyalakan cukup membuat suara berisik.
Ceklek
Mas Bima sengaja memutar kunci motor berniat mematikan suaranya. Lantas aku yang melihat tingkahnya panik hanya menatapnya dengan seksama.
"Ada apa?" Aku bertanya, tingkah Mas Bima yang terlihat panik membuatku ingin tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi, aku urungkan. Aku berusaha bersikap setenang mungkin.
"Kita perlu bicara!"
"Mau bicara apa? Kurang jelas ucapanku tadi? Apa perlu aku ulangi, bahwa kalian harus angkat kaki dari rumahku ini. Termasuk kamu, Mas!" Aku mengucapkan kata demi kata dengan lancar. Meskipun tidak aku pungkiri degup jantungku disana bekerja lebih cepat dari biasanya. Cintaku kepada laki-laki itu masih ada, masih aku simpan dalam hati ini. Akan tetapi, sikapnya yang selalu mementingkan keluarganya sendiri membuat cinta ini semakin tergerus.
"Ini kan masalah sepele. Masak iya kamu Semarah itu?" ucap Mas Bima dengan santai.
"Memang sih."
"Benar kan? Sudahlah, masalah sepele tidak usah dibesar-besarkan. Kita hidup rukun seperti biasa. Mas janji akan menasehati Klara dan juga Ibu nanti. Agar mereka berhemat!" Jika memang nasehat itu akan disampaikan kepada Ibu dan adiknya. Kenapa tidak dari dulu? Baru sekarang, saat aku meminta mereka angkat kaki dari rumah ini. Benar-benar tidak bisa dipercaya.
"Tapi tidak untuk saat ini, Mas. Aku udah mulai bosen sama kata-kata kamu! Minggir, aku mau kerja. Jangan lupa, kemasi barang-barangmu sekarang. Jadi nanti kalau Melati pulang, kalian sudah siap pergi!"
Aku mengerjakan tangan, memberi isyarat bahwa laki-laki itu bergeser memberiku jalan.
"Kalau kamu pergi pake motor Mas. Nanti Mas kerjanya pake apa?" Laki-laki itu masih bertanya perihal motor yang selama ini ia gunakan. Motor yang dibeli dengan uangku, tapi jarang sekali aku mengendarai.
"Motor ini punyaku, Mas! Jadi mulai detik ini juga motor ini bakal aku pakai! Soal kamu! Terserah mau jalan kaki apa ma terbang, aku nggak mau tahu!"
Ngeeeng
Aku memutar gas setelah berhasil menstater. Melirik sekilas pada kaca spion. Disana Mas Bima tengah mengacak rambutnya dengan kasar. Dihampiri sang Ibu yang entah berbicara apa. Karena setelah ucapanku soal angkat kaki dari rumah itu. Tidak ada lagi sepatah katapun yang terdengar dari mulutnya.
Motor yang aku kendarai melaju perlahan membelah jalan raya yang lumayan lengang. Menghirup udara pagi yang sejuk membuat pikiranku semula semrawut kini terurai dan lebih segar.
Kenapa tidak aku lakukan dari dulu?
Ada rasa plong dalam hati, sesak yang kadang membuat sulit bernapas kini lebih longgar. Usia pernikahan yang baru setahun lebih kini tidak aku pikirkan. Yang aku pikirkan sekarang, membahagiakan diriku sendiri.
Tidak berapa lama aku tiba di pabrik. Pabrik garment yang cukup terkenal di kotaku. Penghasilan kurang lebih lima juta per bulan, tidak pernah sekalipun aku menggunakannya untuk memanjakan diri. Biasanya aku menggunakan gajiku itu untuk membantu Mas Bima membayar biaya kuliah Klara, adik perempuan Mas Bima.
"Woi, keknya bahagia nih yang mau gajian." Lina menepuk bahuku, sontak membuatku menoleh ke arahnya. Lantas aku mengingat-ingat tanggal hari ini, benar saja hari ini hari dimana gaji akan turun.
"Ya Allah, sampai lupa aku. Terlalu banyak yang dipikirin sampai lupa mau gajian." Aku terkekeh, Lina sahabat karibku melingkarkan tangannya pada lenganku. Kami berjalan menuju pintu utama.
