Bang Leon sempat terdiam memandangku, tapi hanya sebentar.
"Ooh ...." Bang Leon tersenyum mengejek sembari mengangguk-angguk. "Jangan-jangan, kalian ini memang ada hubungan spesial, ya? Kamu ngotot minta cerai begini karena mau nikah sama duda itu, 'kan? Ngaku aja!" sergahnya sembari mengikis jarak di antara kami. Sorot penuh amarah dan cemburu itu terlihat jelas di matanya.
"Jangan munafik kamu, Dek! Selama ini, kamu bersikeras kalau kalian enggak ada hubungan apa-apa. Tapi kenyataannya semua itu bohong, 'kan? Kalian diam-diam menusukku dari belak—"
Wajah Bang Leon berpaling saat tamparan keras berhasil mendarat di pipi kanan. Saking kerasnya sampai telapak tanganku terasa panas dan bergetar. Ini pertama kalinya aku memukul pria yang saat ini masih berstatus suami.
"Jaga bicaramu, Bang!" tegasku pelan, tapi penuh penekanan. "Jangan samakan aku denganmu yang gampang mengobral cinta! Aku bukan Abang yang dengan mudahnya mengingkari janji suci pernikahan! Tega sekali Abang memfitnahku begitu. Aku semakin yakin kalau keputusan untuk bercerai itu seratus persen benar!" sergahku dengan dada bergemuruh menahan emosi.
Bisa-bisanya Bang Leon memutarbalikkan fakta seperti itu. Dia yang berkhianat, tapi dirinya juga yang melempar kesalahan pada orang lain!
"Dek ...." Dia maju, tapi aku mundur.
"Jangan sentuh aku!" desisku dengan tatapan benci, lalu berbalik membelakangi dan pergi.
"Maaf, Dek. Maaf kalau kata-kataku tadi menyinggung kamu." Dia mengejar dan berhasil menghalangi langkahku.
"Minggir, Bang! Aku mau istirahat. Pembicaraan kita sudah selesai!"
Bang Leon menggeleng. "Kita selesaikan semuanya atau Mira akan terus marah dan melarangku masuk kamar."
Aku melongo tak percaya. Tak berselang lama, aku tertawa miris sembari membuang pandangan ke arah lain.
Jadi, dia memohon-mohon seperti tadi bukan demi hubungan kami? Bukan karena dia masih cinta dan takut kehilanganku? Benar-benar miris! Ternyata, itu semua hanya demi istri barunya dan demi malam pertama mereka!
"Itu bukan urusanku. Awas, Bang!"
Aku mencoba mencari celah, tapi dia selalu menghalangi. Ikut bergerak ke mana pun aku melangkah.
"Maumu apa, sih, Bang?" sentakku kesal.
"Aku hanya mau kamu terima Mira! Berikan izinmu untuk kami menikah resmi. Dan kupastikan kalian akan bahagia bersama!" Dia tetap bersikeras dengan keinginannya itu tanpa peduli perasaanku.
Ini benar-benar gila. Bagaimana bisa dulu aku jatuh cinta pada pria seperti ini?
Ah, iya. Aku lupa kalau sejak mengenal cinta untuk istri keduanya, pria ini sudah berubah. Tak lagi lembut dan penyayang seperti dulu, tapi menjadi egois dan pemaksa.
"Masih adakah sedikit kasih sayang yang tersisa untuk aku dan Alva, Bang?"
"Tentu saja. Aku sayang pada kalian. Itulah kenapa aku tetap ingin mempertahankanmu, Dek."
"Abang masih ingat bagaimana perjuanganku melahirkan Alva?" tanyaku dengan suara yang mulai bergetar.
Bang Leon diam.
"Abang sampai hampir pingsan waktu aku kritis karena kehilangan banyak darah. Abang juga menangis terharu waktu kami berdua akhirnya selamat dan bisa pulang. Apa Abang lupa itu?"
Bang Leon menggeleng pelan sembari memijat pelipisnya.
