Aku masih berada di kamar menyusui Alva. Buah cintaku bersama Bang Leon yang sama sekali dia tak ingat bagaimana perjuangan kami agar Alva terlahir selamat ke dunia ini. Begitu pentingnya istri baru itu sampai-sampai setiap perkataannya seolah tak peduli sedikit pun dengan perasaanku.
Bukankah aku Lusi? Wanita yang tegar dan kuat meski dikhianati?
Namun, bulir bening yang susah payah ditahan ini masih tetap luruh juga. Aku tak pernah terpikirkan jika pernikahan kami akan mengalami ujian seberat ini. Tak pernah menyangka akan hadir sosok wanita lain di rumah tangga kami. Hati ini sakit membayangkan bayi yang tidak berdosa ini sebentar lagi akan mendapatkan kasih sayang yang pincang.
Aku merasa begitu jahat, tapi ini juga demi kesehatan mental. Diriku bukanlah wanita super sabar di luaran sana yang rela membagi cinta dan keringat suaminya. Aku hanya ingin tetap waras supaya bisa membesarkan Alva tanpa derita dan luka. Tidak ingin lumpuh karena luka itu hingga akhirnya mati perlahan.
Kuusap kepala Alva yang tengah menatapku dengan mata beningnya. Aku tersenyum saat tangan mungil itu berpindah dari menepuk-nepuk dada ke pipi. Seolah tengah menghapus air mata mamanya yang dengan tidak tahu malu tidak mau berhenti menetes.
Aku memang memainkan sandiwara dengan baik dan berpura-pura kuat dan tegar. Padahal, di dalam dada ada luka yang menganga lebar. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Jatuh bangun kami memupuk cinta agar tetap bersemi indah. Akan tetapi, cinta kami mendadak layu dan seketika mati karena bunga baru yang dibawa sang kumbang.
Kuhela napas panjang demi mengurai sesak di dada. Menangis itu hal manusiawi. Baik wanita ataupun laki-laki, ada masanya dia akan menitikkan air mata. Terkadang air mata bisa menjadi obat saat luka yang ditorehkan tak mampu diobati dengan kata. Menangis tak boleh berlebihan dan berlarut-larut. Cukuplah sekadar menjadi salah satu cara untuk mengurangi sakit yang menyiksa.
Levi Alvaro Pradipta.
Kamulah kekuatan mama, Sayang. Bantu Mama melewati fase tersulit ini. Berikan mama kekuatan dengan senyum dan tawa ceriamu.
"Sudah kenyang?" tanyaku saat Alva melepaskan mulutnya.
Dia tersenyum sembari menepuk-nepuk pipi ini. Kuangkat tubuhnya ke atas dada sembari menciuminya dengan gemas hingga Alva terkekeh geli. Canda tawa kami berhenti ketika mendengar seseorang membuka pintu.
"Kenapa, Bang?" tanyaku sembari memposisikan diri duduk.
"Aku mau berangkat kerja dulu," jawabnya sembari berjalan menghampiri kami.
Alva turun dari pangkuan. Merangkak ke tepi ranjang sambil tertawa lucu yang langsung disambut Bang Leon dengan menggendongnya.
"Anak papa yang tampan ini wangi sekali," ucapnya sembari menciumi wajah Alva yang sedang tersenyum senang.
Aku membuang muka dengan napas tercekat di tenggorokan. Melihat interaksi keduanya hanya semakin membuat hati ini berdesir perih. Aku tidak ingin menjadi lemah karenanya.
"Baik-baik di rumah, ya, sama Mama. Jangan nakal! Papa kerja dulu."
Aku baru menoleh ketika merasakan sentuhan tangan mungil Alva di kaki. Dia kembali merangkak mendekatiku dan naik ke pangkuan, lalu meniup-niupkan udara hingga bibirnya bergetar.
"Aku berangkat dulu." Bang Leon mengulurkan tangan.
Kusambut tangan itu dan menciumnya takzim meski hati enggan. Kontak mata kami sempat bertemu. Sebelum akhirnya, aku memutus lebih dulu dengan menunduk. Kuangkat kembali kepala dan menatap punggungnya yang perlahan menjauh.
Langkah Bang Leon tiba-tiba berhenti, lalu berbalik menatapku.
