Orang itu mengajak mereka ke belakang benteng. Di sana ada 3 orang prajurit Majapahit berdiri di dekat sumur dengan sikap siaga. Banyak Wungu dan pasukannya sempat terhenti langkahnya namun orang itu kemudian berkata"Tidak apa-apa, mereka juga orang-orang Gusti Kuti."Banyak Wungu menghembuskan nafas lega"Tidak apa-apa, mereka orang-orang kita."Ada sebuah sumur tua besar yang ditinggalkan karena air nya sudah kering. Ketiga prajurit itu segera menyingkir ketika melihat rombongan Banyak Wungu mendekati sumur."Cepat masuk ke sumur di dinding sumur itu ada pintu rahasia. Nanti ada lorong menuju ke pantai. Ini obor untuk kalian. Maaf, aku harus segera pergi agar mereka tidak.curiga," kata orang itu.Tanpa banyak bicara, Banyak Wungu menerima obor itu, kemudian melompat ke sumur bersama anak buahnya Ternyata sumur itu tidak terlalu dalam, airnya tampak sudah mengering. Dalam keremangan cahaya obor, terlihat di dinding sumur ada sebuah lubang."Ini pintu lorongnya, cepat masuk semua,"
"Jangan dulu, di sekitar tempat itu masih ada pemukiman penduduk. Belum semua penduduk bersedia mengungsi. Aku tak mau mereka jadi korban dalam peperangan. Kita akan menyerang mereka ketika kita sudah jauh dari desa!"Wirota dan pasukannya bergerak pergi meninggalkan tempat itu.Sementara itu Ra Kembar telah mengutus Lembu Peteng dan beberapa prajuritnya yang lain untuk mendahului pergi ke Sadeng memantau keadaan."Peteng, kau dan pasukanmu pergi duluan ke Sadeng memantau keadaan. Tetapi jika kalian sudah mencium bau laut, kalian harus berhati-hati. Di pantai Kamirahan ada markas pasukan rahasia Jaladi Sadeng. Kalian harus menyusup ke perkampungan dan mencari informasi kekuatan musuh. Nantinkita bertemu lagi di Kamirahan," perintah Ra Kembar.Lembu Peteng dan pasukannya segera berangkat menunaikan tugasnya. Sedangkan pasukan yang lain, sedikit demi sedikit akhirnya berhasil menyingkirkan hambatan yang merintangi jalan mereka. Tak ada senda gurau dan percakapan selama menyingkirkan beb
Bhiksu Padma membuang semua sayurannya ke tanah lalu merayap ke lokasi kejadian mengintip situasi di halaman asrama bhiksu dari sebuah gua kecil yang sengaja dibuat untuk tempat bersemedi para bhiksu. Terdengar suara salah satu prajurit Majapahit membentak kepala asrama"Sudah dipukuli sedari tadi masih saja tidak mengaku, dimana kalian sembunyikan pasukan Tigangjuru?!"Bhiksu kepala asrama itu menggeleng ketakutan sambil menahan sakit. Wajahnya sudah berdarah-darah, seorang prajurit memukul punggungnya sehingga bhiksu tua itu kembali tersungkur di tanah."Kami semua benar-benar tidak tahu, sungguh kami di sini hanya beribadah dan menjaga biara kami saja. Kami tidak menyembunyikan atau membantu mereka berperang."Pasukan Majapahit itu ternyata adalah pasukan Araraman di bawah pimpinan Lembu Peteng yang sudah jalan terlebih dahulu membuka jalan bagi pasukan Majapahit yang akan menuju Sadeng."Bohong! Lihat, murid-muridmu sudah tinggal segelintir saja. Apa aku harus membunuh mereka semu
Sementara itu Banyak Wungu yang sudah bersiap menyerang Lembu Peteng terkejut melihat seseorang telah mendahuluinya sebelum dia bergerak. Diapun terkejut ketika melihat siapa orang yang mendahului menyerang."Gusti Wirota, ternyata dia mengikuti kita,"bisik Banyak Wungu pada prajurit yang mendampinginya di tempat persembunyiannya.“Apakah kita bisa keluar sekarang membantu Gusti Wirota,” bisik prajuritnya.“Tidak, kita akan membereskan pasukan Majapahit di luar, kita akan menyergap mereka,” bisik Banyak Wungu sambil mengendap-endap keluar diikuti prajuritnya.******Wirota dan Lembu Peteng berdiri berhadapan, dia hanya mendengus melihat Lembu Peteng yang terkejut"Huuh, baguslah kalau kau masih ingat aku. Kalian pasukan Majapahit cuma bisa membuat kekacauan saja. Salah apa para bhiksu itu sehingga kalian membunuhi mereka?""Kami harus membunuh mereka, karena para bhiksu itu menyembunyikan pasukan Tigang Juru dalam biara! Mereka tidak bersedia menyerahkan jadi terpaksa kami membunuh me
