"Maumu apa, sih?" tanyaku kesal."Jadilah modelku."Aku diam sejenak, lalu tertawa. "Terima kasih sudah menghiburku dengan leluconmu itu," ujarku, lalu pergi."Aku enggak bercanda." Pria itu menyejajarkan langkahnya denganku. "Aku memang lagi butuh model baru dan kamu itu cocok. Ayolah! Kamu akan kubuat terkenal dengan bayaran yang memuaskan.""Enggak. Makasih. Aku enggak tertarik," sahutku cuek tanpa menoleh padanya."Kamu dan bayimu ini bisa jadi model barengan, lho," bujuknya lagi."Enggak.""Oh, C'mon. Apa ruginya jadi model? Kamu akan dikenal banyak orang.""Aku bilang enggak, ya, enggak. Maksa banget, sih." Aku mendelik kesal padanya."Tolonglah ... aku butuh model yang fresh. Dan kamu sangat sempurna dan cocok untuk kriteria model yang kucari," rayunya seraya berjalan mundur di hadapanku.Aku berhenti melangkah, lalu menghela napas pelan. "Terima kasih atas tawaran baiknya. Tapi aku benar-benar enggak minat. Maaf. Aku enggak mau fokusku mengurus anak terganggu.""Enggak akan me
Sudah pukul setengah tujuh lewat, tapi Bang Leon belum juga pulang. Padahal, sebentar lagi orang yang mau survei rumah ini akan segera datang. Sudah coba kuhubungi, tapi tidak aktif. Tidak biasa-biasanya Bang Leon pulang setelat ini tanpa kabar apa pun.Aku turun untuk menanyakan hal itu pada Mira. Dia istrinya Bang Leon sekarang. Mungkin pria itu mengabari soal keterlambatan pulangnya pada wanita itu.Namun, baru saja hendak mengetuk pintu kamarnya, tangan ini seketika terhenti di udara saat samar-samar mendengar Mira tengah berbicara dengan seseorang. Kutempelkan telinga ke daun pintu supaya lebih jelas. Mira sedang tertawa dan berbicara dengan nada manja pada seseorang. Cukup membuat kaget ketika mendengar kata 'sayang' terucap darinya.Sayang? Mungkinkah itu Bang Leon? Tapi bukankah nomornya sedang tidak aktif?Pikiran negatif mulai merasuki kepala. Tak mau menduga-duga, segera kuhubungi kembali nomor Bang Leon untuk memastikan dan ternyata memang masih tidak aktif."Terus, siapa
Aku yang tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper pun terdiam sejenak. Mata memindai ke sekeliling kamar. Berbagai kenangan manis bersama Bang Leon saat kami masih bersama kembali hadir satu per satu bak cuplikan film. Menghadirkan desiran perih di hati dan mata yang terasa memanas.Begitu banyak kenangan di rumah ini. Sejujurnya, aku berat hati untuk menjual, tapi mau bagaimana lagi? Ini yang terbaik untuk kami berdua.Kuseka air mata, lalu kembali melanjutkan merapikan pakaian. Tak berselang lama, pintu kamar di ketuk pelan."Boleh abang masuk, Dek?" tanyanya dari luar kamar."Masuklah, Bang. Enggak dikunci!" sahutku tanpa menghentikan aktivitas.Kulirik sekilas Bang Leon yang sedang berjalan mendekat, lalu dia duduk di tepi ranjang. Alva seketika merangkak mendekat dan langsung naik ke pangkuannya. Bang Leon menciumi wajah bayi itu, lalu memeluknya erat.Aku memilih pergi menuju lemari. Berpura-pura mencari sesuatu lagi. Padahal, hanya ingin menyembunyikan mata yang
Aku yang tengah duduk santai menonton televisi, langsung menoleh saat mendengar pintu dibuka. Tak lama, Bang Leon dan Mira muncul. Keduanya tertegun yang hanya kubalas dengan senyuman miring."Kok, Mbak Lusi masih ada di sini, sih, Bang? Bukannya dia pergi tadi pagi?" Mira menggoyang-goyang lengan Bang Leon."Memangnya kenapa kalau aku masih di sini? Masalah buatmu?" sahutku santai."Dek ...." Bang Leon mendekat. "Apa kontrakannya ada masalah? Biar abang bantu carikan lagi.""Enggak perlu, Bang." Aku mengibaskan tangan."Kenapa? Nanti keburu pemilik rumah ke sini dan ngusir kamu, gimana?"Aku berdiri seraya menggendong Alva."Abang enggak usah pikirin aku. Kalian mau keluar sore ini, kan? Lebih baik cepat bereskan barang-barangnya dan pergi," titahku, lalu pergi meninggalkan keduanya dalam mode kebingungan.Masih bisa kudengar Mira mempertanyakan soal keberadaanku, tapi Bang Leon pun tidak tahu jawabannya.Setelah menyusui Alva, kubaringkan dia di box bayi, lalu pergi dan menutup pint
Ponsel Mas Firman berdering. Dia berbicara entah dengan siapa, tapi sepertinya membahas pekerjaan."Ada pertemuan mendadak, Pak. Bagaimana?""Kamu saja yang wakili saya.""Baik." Mas Firman mengangguk, lalu menatap padaku. "Maaf, Mbak. Saya pamit duluan. Mbak makan siang dengan Pak William saja.""Katanya tadi kamu yang lapar," tukasku pelan. Berusaha tak terlihat kesal."Iya, Mbak. Maaf. Pertemuannya dadakan. Permisi." Mas Firman membungkukkan badannya padaku, lalu bergegas pergi.Ish, tahu gitu mending tadi langsung pulang saja. "Lusi?""Y-ya?" Aku tergagap karena sempat menggerutu dalam hati."Ayo dimakan. Jangan dianggurin itu makanannya. Sayang sudah pesan." Pak William tersenyum."Iya, Pak." Aku mengangguk, tersenyum canggung, lalu mulai menikmati hidangan yang tersaji.Rasa kesal perlahan memudar saat kami mulai terlibat percakapan ringan. Dulu, kami memang akrab karena aku bekerja dengannya, tapi semenjak berhenti dan lose contact, aku jadi bingung dan merasa canggung sendiri
"Berhenti memaksanya seperti itu."Kami serempak menoleh, menatap Pak William yang berdiri tak jauh dari kami."Lepaskan tangannya." Mas William menghampiri kami dengan raut wajah dingin."Siapa kamu berani ikut campur urusan orang?"Aku mundur beberapa langkah seraya mengusap lengan setelah Austin melepas cekalannya."Siapa pun aku, itu bukan urusanmu," sahut Mas William.Keduanya saling melemparkan tatapan tajam dengan jarak yang sangat dekat. Aku berdiri tertegun sambil menelan ludah. Menatap khawatir ke sekeliling ketika perdebatan kami mulai semakin menjadi pusat perhatian.Bagaimana kalau mereka berkelahi di sini?Baru saja maju selangkah untuk memisahkan dan hendak mengucapkan sesuatu, mulut ini dibuat terkatup rapat lagi ketika melihat keduanya tiba-tiba tertawa bersama, kemudian berpelukan sebentar. Aku masih melongo di sini dengan mata mengerjap cepat beberapa kali. Keduanya menoleh, tapi malah semakin tertawa kencang saat melihatku bengong."Kenapa? Kaget, ya?" Austin mende
"Katakan ada perlu apa." "Anu, Dek. Abang ...." Dia menunduk seraya menggaruk kepalanya. "Abang dipecat dari kantor beberapa hari yang lalu," lirihnya dengan tatapan sendu. "Dipecat? Kenapa?" tanyaku kaget. Bang Leon menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan dengan wajah menengadah ke atas. "Abang ketahuan terlibat korupsi, Dek." "Apa?!" sahutku kaget. "Enggak besar, Dek. Hanya seratus juta saja." "Enggak besar kata Abang?" Aku tertawa miris. "Seratus juta itu bukan uang yang sedikit, Bang. Mau seribu perak pun yang namanya korupsi, ya, tetap korupsi! Abang kenapa bisa sampai meelakukan hal bodoh itu, sih? Sejak kapan Abang berani ambil uang haram?" cecarku dengan tatapan tajam. "Abang terpaksa, Dek. Abang juga enggak pernah berniat melakukannya." "Lalu?" desakku geram. "Mira, Dek. Mira selalu nuntut ini itu. Uang gajian Abang selalu habis untuk foya-foya. Dia selalu beli barang-barang mahal yang harganya bikin Abang syok." "Ya, jangan Abang turutin, dong! Abang