"Alva susah payah kita dapatkan, Bang. Kita berjuang sekian tahun menghadapi nyinyiran tetangga yang mengatai kita berdua ini mandul. Berjuang melahirkannya ke dunia ini meskipun kesehatanku memburuk. Lalu, di mana perasaan Abang saat menjalin cinta dengan wanita lain, hm? Enggak ingat sama sekalikah dengan semua perjuangan itu, Bang?"
Bang Leon masih bungkam.
Konyol! Tentu saja dia tidak ingat atau berpura-pura tak ingat. Kalau orang tengah gila dimabuk cinta, dia pasti lupa akan segalanya termasuk keluarga.
"Abang tega mencampakkan anak dan istri demi bunga baru. Bunga yang belum tentu akan seindah bunga lama setelah kalian bersama nanti."
"Siapa bilang aku mencampakkan?" Keningnya berkerut dalam menatapku. "Aku masih di sini bersama kalian. Kamunya aja yang terlalu keras kepala minta bercerai. Kamu enggak bisa percaya sama suamimu sendiri. Kamu meragukanku yang berjanji akan bersikap adil!"
Aku tersenyum miris sembari mengeleng, lalu kembali menatapnya sinis.
"Ckckck, jangan berani bicara soal kepercayaan denganku, Bang! Tahu kenapa? Karena itu terdengar seperti lelucon!" cicitku lalu tertawa kecil mengejeknya. "Abang sendirilah yang sudah menodai kepercayaan dengan hal menyakitkan. Jadi, simpan saja semua janji dan bualanmu itu untuk Mira. Mungkin dia masih bisa percaya, tapi aku enggak." Aku mengedikkan bahu santai.
"Abang tahu? Tanpa perlu obat darimu atau siapa pun, luka ini akan sembuh sendiri," imbuhku, kemudian menggeser tubuhnya dengan paksa, dan bergegas pergi menuju kamar saat mendengar tangisan Alva.
Sesaat sebelum pintu tertutup, aku kembali melongokkan kepala keluar kamar.
"Dengar, Bang! Sampai kapan pun, keputusanku akan tetap sama. Kita bercerai! Kita jual rumah ini sama-sama dan bagi dua hasilnya. Soal mobil, aku enggak akan mempermasalahkan itu. Biar saja itu menjadi milikmu asalkan kembalikan apa yang menjadi hak-ku! Pikirkan itu baik-baik!" tegasku, lalu menutup pintu sedikit kencang dan langsung menguncinya.
Enak saja mau mengajariku kepercayaan. Aku bahkan lebih tahu dan bisa menjaga itu daripada dirinya sendiri.
Dasar!
🌸🌸🌸
Alva sudah duduk di atas kasur sambil menangis. Melihatku datang, dia merangkak pelan, tapi dengan cepat aku berlari menuju ranjang.
"Uuh, Sayang. Kenapa, hm? Haus, ya?" Aku mengecup pipinya, lalu kembali membaringkan dan memberi ASI.
Alva menatapku dengan tangan mungilnya yang bergerak menepuk-nepuk pipi ini pelan. Terkadang, jemari mungil itu hendak menusuk lubang hidung, tapi kutahan sambil tertawa.
"Jangan, Sayang! Nanti tangannya kotor," kataku sembari mencium telapak tangan itu, lalu meniup-niupnya hingga berbunyi.
Alva tertawa geli, lalu kembali meminum ASI dengan matanya yang lagi-lagi terlihat mengantuk.
"Tidur yang nyenyak, Sayang. Pasti kamu ikut merasakan hati mama yang sempat kacau tadi, ya? Maaf. Papamu yang keras kepala itu memang berhasil memancing emosi. Padahal, mama sudah sebisa mungkin menahan diri."
Aku tersenyum melihat Alva sudah kembali tertidur. Kulepas perlahan mulutnya, lalu memeluk dan menyelimuti.
Aku juga butuh istirahat. Tak hanya harus siap mental, tapi fisikku juga harus kuat demi menghadapi kenyataan dan rintangan di depan mata.