"Ah, ternyata kau memang sudah pikun Kembar, bukankah kita pernah bersama-sama berjuang melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol bersama Prabu Wijaya?" Ra Kembar terkejut, nyalinya mulai menciut, perlahan tangannya bergerak melolos cambuk yang terikat di pinggangnya. "Kau...kau Wirota?" "Ha ha ha ha, baguslah kalau kau sudah mulai ingat, baiklah kurasa kau lebih berguna jika kujadikan sandera," Wirota berbicara sambil bergerak menyerang. Ra Kembar mundur selangkah sambil mengayunkan cambuknya menangkis serangan Wirota. Hampir saja pisau di ujung cambuk Ra Kembar mengenai wajah Wirota sehingga Wirota terpaksa kembali mundur menghindari sabetan cambuk. Ra Kembar tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, kembali cambuknya bergerak cepat menyerang Wirota. Sial, cambuknya membuatku kesulitan mendekatinya, batin Wirota. Dia hanya bisa berlompatan menghindari serangan cambuk Ra Kembar, sementara mata Ra Kembar terus tertuju pada pedang Nagabumi yang dipegang Wirota. Ra Kembar terus mencari kes
Adityawarman segera menenangkan sepupunya"Sabarlah dulu, Yunda baru saja tiba di Pajarakan, sebaiknya kita beristirahat dulu untuk makan siang dan menyusun strategi perang. Setelah itu kita bisa melanjutkan perjalanan lagi."Tribuana menghela nafas dengan kesal"Tapi bagaimana jika pasukan Araraman kita dihabisi oleh prajurit Tigangjuru? Baiklah kalau begitu, kita istirahat sebentar di sini, setelah itu kita kembali meneruskan perjalanan."Gajah Mada tampak memikirkan sesuatu, tak lama kemudian dia berdiri menghadap Sang Ratu"Gusti Ratu, biarkan saya dan pasukan saya saja yang melihat keadaan Pasukan Araraman kita di wilayah Tigangjuru, TetapiTribuana menggelengkan kepalanya"Tidak Mada, kau dan Kembar sedang berseteru, aku tidak akan membiarkan kalian bertemu bersama pasukan masing-masing. Bisa-bisa nanti kalian akan berperang sendiri dan ini akan memperparah keadaan kita."Seorang prajurit tiba-tiba datang menghadap"Gusti Ratu, Telik Sandi kita baru saja datang dari desa Taladwa
Ra Kembar tak mampu melakukan gerakan apapun. Seluruh kekuatan dan kesaktiannya hilang seketika setelah dia memakan makanan si nenek. Sekilas dia melirik terlihat salah satu pemuda itu sedang mengasah golok.Celaka, bukannya mati di medan perang secara terhormat tapi aku malah mati disantap pemakan manusia, batin Ra Kembar.Ra Kembar memejamkan mata, berpikir keras mencari cara agar bisa lepas dari cengkeraman keluarga kanibal itu.Tak lama kemudian pemuda yg membawa golok itu mendatangi Ra Kembar bersiap menyembelihnya. Ra Kembar mencari cara untuk mencegah pemuda itu menyembelihnya"Ki Sanak tunggu jangan bunuh aku. Aku punya penawaran menarik untukmu," cegah Ra Kembar.Pemuda itu hanya memandangnya dengan pandangan mengejek."Memangnya siapa kamu mau menawarkan sesuatu pada kami? Kamu punya uang berapa untuk menukar nyawamu?""Kamu tahu? Aku adalah Rakryan Tumenggung Ra Kembar. Pemimpin pasukan dari kesatuan Araraman Majapahit yang terkenal itu. Kalau kamu mau melepasku, kamu akan
Semua orang twrpaku melihat Lintri dan bayangan hitam itu. tak satupun dari mereka yang berani bersuara."Ampun Tuanku, hamba sudah mendapatkan tumbal itu. Tetapi orang-orang ini menghalangi langkahku," kata Lintri dengan gemetar."Aku tak peduli, ini sudah hari terakhir dan sampai saat ini kau masih belum juga menyiapkan tumbal. Jadi aku akan mengambil anak-anakmu sebagai penggantinya.Lintri tampak ketakutan dan panik. "Tolong jangan ambil anak-anakku. Beri aku waktu untuk menyediakan tumbal itu!""Kalau begitu kamu yang kujadikan tumbalnya!" seru bayangan hitam itu dengan marah.Lintri terkejut, namun belum sempat dia bergerak menghindar, bayangan hitam itu berkelebat. Lintri berteriak ngeri, jeritannya menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Setelah itu selarik cahaya keluar dari ubun-ubun Lintri. Tubuh Lintri langsung jatuh ke tanah dan bayangan hitam itu kembali menjadi bola api yang melesat pergi meninggalkan gelanggang.Kedua anak Lintri menjerit mendapari ibunya sudah tiad
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria