Dari jarak 2 meter, terlihat samar mata Nando yang bergetar. Ia sedikit menyesal dengan keputusannya sebab kompensasi yang Aghata minta pasti bukan suatu hal remeh. Orang lain pun bisa menebak raut wajah Nando yang sedang ragu. Meski begitu ia tetap memberikan kompensasi pada Aghata untuk menjaga martabatnya sebagai seorang pemimpin.
Nando tersenyum pahit sebelum mengatakan sesuatu. “Dilihat dari matamu ... sepertinya kamu tertarik dengan jabatan. Tapi tidak mungkin kamu menginginkan posisi CEO, ‘kan?” terka Nando terdengar ragu.
Aghata terbahak mendengar tawaran itu keluar dari mulut Nando sendiri, di mana anaknya, Anderson, lebih pantas menduduki posisi CEO. Tentu saja Aghata menginginkan posisi CEO, tapi ia belum membutuhkannya. Aghata berdehem sebelum melayangkan keinginannya.
“Aku tidak tertarik untuk menjadi CEO Alto Grup, tapi ada satu pos
Aghata mendekat ke arah Andi yang sedang menodongkan moncong pistol di pelipis pria itu, mempertegas sisi pistol yang Andi pegang. Dan ternyata pistol itu terlihat mirip seperti milik Aghata. Bahkan Andi memegang pistol itu tanpa terlihat keraguan yang terlukis di wajahnya. “Kenapa kamu lama sekali?” gerutu Andi terlihat kesal. Aghata terus memperhatikan pistol di tangan Andi sambil berkata, “Pistol itu seperti milikku? Sejak kapan kamu mempunyai pistol?” “Ini memang milikmu ... aku mengambilnya diam-diam saat ke kamarmu,” jawab Andi merasa bersalah. “Lalu apa yang ingin kamu lakukan padanya?” Andi melihat pria itu dan baru menyadari tindakannya yang terlihat sedang menodong pria itu. “Aku hanya ingin membantumu, Aghata. Lagipula dia hampir mel
Tulisan berwarna merah di dinding membuat Nando tak sadarkan diri di lantai. Suara pecahan vas kaca ke lantai terdengar sangat keras sampai seisi orang di rumah itu terbangun. Natalia dan Anderson sampai keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi. Begitu keduanya membuka pintu, Nando sudah tak sadarkan diri di lantai. Natalia berlari menghampiri Nando, memangku kepala Nando seraya berusaha membangunkannya. Anderson yang melihat Sang Ayah tiba-tiba pingsan langsung mengambil beberapa alat medis untuk membuat kesadaran Nando kembali. Beberapa pengawal yang ada di rumah itu berkumpul di ruang keluarga, mendapati Natalia dan Anderson yang sedang membangunkan Nando. Awalnya semua orang yang ada di dalam ruangan itu tidak sadar akan penyebab Nando pingsan. Tapi kemudian Natalia berteriak histeris melihat tulisan berwarna merah seperti darah di dinding. Teriakan Natalia membuat semua orang terpaku p
“Aku tidak menyesali hal apa pun sampai saat ini.” Tak terlihat rasa bersalah di wajah Nando saat menjawab pertanyaan Aghata. Hal itu membuat Aghata terkejut sampai tak tahu harus berekspresi seperti apa? Pada akhirnya Aghata hanya memasang raut wajah datar yang terlihat di mata Nando, sementara menurut pandangan Glen, raut wajah Aghata terlihat sangat mengerikan. Perlahan sudut bibir Aghata mulai timbul. Ia menyeringai, menampakkan sebagian gigi berwarna putih. Pupil mata Aghata menatap tajam mata Nando. “Kalau begitu aku juga tidak akan menyesali perbuatanku selama ini ... Anda terlihat sangat keren saat berkata, ‘Aku tidak menyesali hal apa pun sampai saat ini’. Karena itu ... aku akan menjadikan Anda sebagai panutan untuk segala perbuatanku ... dan mulai saat ini, tak ada yang perlu aku sesali.” Nando terbahak! Seolah Aghata menganggap dirinya memang panutan y
Sebuah kotak berwarna hitam polos yang tampak misterius dikirim untuk Aghata. Tak ada nama pengirim di kotak itu, apalagi inisial si pengirim paket. Clarista tahu mengenai Aghata yang mendapat paket misterius, ia terperanjat dari tempatnya penasaran dengan Aghata yang sedang membuka kotak itu. Namun, setelah kotak berwarna hitam polos itu dibuka, terdapat kotak lagi berukuran kecil. Aghata dan Clarista semakin dibuat bingung dengan paket yang Aghata dapat. Begitu Aghata membuka kotak berukuran kecil itu, mata Clarista langsung membelalak. Terdapat kertas di mana berisi sebuah foto Aghata yang dicoret dengan noda berwarna merah. Aghata mungkin memang terkejut, tapi tidak terlalu terkejut seperti Clarista, tercengang sampai tak bisa berkata-kata. Sontak Aghata membalik sisi belakang foto tersebut. Ada sebuah tulisan yang tertera dengan tinta merah di belakang foto Aghata.