"Masalahnya kenapa?""Masalahnya mobil itu belum laku juga, Dek. Padahal, tenggat waktu tinggal satu hari lagi. Abang harus gimana, Dek? Abang enggak mau masuk penjara." Mata Bang Leon berkaca-kaca menatapku."Mira enggak mau bantu Abang, gitu? Barangkali dia bisa cari pinjaman ke teman atau orangtua dan kerabatnya."Bang Leon menggeleng. "Malah sudah dari lima hari yang lalu dia pulang ke rumah papanya, Dek. Dia pergi setelah kami bertengkar hebat karena masalah ini.""Atau jadikan saja mobil itu sebagai jaminan ke perusahaan sampai Abang bisa bayar."Bang Leon kembali geleng. "Enggak boleh. Abang sudah coba, tapi ditolak."Gustiii, kenapa aku jadi ikut pusing karena masalah Bang Leon ini? Hadeeh! Datang-datang bukannya bawa oleh-oleh untuk anak, malah bawa masalah.Kulirik Bang Leon yang sedang mengajak Alva berbic
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Niat awal memang ingin melahirkan secara normal lagi, tapi ternyata tidak memungkinkan. Kali ini, dokter menyarankan agar menjalani operasi caesar demi keselamatanku dan bayinya. Akhir-akhir ini, tekanan darahku sering tidak stabil dan cenderung tinggi. Sampai Mas William dan orangtuanya panik sendiri takut terjadi apa-apa padaku.Aku pun tak bisa keras kepala. Jika memang melahirkan secara caesar adalah jalan terbaik, maka akan kulakukan.Tanggal sudah ditentukan dan kini semua persiapan sudah selesai. Jujur, aku sangat gugup karena ini pertama kalinya akan menjalani operasi. Bahkan kedua tanganku sampai gemetar, tapi Mas William dan orangtuanya selalu ada untuk menguatkan dan menenangkan."Dengar." Mas William menangkup lembut kedua pipiku. "Ada mas di sini. Enggak akan terjadi apa pun padamu atau bayi kita. Ok? Kamu harus rileks. Jangan sampai tensi kamu naik terus. Hm?"Aku mengangguk dan mencoba mengatur pernapasan."Berdoa, ya, Nak." Mama mengusap
Semua file bukti kebohongan Claudia sudah kusiapkan dengan baik. Ini juga berkat bantuan Mas Firman —asisten pribadi Mas William— yang diam-diam bantu menyelidiki. Memang aku sengaja tak memberitahu Mas William soal rencana ini. Saat itu, dia sedang banyak pikiran dan sibuk mengurus bisnis. Sampai-sampai dengan mudahnya memberikan uang tanpa berpikir dulu.Maka dari itu, biarlah kuman kecil seperti Claudia kutangani sendiri. Suami istri memang harus saling bahu membahu termasuk dalam membasmi bibit-bibit penyakit dalam pernikahan."Permisi, Bu."Aku menoleh pada Bi Yatmi yang berdiri di depan pintu yang memang terbuka lebar. Kuletakkan lipstik, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya."Ya, Bi.""Tamunya sudah datang, Bu."Aku tersenyum. "Persilakan masuk dan sajikan minum.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk paham, lalu kembali ke lantai bawah.Aku berjalan ke kamar Hafsha untuk memanggil Mas William yang sedang bermain bersamanya. Hafsha sempat merengek minta ikut, tapi berhasil kubuju