🌸🌸🌸
Aku menggeliat, lalu mengucek mata sebelum melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ternyata mata ini baru terpejam sekitar satu jam-an. Aku bangun untuk minum, tapi air di gelas kosong. Terpaksa aku pergi keluar kamar, lalu berjalan santai menuju dapur.
Tepat ketika mencapai anak tangga terakhir, aku terlonjak kaget karena mendengar bunyi seperti benda terjatuh atau sesuatu yang dilempar ke dinding. Arah suaranya dari kamar pengantin baru itu.
Ada apa? Apa ada perang dunia ketiga? Rasanya tidak mungkin Bang Leon bermain sehebat itu sampai benda-benda di sana berterbangan.
Aku cekikikan sendiri membayangkan sesuatu yang buruk terjadi di malam pertama mereka.
Apa Mira sekarang sudah tahu, ya?
Aku mengedikkan bahu, lalu kembali melangkah santai menuju dapur. Sempat terhenti sejenak saat melihat pintu kamar itu akhirnya terbuka. Bang Leon keluar dengan tampang yang sangat kusut. Hampir saja aku tertawa melihatnya yang bermuram durja, tapi sebisa mungkin kutahan.
"Kusut amat pengantin baru," sindirku saat berjalan melewatinya yang mematung di depan kamar mereka.
"Mau ke mana?"
"Ke empang," sahutku asal.
Sudah tahu bawa gelas dan jalan ke dapur, pakai segala nanya mau ke mana lagi. Basi banget, Alejandro!
Kupikir Bang Leon akan pergi ke ruang keluarga, ternyata dia malah menyusul ke dapur. Duduk dalam diam dengan mata yang selalu mengamati gerak-gerikku yang tengah mengupas apel, lalu memakannya dengan santai. Aku bersikap tak acuh seolah tak melihat keberadaannya di sini.
"Kupasin satu, Dek."
Aku berpura-pura menoleh kaget.
"Eh? Abang ternyata ikut ke sini, toh. Kenapa enggak di kamar, Bang? Malam pertama, lho, ini. Sana, belah duren muda," sindirku dengan tawa kecil.
Bang Leon mendecak sebal, lalu mengambil apel dan merebut pisau dari tanganku. Mengupasnya dengan kesal seraya memasang wajah cemberut.
Kuhela napas pelan, kemudian mengambil apel dan pisau dari tangannya lagi. Ternyata, aku masih punya rasa kasihan dan peduli pada pria ini. Tapi hanya rasa kasihan. Bukan perasaan lebih apalagi untuk kembali bersama. Tidak akan!
"Mau dibuatin kopi?" Aku meliriknya sekilas.
"Kalau enggak ngerepotin." Bang Leon tersenyum.
"Ngerepotin, sih, emang," sahutku yang langsung membuat senyumnya lenyap seketika. "Canda kali, Bang. Serius amat pengantin baru." Aku tertawa, lalu berjalan menuju kompor untuk memasak air.
"Enggak usah sebut-sebut pengantin baru terus bisa 'kan, Dek?" protesnya.
"Emangnya ada yang salah? Kalian 'kan memang pengantin baru," sahutku dengan posisi membelakanginya. "Atau jangan-jangan ... kalian itu sudah belah duren dari sebelum menikah, ya?"
"Dek!" tegurnya dengan suara tegas.
"Syukurlah kalau enggak," sahutku cuek, lalu kembali menghampirinya dengan secangkir kopi hitam kesukaan Bang Leon.
"Kayaknya malam ini Abang bakal begadang sendirian. Nikmatilah dengan senyuman lebar, Bang. Jangan cemberut begitu!" ucapku sembari menepuk pundaknya, dan tersenyum penuh arti dengan satu alis sedikit terangkat naik. Setelahnya, aku berlalu pergi dengan membawa segelas air tanpa menoleh lagi.
"Dek!" panggilnya yang membuat langkah ini terhenti kembali. "Malam ini aku tidur sama kalian dulu, ya!"
Aku terdiam sejenak dengan senyum tertahan.
"Ruang tamu sama ruang keluarga masih lega kali, Bang.
