Aku spontan meremas khimar di dada mendengar Alex menyebut namaku lirih.
Permintaan? Mungkinkah Alex akan meminta ....
"Kenapa dengan Tante?"
"Pah ... aku mau Tante ...."
Tidak!
Aku tidak sanggup mendengarkan lebih banyak lagi. Ini terlalu menyakitkan. Tanpa harus mendengar pun, aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. Aku akan semakin hancur lebur jika ternyata jawaban Mas William adalah setuju. Ditambah lagi kondisi Alex dan keluarga yang mendukung, pasti dia tidak akan berkutik dan tidak sanggup menolaknya.
Sesampainya di sana, aku basa-basi sebentar dengan Papa Mama. Bersikap tenang dan biasa saja seolah tak pernah mendengar hal menyakitkan tadi. Tak lama kemudian, Papa dan Mama pamit pulang. Sementara, Indira sendiri sedang pergi untuk mengambil pakaian ganti di rumahnya.Mas William pamit menemui dokter. Menyisakan hanya aku dan Alex yang saling menatap canggung. Perlahan, aku mendekat, lalu duduk di kursi samping brankar."Tante senang kamu sudah siuman, Lex," ujarku memecah keheningan.Alex diam dengan tatapan lurus memandang langit-langit ruangan ini."Tante akan selalu berdoa untuk ke
Dengan lesu, kaki ini terus melangkah ke dalam rumah. Rasanya ingin sekali bisa memutar ulang waktu supaya aku tak pernah menikahinya. Jika tahu akan serumit dan berakhir dengan diduakan lagi, lebih baik aku menghabiskan sisa hidup seorang diri."Bu." Bi Surti menyambutku di pintu."Tolong buatkan teh hangat, ya, Bi. Antar ke kamar."Bi Surti mengangguk."Ibu sakit? Ibu kelihatan lesu. Apa Bapak enggak antar Ibu ke sini?" tanyanya dengan raut wajah khawatir."Aku enggak apa-apa, Bi. Memang aku yang minta pulang sendiri. Aku tunggu tehnya di kamar, ya.""Iya, Bu."Kuayunkan kaki menaiki tangga sambil berkali-kali menarik napas panjang. Sesak ini tidak bisa hilang. Seperti ada bongkahan batu yang menekan dada.Aku merangkak naik ke kasur, lalu duduk bersandar kepala ranjang seraya mengusap-usap perut."Kamu setuju dengan keputusan Mama ini 'kan, Nak? Kamu ... akan mendukung apa pun yang membuat hati Mama lega dan tenang, kan?"Aku terisak sambil tersenyum ketika merasakan pergerakan di
Maaf atas keputusan sepihak ini Mas. Tapi aku sungguh tidak sanggup jika keputusanmu itu ternyata memilih menduakanku dengan Indira. Sebelum itu terjadi, lebih baik aku yang mundur dan pergi dari kehidupan kalian.Izinkan aku menenangkan diri untuk sementara waktu. Batin dan fisik ini sudah terlalu lelah. Aku janji akan kembali dan segera menyelesaikan perceraian kita setelah hati dan mentalku siap menerima kenyataan."Jalan, Pak!" titahku setelah naik ke mobil."Mau diantar ke alamat mana Bu?""Stasiun, Pak."Sejauh a
Setelah menempuh waktu hampir dua belas jam, akhirnya kereta pun berhenti di stasiun tujuan akhir. Aku sudah tak tahan lagi menahan sakitnya kontraksi ini hingga rasanya tak kuat untuk berjalan. Dengan kepanikannya, Alia berteriak-teriak meminta pertolongan.Suasana di stasiun menjadi cukup heboh dan riuh setelah mengatahui ada wanita yang mau melahirkan. Alia bahkan semakin panik dan terus meracau ketika melihat air ketuban mulai merembes keluar. Untung saja, dengan sigap petugas-petugas di stasiun ini menolong dan segera membawaku ke rumah sakit terdekat.Tak bisa kugambarkan bagaimana rasanya melahirkan di tempat asing tanpa ada satu pun orang yang kita kenal. Namun, aku harus tetap berjuang dan semangat demi lahirnya buah cintaku dengan Mas William.Setelah perjuangan yang melelahkan dan menegangkan, air mataku tak lagi terbendung ketika mendengar tangisan bayi memenuhi ruangan VK ini. Tangis bahagia ber