Selama makan di restoran, hanya aku dan Mas Williamlah yang berbincang. Claudia bak makhluk tak kasat mata yang tidak diakui kehadirannya. Dia menyantap makan siang dengan wajah masam sambil sesekali melirik pada kami yang duduk di hadapannya."Enak?"Aku mengangguk dan tersenyum. "Coba, deh, Mas."Mas William membuka mulut menerima suapan dariku, lalu tersenyum."Enak, kan?" Aku terkekeh kecil."Iya. Kamu mau coba punya mas enggak?""Mau, dong."Kini giliran aku yang tersenyum menerima suapan darinya beberapa kali. Setelah menghabiskan menu utama, kini aku tengah menikmati es krim strawberry. Sementara, Mas William sedang menikmati minuman sodanya sambil memandangiku."Ada es krim nempel." Mas William mengusap sudut bibirku dengan ibu jari. "Manis," imbuhnya setelah menjilat ibu jari sendiri.Aku tertawa kecil. "Manis, dong, Mas. Namanya juga es krim.""Iya. Semanis yang lagi makan esnya." Mas William mencubit gemas hidungku."Eh? Mau ke mana, Claudia?" tanyaku saat melihatnya beranj
"Kamu meragukanku?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut. Aku tersenyum, lalu mendekat padanya yang berdiri di dekat meja rias. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya," kataku sembari membantu membukakan kancing kemeja. "Terus, kenapa malah menyetujui permintaan Claudia? Kamu sungguh ingin mas menikahinya?" Tersirat ada kekecewaan dari sorot matanya yang membidikku. Kutangkup kedua pipinya lembut seraya menatap lekat. "Apa aku terlihat tipe wanita yang rela berbagi, hm? Mas William menyentak napas kasar, lalu menyentuh satu tanganku di pipinya. "Mas takut kamu terhasut ucapan Claudia, Sayang. Mas enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya." Aku tersenyum. "Itu enggak akan terjadi. Enggak akan kubiarkan batu kerikil menghancurkan pernikahan kita." "Terus untuk apa kamu minta dia datang lusa nanti?" "Mas percaya padaku?" Dia mengangguk. "Kalau begitu, ikuti saja semua arahan dan perintahku tadi. Cukup ikuti sandiwara yang sudah kubuat ini. Ok, Suamiku?" Mas
"Temani Hafsha dulu, ya. Mama mau temui tamunya," pintaku pada Alex yang dijawabnya dengan anggukan.Aku berjalan keluar kamar Hafsha bersama Bi Yatmi untuk menemui tamu yang datang. Seorang wanita yang memakai kemeja putih dipadukan blazer abu tengah duduk di ruang keluarga. Dia menoleh dan terlihat mengubah posisi duduk saat menyadari kehadiranku."Tolong buatkan minum, ya, Bi.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk dan pergi ke dapur.Wanita ini tersenyum canggung dan hendak berdiri, tapi aku kembali mempersilakannya duduk. Namanya Claudia —sekretaris Mas William yang sudah dipecat."Silakan diminum," ucapku padanya ketika Bi Yatmi menyajikan minuman di meja."Terima kasih." Dia meneguk minumannya sedikit.Dari gelagat yang terlihat gelisah saja, aku sudah tahu maksud kedatangan dia apa. Bahkan, aku sudah bersiap dengan apa yang akan dikatakannya sekarang."Pak Williamnya ada?" Dia mulai membuka percakapan."Enggak usah basa-basi. Kamu pasti sudah tahu suamiku itu sibuk. Kamu datang ke s
"Hati-hati!" ucapku setelah Alex mencium punggung tanganku dan Mas William.Alex mengangguk, lalu naik ke mobil. Sesekali dia memang diantar sopir, tapi tak jarang juga diantar Mas William."Jangan lupa kabarin mama atau Papa kalau ada sesuatu, ya," pesanku sebelum mobilnya melaju keluar halaman.Alex mengangkat satu jempol dan melambaikan tangan pada Hafsha yang tersenyum ceria pada kakaknya."Mas enggak ke kantor?" tanyaku saat kami tengah berjalan masuk lagi."Enggak. Kan, hari ini ada peresmian usaha baru, Sayang. Restoran. Lupa, ya?""Oh, iya. Maaf, Mas. Lupa.""Dasar." Dia tersenyum seraya mencubit gemas pipiku yang lebih berisi ini."Jam berapa Mas berangkat?""Jam sepuluh. Nanti kamu dan Hafsha ikut, ya?" ujarnya setelah kami duduk di sofa ruang keluarga."Boleh?""Ya jelas boleh, dong, Sayang. Malah kamu wajib hadir." Mas William merangkul dan mengusap-usap lenganku."Aku boleh ikut juga, Pah?" tanya Hafsha yang duduk di pangkuannya."Uhm– boleh ikut enggak, ya?" Mas William
