"Kini telah tiba saatnya, bahkan aku tidak perlu bersusah payah membalas dendam. Semua sudah Tuhan gariskan hukum tabur tuai".(Din kamu masih di situkan?) Tanya Hardian pada lawan bicaranya. Pasalnya sambungan telfon masih tersambung, tapi ia sama sekali tidak mendengar suara wanita pujaannya itu. (Eh masih kok mas, ya udah Dinda tutup dulu ya telfonnya. Cuma mau menanyakan itu kok) jawab Adinda yang tersadar dari lamunannya. (Baiklah, assalamualaikum) (Waalaikumsalam) Harto dan Sofiyah sedari tadi menunggu di samping putrinya. Sebenarnya itu tadi adalah pertanyaan yang Harto tanyakan kepada Dinda. "Bagaimana nduk?"tanya Sofiyah tidak sabar. "Kata mas Hardian, keluarga Bagaskara akan diundang semuanya pak, bu.""Aduh, ibu kok jadi takut ya. Kalau mendengar ceritamu itu lho nduk, keluarga mantan suamimu itu mengerikan.""Tidak apa apa bu tenang saja, pasti pak Galih dan nak Hardian sudah memikirkan matang matang" sambung Harto berusaha menenangkan istrinya. "Iya pak, ibu bersy
Pov HendraAnak itu kenapa aku sangat tidak asing dengan wajahnya. Aku mencoba untuk lebih mendekat ke arah panggung. Namun papa menahanku. "Kita di sini saja Hendra, nanti mendekat untuk berpamitan sekaligus memberi ucapan selamat. "Aku menurut. Apalagi Laura memberikan Kalila kepadaku dengan alasan ingin ke toilet. "Pa... coba papa lihat anak kecil yang berdiri di samping Dinda, kenapa aku merasa tidak asing ya?" Ucapku yang masih mencoba mengobati rasa penasaranku. Bukan hanya papa, mama dan nenek pun melihat ke arah panggung. Eskpresi terkejut tercetak jelas di wajah mereka. "Hendra, wajah itu mirip sekali denganmu waktu kecil. Mama seperti melihatmu lagi setelah 25 tahun silam." Ucap mama yang menjadi paling pertama menimpali. "Lihatlah si gadis kecil di samping mempelai pria, apakah mereka kembar? Meskipun wajahnya terlapisi make up tapi mata dan bibir itu adalah milikmu. " Jawaban ayah langsung membuatku menggulirkan pandang ke sisi lain sebelah kanan. Benar juga. Pikir
"Apa itu? " tanya mereka serempak. "Kita bawa hak asuh itu ke pengadilan, bilang jika Dinda meyembunyikan kehamilannya dari kita, "Usulan Hendra membuat mereka berfikir, kecuali Liliana dan Laura. "Tapi bukankah kamu dulu tidak menginginkan Dinda hamil? lantas bagaimana jika dia menggunakan alasan itu untuk menyanggahnya? " ucap Liliana turut berkomentar. "Alah, itu mah gampang, " kilah Hendra. **** "Mas udah ih, kamu kaya Reina deh dusel dusel mulu, " protes Dinda saat sang suami terus menempel padanya. Tapi protesan Dinda hanya sekedar angin lalu. Terbukti dari perilaku Hardian yang sama sekali tidak berubah tempat. Setelah acara selesai tadi, sepasang pengantin baru itu langsung menuju kamarnya. Untungnya si kembar sudah tidur nyenyak bersama omanya. "Kamu gak tau kan Din, aku itu suka sama kamu dari pandangan pertama. Sejak kamu masih menjadi istri Hendra, jadi jangan larang larang kalau aku sekarang nempel terus. Udah halal juga, anggap aja aku lagi balas dendam." Jawab