"Jangan mementingkan ego sendiri, Dek! Pikirkan kebahagiaan Alva dan masa depannya. Apa kamu tega membuat dia kehilangan sosok papa?" tanyanya lembut.
"Abang tenang saja. Aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk masa depannya. Kupastikan dia akan bahagia meski tanpa sosok papa."
Kami saling menatap dalam diam. Tak berselang lama, panggilan Mira dari lantai bawah menyentak kami berdua hingga spontan saling membuang muka.
"Bang," panggilku sesaat sebelum sosoknya benar-benar pergi. "Aku izin keluar."
"Mau ke mana?"
"Ke rumah Nanny."
Bang Leon terdiam sejenak, tapi tak lama kemudian dia mengangguk.
"Jangan lama, ya."
Aku mengangguk dengan seulas senyum tipis. Mengembuskan napas perlahan ketika sosoknya telah menghilang sempurna di balik pintu.
🌸🌸🌸
Kupesan sebuah taksi online menuju rumah Nanny. Jaraknya sekitar setengah jam jika jalanan lancar. Wanita yang tengah berbadan dua itu tersenyum lebar, dan melambaikan tangannya saat melihatku turun dari taksi. Dengan langkah lebar dia mendekat, lalu memelukku.
"Kangen, Lus," ucapnya manja.
Dari dulu dia memang tak pernah berubah. Sikap manja dan terkadang lucu itu membuatku merasa seperti punya adik. Padahal, usiaku hanya terpaut satu tahun di atasnya.
"Sama. Aku juga kangen."
Nanny mengurai pelukan, tersenyum pada Alva, lalu mencium kedua pipinya gemas.
"Keponakan tante ganteng banget, sih. Jadi gemes, gemes, gemes," cicitnya sembari mencubit pelan pipi Alva.
"Sudah berangkat kerja suamimu?"
"Sudah, Lus. Sudah dari tadi. Ayo masuk!"
Nanny adalah temanku semasa kerja dulu di sebuah perusahaan. Kini, dia sudah sama-sama berhenti bekerja dan fokus menjadi ibu rumah tangga.
"Mau minum apa?"
"Enggak usah repot-repot. Aku ke sini hanya mau menenangkan pikiran sebentar. Setelah ini mau pergi lagi, kok."
"Mana ada repot? Duduk, Lus! Aku ambil minum dulu," titahnya, lalu pergi menuju dapur dan kembali dengan segelas jus mangga di tangan. "Diminum dulu." Nanny meletakkan minuman itu di meja, kemudian mengambil Alva dariku dan mendudukkannya di pangkuan.
"Makasih, ya. Jadi segar habis minum ini," ucapku, lalu meletakkan kembali gelas di meja. "Aku enggak lama di sini."
"Mau pergi ke mana memangnya? Baru juga datang."
"Mau ke konter. Hapeku RAM-nya kecil. Enggak kuat update aplikasi. Sekalian mau ngurusin berkas-berkas perceraian."
"Aku antar saja, yuk!" usulnya dengan semangat.
"Enggak usah. Kamu istirahat saja di rumah," tolakku dengan senyum ramah. "Kapan HPL-nya?" tanyaku sembari mengusap perut Nanny.
"Akhir bulan ini. Doakan semoga lancar, ya, Lus. Semoga aku dan bayinya selamat. Aku enggak sabar mau punya anak yang gemesin kayak Alva ini," terangnya sembari menciumi kepala Alva yang tengah mengemil biskuit pemberiannya.
"Aamiin."
"Kamu baik-baik aja, kan?" Nanny menelisik wajahku dengan ekspresi khawatirnya.
Aku tersenyum. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir!"
"Kamu hebat, Lusi. Kamu tetap kuat dan tegar menerima kenyataan pahit itu. Kalau aku jadi kamu, entah aku sanggup atau enggak. Mungkin saja aku sudah ngamuk dan stres. Kamu tahu sendiri, kan? Aku ini panikan dan gampang nangis."
"InsyaAllah kamu enggak akan mengalami kejadian kayak aku. Aku doakan semoga rumah tanggamu selalu langgeng dan harmonis sampai akhir hayat."
"Aamiin," sahutnya cepat seraya mengusap wajah. "Apa yang akan kamu lakukan sama Leon?"
Aku menghela napas berat. "Aku tetap akan minta cerai. Entah itu aku yang menggugat atau Bang Leon. Aku juga akan tetap memperjuangkan hakku atas rumah itu. Aku enggak akan pergi sebelum hak itu kudapatkan."