Dalam kurun waktu tiga tahun, kebersamaan seperti keluarga yang tinggal serumah membuat Andi melihat Aghata sebagai seorang wanita. Berawal dari kekhawatiran, rasa ingin melindungi, dan kenyamanan. Awalnya Andi tak menyadari perasaannya terhadap Aghata, tapi setelah Aghata menekankan bahwa Andi terlalu berlebihan dalam keputusan Aghata, dia baru sadar ada secuil rasa yang timbul seperti benih di lubuk hatinya. Andi berusaha keras menyangkal perasaannya agar tak melewati batas. Tapi sayang sekali! Dia tak memampu membendung perasaannya. Sampai akhirnya dia mengatakan semuanya pada waktu yang tidak tepat. Di hadapan Andi, entah mengapa Aghata tak bisa berkata-kata. Pikirannya menjadi tak karuan sampai memilih untuk diam. Dia juga tak tahu harus menjawab perkataan Andi seperti apa. Nada yang terdengar bukan seperti meminta jawaban, tidak juga meminta pengakuan dari perasaan Aghata sekarang, tapi hanya sekedar ungkapan.
Kaki terus melangkah dengan lunglai, sedangkan otak terus bekerja memikirkan sesuatu dengan keras. Sejak meninggalkan rumah duka, Aghata berjalan tanpa arah dengan tatapan kosong. Bagaikan air sungai yang terus mengalir meski ada bebatuan menghadang. Selama ini Aghata seperti berada dalam dunia yang hanya ada warna hitam dan putih. Tak ada kesan yang berwarna baginya. Namun, ada beberapa orang menghampiri mempunyai warna tersendiri. Sama seperti anak 10 tahun di rumah duka. Baru kali ini ada yang bertanya pada Aghata. Tidak! Baru kali ini ada yang berani mendekat ke arah Aghata lebih dulu. Anak itu dengan polos dan berani menanyakan Aghata, apa tujuan hidupnya? Dan pertanyaan itu kini terus terngiang di kepalanya. Sudah lebih dari 5 tahun, Aghata mencoba bangkit dari keterpurukan. Melawan trauma yang mengikat dirinya. Berusaha menjadi wanita tangguh. Tapi apa arti itu s
Pagi hari buta, Glen sudah duduk di sofa dalam apartemen Aghata, disajikan secangkir kopi hangat. Entah apa yang Aghata butuhkan sampai memanggil Glen, padahal seharusnya Glen masih berada di dalam alam bawah sadar. Tentu saja Glen merasa kesal, wajahnya ditekuk sedari tadi, melihat Aghata dengan sinis. Namun, sudah lebih dari 1 jam Aghata tidak mengatakan sepatah kata pun. Glen mulai merasa bosan hanya duduk diam. “Cepatlah katakan sesuatu! Tidak mungkin kamu memanggilku hanya karena iseng?” Glen akhirnya angkat suara. Aghata berkata, “Aku yakin kamu sudah dengar kabarnya. Wanita di unit sebelah meninggal karena ditikam orang tak dikenal. Saksi mengaku kalau melihat pelakunya memakai jubah dengan tudung yang menutupi wajah, tapi ... aku penasaran dengan hal lain.” “Kamu penasaran dengan apa?”