🍁🍁🍁
Pagi Hari aku sudah rapi, begitu juga dengan Alva. Kuciumi wajahnya sambil bermain di atas ranjang. Sengaja tak turun lebih dulu. Biarkan saja istri barunya itu yang sibuk berkutat di dapur.Pukul setengah tujuh pagi, aku baru turun. Aku melongo tak percaya saat melihat suasana rumah masih sepi. Kamar pengantin baru pun masih tertutup rapat. Kulihat Bang Leon masih tertidur pulas di sofa dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Bahkan, televisi pun dibiarkan menyala.Kayaknya asyik, nih, dikerjain. Kalau aku masukin garam ke mulutnya pasti seru! Tapi jangan, deh. Kasihan juga. Pasti Bang Leon baru bisa tidur menjelang pagi. Sukurin!Kubuka semua tirai yang masih tertutup rapat, lalu mendudukkan Alva di karpet di depan televisi. Mengambilkannya banyak mainan dan memutar acara kartun. Biasanya, dia akan tenang jika menonton acara kesukaan."Main yang anteng, ya, Sayang. Mama mau siapin sarapan dulu." Kukecup kepalanya, lalu pergi ke dapur.Aku sibuk menyiapkan bumbu nasi goreng sambil sese
Aku masih berada di kamar menyusui Alva. Buah cintaku bersama Bang Leon yang sama sekali dia tak ingat bagaimana perjuangan kami agar Alva terlahir selamat ke dunia ini. Begitu pentingnya istri baru itu sampai-sampai setiap perkataannya seolah tak peduli sedikit pun dengan perasaanku.Bukankah aku Lusi? Wanita yang tegar dan kuat meski dikhianati?Namun, bulir bening yang susah payah ditahan ini masih tetap luruh juga. Aku tak pernah terpikirkan jika pernikahan kami akan mengalami ujian seberat ini. Tak pernah menyangka akan hadir sosok wanita lain di rumah tangga kami. Hati ini sakit membayangkan bayi yang tidak berdosa ini sebentar lagi akan mendapatkan kasih sayang yang pincang.Aku merasa begitu jahat, tapi ini juga demi kesehatan mental. Diriku bukanlah wanita super sabar di luaran sana yang rela membagi cinta dan keringat suaminya. Aku hanya ingin tetap waras supaya bisa membesarkan Alva tanpa derita dan luka. Tidak ingin lumpuh karena luka itu hingga akhirnya mati perlahan.Kuu
Usai dimandikan, Alva tertidur pulas. Kubuka kotak ponsel baru, lalu memindahkan kartu dan semua nomor penting dari ponsel lama. Ponsel yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berganti. Tak hanya RAM yang minim, tapi layarnya yang sudah retak di sana-sini terkadang cukup menyulitkanku.Jauh berbeda dengan Bang Leon. Dalam setahun ini, dia sudah tiga kali mengganti ponsel. Meski aku mengingatkan agar jangan terlalu menghamburkan uang, tapi dia selalu menganggap enteng semua itu. Padahal, tak selamanya hidup akan enak terus seperti sekarang.Dulu, kami pernah berada di titik terendah. Sekarang keadaan jauh lebih baik, tapi bukan berarti selamanya akan terus seperti ini karena roda kehidupan berputar. Meskipun, aku berdoa kami tak akan mengalami kepahitan itu lagi.Terbayang kenangan dulu, pagi-pagi aku berkeliling jualan donat. Selesai berjualan, aku pergi menjadi buruh cuci. Terkadang jualan jajanan anak-anak juga di depan rumah. Sementara, Bang Leon sendiri selalu murung dan uring-urin
