BAB 15Pulang ke wonogiri"Sampaikan pada kakakmu, aku akan kembali pulang esok hari!" Aku sambil berjalan maju mundur menggendong Hawa."Mbak, ayolah ... pulang sekarang. Diantara kalian harus ada yang mengalah, tidak bisa seperti ini!""Haruskah aku yang mengalah?!" "Siapa lagi? Kamu sendiri tahu sifat Mas Wawan. Semua keputusan jika sudah diambilnya, tak ada yang bisa merubahnya."Aku tak bergeming. Rasa kecewa sudah menyelimuti seluruh hatiku.Nafasku naik turun, menahan sesak di dada.Emak yang sedari tadi menemaniku di teras, kini sudah tidak ada lagi.Dia sudah masuk ke dalam rumah dan mulai membantu ku berkemas.Memasukan satu persatu pakaian Hawa, ke dalam tas yang dulu aku pakai.Aku tak bereaksi apapun, aku hanya melihatnya dari kejauhan.Aku membuang nafas pelan. Menata hati, juga menata pikiran. Aku menghampiri Emak yang duduk di pinggir kasur. Aku lepaskan Hawa dari gendongan dan aku tidurkan dia di kasur.Sesekali dia tersenyum sendiri. Entah sedang memimpikan apa?"M
BAB 16Malas satu atap denganmuJam menunjukan angka lima kurang lima belas menit. Masih sedikit gelap, karena semalam turun hujan cukuplah lebat. Aku memandang genteng kaca, yang terpasang tepat di atas kasur yang aku tiduri.Ingin rasanya bangun tidur di rumah sendiri. Tanpa di kejar-kejar pekerjaan rumah yang menumpuk.Tanpa harus bangun lebih awal, untuk sekedar mengisi air.Mas Wawan masih berada di Semarang, belum ada kabar dia akan segera pulang. Rencana awal sekitar tiga mingguan di sana. Tapi entah apakah ada perubahan atau tidak?Rindu ini sudah menyelimuti relung hati, namun tidak hanya rindu. Tetapi rasa malas tinggal disini tanpa nya.Aku masih belum beranjak dari kasur. Masih menatap langit-langit kamar. Berharap hari ini ada keajaiban.Lamunanku buyar ketika terdengar suara tutup panci jatuh.Ah … paling dia bermaksud menyuruh ku segera bangun.Aku melihat jarum jam menunjukkan jam lima tepat.Dengan melawan rasa malas aku segera beranjak dari tempat tidur. Membuka pint
Bab 17Buah tangan"Mas …." Aku menghampiri ibu dan juga Mas Wawan yang sedang duduk di depan televisi."Apa … mau ngadu sama Wawan?" sahut ibu yang sedang duduk tak jauh dari Mas Wawan."Mau di siapkan makan sekalian atau mandi dulu pakai air hangat?" Aku menatap Mas Wawan, dan tak aku hiraukan ucapan ibu."Iya aku mandi dulu, abis itu makan!"Aku langsung pergi meninggalkan mereka yang tengah berbincang. Aku sudah tak membahas itu lagi dengan Mas Wawan. Jawaban yang sama seperti biasa, dari pada wajahku semakin keriput dibuatnya, mending tak aku hiraukan.Setelah mandi dan juga makan, Mas Wawan segera istirahat. Mungkin dia sangat lelah, hingga tertidur di depan televisi.Aku segera membereskan pakaian kotor yang dibawa olehnya.Tak lupa membuka kardus yang berisi beberapa makanan. Aku bagikan kepada tetangga terdekat, karena mereka tahu Mas Wawan pergi ke Semarang.Namun waktu aku hendak pulang, dari kejauhan nampak ibu berbicara dengan dua orang laki-laki. Mereka berpakaian rapi,
Bab 18Setoran Bank"Siapa, Mas?" Aku bertanya pada Mas Wawan yang tengah berbicara di telepon.Dia tak menjawabnya, mungkin penting hingga dia seperti meminta waktu. Aku yang dibuatnya penasaran, masih saja berdiri di ambang pintu. Ikut mendengarkan Mas Wawan berbicara.Mas Wawan menutup telepon, dan menarik napas dalam, lalu membuangnya."Apa?" Aku berbisik pelan hingga hampir tak terdengar.Mas Wawan keluar kamar, tanpa menjawab pertanyaanku."Aku lagi gak ada duit, Bu!"Aku lega mendengar ucapan Mas Wawan. Bukannya pelit ataupun perhitungan dengan orang tua. Namun keadaan tidak memungkinkan, kami yang harus keluar uang seminggu sekali untuk membeli susu Hawa. Belum juga beras dan kebutuhan lain.Gaji Mas Wawan yang tidak seberapa, masih dipotong cicilan motor dan juga cicilan koperasi.Kadang dengan terpaksa kami harus menjual emas yang aku miliki, dari cincin hingga kalung.Miris ….Ya sangat miris, aku pikir dulu, jika sudah menikah akan lebih mudah. Tidak bekerja dan tidak per