Saat itu Aghata berharap mendapatkan jawaban ‘Iya’. Namun, pria itu menolak bahwa dia tak mengenal Mimi Yudistira. Bahkan terlihat jelas kejujuran dari mata pria itu. Artinya, bukan pria itu pelaku yang membunuh ibunya. Sebab pria itu malah meronta-ronta ingin membalas perlakuan Aghata. Dia mengoceh omong kosong sampai membuat gendang telinga Aghata terasa sakit. Aghata merasa kesal. Kakinya langsung menekan batang leher pria itu, membuatnya berhenti bicara sampai kesulitan bernapas. “Berisik!” ketus Aghata. Memang sejak melihat jelas wajah pria itu, Aghata merasa sama sekali tidak mengenalnya. Pria itu mungkin tidak ada kaitannya dengan kematian Mimi, juga dengan Alto Grup. Pembunuh tidak akan melakukan hal ceroboh yang membuat dirinya dikenali banyak orang. Sayang sekali, malam itu Aghata tidak mendapatkan sesuatu yang berkait
Hello everyone ... Setelah 4 bulan aku males-malesan dan sakit selama seminggu, akhirnya cerita KILLER MASK selesai ... horeee >< Aku selaku penulis cerita KILLER MASK mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembaca dan yang udah support ceritaku sampai selesai. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan maupun typo dalam cerita. Aku harap kalian bisa ikut terbawa dalam suasana dalam cerita, tapi kekerasan di dalam cerita tidak untuk dicontoh yaaa ... Dan buat yang belum selesai baca silahkan dilanjutkan, ga baik baca setengah-setengah apalagi buat perawan, nanti dapet suami yang brewokan loh ... tapi kalo dapet sugar daddy lain cerita yaa bund wkwkwk Pantau terus akunku yaa, siapa tahu bakal ada cerita baru :) Salam, Degitarius.
Terdengar ledakan dari dalam bangunan tempat Clarista disekap. Ledakan itu menyemburkan bara api dari atap. Perlahan Si Jago Merah melahap seisi bangunan itu hingga luar. Kris dan pengawalnya terkejut melihat api sudah menyala besar, begitu juga dengan Andi. Dia masih tercengang sampai kayu penyanggah atap di luar mulai roboh. “Aghata!” gumam Andi yang hampir melupakannya di dalam sana. Andi berlari menuju kobaran api yang semakin besar, namun Kris dengan cepat menahan Andi. Baru tersadar mengapa Aghata menyuruh Andi meminta semua orang menjauh dari bangunan itu, ternyata Aghata berniat meledakkan bangunan itu. Lalu bagaimana dengan Aghata sendiri? Apakah dia masih terjebak di dalam? Andi tak bisa hanya berdiam diri. Dia terus meronta agar bisa lepas dari cengkeraman Kris. Tapi tak lama ada bayangan seseorang keluar dari asap tebal yang menutupi bangunan itu. Soro
Seperti sedang deja vu. Seorang pria dengan pakaian tertutup berdiri di depan pandangan Aghata, sementara Glen memeluknya sampai terasa cengkeraman baju yang kuat. Terbesit satu ingatan di kepala Aghata, yaitu saat Andi memeluknya untuk menjadi perisai ketika Aghata ingin ditikam. Posisi yang hampir sama tapi dengan orang yang berbeda terjadi saat ini. Aghata masih tercengang melihat pria di depannya dengan jarak yang hanya satu setengah meter. Dia tersadar akan pria itu yang semakin mundur. Matanya melirik ke bawah dengan ragu, melekat di tangan pria itu sebuah pisau yang sudah berlumuran darah. “Ahk!” rintih Glen tiba-tiba. Aghata tersentak. Tangannya perlahan meraba punggung Glen. Basah dan likat. Mata Aghata terbelalak melihat simbah darah di tangannya. Firasat Aghata berkata benar, bahwa Glen mengorbankan dirinya agar pisau itu tidak mengenainya. Tubuh
Terdapat bangunan yang hanya ada 4 petak ruangan, berdiri tegak nan jauh dari kota atau bangunan lain. Bangunan itu terletak di bukit yang tak jauh dari pelabuhan, namun tak banyak yang tahu keberadaan bangunan itu, pemiliknya adalah Kris. Sekitar 10 orang tengah berjaga mengelilingi bangunan itu, mereka adalah anak buah Kris. Di salah satu ruangan, Clarista duduk di kursi dengan tangan dan kaki terlilit tali. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendongakkan kepala. Dia menatap nanar ruangan yang asing baginya. Mata Clarista memindai ruangan itu, terdapat tumpukan kotak yang biasa digunakan untuk menyimpan ikan. Kotak itu menimbulkan bau amis yang membuat kening Clarista mengernyit. Terdengar samar di telinga, seseorang berjalan dari arah belakang. Merambah bahu Clarista seraya terus berjalan ke depan. Kukunya yang panjang sedikit menancap di bahu Clarista. Clarista mendongak sedikit mengekor punggung seo