"Bagus! Jangan mau kalah dengan mereka! Keenakan si valak itu kalau kamu pergi dan menyerah begitu saja. Bisa-bisa dia yang nanti menguasai rumah itu. Amankan saja sertifikatnya dari sekarang. Takutnya Leon berhasil dihasut. Tahu-tahu nanti sertifikat diambil diam-diam, terus diubah namanya jadi milik si valak. Kan, repot," ujarnya panjang lebar.
"Tenang saja. Aku sudah amankan sertifikatnya, kok."
"Syukurlah. Ini baru sahabatku." Nanny tersenyum lega sembari merangkul bahuku. "Kalau butuh bantuan apa-apa, jangan sungkan, ya, Lus. Aku dan Mas Ridho pasti siap bantu kamu."
Aku mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih."
🌸🌸🌸
Usai membeli ponsel dan memfotokopi berkas-berkas yang diperlukan tadi, aku malah kembali ke rumah Nanny. Kami berbincang sekalian menemaninya dulu sebelum Ridho pulang. Malas juga kalau harus berdua saja dengan istri baru Bang Leon yang hari ini libur kerja.
Menjelang asar aku baru pulang. Mobil Bang Leon sudah terparkir di halaman ketika taksi yang kutumpangi tiba. Tidak biasa-biasanya dia pulang cepat. Biasanya, Bang Leon baru sampai di rumah sekitar pukul lima atau setengah enam sore.
Langkah ini terhenti di teras, ketika mendengar tawa renyah keduanya yang disusul rengekan manja dari Mira.
Bahagia sekali kamu, Bang. Benar-benar sudah lupa denganku dan Alva.
"Abang janji enggak akan bohong lagi, kan? Pokoknya Abang harus secepatnya penuhin permintaanku hari ini juga." Mira berkata dengan nada merengek manja.
"Iya, aku janji. Nanti pas Lusi pulang, aku akan langsung bilang sama dia. Tapi nanti malam jangan disuruh puasa lagi, ya. Pusing kepalaku kalau harus puasa terus."
"Siapa suruh Abang enggak mau nurutin mauku. Lagian, kan ada Mbak Lusi. Bukannya Abang masih cinta? Kenapa enggak minta jatah sama dia?"
"Aku enggak enaklah, Sayang. Lusi masih syok karena pernikahan kita. Masa iya aku masih harus nuntut nafkah batin juga?"
"Awas saja! Pokoknya Abang udah enggak boleh sentuh Mbak Lusi lagi, titik! Aku enggak terima!"
"Iya. Tapi kamu juga jangan lupa kewajibanmu atau aku akan memintanya sama Lusi."
"Abaaang!" rengeknya kesal yang disusul tawa Bang Leon.
Aku tertawa miris.
Apa mereka pikir aku juga masih ingin disentuh? Diih!
Dadaku bergemuruh hebat. Bergetar tubuh ini menahan amarah. Jika mengikuti emosi, bisa saja kuambil pot bunga yang ada di sini dan langsung melemparkannya ke wajah kedua cecunguk itu.
Namun, aku harus tetap sabar. Aku tidak ingin mengotori tangan hanya karena menuruti nafsu. Masih banyak cara lain untuk membalas sakit hati pada Bang Leon.
Kutarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Melakukannya beberapa kali sampai emosi ini kembali mereda.
Kini, tak kudengar lagi suara mereka. Hening. Kuayunkan kembali kaki dan ternyata keduanya tengah asyik berbagi udara dengan tangan Bang Leon yang menjelajah nakal. Sampai-sampai mereka tidak sadar dengan kehadiranku di sini. Untung saja Alva tertidur. Jadi, dia tak harus melihat apa yang dilakukan papanya.
Eneg rasanya!
"Ehem!"
Sontak keduanya saling menarik wajah. Gelagapan dan saling merapikan pakaian dan rambut masing-masing. Setelah itu, Mira dan Bang Leon menatap kikuk padaku yang berdiri dan memandang mereka dengan tatapan dingin.
"Kamu sudah pulang, Dek?" tanya Bang Leon dengan senyum canggung.
"Kelihatannya? Memangnya Abang pikir aku yang lagi berdiri ini setan?"