Bab 19Teguran NandaPartini adalah nama ibu mertuaku. Namun jarang sekali aku menyebut dengan menambahkan namanya. Hanya memanggil dengan sebutan, Bu kalau tidak Nenek.Aku langsung menyeka air mata yang menetes di pipi.Aku segera keluar, dan melihat siapa yang datang?"Ada apa, Bu?" Tiba-tiba ibu keluar dari rumah.Aku yang masih diambang pintu, terheran-heran melihat kedatangan ibu yang tiba-tiba muncul dari belakang."Gak ada apa-apa!" Netra Bude Sumi dan juga Ibu saling bertemu. Ada isyarat yang diperlihatkan, aku tak begitu memperhatikan. Namun setelah itu, Ibu mertua ku mengajak Bude Sumi berbincang di kursi depan.Bude Sumi, adalah teman Ibu. Dia selalu pergi bersama kemana pun. Padahal anak menantunya juga ada, tapi setiap ada acara apapun, dia pasti mengajak Bude Sumi. Misalnya akan menghadiri acara hajatan, mereka pasti pergi berdua. Padahal aku sendiri juga akan menghadiri acara tersebut. Bukan kah hal seperti itu terlihat sepele? Namun alangkah baiknya jika dia mengajakk
BAB 20Memulai usaha"Aku sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Ibumu padaku!" Aku terisak hingga membangunkan Hawa.Hawa menangis, dia rewel. Mungkin dia merasakan perih yang sama dengan Ibunya.Aku lantas menggendong dan juga menenangkannya."Dek, ini uang sisa setoran kemarin. Aku juga sudah membeli susu. Sisa sedikit pegang lah!"Aku melihat masih ada lembaran uang seratus ribuan. Mungkin kisaran dua jutaan. Karena emas yang aku beli waktu itu adalah emas yang cukup mahal per gramnya, jadi tidak salah kalau uangnya masih cukup banyak."Mas, belikan aku mesin jahit. Aku akan buka usaha jahitan! Dulu pernah lihat Mbak Ida, menjahit waktu di Klaten. Mbak Ida adalah tetangga ku di Klaten. Dia menerima jahitan dan juga permak pakaian. Dan sering melihatnya, dan sesekali mencoba menjahit baju, jadi sedikit-sedikit aku pasti bisa. Juga ada Mbah Google jadi gampang belajarnya." Mas Wawan terkejut mendengar permintaanku.Aku bertekad apapun keadaannya aku akan membuka usaha jahit ini, ka
Bab 21Ibu mertua meminta uang"Arisan lagi?!" Aku terkejut mendengar pengakuan Ibu. Bukankah Ibu sudah diberi uang untuk arisan oleh suamiku, sehingga uang yang seharusnya dibayar untuk cicilan motor malah diberikan padanya. Dan tempo hari masih meminta uang tiga ratus ribu untuk arisan, meskipun tak diberikan oleh suamiku.Dan sekarang dua ratus ribu, dengan dalil membayar arisan? Berapa banyak arisan yang diikuti oleh Ibu?Astagfirullahaladzim …Aku mengusap dada dan juga beristighfar dalam hati.Padahal aku yang masih mempunyai bayi, dengan pengeluaran banyak seminggu nya, untuk membeli susu dan lain sebagainya. Tidak sebanyak itu, dia yang hanya mengeluarkan uang untuk makan dan juga arisan sebanyak itu? Padahal dia juga memiliki pendapatan sendiri! Kemana uang hasil kerjanya selama ini?"Assalamualaikum," salam Adi dari luar."Waalaikumsalam," Aku menjawab bersamaan dengan Ibu.Dilihatnya wanita berbadan langsing dan juga tinggi. Kulitnya sawo matang dan juga rambutnya terura