Aku tengah menyiapkan surat-surat kelengkapan untuk mengajukan proses perceraian. Selain membeli ponsel baru, sengaja tadi siang menyempatkan diri untuk memfotokopi beberapa berkas. Rencananya, besok pagi aku baru akan mengurus ini ke pengadilan agama.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan fokusku. Memang pintu kamar ini tadi sengaja dikunci. Setelah merapikan kembali surat-surat tersebut dan menyimpannya di lemari, segera kuayunkan kaki menuju pintu.Bang Leon sudah berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan yang terlihat gelisah dan gusar."Ada apa?""Ada yang perlu kubicarakan," ujarnya pelan."Oh, iya. Aku lupa. Baiklah. Abang duluan saja turun. Sebentar lagi kususul."Bang Leon mengangguk pelan, lalu berbalik dan pergi. Sesaat sebelum menuruni tangga, dia kembali menoleh. Memandang dengan tatapan yang sulit kuartikan, lalu kembali melanjutkan langkahnya."Ayo, Sayang! Kita turun dulu temui papamu." Aku menggendong Alva yang sedang bermain di atas ranjang dengan bola-bola kecil
Alva merengek melihatku terisak sembari menggendongnya. Kubaringkan dia perlahan dan segera menyusuinya. Aku sudah mencoba mengontrol perasaan, tapi air mata ini tidak bisa diajak kompromi.Aku pernah mendambakan keluarga yang harmonis seperti Ibu dan Ayah. Mereka tetap setia sampai maut memisahkan, tapi aku? Aku gagal meraih impian itu. Alva harus kehilangan papanya di usia yang masih hitungan bulan."Maafin mama, Nak." Kukecup kepalanya lembut. "Bukan mama enggak sayang, tapi mama ingin merawat dan menjagamu dengan penuh senyuman, bukan tangisan. Mama akan terus terluka jika bertahan," lirihku seraya mengucek mata yang buram karena air mata."Saat kamu besar nanti, kuharap kamu bisa mengerti keputusan mama ini. Belajarlah dari kesalahan papamu, Nak. Belajarlah untuk memahami bahwa kesetiaan itu penting."Aku menyeka air mata saat menyadari ponsel bergetar. Nanny memanggil.Dia memang sahabat terbaik. Selalu tahu saat-saat di mana aku butuh sandaran."Assalamu'alaikum," sapanya setel
Setelah memasangkan tulisan 'rumah dijual' di gerbang, aku kembali ke dalam. Memasang iklan online supaya rumah ini bisa segera terjual. Setelah uangnya ada, aku bisa mencari rumah ukuran kecil yang lebih murah, atau bisa menyewa dulu jika rumah baru belum ada.Aku mengambil foto bersama Alva. Mempostingnya dengan caption 'sekuat apa pun kita menjaga dan menggenggam, yang harusnya pergi akan tetap pergi. Selamat datang masa depan!'Banyak komentar dari teman yang tak jarang bertegur sapa di komen. Terkadang, membaca komen mereka bisa memberikan semangat tersendiri.Bang Leon sendiri tak tahu kalau aku masih memiliki akun facebook. Dulu, dia memintaku menghapus akun karena tak suka saat banyak teman pria yang ikut berkomentar jika memposting foto dan status.Kini, aku jadi punya banyak waktu santai. Aku hanya membantu mengepel dan menyapu saja karena Alva sering bermain di lantai. Untuk pekerjaan lain, biarkan saja Mira yang mengerjakan nanti. Meskipun, sebenarnya mata dan tangan ini g
Setelah pembicaraan kami tadi, Mira tidak keluar kamar lagi. Aku yang merasa jenuh pun mengirim pesan pada Bang Leon akan pergi ke taman dan dia mengizinkan.Kuayunkan kaki menuju taman yang tidak begitu jauh. Cuaca cerah sore hari dengan semilir angin ini lebih mampu menentramkan pikiran. Jauh lebih baik daripada terus berada di rumah dan mendengarkan Mira yang terkadang terdengar melempar barang di kamar. Sepertinya, dia benar-benar kesal dan kecewa dengan Bang Leon.Itulah resikonya karena sudah berani mengganggu rumah tanggaku. Tak hanya dia yang akan terbakar sendiri, tapi Bang Leon juga. Mereka berdua pasti akan sangat menyesalinya tanpa aku harus membalas dengan perbuatan jahat.Alva tersenyum riang melihat banyak anak kecil bermain di taman. Dia meronta-ronta ingn turun, tapi jelas aku tetap menggendongnya. Kubawa Alva menuju ayunan di pojok taman karena area lain sudah diisi banyak pengunjung.Alva semakin senang saat ada penjual balon mendekat. Tangan mungilnya menunjuk-nunj