Setelah hampir enam bulan mengalami gejala stroke ringan, sekarang aku sudah sembuh total dan bisa beraktivitas dengan normal lagi. Hanya saja, dokter menyarankan untuk tetap menjaga pola hidup agar gejala stroke tak kembali menyerang. Termasuk mencegah terjadinya tensi yang tinggi baik itu oleh pola makan maupun pikiran.Selama aku sakit, Mas William benar-benar seperti malaikat tak bersayap. Dia selalu ada di sisiku. Menjadi kaki dan tangan yang belum bisa berfungsi normal. Dia selalu membantuku dengan menyuguhkan senyum manisnya. Bahkan, dia tidak pernah pergi ke kantor. Semua urusan pekerjaan diserahkan pada asisten pribadi kecuali memang harus menghadiri meeting penting.Tak terasa, sekarang kami sudah menjalani pernikahan lagi selama setahun setengah lebih lamanya. Tak ada masalah yang berarti. Saling terbuka dan jujur membuat kami tak pernah salah paham lagi.Hubunganku dengan Indira pun lebih baik. Dia juga bisa lebih menghargaiku dan menjaga sikap. Dia hanya akan datang sesek
Mataku terbuka perlahan ketika merasakan usapan lembut di pipi. Mas William tersenyum dengan Hafsha yang tertidur di pangkuannya."Sudah sampai, Mas?"Mas William mengangguk. "Ayo turun."Mama dan Papa mendekat ke mobil kami. Mengambil alih menggendong Hafsha karena Mas William harus membantuku turun."Enggak mau, Mas. Enggak usah digendong," tolakku saat hendak dibopongnya."Kenapa?""Aku mau jalan saja. Kan, dokter juga menyarankan kalau aku harus sering latihan.""Iya memang. Tapi ini sudah larut malam. Kamu capek.""Aku masih kuat, Mas."Mas William menghela napas pelan, lalu merangkulku."Ya sudah ayo. Tapi pelan-pelan." Mas William mulai memapahku menyusul Mama Papa yang sudah masuk lebih dulu."Permisi, Pak." Pak Agung–salah satu sopir pribadi keluarganya menghampiri kami yang sudah sampai di pintu. "Barang-barangnya mau disimpan di mana?""Oh, letakkan di ruang keluarga dulu saja. Biar besok saya yang rapikan.""Baik, Pak." Pak Agung mengangguk, lalu kembali ke mobil."Mamaa!"
Selama bukan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan atau tidak menafkahi dengan sengaja, cobalah untuk bertahan. Masalah kecil masih bisa dibicarakan dan dicari solusinya sama-sama.Hubungan yang rusak tak melulu harus diganti baru. Diperbaiki bukan diakhiri, dibicarakan bukan ditinggalkan. Itulah dewasa.Pernikahan merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Butuh kesabaran dan kerjasama pasangan. Mempertahankan pernikahan itu tak bisa dilakukan seorang diri. Pria dan wanita disatukan dalam ikatan janji suci bukan untuk saling menuntut kesempurnaan, melainkan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan.Janganlah menuntut pasangan untuk sempurna tanpa celah, tapi sempurnakanlah diri kita untuk menutupi kekurangannya. Aku pun menyesal sudah berpisah dari Mas William.Namun, saat itu aku tidak berdaya karena Mas Williamlah yang memegang kendali sebagai suami. Kami berdua sadar telah sama-sama salah dan berdosa. Ego dan kemarahan sesaat telah membuat pernikahan kami han