Bab 22Calon mantuBerubah sikap lembutnya tadi yang ia perlihatkan, di depan calon menantunya itu.Baru juga calon. Aku hanya memandang Ibu yang berlalu dengan membawa beberapa kantong plastik.**Tidak terasa Hawa genap berumur sepuluh bulan, dia bayi yang aktif. Sudah tengkurap sejak berumur empat bulan. Alhamdulilah, dia makan dengan sangat baik dan juga lahap. Meskipun masih dengan MPASI instan sebab aku belum berani memasak bubur sendiri untuknya. Meskipun sudah banyak tutorial membuat MPASI homemade yang disiarkan di internet.Belum genap satu bulan aku membeli mesin jahit waktu itu hingga sekarang. Aku rasa ini sudah saatnya aku mengatakan pada tetangga.Tanpa berpikir panjang, aku menulis status di aplikasi hijau berlogo gagang telepon.'Menerima permak baju, tambal baju yang robek bukan tambal hati yang terluka' Kurang lebih seperti itu status yang aku tulis, cukup menggelitik dan juga menarik.Tak ada respon maupun tanggapan dari teman maupun tetangga.Ya … Sudahlah. Mun
##Bab 98Akhir bahagia"Mas, Siska meninggal dunia. Kemarin di rumah sakit karena sebuah kecelakaan. Karena tidak ada keluarga yang mengurusnya jadi keluarga Adi yang akan mengurusnya. Mas Wanto ke sini kan?" tanya Nanda dengan suara serak. Meski Siska tidak terlalu menyukainya tapi tetap saja dia pernah menjadi bagian dari keluarga itu. Ada rasa kehilangan meski hanya secuil.Lelaki yang ada di seberang telepon itu terdengar gundah. Ada keraguan Ingin mengucapkan sesuatu."Mas Wanto lagi dirumah sakit, Jasmin sakit, Nan. Sudah seminggu ini di rumah sakit. Semua tindakan dan juga tes dijalani. Hari ini akan keluar hasilnya. Seandainya hasilnya bagus. Jasmin akan rawat jalan. Tapi kalau tidak bagus. Kemungkinan dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa di kota.""Separah itu, Mas?" Nanda terdengar mengkhawatirkan Jasmin."Kemarin dia berulah. Hampir saja Mas celaka. Tapi Alhamdulillah, ada tetangga yang datang menolong!""Astagfirullahaladzim, tapi kamu gak papa kan, Mas?" "Gak papa! Mas
##Bab 97Rumah sakit JiwaSemua orang yang ada di halaman rumah Nanda secara bersamaan menoleh ke arah mobil tersebut."Kasih?" ucap Partini terkejut melihat Kasih.Kasih berjalan menghampiri mereka. Satu persatu disalami dan saling berpelukan."Ada perlu apa kamu kesini, Nak Kasih?"" Gak ada apa-apa, Bu. Cuma mampir saja.""Ayo masuk!" pinta Partini langsung menggandeng Kasih.Partini meninggalkan Nanda dan juga Siska dihalaman rumah.Mereka saling melempar pandangan. Tatapan Siska kepada Nanda sulit diartikan. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu?"Pulanglah, daripada sakit hatimu!" pinta Nanda dengan nada biasa saja."Itukah calon istri Adi?" tanya Siska dengan ekspresi terkejut."Secepat itu Adi akan menikah lagi? Apakah aku tidak ada harga nya sama sekali?""Entahlah, kau pikirkan saja sendiri. Aku tidak ada waktu memikirkan hal itu!" Nanda pergi meninggalkan Siska.Kali ini Siska tak lagi berharga Dimata keluarga Adi. Apalagi Siska pergi dengan meninggalkan luka yang mendala
##Bab 96Permintaan maaf siska"Mas Wawan, sarapan dulu yuk! Udah aku siapkan di meja. Pagi ini aku masak spesial," pinta Nanda dengan nada manja. Wanita beranak satu itu pagi ini terlihat sangat ceria. Rumah yang berantakan abis kebakaran sudah direnovasi olehnya dengan kurun waktu yang lumayan singkat.Begitu banyak keberuntungan berpihak kepadanya. Meski tidak sedikit cobaan juga kerap singgah di hidupnya. Kini tinggal menata hati dan pikiran berfokus pada usahanya."Masak apa, Dek?" tanya Wawan yang menarik kursi plastik perlahan."Ayam goreng sama sup bakso kesukaan Hawa. Sini, Nak. Mangkoknya biar ibu kasih bakso yang banyak! Kamu suka?" Nanda melempar pandangannya ke arah anak semata wayangnya."Iya, Hawa suka. Bu," Hawa memanggil sang ibu yang masih sibuk dengan kegiatannya. Tatapannya kembali ia arahkan kepada Hawa."Apa, Sayang?" tanya Nanda dengan penuh kelembutan."Hawa pengen punya adik. Kayak Tasya, dia sekarang udah punya adik!" pinta Hawa yang membuat Ayahnya tersedak.