Bang Leon menggaruk kepala kikuk, lalu berdiri menghampiriku. "Sini, biar aku saja yang bawa Alva ke kamar."
Aku mundur, menghindar.
"Tangan Abang kotor. Banyak kuman dan virusnya," sindirku sinis. Membuatnya seketika bungkam dan terlihat salah tingkah.
"Ingat, ya, kalian berdua!" Aku menatap tajam perempuan itu yang langsung menunduk, lalu beralih lagi pada Bang Leon. "Ini bukan hanya rumahmu, Bang. Ini juga rumahku!" tegasku pelan, tapi penuh penekanan. "Jangan seenaknya dan harus tahu batasan! Aku enggak melarang kalian mesra-mesraan. Tapi jangan lakukan selain di kamar! Bagaimana kalau tadi Alva melihat itu, hm?"
Keduanya bungkam. Aku masih menatap nyalang keduanya bergantian. Tak ada satu pun dari mereka yang berani membalas tatapanku.
"Maaf, Dek," ucap Bang Leon setelah diam beberapa saat.
Aku melemparkan tatapan sinis, lalu berjalan melewatinya dengan sedikit menubruk tubuh jangkung itu.
"Ada yang mau aku bicarakan, Dek!" serunya yang membuat langkah ini kembali terhenti.
"Nanti malam saja kita bicaranya!" sahutku tanpa menoleh, lalu kembali melangkah tanpa mempedulikan panggilannya.
🌸🌸🌸
Usai dimandikan, Alva tertidur pulas. Kubuka kotak ponsel baru, lalu memindahkan kartu dan semua nomor penting dari ponsel lama. Ponsel yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berganti. Tak hanya RAM yang minim, tapi layarnya yang sudah retak di sana-sini terkadang cukup menyulitkanku.Jauh berbeda dengan Bang Leon. Dalam setahun ini, dia sudah tiga kali mengganti ponsel. Meski aku mengingatkan agar jangan terlalu menghamburkan uang, tapi dia selalu menganggap enteng semua itu. Padahal, tak selamanya hidup akan enak terus seperti sekarang.Dulu, kami pernah berada di titik terendah. Sekarang keadaan jauh lebih baik, tapi bukan berarti selamanya akan terus seperti ini karena roda kehidupan berputar. Meskipun, aku berdoa kami tak akan mengalami kepahitan itu lagi.Terbayang kenangan dulu, pagi-pagi aku berkeliling jualan donat. Selesai berjualan, aku pergi menjadi buruh cuci. Terkadang jualan jajanan anak-anak juga di depan rumah. Sementara, Bang Leon sendiri selalu murung dan uring-urin
Aku tengah menyiapkan surat-surat kelengkapan untuk mengajukan proses perceraian. Selain membeli ponsel baru, sengaja tadi siang menyempatkan diri untuk memfotokopi beberapa berkas. Rencananya, besok pagi aku baru akan mengurus ini ke pengadilan agama.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan fokusku. Memang pintu kamar ini tadi sengaja dikunci. Setelah merapikan kembali surat-surat tersebut dan menyimpannya di lemari, segera kuayunkan kaki menuju pintu.Bang Leon sudah berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan yang terlihat gelisah dan gusar."Ada apa?""Ada yang perlu kubicarakan," ujarnya pelan."Oh, iya. Aku lupa. Baiklah. Abang duluan saja turun. Sebentar lagi kususul."Bang Leon mengangguk pelan, lalu berbalik dan pergi. Sesaat sebelum menuruni tangga, dia kembali menoleh. Memandang dengan tatapan yang sulit kuartikan, lalu kembali melanjutkan langkahnya."Ayo, Sayang! Kita turun dulu temui papamu." Aku menggendong Alva yang sedang bermain di atas ranjang dengan bola-bola kecil