Pov Adinda"Mas, " dengan tangan yang gemetar, aku menyodorkan ponsel itu ke arah mas Hardian. Peraupan mas Hardian yang awalnya cerah sekatika merah padam. "Pa, memang gak tau diri ternyata si Hendra itu, "Perkataannya membuat beberapa pasang mata menoleh. "Apa maksudmu? " tanya papa Galih yang sepertinya belum paham dengan perkataan putranya. Namun setelah membaca pesan di poselku, senyum miringnya tercetak. Aku sampai ngeri melihatnya. "Biarkan saja, kita akan melawan jika mereka sudah bertindak. Dan untuk Pak Harto dan bu Sofiyah, saya harap untuk sementara waktu tinggallah di sini. Takutnya jika mereka menjadikan bapak dan ibu sebagai alat untuk merebut si kembar, "Aku mengangguk membenarkan perkataan papa mertua. "Maksudnya bagaimana pak, mereka siapa?" kulihat bapak masih belum paham juga dengan keadaannya. "Gini pak, Dinda tadi dapat pesan dari nomor yang tidak dikenal, mereka mengancam akan mengambil si kembar. Dan menurut saya itu tidak lain adalah keluarga Bagaskar
"Jadi isi surat itu apa mas? ""Nih baca sendiri, aku juga bingung soalnya. Seperti permintaan maaf, curhat, atau ucapan selamat lah, "Aku mengerutkan kening bingung, lantas ku buka lipatan kertas itu. To : Adinda AyumiTerimakasih kamu sudah selamat. Terimakasih telah berjuang membesarkan cucu cucu ibu. Maafkan ibu yang gagal menjadi mertua yang baik untukmu. Gagal juga dalam mendidik putra ibu untuk menjadi suami yang baik. Sebenarnya sejak awal ibu sudah tahu rencana Hendra. Makanya pernah memperingatkanmu untuk berhati hati. Namun ternyata terlambat, kejadiaan naas itu akhirnya terjadi juga. Ibu penasaran bagaimana ceritanya hingga kamu bisa bertahan sejauh ini. ibu yakin pasti sangat berat masa masa kehamilanmu, apalagi kembar. Izinkan ibu untuk kembali berbincang denganmu saat ibu terbebas nanti. Meskipun itu terdengar tidak tau diri, tapi setidaknya ibu berusaha. Ibu juga bahagia, akhirnya kamu menemukan jodoh yang pantas untukmu. Nak Hardian baik, ibu pernah beberapa kal
"Hei keluar kamu wanita j*l*ng!" "Adinda keluar kamu!"Aku yang masih berada dalam gendongan mas Hardian terkejut mendengar teriakan ibu. Begitu juga dengan kedua anakku. Aku buru buru meminta ibu untuk membawa mereka ke kamarnya. Mas Hardian menurunkan aku begitu saja, kakinya melangkah menuju pintu utama. Aku mengikuti di belakangnya, begitu juga dengan mama. "Maaf cari siapa? " tanya mas Hardian tegas. "Adinda istri kamu, perempuan gatal itu sudah membuat mas Hendra mengabaikanku, " jawabnya menggebu gebu. Oh ternyata istri mas Hendra, entah siapa namanya. Aku maju di samping suamiku. Wajahnya kian memerah kala melihatku. Tangannya juga diayunkan ke arah wajahku. Namun tangan kekar mas Hardian dengan mudah menangkapnya. "Jangan sampai tangan anda menyentuh seinci pun tubuh istri saya, atau anda akan berurusan dengan saya?""Istri yang kamu bela itu ingin merebut suamiku ! sejak kehadirannya, mas Hendra jadi mengabaikanku. Hanya anak anak kembar si*l*nnya itu yang ia sebut se
"Saya memiliki bukti buktinya, tolong pak Bambang, " ucapku meminta pak Bambang untuk memperlihatkan bukti buktinya. Sebuah video dan lampiran berisi screenshootan. Video itu diputar dengan volume yang sengaja dikeraskan. Terdengar percakapan antara mas Hendra dan istrinya saat ini. Wajah mereka seketika pucat pasi, begitu juga dengan seluruh keluarga Bagaskara. Pak bambang maju ke depan menyerahkan lampiran itu. Terlihat para jaksa berbincang satu sama lain. Hingga akhirnya... "Dengan ini, kami memutuskan jika hak asuh anak jatuh kepada Ibu Adinda Ayumi. Dan sidang kali ini kami tutup."Tok tok tokKetukan palu itu bagaikan angin segar yang menerbangkan jutaan beban di pundakku. Aku menangis terlalu bahagia. Mas Hardian menghampiriku, ia mendekapku sejenak. "Sudah aku katakan, mereka anak anakku. Jadi tidak akan ku biarkan siapapun mengambilnya dariku."Aku mengangguk. Seharusnya aku percaya dari awal pada suamiku itu, tapi rasa was was kehilangan kedua buah hatiku lebih men