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Kami sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing."Apa kamu menyesal sudah mengenal abang, Dek?" Dia kembali membuka suara setelah cukup lama terdiam.Aku menggeleng. "Aku enggak menyesal pernah mengenal dan menjadi bagian hidup dari Abang.""Benarkah?"Aku mengangguk, lalu menatapnya datar. "Penyesalanku hanyalah ketika memberikan kepercayaan terlalu besar, tapi akhirnya disia-siakan."Senyum Bang Leon yang sempat terbit, hilang seketika dan berganti dengan raut wajah sendu."Hanya satu pesanku untuk kamu, Bang. Hargailah apa yang masih Abang miliki saat ini. Kebahagiaan enggak akan pernah datang pada orang yang enggak bisa bersyukur dan menghargai apa yang dimilikinya."Bang Leon menunduk dalam. Menyuapkan kembali nasi gorengnya dengan pelan."Jadikan ini sebagai pelajaran untuk kita berdua, Bang. Penyesalan ada supaya kita enggak mengulangi kesalahan yang sama. Dan kita sadar kalau rnggak semua hal di dunia ini bisa diulang kembali."B
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Niat awal memang ingin melahirkan secara normal lagi, tapi ternyata tidak memungkinkan. Kali ini, dokter menyarankan agar menjalani operasi caesar demi keselamatanku dan bayinya. Akhir-akhir ini, tekanan darahku sering tidak stabil dan cenderung tinggi. Sampai Mas William dan orangtuanya panik sendiri takut terjadi apa-apa padaku.Aku pun tak bisa keras kepala. Jika memang melahirkan secara caesar adalah jalan terbaik, maka akan kulakukan.Tanggal sudah ditentukan dan kini semua persiapan sudah selesai. Jujur, aku sangat gugup karena ini pertama kalinya akan menjalani operasi. Bahkan kedua tanganku sampai gemetar, tapi Mas William dan orangtuanya selalu ada untuk menguatkan dan menenangkan."Dengar." Mas William menangkup lembut kedua pipiku. "Ada mas di sini. Enggak akan terjadi apa pun padamu atau bayi kita. Ok? Kamu harus rileks. Jangan sampai tensi kamu naik terus. Hm?"Aku mengangguk dan mencoba mengatur pernapasan."Berdoa, ya, Nak." Mama mengusap
Semua file bukti kebohongan Claudia sudah kusiapkan dengan baik. Ini juga berkat bantuan Mas Firman —asisten pribadi Mas William— yang diam-diam bantu menyelidiki. Memang aku sengaja tak memberitahu Mas William soal rencana ini. Saat itu, dia sedang banyak pikiran dan sibuk mengurus bisnis. Sampai-sampai dengan mudahnya memberikan uang tanpa berpikir dulu.Maka dari itu, biarlah kuman kecil seperti Claudia kutangani sendiri. Suami istri memang harus saling bahu membahu termasuk dalam membasmi bibit-bibit penyakit dalam pernikahan."Permisi, Bu."Aku menoleh pada Bi Yatmi yang berdiri di depan pintu yang memang terbuka lebar. Kuletakkan lipstik, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya."Ya, Bi.""Tamunya sudah datang, Bu."Aku tersenyum. "Persilakan masuk dan sajikan minum.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk paham, lalu kembali ke lantai bawah.Aku berjalan ke kamar Hafsha untuk memanggil Mas William yang sedang bermain bersamanya. Hafsha sempat merengek minta ikut, tapi berhasil kubuju