Alva merengek melihatku terisak sembari menggendongnya. Kubaringkan dia perlahan dan segera menyusuinya. Aku sudah mencoba mengontrol perasaan, tapi air mata ini tidak bisa diajak kompromi.Aku pernah mendambakan keluarga yang harmonis seperti Ibu dan Ayah. Mereka tetap setia sampai maut memisahkan, tapi aku? Aku gagal meraih impian itu. Alva harus kehilangan papanya di usia yang masih hitungan bulan."Maafin mama, Nak." Kukecup kepalanya lembut. "Bukan mama enggak sayang, tapi mama ingin merawat dan menjagamu dengan penuh senyuman, bukan tangisan. Mama akan terus terluka jika bertahan," lirihku seraya mengucek mata yang buram karena air mata."Saat kamu besar nanti, kuharap kamu bisa mengerti keputusan mama ini. Belajarlah dari kesalahan papamu, Nak. Belajarlah untuk memahami bahwa kesetiaan itu penting."Aku menyeka air mata saat menyadari ponsel bergetar. Nanny memanggil.Dia memang sahabat terbaik. Selalu tahu saat-saat di mana aku butuh sandaran."Assalamu'alaikum," sapanya setel
Setelah memasangkan tulisan 'rumah dijual' di gerbang, aku kembali ke dalam. Memasang iklan online supaya rumah ini bisa segera terjual. Setelah uangnya ada, aku bisa mencari rumah ukuran kecil yang lebih murah, atau bisa menyewa dulu jika rumah baru belum ada.Aku mengambil foto bersama Alva. Mempostingnya dengan caption 'sekuat apa pun kita menjaga dan menggenggam, yang harusnya pergi akan tetap pergi. Selamat datang masa depan!'Banyak komentar dari teman yang tak jarang bertegur sapa di komen. Terkadang, membaca komen mereka bisa memberikan semangat tersendiri.Bang Leon sendiri tak tahu kalau aku masih memiliki akun facebook. Dulu, dia memintaku menghapus akun karena tak suka saat banyak teman pria yang ikut berkomentar jika memposting foto dan status.Kini, aku jadi punya banyak waktu santai. Aku hanya membantu mengepel dan menyapu saja karena Alva sering bermain di lantai. Untuk pekerjaan lain, biarkan saja Mira yang mengerjakan nanti. Meskipun, sebenarnya mata dan tangan ini g
Setelah pembicaraan kami tadi, Mira tidak keluar kamar lagi. Aku yang merasa jenuh pun mengirim pesan pada Bang Leon akan pergi ke taman dan dia mengizinkan.Kuayunkan kaki menuju taman yang tidak begitu jauh. Cuaca cerah sore hari dengan semilir angin ini lebih mampu menentramkan pikiran. Jauh lebih baik daripada terus berada di rumah dan mendengarkan Mira yang terkadang terdengar melempar barang di kamar. Sepertinya, dia benar-benar kesal dan kecewa dengan Bang Leon.Itulah resikonya karena sudah berani mengganggu rumah tanggaku. Tak hanya dia yang akan terbakar sendiri, tapi Bang Leon juga. Mereka berdua pasti akan sangat menyesalinya tanpa aku harus membalas dengan perbuatan jahat.Alva tersenyum riang melihat banyak anak kecil bermain di taman. Dia meronta-ronta ingn turun, tapi jelas aku tetap menggendongnya. Kubawa Alva menuju ayunan di pojok taman karena area lain sudah diisi banyak pengunjung.Alva semakin senang saat ada penjual balon mendekat. Tangan mungilnya menunjuk-nunj
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Kami sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing."Apa kamu menyesal sudah mengenal abang, Dek?" Dia kembali membuka suara setelah cukup lama terdiam.Aku menggeleng. "Aku enggak menyesal pernah mengenal dan menjadi bagian hidup dari Abang.""Benarkah?"Aku mengangguk, lalu menatapnya datar. "Penyesalanku hanyalah ketika memberikan kepercayaan terlalu besar, tapi akhirnya disia-siakan."Senyum Bang Leon yang sempat terbit, hilang seketika dan berganti dengan raut wajah sendu."Hanya satu pesanku untuk kamu, Bang. Hargailah apa yang masih Abang miliki saat ini. Kebahagiaan enggak akan pernah datang pada orang yang enggak bisa bersyukur dan menghargai apa yang dimilikinya."Bang Leon menunduk dalam. Menyuapkan kembali nasi gorengnya dengan pelan."Jadikan ini sebagai pelajaran untuk kita berdua, Bang. Penyesalan ada supaya kita enggak mengulangi kesalahan yang sama. Dan kita sadar kalau rnggak semua hal di dunia ini bisa diulang kembali."B