Aku gelagapan mendengar pertanyaan putraku itu. Apalagi melihat wajah tengil mas Hardian. Ingin rasanya ku karungin saja suamiku itu. "Nanti Ena kalau sudah besal pingin deh nikah sama papa, "Belum sempat aku menjawab, kami sudah dibuat shock dengan penuturan sibungsu. Bisa bisanya dia berfikiran seperti itu. "Gak boleh dong, kan dia papa Reina. Lagian kalau Reina sudah besar, papa pasti sudah tua kaya opa.""Benarkah papa?" tanyanya yang masih berusaha memastikan kepada papanya. "Iya dong, Reina itu masih kecil jangan mikir nikah dulu. Belajar yang rajin agar cita citanya tercapai, oke! ""Oke papa." ***********Pov AuthorSedangkan di belahan bumi lain, Hendra masih saja marah marah kepada istrinya. "Apa yang sebenarnya kamu lakukan sih sampai Reina ketakutan begitu ha?" teriaknya dengan intonasi yang meninggi. "Emangnya kenapa mas? aku hanya datang ke rumah mereka, memberi peringatan pada mantan istrimu itu agar tidak berusaha menggodamu lagi menggunakan anak anaknya. Apa it
Pagi harinya sesuai kesepakatan, Sapta datang ke kantor MLN Groub.Kantor yang dulunya adalah pesaing bisnisnya, kini akan menjadi tempat dia mengais rupiah demi menutupi kebutuhannya sehari harinya. Tatapan bingung, mencemooh, simpati, Sapta dapatkan dari banyaknya pekerja yang berpapasan tadi. Jika dia dulu masuk dengan setelah jas mahal, dan wajah angkuh kini ia harus membiasakan diri dengan menyapa beberapa orang di sekitarnya. Tidak papa, ini hanya permulaan. Semua yang ingin berkembang, pasti harus berani memulainya dengan berbagai resiko yang berbeda. "Ada yang bisa saya bantu Pak?" tanya seorang perempuan berhijab yang tak lain adalah sekretaris Galih. "Pak Galihnya ada?" "Ada, beliau baru saja tiba. Apakah bapak sudah membuat janji?" "Sudah, Pak Galih sendiri yang meminta saya untuk datang hari ini." "Baik Pak, kalau begitu silahkan duduk dulu!" Sapta menurut, dia duduk sambil mengamati ketika wanita berhijab itu begitu lincah dengan tablephone nya. Dia jadi teringa
Hallooo Adikkk...!" Suara riang Reina membuat mereka yang sedang duduk di ruang tamu menerka nerka. "Siapa sih sayang yang datang?" Tanya Hardian menyusul putrinya. "Loh Pak Sapta, tumben, udah lama sekali lo gak main ke sini. Mari silahkan masuk!" "Pak Galihnya ada Mas?""Ada Pak, kebetulan sedang santai di ruang tamu. Langsung masuk aja, silahkan Bu! sama siapa ini?" "Kalila Om," jawab bocah berkuncir dua itu. "Oh iya, makanya Reina senang sekali, ternyata kedatangan adiknya toh. Ayo Sayang adiknya diajak masuk ke dalam!" Sapta beserta istri dan cucunya mengekor langkah Hardian masuk ke dalam rumah."Loh Pak Sapta mari duduk, silahkan Bu!" Ujar Galih saat melihat siapa tamunya. "Maaf menganggu waktu bersantai anda bersama keluarga Pak," Ucap Sapta merasa tidak enak. "Tidak Pak, ini hanya kebetulan anak, cucu sedang berkunjung.""Iya Bu Lili, kok gak pernah main ke sini. Terakhir 3 bulan yang lalu kan? Sekarang bagaimana kabarnya?" Alina ikut bertanya. "Kabar baik Bu, hanya