Selama makan di restoran, hanya aku dan Mas Williamlah yang berbincang. Claudia bak makhluk tak kasat mata yang tidak diakui kehadirannya. Dia menyantap makan siang dengan wajah masam sambil sesekali melirik pada kami yang duduk di hadapannya."Enak?"Aku mengangguk dan tersenyum. "Coba, deh, Mas."Mas William membuka mulut menerima suapan dariku, lalu tersenyum."Enak, kan?" Aku terkekeh kecil."Iya. Kamu mau coba punya mas enggak?""Mau, dong."Kini giliran aku yang tersenyum menerima suapan darinya beberapa kali. Setelah menghabiskan menu utama, kini aku tengah menikmati es krim strawberry. Sementara, Mas William sedang menikmati minuman sodanya sambil memandangiku."Ada es krim nempel." Mas William mengusap sudut bibirku dengan ibu jari. "Manis," imbuhnya setelah menjilat ibu jari sendiri.Aku tertawa kecil. "Manis, dong, Mas. Namanya juga es krim.""Iya. Semanis yang lagi makan esnya." Mas William mencubit gemas hidungku."Eh? Mau ke mana, Claudia?" tanyaku saat melihatnya beranj
"Kamu meragukanku?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut. Aku tersenyum, lalu mendekat padanya yang berdiri di dekat meja rias. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya," kataku sembari membantu membukakan kancing kemeja. "Terus, kenapa malah menyetujui permintaan Claudia? Kamu sungguh ingin mas menikahinya?" Tersirat ada kekecewaan dari sorot matanya yang membidikku. Kutangkup kedua pipinya lembut seraya menatap lekat. "Apa aku terlihat tipe wanita yang rela berbagi, hm? Mas William menyentak napas kasar, lalu menyentuh satu tanganku di pipinya. "Mas takut kamu terhasut ucapan Claudia, Sayang. Mas enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya." Aku tersenyum. "Itu enggak akan terjadi. Enggak akan kubiarkan batu kerikil menghancurkan pernikahan kita." "Terus untuk apa kamu minta dia datang lusa nanti?" "Mas percaya padaku?" Dia mengangguk. "Kalau begitu, ikuti saja semua arahan dan perintahku tadi. Cukup ikuti sandiwara yang sudah kubuat ini. Ok, Suamiku?" Mas
"Temani Hafsha dulu, ya. Mama mau temui tamunya," pintaku pada Alex yang dijawabnya dengan anggukan.Aku berjalan keluar kamar Hafsha bersama Bi Yatmi untuk menemui tamu yang datang. Seorang wanita yang memakai kemeja putih dipadukan blazer abu tengah duduk di ruang keluarga. Dia menoleh dan terlihat mengubah posisi duduk saat menyadari kehadiranku."Tolong buatkan minum, ya, Bi.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk dan pergi ke dapur.Wanita ini tersenyum canggung dan hendak berdiri, tapi aku kembali mempersilakannya duduk. Namanya Claudia —sekretaris Mas William yang sudah dipecat."Silakan diminum," ucapku padanya ketika Bi Yatmi menyajikan minuman di meja."Terima kasih." Dia meneguk minumannya sedikit.Dari gelagat yang terlihat gelisah saja, aku sudah tahu maksud kedatangan dia apa. Bahkan, aku sudah bersiap dengan apa yang akan dikatakannya sekarang."Pak Williamnya ada?" Dia mulai membuka percakapan."Enggak usah basa-basi. Kamu pasti sudah tahu suamiku itu sibuk. Kamu datang ke s
"Hati-hati!" ucapku setelah Alex mencium punggung tanganku dan Mas William.Alex mengangguk, lalu naik ke mobil. Sesekali dia memang diantar sopir, tapi tak jarang juga diantar Mas William."Jangan lupa kabarin mama atau Papa kalau ada sesuatu, ya," pesanku sebelum mobilnya melaju keluar halaman.Alex mengangkat satu jempol dan melambaikan tangan pada Hafsha yang tersenyum ceria pada kakaknya."Mas enggak ke kantor?" tanyaku saat kami tengah berjalan masuk lagi."Enggak. Kan, hari ini ada peresmian usaha baru, Sayang. Restoran. Lupa, ya?""Oh, iya. Maaf, Mas. Lupa.""Dasar." Dia tersenyum seraya mencubit gemas pipiku yang lebih berisi ini."Jam berapa Mas berangkat?""Jam sepuluh. Nanti kamu dan Hafsha ikut, ya?" ujarnya setelah kami duduk di sofa ruang keluarga."Boleh?""Ya jelas boleh, dong, Sayang. Malah kamu wajib hadir." Mas William merangkul dan mengusap-usap lenganku."Aku boleh ikut juga, Pah?" tanya Hafsha yang duduk di pangkuannya."Uhm– boleh ikut enggak, ya?" Mas William