Kring
Suara ponsel terdengar membuatku dan juga Lina berhenti berjalan. Merogoh saku berniat mengambil benda pipih itu. Benar saja, nama Mas Bima tertera jelas di sana. Lingkaran hijau itu melompat-lompat meminta untuk segera di geser.
Hanya kupandangi sekilas lalu ku kembalikan kedalam saku.
"Kenapa nggak diangkat? Itu suamimu kan?" tanya Lina heran, tidak biasa aku mengabaikan panggilan dari laki-laki yang sekarang masih bergelar suami itu.
"Bukan!" jawabku singkat, membuat Lina menatapku keheranan.
"Lha?"
"Calon mantan suami!"
BAB 3Mata Lina membelalak tidak percaya mendengar perkataan yang baru saja aku katakan. Kutinggalkan wanita yang menyandang status janda lebih dulu itu dalam keadaan mulut terbuka, syok berat."Melati … kamu serius?" Teriak Lina membuatku menghentikan langkah. Memutar badan ke arahnya lalu mengangguk. Lina berlari menghampiriku, wanita itu mencengkram kedua tanganku dengan kuat."Sakit, Lin. Biasa aja dong. Sebentar lagi status kita sama. Jendes eh salah janda." Aku menarik tangan darinya lalu mengusapnya sembari tawa itu terdengar renyah dari bibirku."Gil* kamu, Mel." Lagi-lagi Lina membuatku terkejut mendengar umpatannya."Kok gil* sih?" Aku yang sudah mulai berjalan pun menatap manik mata Lina dengan seksama. Apa ada yang salah dengan keputusanku?"Kamu tahu nggak jadi janda itu nggak enak! Dipandang sebelah mata sama orang! Padahal mereka nggak tahu sebenarnya apa yang kita lakukan di luaran sana. Kita bekerja halal saja masih tidak percaya apalagi kamu belum punya anak." Tidak
BAB 4DuarSeperti disambar petir di siang hari. Ucapanku baru saja lagi-lagi mampu membuat Ibu mertua tidak lagi bisa berkutik. Padahal tadi pagi wanita itu masih menyombongkan dirinya dengan embel-embel keluarga Ali Santosa."Mbak Melati jangan bicara seperti itu ya? Jangan sampai Mbak yang angkat kaki dari rumah ini!" Suara lantang penuh penekanan itu keluar dari mulut gadis berambut pirang. Aku hanya terkekeh lalu menatap mereka bergantian."Ini rumahku anak ingusan! Yang seharusnya pergi dari rumah ini kalian bukan aku!" Aku menjawab dengan santai. Nampak mimik muka orang yang ada dihadapanku tidak suka melihat sikap yang aku tunjukan saat ini."Paket!" Di sela-sela aku berucap terdengar seseorang dari luar berteriak. Dari caranya berucap sepertinya seorang kurir yang sedang mengantar barang.Sari meninggalkanku dan juga Ibunya yang masih berada di dapur. Mungkin dia menyadari bahwa barang yang dibelinya sudah tiba."Bu …." Sari berteriak memanggil ibunya. Dengan tergopoh-gopoh w
BAB 5Wajah Mas Bima terlihat terkejut. Ketika aku menyebut kata pengadilan. Tatapan yang semula marah kini berubah menjadi sendu. Laki-laki itu kembali menghampiriku. Mencoba meraih tanganku. Akan tetapi, lagi-lagi aku menepisnya dengan kasar."Melati Mas mohon. Jangan seperti ini, kita bisa mulai semuanya dari awal. Aku akan mencoba membuat Ibu dan juga Sari untuk berubah!" Mas Bima mencoba membuatku berubah pikiran."Aku nggak mau, Mas!" Pendirianku masih sama."Melati pernikahan kita baru seumur jagung, baru setahun kita menikah. Apa kata orang jika kita berpisah? Bagaimana dengan ibu?""Aku tidak peduli!" BrakSeseorang membuka pintu kamar dengan paksa. Aku dan juga Mas Bima menoleh ke arahnya. "Cukup, Bim. Kamu nggak usah ngemis sama wanita seperti Melati! Buang-buang waktu! Kemasi barang-barang kamu kita pergi dari rumah ini! Kita bisa hidup tanpa wanita ini!" Ternyata yang aku pikirkan benar. Ibu berubah baik hanya untuk merayuku, membuatku seperti dulu. Sepertinya sandiwara