"Ma, apa tidak papa jika kita meminta pekerjaan kepada pak Galih?" Liliana yang sedang menemani cucunya menonton televisi menoleh. Ditatapnya sang suami dengan prihatin. Mau bagaimana pun ia tidak bisa memaksa suaminya itu untuk kerja serabutan layaknya tukang atau kuli bangunan. Bahkan caranya saja dia tidak tahu. Ini adalah bulan ketiga Sapta menganggur, keseharian Liliana yang hanya membuat kue serta jajanan ringan untuk dititipkan di warung-warung ternyata tidak mampu menutup perekonomian mereka. Hasil penjualan rumahnya dulu, Sapta gunakan untuk menutup gaji para pegawai, dan membeli rumah kecil yang kini mereka huni. Sisanya dia simpan sebagi pegangan jika ada kebutuhan mendadak serta modal jualan sang istri. "Jika kamu tidak malu tak apa mas, kemarin juga pak Galih sudah menawarkan kepada kita kan? Namun aku juga tidak memaksa, karena di sini menyangkut harga dirimu juga." Jawab Liliana atas pertanyaan sang suami. Sapta terdiam, ia kembali menimang nimang keputusannya itu
"Mas Sapta," Sapta yang tengah terduduk dengan tatapan kosongnya seketika berbinar. Dicarinya dari mana suara itu berasal, hingga tatapannya terkunci pada sosok perempuan yang berhasil menjungkir balikkan hidupnya beberapa hari ini. Perempuan yang masih saja terlihat anggun di usianya yang menginjak kepala lima. Perempuan yang sedang menggendong seorang anak kecil yang kini telah kehilangan ibunya. "Li, kamu kembali?" tanya Sapta ragu. Galih yang merasa tidak berhak mendengar pun pamit undur diri, begitu juga dengan Hardian dan Adinda. "Kami pamit ya pak," Sapta tidak menggubris, fokusnya masih kepada kedatangan istrinya. "Terimakasih ya Bapak, ibu, nak." Melihat tidak ada respon dari suaminya, akhirnya Liliana yang menjawab. Setelah Galih dan sekeluarga pulang, keadaan rumah kembali sepi. Apalagi jenazah sudah dimakamkan tadi pagi. Hanya saja kedua orang tua Laura yang belum datang sekedar melihat anaknya untuk yang terakhir kali. "Li, kamu kembali?" "Iya mas."
"Braaakkkk" Pintu utama terbuka dengan kasar. Hardian berlari menuju tempat dimana istri dan anak anaknya berada. "Sayang are you okay?" "Mas kamu udah pulang?" tanya Dinda masih dengan pipi yang basah dengan air mata. "Aku pulang setelah melihat berita di televisi. Kamu nangis?" Pertanyaan Hardian berhasil membuat dua bocah yang sedang asyik bermain itu menoleh. "Bunda nangis?" "Enggak kok nak, ini bunda hanya kelilipan aja." Bohong Dinda. Mendengar jawaban bundanya, mereka fokus kepada itu mainannya lagi. Sedangkan Hardian duduk di sebelah sang istri. "Kamu kenapa hem?" "Aku gakpapa mas, aku cuma sedang takut aja. Melihat tingkah mas Hendra, sebenarnya aku khawatir dengan masa depan mereka." Hardian mengangguk paham. Diraihnya tangan sang istri, "aku kan udah bilang beberapa kali sama kamu, mereka itu anak-anaku. Aku yang akan mendidiknya kelak dengan caraku. Cukup kamu doakan saja yang terbaik untuk mereka, kamu tidak lupakan? bahwa doa seorang ibu itu dahsyatnya bisa
"Apa yang kamu katakan? Kamu membandingkan ibu dengan perempuan yang tidak jelas asal usulnya itu?""Aku lelah bu, ingin beristirahat." Diana mendengus, ia tahu jika putranya itu mencoba mengusirnya dengan cara halus. "Okeee, ibu akan pulang. Mungkin mampir ke kentor sebentar, memastikan jika semuanya baik-baik saja." Ucap Diana sambil berlalu keluar dari ruangan. Sapta memandang punggung ibunya yang menghilang dibalik tertutupnya pintu. Sebagai anak kandung saja, ia mengakui jika ibunya itu bermulut tajam. Berbicara tanpa memikirkan perasaan orang lain. **********Diana masuk ke dalam kantor dengan angkuh. Wajahnya ia tonggakkan, mengabaikan setiap sapaan karyawan. "Selamat siang bu Diana, lama tidak berjumpa." Sapa Karen, sekretaris Hendra. "Masuk! ada yang ingin saya bicarakan kepadamu." "Baik bu," Wanita berpakaian ketat itu mengikuti langkah Diana ke dalam ruangan. "Ada yang bisa saya bantu bu Diana?""Apakah ada keluhan tentang perusahaan?" tanya Diana to the point. "E