Aku sudah berkeliling mencari kontrakan kosong yang cukup nyaman dan bersih, tapi tidak ada. Semuanya penuh. Kontrakan kosong justru ada di tempat yang kurang bersih dan rapi.Aku tidak merasa nyaman melihatnya. Jadi, memilih mencari ke tempat lain saja. Akan tetapi, ternyata semua tempat sama saja. Penuh.Aku tengah duduk di halte menunggu taksi yang lewat, tapi sebuah mobil pajero hitam tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Kening ini berkerut melihat kaca jendela terbuka. Di mana sesosok pria di balik kaca mata hitam di dalam mobil itu tersenyum.Aku menoleh ke kanan-kiri, memastikan apakah pria ini memang tersenyum padaku atau orang lain. Tak ada siapa pun di sini.Siapa dia?"Lusi," sapanya setelah keluar dari mobil."Pak William?" Aku masih tak percaya mantan bossku itu bisa kebetulan ada di sini.Pantas saja aku sempat ragu, ternyata penampilannya sungguh sangat berbeda. Dahulu rambutnya cokelat terang, panjang dan selalu diikat. Akan tetapi, sekarang dia terlihat lebih berwibaw
Aku tengah memberikan Alva MPASI saat Bang Leon menghampiri kami."Ibu sama Bapak sebentar lagi sampai, Dek." Ia menarik satu kursi di depanku."Hm," sahutku singkat."Kamu jangan keceplosan, ya, Dek. Jangan sampai Ibu dan Bapak ...." Bang Leon tak melanjutkan ucapan saat menyadari sorot mata tajamku mengarah padanya."Maaf, Dek." Bang Leon tersenyum hambar, lalu kembali beranjak dari kursi. "Abang nunggu Ibu dan Bapak di depan aja." Ia berucap sambil mengusap tengkuk, lalu pergi menuju pintu seraya sesekali melirik pada kami.Tak berselang lama, Mira keluar dengan rok mini dan kaus tanpa lengan alias tanktop. Berjalan menghampiriku dengan gaya bak model seraya tersenyum puas."Aku baru beli perhiasan baru, lho, Mbak. Bang Leon yang kasih." Ia sengaja memperlihatkan, mengusap cincin dan kalung di lehernya."Siapa?""Apanya?" Ia bingung."Siapa yang nanya?" Aku tersenyum sinis."Ish!" Mira mengentakkan kaki dengan kesal. "Bilang aja Mbak sirik sama aku. Ya, 'kan? Ngaku aja, Mbak!" Mira
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Niat awal memang ingin melahirkan secara normal lagi, tapi ternyata tidak memungkinkan. Kali ini, dokter menyarankan agar menjalani operasi caesar demi keselamatanku dan bayinya. Akhir-akhir ini, tekanan darahku sering tidak stabil dan cenderung tinggi. Sampai Mas William dan orangtuanya panik sendiri takut terjadi apa-apa padaku.Aku pun tak bisa keras kepala. Jika memang melahirkan secara caesar adalah jalan terbaik, maka akan kulakukan.Tanggal sudah ditentukan dan kini semua persiapan sudah selesai. Jujur, aku sangat gugup karena ini pertama kalinya akan menjalani operasi. Bahkan kedua tanganku sampai gemetar, tapi Mas William dan orangtuanya selalu ada untuk menguatkan dan menenangkan."Dengar." Mas William menangkup lembut kedua pipiku. "Ada mas di sini. Enggak akan terjadi apa pun padamu atau bayi kita. Ok? Kamu harus rileks. Jangan sampai tensi kamu naik terus. Hm?"Aku mengangguk dan mencoba mengatur pernapasan."Berdoa, ya, Nak." Mama mengusap
Semua file bukti kebohongan Claudia sudah kusiapkan dengan baik. Ini juga berkat bantuan Mas Firman —asisten pribadi Mas William— yang diam-diam bantu menyelidiki. Memang aku sengaja tak memberitahu Mas William soal rencana ini. Saat itu, dia sedang banyak pikiran dan sibuk mengurus bisnis. Sampai-sampai dengan mudahnya memberikan uang tanpa berpikir dulu.Maka dari itu, biarlah kuman kecil seperti Claudia kutangani sendiri. Suami istri memang harus saling bahu membahu termasuk dalam membasmi bibit-bibit penyakit dalam pernikahan."Permisi, Bu."Aku menoleh pada Bi Yatmi yang berdiri di depan pintu yang memang terbuka lebar. Kuletakkan lipstik, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya."Ya, Bi.""Tamunya sudah datang, Bu."Aku tersenyum. "Persilakan masuk dan sajikan minum.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk paham, lalu kembali ke lantai bawah.Aku berjalan ke kamar Hafsha untuk memanggil Mas William yang sedang bermain bersamanya. Hafsha sempat merengek minta ikut, tapi berhasil kubuju