BAB 6Semilir angin terasa begitu sejuk di siang ini. Kicauan burung seakan sahut menyahut bergantian. Aku yang tengah duduk di kursi meja makan memandang jauh keluar. Berharap semuanya hanya mimpi. Mimpi buruk jika aku terbangun semua akan berubah menjadi baik-baik saja.Akan tetapi semua harapan dan mimpi itu nyata adanya. Perpisahan akan segera aku hadapi sendirian. Tidak terasa bulir-bulir air mata itu kembali mengalir.'Maafkan Melati, Pak, Bu. Melati gagal mempertahankan rumah tangga ini. Melati tidak bisa lagi menjalani sesuatu yang Melati anggap melebihi batas," gumamku dalam hati. Aku menekan dada ini kuat-kuat, terasa begitu sesak seakan ada batu besar yang tengah menghimpit. Tidak ada sandaran, tidak ada tangan yang mengusap air mata.Tidak aku pungkiri hatiku masih ada ruang untuk laki-laki yang bernama Bima, laki-laki yang pernah mengisi hari dan juga kekosongan ini. Memberikan warna dengan jutaan tawa. Akan tetapi, akhir dari semua hanya air mata.TulingSatu pesan mas
Aku mengarahkan pandanganku pada wanita yang ada dihadapanku. Dari cara bicaranya yang tidak sopan aku sudah bisa menebak siapa gerangan."Mbak Melati?" ucap wanita itu, membuatku tersenyum. Dugaanku benar adanya. Dia adalah Sari, adik iparku. Tatapannya tertuju pada barang-barang belanjaan ku yang terlihat banyak. Tangannya dilipat ke depan dada lalu menatapku dengan senyum meremehkan."Wah, pantas saja pengen pisah sama Mas Bima. Temannya aja janda kek begitu yang pasti nyetrum lah!" Sari berbicara asal. Membuat amarahku terasa di ubun-ubun ketika mendengar celotehannya yang tidak sopan."Heh, anak kurang ajar ya kamu! Tidak pernah di ajari sopan santun ya? Kalau kek begini terlihat ya siapa yang sebenarnya tidak berpendidikan? Gunanya apa sekolah tinggi-tinggi cuma bisanya ngomong nggak sopan seperti itu!" sungut Lina tidak terima. Jelas, wanita itu tidak terima masalah rumah tangga yang aku hadapi saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan Lina. Rahang Sari terlihat mengeras itu pe
Setelah kejadian kemarin aku memutuskan untuk memblokir nomor milik Mas Bima beserta keluarganya. Karena dari semalam Sari maupun Mas Bima terus menerorku. Mas Bima mengirim pesan permohonan maaf dan permintaan untuk kembali lagi, sedangkan Sari ia mencaci dan juga mengumpat. Entah dari apa Tuhan menciptakan gadis itu. Jam menunjukan angka tujuh kurang. Aku segera mengeluarkan motor berniat pergi ke pabrik. Alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati sebuah mobil Pajero berhenti di halaman rumah.'Siapa ya pagi-pagi sudah bertamu?' tanyaku dalam hati. "Hai, selamat pagi!" salam diucapkan dari sepasang suami istri itu. Aku perhatikan sepertinya tidak asing lagi. Akan tetapi, ingatanku tidak begitu bagus. Hingga cukup lama aku diam memperhatikan. Dari ujung kaki hingga ke ujung kepala penampilan mereka sepertinya orang kaya. Laki-laki yang mengenakan jam tangan itu terlihat menenteng sebuah map berwarna merah jambu. Entah apa isinya, membuatku semakin penasaran. "Lupa ya sama kami?" t