Desing peluru terdengar sampai penjuru halaman rumah Nando. Seisi rumah Nando menjadi heboh akibat suara tembakan berasal dari ruang kerja Nando, begitu juga Anderson yang membelalakkan matanya. Dia teringat dengan Nando yang tidak menghabiskan makanannya dan langsung pamit untuk pergi ke ruang kerja. Begitu juga dengan Sang Ibu, Natalia, yang berkata ingin mengambil barang di ruangan Nando. Firasat buruk datang menghantui. Anderson cepat berlari menuju ruang kerja Nando. Namun dia malah bergeming di simpang tiga, yang ke arah kanan menuju ruangan Nando. Dia berhadapan dengan Aghata yang sama-sama terkejut. Anderson melihat ke sisi kanan, mendapati Natalia sedang menodongkan revolver. Dia tak percaya orang yang berada tepat di depan Natalia adalah Nando. Cairan berwarna merah pekat mengalir deras melalui dada Nando. Tangannya bersimbah darah menahan plasma merah yang pecah di dada. Namun akhirnya dia tu
Sebuah kebenaran yang sangat mengejutkan. Belum sempat menenangkan diri setelah melihat jubah hitam dan masker yang bersimbah darah kering, Aghata kembali dikejutkan dengan berkas warisan di tangan. Dalam berkas itu tertulis perusahaan Alto Grup murni milik Bramasta, ayah kandung Mimi Yudistira. Ketentuan warisan sendiri akan diberikan secara turun temurun. Jika ada keturunan yang masih hidup maka dia berhak mendapatkan warisan. Itu artinya Aghata mempunyai hak untuk mendapatkan warisan itu. Dia langsung memasukkan berkas itu ke dalam koper dan mengambil jubah serta masker tanpa membawa kotaknya. Aghata kembali merapihkan kamar Nando yang sedikit berantakan karena ulahnya. Lalu segera keluar dari ruang kerja Nando. Aghata pergi ke kamarnya menaruh berkas, jubah, dan masker di dalam sebuah kotak yang berisi barang bukti. Kotak itu akan digunakan untuk mengembalikan semua yang seharusnya menjadi miliknya.
Clarista berdiri dan mengusap kepala Aghata seraya tersenyum. “Nanti akan saya jelaskan di sana,” ucapnya. Dia keluar memberi waktu Aghata untuk berkemas. Aghata kembali menurut dan cepat mengemasi barang-barangnya. Dia membawa koper besar menghampiri Clarista yang sudah menunggu di depan mobil. Mereka langsung bergegas menuju bandara. Setelah tiba di bandara, Clarista mengantar Aghata hingga loker pemesanan tiket. Dia memastikan barang bawaan Aghata sudah terbawa semua. Sedangkan Aghata celingukan seperti orang bodoh yang memakai masker dan topi. “Kenapa kita ke sini? Apa kita sedang menunggu orang? Atau kita akan pergi ke suatu tempat?” tanya Aghata. “Bukan kita, tapi hanya Nona,” jawab Clarista. “Aku?” Menunjuk diri sendiri. “Kenapa aku harus pergi?” tanya Aghata.
Kediaman pemimpin Alto Grup, 25 November 2016. Satu tahun setelah pernikahan Sang Ibu dengan pria dari keluarga terpandang, Nando Setyoko. Kala itu usia Aghata menginjak 15 tahun. Dia keluar kamar untuk mencari Sang Ibu tercinta. Sudah seharian dia tidak melihat batang hidung ibunya. Dicarilah Sang Ibu ke seluruh ruangan di dalam rumah, tapi tidak menemukannya. Sampai akhirnya mencari ke halaman depan rumah. Namun masih belum menemukannya. Aghata malah melihat seorang pria mengenakan jas hitam keluar dari mobil. Bibirnya mengulas senyum dan berlari menghampiri pria itu yang disebut sebagai Ayah. Matanya berbinar menatap lekat sosok Ayah di hadapannya. “Ayah habis dari mana?” tanya Aghata. “Bertemu dengan teman bisnis,” sahut Nando. “Oh, tapi ... kenapa wajah Ayah terlihat s
“Ini surat undangan pernikahan untuk Anda,” kata Aghata. Nando terkejut dan langsung merampas kertas di tangan Aghata. Dia membaca isi surat itu dan benar bahwa surat itu adalah undangan pernikahan. Teman bisnisnya yang tinggal di Kota C mengundang Nando untuk datang ke pernikahan putrinya. Acara akan diadakan besok sore di Kota C. Mau tidak mau Nando harus datang. Sia-sia Nando gelisah dengan isi surat itu. Dia pikir surat itu akan berisi ancaman dari si pelaku teror. Bahkan untuk menghela napas pun tidak merasa tenang. Sementara Aghata bisa melihat wajah Nando yang menegang sebelum tahu isi surat itu. “Apa Anda baik-baik saja? Anda terlihat pucat,” tanya Aghata. “Tidak apa-apa. Apa kau akan ikut ke pesta pernikahan rekan bisnisku?” tawar Nando. “Tidak perlu. B