##BAB 95Jasmin sakit"Soal Jasmin. Mas bingung mau ngadepi Jasmin bagaimana? Sikapnya sangat berbeda, setiap kali Mas Vidio call. Dia itu baik. Tapi Mas dapet info dari para tetangga. Kalau Jasmin itu sering teriak-teriak sendiri. Kadang juga tertawa sendiri. Suatu hari pernah dia tertawa sambil menyebut nama kamu! Mas gak mau cerita sama kamu, takutnya ganggu kerja kamu!""Jangan-jangan Jasmin depresi, Mas?""Hust, ngawur kamu!""Lha kalau bukan depresi lalu apa? Gila?""Kita gak tau lho, Nan. Kalau nanti salah kan jadi fitnah! Nanti Mas cari tahu dulu. Bagaimana kehidupan Jasmin di kota. Takutnya dia tertekan saat jadi seorang istri, waktu itu!""Iya, Mas.""Ya sudah, kamu hati-hati ya! Jaga anak baik-baik. Salam buat suamimu." "Iya, Mas."Wanto akhirnya menutup sambungan teleponnya. Ada perasaan lega ketika Nanda bisa mengutarakan semua yang ada dihatinya. Dengan kedatangan Mas Wanto ke Klaten. Mungkin akan menemukan jalan keluar untuk masalah Jasmin.Nanda dan Wawan kemudian per
##BAB 94Hutang"Maafkan ibu ya, Sayang! Hawa ayo kita sekolah, Nak." Nanda menguatkan hatinya. Tak sepantasnya dia terkejut hingga tak terkendali. Bukankah selama ini dia mampu melewati? Banyak hal yang sudah dia lalui, dari kehilangan hingga fitnah bertebaran. Jika yang terdekat mencoba menyakiti itu hal yang lumrah. Setelah diingat dulu mereka pernah menggores luka yang sama."Kamu gak papa, Dek?" Wawan mencoba menanyakan kondisi Nanda saat ini."Gak papa, Mas. Sudah biasa. Aku percaya kita bisa melewati masa-masa ini, kita bicarakan nanti setelah mengantar Hawa." Nanda berjalan sembari menggendong tas milik anak semata wayangnya.Wawan menyusulnya ke jalan sembari menyalakan motor.Menghentikan lajunya lalu membiarkan Nanda dan juga Hawa naik perlahan.Dalam perjalanan yang cukup jauh. Tak pernah sepatah katapun Nanda ucapkan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya sampai di sekolah Hawa. Diciumnya tangan mereka dengan takzim oleh Hawa. Di peluk lalu pergi s
##Bab 93Pak lurah"Saya dari toko Mawar, Mbak Nanda!" jawab wanita yang ada di sebrang telepon."Toko mawar? Ada apa lagi? Saya gak ada utang lho," jawab Nanda penuh hati-hati. Sebab dia sudah kehilangan toko langganan itu dan jangan sampai dia meninggalkan nama yang jelek disana."Bukan itu, Bu. Tujuan saya menghubungi anda bahwa bapak ingin bertemu dengan anda, di toko.""Bapak? Pemilik Toko kain itu?" tanya Nanda sambil berpikir sejenak."Iya, Pak Broto namanya." Nanda mengangguk-anggukan kepalanya sembari melihat suaminya yang masih terjaga di sampingnya. Ternyata selingkuhan Siska selama ini Pak Broto namanya. Dalam hati Nanda berbicara. Yang dia tahu hanya seorang kakek tua yang menjadi selingkuhan Siska selama ini. Tidak pernah terlintas dipikirannya untuk sekedar mencari tahu siapa namanya. Karena dia menganggap itu hal yang sangat tidak penting bagi hidupnya.Nanda menutup telepon setelah selesai berbicara. Apa yang membuat Pak Broto ingin bertemu dengan Nanda? Apakah ini