POV Bima"Mas, mulai hari ini detik ini juga kamu dan keluarga kamu angkat kaki dari rumahku! Sekarang!" ucap Melati dengan amarah yang meluap-luap. Aku yang duduk di sisi ranjang terperangah mendengar kalimat tersebut. Ini kali pertama wanita yang aku nikahi satahun lalu itu berucap kasar. Apalagi mengusirku dari rumah. Memang benar tempat tinggal yang kini kami tempati adalah rumah Melati, istriku. Aku hanya hidup menumpang padanya. "Bim … bima." Ibu memanggil namaku berulang kali. Membuat lamunanku buyar. Segera aku mengejar wanita yang sudah rapi mengenakan seragam kerja itu. Berjalan menuju pintu utama.Tunggu, apa yang akan dia lakukan dengan kunci motor itu? Benar saja, Melati berjalan sembari menuntun motor menuju halaman rumah. Aku masih bingung dengan sikapnya yang mendadak berubah. Apalagi kemarin dia masih sama, menurut dengan semua ucapan dan juga permintaanku. Kenapa hari ini dia sudah berubah? Ada apa dengan Melati? Dimana Melatiku yang dulu. Seorang istri yang selalu
POV Melati."Kamu beneran mau keluar dari pabrik?" tanya Linda tidak percaya. Matanya yang semula fokus dengan jahitan kini langsung menoleh ke arahku.Hanya anggukan kepala aku berikan sebagai jawaban atas pertanyaannya. DertReflek tangan Lina langsung mematikan mesin jahit. Karena tangannya terkejut terkena setruman listrik dengan tegangan kecil. Kaki Lina yang tidak menggunakan sandal membuatnya sering merasakan kejutan itu. Meskipun tidak sakit. Akan tetapi, cukup membuat kita kaget. "Terus kamu mau buka usaha apa?" tanya Lina."Belum tahu, kan nanti kalau aku sudah cerai sama Mas Bima.""Kamu udah mengajukan gugatan?""Belum sih, lagi menyiapkan keperluannya. Lagian aku harus mengajukan cuti buat mengurus semuanya. Kalau nunggu libur kan pasti hari Minggu. Mana mungkin pengadilan minggu buka," jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arah Lina."Iya juga sih, tapi beneran kamu mau cerai? Nggak akan nyesel?" Lina kembali mengulang pertanyaannya. Dia seorang janda, aku yakin dia mera
Bab 25Melati duduk di karpet yang berada di lantai. Sedangkan Dinda dan juga Lina sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Hingga konsentrasi mereka buyar ketika seseorang mengucap salam."Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab ketiga wanita itu bersamaan. Netra mereka sama-sama melihat ke arah sumber suara. Dimana sosok laki-laki berdiri tegak di ambang pintu. Bibirnya melengkungkan senyuman sedangkan tatapannya yang tajam langsung bisa menembus hati para wanita. Semua orang tanpa berkedip menatap laki-laki tampan tersebut. Kecuali Dinda yang nampak berdiri menyambut kehadirannya."Eh, Tomi. Kamu kok sudah datang?" Dinda menghampiri. "Iya, kata kamu datang pagi jauh lebih baik.""Oh iya, lupa. Ini kenalkan itu Mbak melati dan juga Mbak Lina." Laki-laki bernama Tomi itu tersenyum kemudian mengulurkan tangannya pada Melati dan juga Lina. Bukannya merespon Lina dan juga Melati justru diam terpesona melihat ketampanannya."Mbak!" Tangan Dinda bergerak-gerak berharap Lina dan juga M
Bab 31Melati tidak main-main dengan ucapannya. Ia memilih mobil di salah satu showroom yang ada di kotanya. Beberapa kali wanita itu dan juga para karyawanya melihat kendaraan roda empat tersebut. Hingga pilihan Melati tertuju pada mobil berwarna hitam. "Kita lihat bagaimana reaksi mereka ketika pulang bawa mobil beneran." Lina sudah tidak sabar lagi melihat bagaimana paniknya Rosita dan juga Sonya melihat mereka nantinya."Kita makan dulu yuk!" ajak Melati pada kedua karyawannya."Lagian hari ini kita kerjanya santai. Sekali-kali makan di luar kenapa enggak." Melati sumringah. Bibirnya tidak berhenti mengulas senyum. Kendaraan yang saat ini mereka beli adalah impiannya sedari dulu. Berharap dengan kendaraan ini Melati tidak khawatir jika sewaktu-waktu ia sakit atau salah satu keluarganya. Bukan berharap terjadi, namun saat ini kendaraan roda empat memang begitu dibutuhkan disaat genting. Melati juga berharap bisa memberikan banyak manfaat untuk para tetangga dengan adanya kendaraan