"Aku takut mas, aku takut mereka akan membunuhku dan anakku lagi." Ujar Dinda lebih histeris. Hardian mendekat, dielusnya punggung wanita yang teramat ia cintai itu. "Hey sayang, dengarkan aku ya! siapa yang akan membunuhmu dan anakmu? kamu itu istriku, begitu juga anak ini adalah darah dagingku. Siapapun yang berani menyentuhnya se ujung kuku pun itu akan menjadi urusanku. Kamu paham itu kan? Adinda mengangguk, meskipun lelehan air mata masih saja mengalir membasahi pipinya. "Udah jangan mikirin yang buruk buruk, orang hamil harus selalu berprasangka baik. Kendalikan dirimu, yang lalu biarlah berlalu." Ucap Hardian lagi. "Lho kenapa mantu mama nangis? kenapa sayang hem?" tanya Alina yang baru datang dan lansung berjongkong di depan menantunya. Adinda kikuk, ia merasa tidak enak kepada mertuanya. "Mama jangan jongkok di situ dong! aku gakpapa kok, ini juga nangis karena bahagia?" jawabnya berusaha menyembunyikan kekalutan hatinya. "Maksudnya?" "Seperti prasangka mama, aku ham
"Alhamdulillah," "Hah?" Ucapan Alina berhasil membuat anak dan menantunya itu cengo. "Maksud mama apasih? Adinda kaya gini kok dialhamdulillah in," tanya Hardian protes. "Ck bukannya kamu seorang dokter? seharusnya lebih paham dong daripada mama." Mendengar perkataan sang mama, Hardian seketika berfikir. Namun wajah bingungnya langsung berubah cerah kala sebuah kemungkinan muncul di kepalanya. "Kita ke rumah sakit sekarang ya, bukankah kamu belum datang bulan sejak pernikahan kita?"Adinda yang sedang menikmati pijitan Alina mengangguk. Dirinya memang belum mendapat tamu bulanan lagi sejak menikah. "Ya udah ayo, aku gendong kalau masih pusing!""Gak mau, kamu jangan deket deket dong mas! aku gak tahan sama bau badanmu."Mendengar jawaban Adinda, Hardian menghentikan langkahnya. "Ck iya iya, emang kamu kuat jalan sampai mobil?" Adinda mengangguk. "Ayo sayang biar mama bantu jalannya, suruh suamimu itu mandi dulu biar gak bau." Ledek Alina kepada putranya. Saat berjalan menur
"Keluar kamu!" Dengan perlahan kepala Laura muncul dari ruangan kecil miring lubang itu. "Terimakasih ayah," ucapnya saat berhasil keluar sepenuhnya. "Hem, ini sudah menjadi janjiku kemarin." Jawab Sapta sambil menggelanggang meninggalkan menantunya. "Huft aman, untungnya ayah benar benar menepati janjinya untuk melindungiku. *********Sedangkan si belahan bumi lain, seorang wanita paruh baya sedang memasuki sebuah rumah usang. Banyaknya sarang laba laba menjadikannya terlihat sedikit menakutkan. "Gak usah takut mbak, ini masih sering dibersihkan kok sama ibuk sebelum dia meninggal. Hanya saja setelah kepergiaannya saya suka sibuk kalau mau membersihkan." "Iya gakpapa kok, turut bela sungkawa ya atas meninggalnya bulik. Mbak bener bener gak tahu," "Terimakasih mbak, sebenarnya kami juga sering mempertanyakan dimana keberadaan mbak Lili, kok gak ada kabarnya sama sekali." Liliana mendesah. Memang sebegitu terkekangnya dia, sampai keluarganya yang tersisa di kampung tak lain bu