Bab 92Kasih"Kasih?" Adi terkejut melihat mantan berkunjung dengan tiba-tiba. Tanpa memberi tahu terlebih dahulu.Senyumnya masih sama, manis dan juga cantik."Masuk, Tante." Nanda bersikap ramah. Mempersilahkan masuk tanpa melihat jika dia sudah mantan calon ipar.Kasih berjalan mendekat sedikit canggung. Di Salami nya satu persatu semua orang yang ada di ruangan itu.Semuanya kembali duduk ditempat masing-masing. Setelah tadi sempat berdiri ketika Kasih mendekat."Ada perlu apa kamu kesini?" tanya Adi yang mendadak penasaran."Cuma mampir, sudah lama tidak bertemu. Kamu apa kabar? Bapak, ibu sehat? Mbak Nanda dan keluarga sehat?" Kasih memandangi mereka satu persatu. Ada rasa rindu yang terlihat dari sorotan matanya.Entah alasan apa dulu mereka berpisah. Sampai sekarang Adi tidak pernah mengatakan sedikit pun alasannya. Sangat bijaksana dan tidak ingin Kasih meninggalkan nama yang buruk di mata keluarganya."Sehat, Nak. Kami semua alhamdulilah sehat. Tapi ya itu Mbak Nanda lagi da
BAB 91Harapan"Bu, kalau boleh tau nama ibu siapa?" tanya Nanda sampai lupa berkenalan."Saya ibu Siti Maryam. Kalian sendiri siapa? Darimana asalnya? Kok bisa sampai ke rumah ibu bagaimana ceritanya? Maaf, gara-gara tadi sampai saya belum sempat menanyakan tujuan kalian," ucap Bu Siti dengan lembut."Iya, Bu. Gak papa. Saya Nanda, Bu. Ini suami saya. Saya ke sini atas informasi dari Pak Lurah, Pak Adam.""Ow, nak Adam. Iya rumah sepupunya di ujung jalan. Ibu banyak dibantu olehnya."Nanda dan Wawan kemudian menjelaskan perihal kebakaran di rumahnya. Dan juga menjelaskan begitu banyak pesanan yang belum dikerjakan. Sedangkan Bu Siti mempunyai beberapa mesin jahit dan juga alat-alatnya lengkap. Meskipun mesin jahit sudah terlihat tidak baru lagi. Tapi fungsinya masih bagus. Karena dirawat Bu Siti dengan baik.Begitu bahagianya Bu Siti mendengar bahwa Nanda dan juga Wawan berniat meminjam mesin jahit dan juga peralatan lainnya untuk mengerjakan pesanan baju yang terlanjur di terima. B
BAB 90Bu siti"Siapa wanita itu, Pak?"Nanda menerka-nerka siapa wanita yang telah membayar orang untuk membakar rumahnya? Sungguh keterlaluan jika benar itu Siska. Tapi benarkah Siska?Semua karyawan Nanda berpamitan. Karena mereka bilang akan menghadiri acara lain. Padahal mereka sudah merencanakan akan pergi kerumah Nia. Akan membicarakan bagaimana membantu Nanda."Apakah itu Siska?" Nanda kembali bertanya karena sudah tidak sabar lagi mendengar jawaban dari pak lurah."Saya kurang tau, Nan. Yang penting dia seorang wanita. Menggunakan masker dan juga helm berwarna hitam. Dia juga menggunakan kacamata hitam. Ciri-ciri itu yang disampaikan pada saya,"Nanda dan juga Wawan membuang napas dengan kasar. Mereka sudah tidak tau harus bagaimana lagi.Kring …. Kring ...kring.Suara ponsel milik Nanda berbunyi. Dari nomor yang tidak dikenal. Nanda pun tak berniat mengangkatnya. Dia lagi tidak ingin berbicara apapun."Siapa, Nan? Kok gak diangkat?" tanya Ibu mertua yang sedang duduk bersam