"Kenapa kamu melihat Ibu seperti itu, Bim? Ada yang salah? Kamu mau menuduh ibu yang tidak-tidak?" Sebelum Rosita disalahkan, ia lebih dulu membela dirinya. "Terus kalau Sonya nggak ngaku ibu juga enggak siapa dong yang merusak usaha Melati? Masa iya aku? Mana mungkin! Buat apa coba?" Bima juga membela dirinya sendiri. Semua orang diam, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Di sisi lain, Melati berjalan dengan langkah lebar. Tangannya masih menggenggam erat ponsel kemudian ia menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa. Netra wanita itu menatap langit-langit rumah kemudian ia membuang napasnya dengan kasar. Benda pipih itu pun ia letakan asal. Sedangkan kedua tangannya lantas menangkup pada wajah. Entah mengapa bayangan wajah keluarga mantan bergulir mengusik pikirannya. Melati pun membenarkan posisi duduknya menjadi tegap, pakaian yang ada di depan matanya masih terlihat sama, berantakan dan berbau kotoran ayam. Ya Tuhan, manusia seperti apa yang sudah berani melakukan hal itu? Mel
Bima yang berada di dalam kamar mandi pun menghentikan aktivitasnya. Menajamkan Indra pendengarannya sembari memastikan namanya yang di sebut-sebut. Benar saja, berulang kali laki-laki itu dipanggil membuat Bima khawatir, entah apa yang terjadi di depan sana membuat Bima segera menyelesaikan ritual mandinya."Ada apa ini? Melati, kamu benar-benar kurang ajar! Apa-apaan ini! Lepaskan Sonya!" teriak Rosita yang baru saja keluar dari rumah. Ia melihat melihat sang menantu tengah di Jambak oleh Melati. Tanpa menjawab maupun menanggapi Rosita, wanita yang saat ini tengah diselimuti amarah itu masih saja menarik rambut Sonya. Sedangkan wanita itu masih saja berteriak kesakitan."Ibu tolongin Sonya!" Sonya bersuara, ia meminta tolong pada sang mertua. Rosita yang mendengar namanya disebut dengan kekuatan penuh mencoba melerai kedua wanita itu. Namun, usia mereka yang jauh berbeda cukup membuat Rosita kewalahan. "Ada apa ini?" Bima yang sudah berada di luar langsung menghampiri. Dengan sigap
2" Nggak papa, Bu. Lagi nggak ada kerjaan aja, jadi nggak ada lembur!" ucap Sonya dengan nada malas. "Ibu nggak mau tahu, Bim. Pokoknya kamu harus bisa bawa sertifikat itu bulan ini. Bagaimanapun caranya, kalau nggak bisa dengan cara halus. Sebaiknya kamu gunakan cara kasar! Melati harus diberi tahu siapa kita yang sebenarnya! Jangan sampai dia berada di atas angin karena kita tidak berbuat apa-apa!" Terdengar helaan napas panjang dari Bima. Kemudian ia melirik ke arah sang istri. Di sisi lain Melati melanjutkan aktivitasnya menyelesaikan pekerjaan demi pekerjaan. Gara-gara sang mantan suami datang banyak pekerjaan yang ia tinggalkan. "Seharusnya ini sudah selesai, gara-gara Bima sontoloyo itu jadinya kesorean!" gumam Melati seorang diri. Lina dan juga Dinda yang mendengarnya seketika menoleh ke arah sumber suara. "Sudahlah, Mel. Kamu harus hati-hati, keluarga suamimu. Opss, sorry mantan maksud aku. Bisa jadi mereka merencanakan sesuatu." Lina ikut memberikan tanggapan."Seharusn