Setelah hampir enam bulan mengalami gejala stroke ringan, sekarang aku sudah sembuh total dan bisa beraktivitas dengan normal lagi. Hanya saja, dokter menyarankan untuk tetap menjaga pola hidup agar gejala stroke tak kembali menyerang. Termasuk mencegah terjadinya tensi yang tinggi baik itu oleh pola makan maupun pikiran.Selama aku sakit, Mas William benar-benar seperti malaikat tak bersayap. Dia selalu ada di sisiku. Menjadi kaki dan tangan yang belum bisa berfungsi normal. Dia selalu membantuku dengan menyuguhkan senyum manisnya. Bahkan, dia tidak pernah pergi ke kantor. Semua urusan pekerjaan diserahkan pada asisten pribadi kecuali memang harus menghadiri meeting penting.Tak terasa, sekarang kami sudah menjalani pernikahan lagi selama setahun setengah lebih lamanya. Tak ada masalah yang berarti. Saling terbuka dan jujur membuat kami tak pernah salah paham lagi.Hubunganku dengan Indira pun lebih baik. Dia juga bisa lebih menghargaiku dan menjaga sikap. Dia hanya akan datang sesek
Mataku terbuka perlahan ketika merasakan usapan lembut di pipi. Mas William tersenyum dengan Hafsha yang tertidur di pangkuannya."Sudah sampai, Mas?"Mas William mengangguk. "Ayo turun."Mama dan Papa mendekat ke mobil kami. Mengambil alih menggendong Hafsha karena Mas William harus membantuku turun."Enggak mau, Mas. Enggak usah digendong," tolakku saat hendak dibopongnya."Kenapa?""Aku mau jalan saja. Kan, dokter juga menyarankan kalau aku harus sering latihan.""Iya memang. Tapi ini sudah larut malam. Kamu capek.""Aku masih kuat, Mas."Mas William menghela napas pelan, lalu merangkulku."Ya sudah ayo. Tapi pelan-pelan." Mas William mulai memapahku menyusul Mama Papa yang sudah masuk lebih dulu."Permisi, Pak." Pak Agung–salah satu sopir pribadi keluarganya menghampiri kami yang sudah sampai di pintu. "Barang-barangnya mau disimpan di mana?""Oh, letakkan di ruang keluarga dulu saja. Biar besok saya yang rapikan.""Baik, Pak." Pak Agung mengangguk, lalu kembali ke mobil."Mamaa!"
Selama bukan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan atau tidak menafkahi dengan sengaja, cobalah untuk bertahan. Masalah kecil masih bisa dibicarakan dan dicari solusinya sama-sama.Hubungan yang rusak tak melulu harus diganti baru. Diperbaiki bukan diakhiri, dibicarakan bukan ditinggalkan. Itulah dewasa.Pernikahan merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Butuh kesabaran dan kerjasama pasangan. Mempertahankan pernikahan itu tak bisa dilakukan seorang diri. Pria dan wanita disatukan dalam ikatan janji suci bukan untuk saling menuntut kesempurnaan, melainkan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan.Janganlah menuntut pasangan untuk sempurna tanpa celah, tapi sempurnakanlah diri kita untuk menutupi kekurangannya. Aku pun menyesal sudah berpisah dari Mas William.Namun, saat itu aku tidak berdaya karena Mas Williamlah yang memegang kendali sebagai suami. Kami berdua sadar telah sama-sama salah dan berdosa. Ego dan kemarahan sesaat telah membuat pernikahan kami han