Selama makan di restoran, hanya aku dan Mas Williamlah yang berbincang. Claudia bak makhluk tak kasat mata yang tidak diakui kehadirannya. Dia menyantap makan siang dengan wajah masam sambil sesekali melirik pada kami yang duduk di hadapannya."Enak?"Aku mengangguk dan tersenyum. "Coba, deh, Mas."Mas William membuka mulut menerima suapan dariku, lalu tersenyum."Enak, kan?" Aku terkekeh kecil."Iya. Kamu mau coba punya mas enggak?""Mau, dong."Kini giliran aku yang tersenyum menerima suapan darinya beberapa kali. Setelah menghabiskan menu utama, kini aku tengah menikmati es krim strawberry. Sementara, Mas William sedang menikmati minuman sodanya sambil memandangiku."Ada es krim nempel." Mas William mengusap sudut bibirku dengan ibu jari. "Manis," imbuhnya setelah menjilat ibu jari sendiri.Aku tertawa kecil. "Manis, dong, Mas. Namanya juga es krim.""Iya. Semanis yang lagi makan esnya." Mas William mencubit gemas hidungku."Eh? Mau ke mana, Claudia?" tanyaku saat melihatnya beranj
"Kamu meragukanku?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut. Aku tersenyum, lalu mendekat padanya yang berdiri di dekat meja rias. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya," kataku sembari membantu membukakan kancing kemeja. "Terus, kenapa malah menyetujui permintaan Claudia? Kamu sungguh ingin mas menikahinya?" Tersirat ada kekecewaan dari sorot matanya yang membidikku. Kutangkup kedua pipinya lembut seraya menatap lekat. "Apa aku terlihat tipe wanita yang rela berbagi, hm? Mas William menyentak napas kasar, lalu menyentuh satu tanganku di pipinya. "Mas takut kamu terhasut ucapan Claudia, Sayang. Mas enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya." Aku tersenyum. "Itu enggak akan terjadi. Enggak akan kubiarkan batu kerikil menghancurkan pernikahan kita." "Terus untuk apa kamu minta dia datang lusa nanti?" "Mas percaya padaku?" Dia mengangguk. "Kalau begitu, ikuti saja semua arahan dan perintahku tadi. Cukup ikuti sandiwara yang sudah kubuat ini. Ok, Suamiku?" Mas
"Temani Hafsha dulu, ya. Mama mau temui tamunya," pintaku pada Alex yang dijawabnya dengan anggukan.Aku berjalan keluar kamar Hafsha bersama Bi Yatmi untuk menemui tamu yang datang. Seorang wanita yang memakai kemeja putih dipadukan blazer abu tengah duduk di ruang keluarga. Dia menoleh dan terlihat mengubah posisi duduk saat menyadari kehadiranku."Tolong buatkan minum, ya, Bi.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk dan pergi ke dapur.Wanita ini tersenyum canggung dan hendak berdiri, tapi aku kembali mempersilakannya duduk. Namanya Claudia —sekretaris Mas William yang sudah dipecat."Silakan diminum," ucapku padanya ketika Bi Yatmi menyajikan minuman di meja."Terima kasih." Dia meneguk minumannya sedikit.Dari gelagat yang terlihat gelisah saja, aku sudah tahu maksud kedatangan dia apa. Bahkan, aku sudah bersiap dengan apa yang akan dikatakannya sekarang."Pak Williamnya ada?" Dia mulai membuka percakapan."Enggak usah basa-basi. Kamu pasti sudah tahu suamiku itu sibuk. Kamu datang ke s