~POV William~🌺🌺🌺Percakapan dengan Indira, Mama dan Papa cukup memancing emosi. Sudah kutegaskan kalau hal itu tidak bisa dilakukan, tapi mereka tetap saja bersikeras agar aku rujuk dengan Indira dan menjadikannya istri kedua.Konyol, bukan?Memang poligami tidak dilarang, tapi bukan berarti semua laki-laki memiliki pikiran ke arah sana dan sanggup menjalaninya. Terdengar mudah dan sepele, tapi sesungguhnya itu hal yang sangat sulit. Lusi pernah mengalami kegagalan rumah tangga karena Leon menduakannya.Bagaimana mungkin aku bisa mengulang kejadian pahit yang akan sangat menyakitinya? Setega itukah? Jelas tidak. Aku takut jika memiliki anak perempuan nanti, dia akan mengalami hal yang sama seperti mamanya. Aku tidak rela.Untung saja Lusi tidak pergi bersamaku ke ruang perawatan Alex. Dengan dia pergi ke toilet dulu tadi sudah berhasil menyelamatkan kami dari kesalahpahaman. Dia tak perlu mendengarkan percakapan tak penting yang hanya akan membuat hatinya terluka.Sudah cukup bany
Kutepikan mobil di depan kedai bakso favorit Lusi dan memesan dua bungkus."Dia pasti senang sekali aku bawakan bakso ini." Aku tersenyum puas, lalu naik ke mobil lagi dan melanjutkan perjalanan.Setelah mobil terparkir sempurna di halaman, bergegas aku turun dan melangkah lebar ke dalam rumah. Tak sabar ingin melihat ekspresi Lusi ketika melihatku datang dengan membawa makanan kesukaannya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Dengan tergopoh-gopoh Bi surti menghampiriku dari arah dapur."Lusinya mana, Bi? Lagi tidur, ya?" tanyaku seraya berjalan menuju ruang keluarga."Lho, maksud Bapak bagaimana?" Bi Surti yang kini berjalan di belakangku malah bertanya balik."Bagaimana apanya, Bi?"&nb
"Assalamu'alaikum!" seruku dari luar gerbang.Ridho muncul dari dalam rumah. Dia berjalan mendekat sembari melempar senyum ramahnya."William. Baru rencananya siang ini kami mau jenguk Alex ke rumah sakit. Apa kabar?" tanyanya seraya membukakan gerbang."Alhamdulillah aku baik. Gimana kabarmu, anak dan istri?""Alhamdulillah, kami baik juga. Ayo masuk!""Enggak, Do. Enggak usah. Aku ke sini hanya mau cari Lusi saja, kok. Dia di sini, kan?""Lusi?" Ridho malah tampak bingung mendengar pertanyaan dariku ini. "Enggak ada Lusi di sini, Wil.""Ah, yang benar, Do," kataku tak percaya."Serius. Lusi terakhir ke sini itu seminggu yang lalu.""Boleh bertemu istrimu sebentar enggak? Tolong panggilkan," pintaku dengan perasaan khawatir dan takut yang mulai kembali hadir menyelimuti.Ridho mengangguk, lalu pergi dan kembali ke sini bersama Nanny yang menggendong bayinya."Ada apa, ya, Mas?""Lusi beneran enggak ada ke sini, ya?"Nanny menggeleng. "Kenapa memangnya Lusi, Mas?""Dia enggak ada kaba
Aku diam dengan mata yang mulai terasa menghangat. Memikirkan Lusi yang entah ada di mana dalam keadaan hamil besar begitu, membuat diri ini tak mampu lagi menahan air mata.Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya dan calon anak kami?Ya Allah ...."William?""Alex baik-baik saja, Pah," jawabku dengan suara lirih."Terus, kenapa kamu? Lemas begitu jawabnya."Air mata kembali menetes dalam diam hingga membuat Papa lagi-lagi memanggil dengan sedikit keras.'Ada masalah? Cepat cerita," desaknya."Lusi, Pah.""Kenapa dengan Lusi? Sakit?"Aku refleks menggeleng walau Papa tidak mungkin melihatnya. "Lusi pergi, Pah. Lusi enggak ada di rumah.""Pergi? Pergi bagaimana maksudmu?""Tahu-tahu waktu aku pulang dari