"Kamu ngapain sih, Mas. Ke rumah mantanmu yang nggak jelas itu? Kamu mau minta balikan ha? Atau jangan-jangan kamu minta tinggal di rumah ini gara-gara dia lagi!" ucap Sonya sembari berkacak pinggang."Ingat ya, semua tagihan kamu sama rentenir itu aku yang bayar dan juga hidupmu aku yang tanggung! Jadi, kamu harusnya sadar diri jangan jadi laki-laki nggak punya pendirian!" Bima yang mendengar penuturan sang istri sontak matanya membulat sempurna. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Ya, setelah status duda ia sandang laki-laki itu lantas menikahi Sonya sebagai pengganti Melati. Meskipun mereka sudah saling mengenal ketika Bima masih sah menjadi suami Melati. Dulu wanita itu teman sekantor Bima, tetapi saat ini mereka berbeda kantor Bima dipindahkan ke anak perusahaan yang baru saja didirikan. "Pelankan suaramu itu, Sonya. Malu didengar banyak orang!" ucap Bima sembari melirik ke sembarang arah. Bima juga pastinya malu jika Melati melihat pemandangan ini. Dimana Bima tidak berani
"Ngomongin keluarga toxic. Heran aku, Mel. Sama mereka, apa jangan-jangan kedatangan mereka ada hubungannya sama sertifikat?" Pertanyaan Lina cukup membuat Melati terdiam memikirkannya. Benar yang dikatakan wanita itu, tidak mungkin Bima dan keluarganya pindah ke rumah itu tanpa alasan. "Kamu benar juga, tapi nggak papa. Sertifikat itu sudah aku gadai. Uangnya pun sudah di tangan aku. Walaupun mereka mau memintanya kembali. Biar mereka ambil sendiri di tempatnya Pak Rojak!" ucap Melati sembari menerawang jauh membayangkan nantinya. "Ah, pusing aku. Mending minum teh hangat ini dulu, ya nggak, Din?" "Ho'oh, lebih enak daripada bahas begituan!" Dinda memang polos, dia masih terlalu muda untuk membicarakan hal seperti itu.Melati pun kemudian ia menyeruput teh hangat yang sudah dibuatkan oleh Dinda. Setelah acara minum teh itu selesai akhirnya mereka kembali bekerja. Meskipun usaha Laundry milik Melati masih terbilang kecil, namun cukup banyak pelanggan yang sudah setia di tempat Mela
"Apa yang Anda lakukan, Bu?" Melati tidak mengerti kenapa mantan mertuanya melakukan hal tersebut. Padahal jika dilihat pakaian yang di cuci Melati sangat bersih dan wangi. Mustahil jika ini sebuah keluhan."Kamu bilang laundry kamu ini bersih dan terpercaya? Mana buktinya? Nyatanya baju-baju ini semuanya masih kotor!" ucap Rosita penuh penekanan. Membuat Melati tidak percaya. Ia menggelengkan kepalanya pelan."Astaga, Ibu kenapa pakaian Sonya di buang sih?" teriak seseorang yang mengenakan dress mini. Rosita menoleh ke sumber suara, sedangkan wanita yang baru saja bertanya itu lantas memunguti pakaian itu satu persatu sembari netranya melirik ke arah Rosita dengan tajam."Itu pakaiannya kotor! Dia ini nggak becus ngerjainnya!" sahut Rosita penuh kebencian. Sonya yang melihat Melati ada di hadapannya langsung menatapnya dengan tajam. Ia beranjak dari tempatnya sembari memperhatikan Melati. "Itu usaha laundry punya kamu?" Melati mengangguk. Ia tidak kenal dengan wanita yang kini ada d
"Ada apa?" Lina sudah menyadari ada sesuatu yang tengah terjadi. Terlihat dari cara Melati dan juga Dinda memandang."Mbak Lina, sini deh. Aku kasih tahu!" cicit Dinda membuat Lina yang usianya lebih tua berjalan menghampiri."Apaan?" "Kita punya tetangga baru!" celetuk Dinda membuat netra Lina menyipit. Ia tidak mengerti dengan pemberitahuan Dinda baru saja. Ia merasa tidak ada hubungannya dengan tetangga baru. "Terus?" "Tetangga baru kita Mas Bima." Kini giliran Melati yang menjelaskan. Lina yang mendengar Bima di sebut langsung mengingatkannya dengan mantan suami Melati. Yang sudah beberapa bulan tidak memberi kabar."Maksud kamu Bima mantan suami kamu?" Lina memperhatikan kedua temannya itu silih berganti. Melati dan juga Dinda memberikan jawaban dengan anggukan kepala bersamaan."Serius?""Serius! Duarius malah. Tu pakaian milik mereka baru Dinda cuci!" Dinda menyahut membuat Lina bertambah terkejut. Ia mengalihkan pandangannya pada Melati.Melati pun memberi tanggapan dengan