"Hati-hati!" ucapku setelah Alex mencium punggung tanganku dan Mas William.Alex mengangguk, lalu naik ke mobil. Sesekali dia memang diantar sopir, tapi tak jarang juga diantar Mas William."Jangan lupa kabarin mama atau Papa kalau ada sesuatu, ya," pesanku sebelum mobilnya melaju keluar halaman.Alex mengangkat satu jempol dan melambaikan tangan pada Hafsha yang tersenyum ceria pada kakaknya."Mas enggak ke kantor?" tanyaku saat kami tengah berjalan masuk lagi."Enggak. Kan, hari ini ada peresmian usaha baru, Sayang. Restoran. Lupa, ya?""Oh, iya. Maaf, Mas. Lupa.""Dasar." Dia tersenyum seraya mencubit gemas pipiku yang lebih berisi ini."Jam berapa Mas berangkat?""Jam sepuluh. Nanti kamu dan Hafsha ikut, ya?" ujarnya setelah kami duduk di sofa ruang keluarga."Boleh?""Ya jelas boleh, dong, Sayang. Malah kamu wajib hadir." Mas William merangkul dan mengusap-usap lenganku."Aku boleh ikut juga, Pah?" tanya Hafsha yang duduk di pangkuannya."Uhm– boleh ikut enggak, ya?" Mas William
Setelah hampir enam bulan mengalami gejala stroke ringan, sekarang aku sudah sembuh total dan bisa beraktivitas dengan normal lagi. Hanya saja, dokter menyarankan untuk tetap menjaga pola hidup agar gejala stroke tak kembali menyerang. Termasuk mencegah terjadinya tensi yang tinggi baik itu oleh pola makan maupun pikiran.Selama aku sakit, Mas William benar-benar seperti malaikat tak bersayap. Dia selalu ada di sisiku. Menjadi kaki dan tangan yang belum bisa berfungsi normal. Dia selalu membantuku dengan menyuguhkan senyum manisnya. Bahkan, dia tidak pernah pergi ke kantor. Semua urusan pekerjaan diserahkan pada asisten pribadi kecuali memang harus menghadiri meeting penting.Tak terasa, sekarang kami sudah menjalani pernikahan lagi selama setahun setengah lebih lamanya. Tak ada masalah yang berarti. Saling terbuka dan jujur membuat kami tak pernah salah paham lagi.Hubunganku dengan Indira pun lebih baik. Dia juga bisa lebih menghargaiku dan menjaga sikap. Dia hanya akan datang sesek
Mataku terbuka perlahan ketika merasakan usapan lembut di pipi. Mas William tersenyum dengan Hafsha yang tertidur di pangkuannya."Sudah sampai, Mas?"Mas William mengangguk. "Ayo turun."Mama dan Papa mendekat ke mobil kami. Mengambil alih menggendong Hafsha karena Mas William harus membantuku turun."Enggak mau, Mas. Enggak usah digendong," tolakku saat hendak dibopongnya."Kenapa?""Aku mau jalan saja. Kan, dokter juga menyarankan kalau aku harus sering latihan.""Iya memang. Tapi ini sudah larut malam. Kamu capek.""Aku masih kuat, Mas."Mas William menghela napas pelan, lalu merangkulku."Ya sudah ayo. Tapi pelan-pelan." Mas William mulai memapahku menyusul Mama Papa yang sudah masuk lebih dulu."Permisi, Pak." Pak Agung–salah satu sopir pribadi keluarganya menghampiri kami yang sudah sampai di pintu. "Barang-barangnya mau disimpan di mana?""Oh, letakkan di ruang keluarga dulu saja. Biar besok saya yang rapikan.""Baik, Pak." Pak Agung mengangguk, lalu kembali ke mobil."Mamaa!"
Selama bukan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan atau tidak menafkahi dengan sengaja, cobalah untuk bertahan. Masalah kecil masih bisa dibicarakan dan dicari solusinya sama-sama.Hubungan yang rusak tak melulu harus diganti baru. Diperbaiki bukan diakhiri, dibicarakan bukan ditinggalkan. Itulah dewasa.Pernikahan merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Butuh kesabaran dan kerjasama pasangan. Mempertahankan pernikahan itu tak bisa dilakukan seorang diri. Pria dan wanita disatukan dalam ikatan janji suci bukan untuk saling menuntut kesempurnaan, melainkan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan.Janganlah menuntut pasangan untuk sempurna tanpa celah, tapi sempurnakanlah diri kita untuk menutupi kekurangannya. Aku pun menyesal sudah berpisah dari Mas William.Namun, saat itu aku tidak berdaya karena Mas Williamlah yang memegang kendali sebagai suami. Kami berdua sadar telah sama-sama salah dan berdosa. Ego dan kemarahan sesaat telah membuat pernikahan kami han