"Mas, Alisa sudah mengkhianati kepercayaan kita, Mas. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dia hampir saja mencelakai Aleeya. Gimana kalau teman laki-laki nya itu bukan orang baik baik?" Aku mencurahkan isi hatiku pada Mas Nadhif lewat sambungan telepon."Iya, Mas juga ga percaya Alisa bisa senekat itu. Nanti Mas pulang, Alisa akan mas marahi, ya."aku menggeleng cepat. Walau ku tahu Mas Nadhif tidak bisa melihatnya."Jangan, Mas. Aku tidak meminta kamu memarahinya. Aku hanya meluahkan isi hatiku aja kok." Mas Nadhif tertawa kecil."Eh iya gimana Wildan? Apa dia bisa mengikuti arahan Mas dengan baik?" Aku mengalihkan pembicaraan."Alhamdulillah, Wildan juga cepat nangkap ilmu yang Mas ajarkan. Jadi, ga perlu khawatir. Kalau nanti Mas meninggal sudah ada Wildan yang akan mengurus jenazah Mas.""Huss, Mas! Ngomong apa sih!" Mas Nadhif tertawa lagi. Jujur aku tak bisa lagi mencari keburukan Mas Nadhif sejak kejadian waktu itu."Ya gapapa, kok. Kan memang sudah kepastian akan hal itu. Semua ya
Setelah kejadian itu Alisa mogok sekolah. Aku tidak mau memaksakan. Toh, itu juga lebih baik baginya sehingga dia tidak bisa bertemu lagi dengan lelaki berandal itu.Hari ini Mas Nadhif juga pulang. Aku dari pagi sibuk menyiapkan hidangan spesial untuknya dan Wildan. Diantara anak kami, hanya Wildan yang tidak mau kuliah. Dia memilih mengikuti jejak ayahnya sebagai produser."Bunda masak apa lagi? Biar aku bantu." Ammar yang libur kuliah menghampiriku. Tangannya mulai mengaduk-aduk spatula di atas penggorengan."Ga usah, udah mau selesai kok." Tolakku lembut."Bun, Alisa kenapa, Bunda sudah tau?" Tanyanya tiba-tiba.Aku menggeleng tapi mataku menatap Ammar untuk mencari jawaban."Kenapa dengannya? Anak itu menutup diri dari bunda. Entah apa salah Bunda, Bunda juga tidak tahu." Ammar menepuk pelan pundakku."Bunda tidak salah apa-apa, Bun. Bunda perempuan hebat yang Ammar miliki. Selamanya akan seperti itu. Bunda tidak boleh menyalahkan diri sendiri, apa yang terjadi pada Alisa sudah
Alisa masih diam. Aku menatap Aleeya yang juga tampak cemas.“Aleeya, boleh Bunda bicara berdua dengan Alisa?” pintaku.Aleeya mengangguk menutup bukunya dan segera keluar, lalu menutup pintu pelan-pelan.Aku kembali menatap Alisa. “Nak, kamu tahu kan Bunda sayang sama kamu?”Alisa masih tidak menoleh.Aku menarik napas panjang. “Bunda dengar kamu masih dekat dengan Rio.”Saat itu juga Alisa langsung bangkit dan menatapku tajam. “Bunda udah nyuruh siapa buat nyari tahu urusan Alisa?” suaranya bergetar, entah marah atau takut.“Bunda hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”Alisa mendengus. “Bunda nggak suka sama Rio, kan? Karena dia nggak sekaya harapan bunda kan? Karena dia nggak punya masa depan?”Aku terhenyak. “Bukan begitu, Nak. Bunda hanya ingin yang terbaik buat kamu.”“Rio itu baik! Bunda aja yang nggak mau kenal dia,” katanya dengan suara yang lebih tinggi.Aku mengusap wajahku, berusaha menahan emosiku. “Alisa, kamu masih terlalu muda. Rio bukan orang yang baik, Nak. Dia
"Saya minta baik-baik, Rio. Tolong tinggalkan anak saya. Kejarlah hidupmu. Tanpa membawa serta putriku. Dia masih mau sekolah. Tak ada waktu untuk pacaran!" Ucapku tegas. Kali ini aku mulai muak.Aku melihat ekspresi Alisa berubah, antara marah dan panik. Dia menggenggam tangan Rio erat, seakan meminta perlindungan.Dari kejauhan dia pemuda datang mendekat. Aku dapat memastikan itu Ammar dah Abrar. Setelah dekat kedua anakku itu berdiri disampingku dengan wajah menatap tajam ke ada Rio."Lu pergi baik-baik atau gw paksa!" Sentak Ammar.“Kak, kalian nggak perlu ikut campur!” seru Alisa, matanya berkaca-kaca.Rio tersenyum tipis, seakan menikmati situasi ini. “Wah, keluarga yang overprotektif, ya?”Aku menatapnya tajam. “Bukan overprotektif, Rio. Kami hanya peduli dengan Alisa. Kami tahu apa yang terbaik untuknya.”Ammar menyilangkan tangannya di dada. “Kami sudah menyelidikimu, Rio. Teman-temanku tahu banyak soal jejak kelammu. Dan aku yakin, Alisa nggak akan percaya begitu saja kalau
“Setidaknya beri aku waktu lebih lama untuk bicara dengannya,” pintaku pelan.Mas Nadhif menghela napas. “Baik. Tapi kalau dalam seminggu tidak ada perubahan, kita harus mempertimbangkan langkah lain.”Aku mengangguk, tapi hatiku tidak tenang. Bagaimana jika Alisa malah semakin menjauh? Dan bagaimana jika Rio belum benar-benar pergi dari hidupnya?***Keesokan harinya, setelah semua orang pergi, Saat aku berpikir keras, tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku melihat nomor tak dikenal di layar. Dengan ragu, aku mengangkatnya.“Halo?”Suara seorang perempuan terdengar di seberang sana. “Bu Tari, saya harus bicara dengan Anda. Ini soal Rio dan Alisa.”Jantungku berdegup kencang. “Siapa ini?”“Saya Fina. Saya mantan pacar Rio. Dan saya punya sesuatu yang harus Ibu lihat.”Aku tercekat. Mantan pacar Rio? Apa lagi ini?“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku waspada.“Saya nggak bisa bicara lewat telepon. Kita harus bertemu.”Aku ragu sejenak, tapi ada sesuatu di nada suara Fina yang membuatku y
"Maksud Bunda, kamu belum disentuh oleh baj1n94n itu kan!" Tanya Alif tegas. Tari tertunduk. Betapa remuk hatinya jika hal itu benar terjadi.Alisa tertawa keras. Tapi, air mata nya mengalir deras."Kakak kira aku wanita murahan?" Jeritnya. Mendengar hal itu justru semua yang ada disana menghela napas lega. Tentu saja itu yang utama bagi mereka. Jika Alisa sudah dirusak oleh Rio, tak ada jalan lain selain membawa hal ini ke ranah hukum."Syukur lah. itu yang terpenting. Kamu masih kecil, Dek. Jangan sampai ada yang merusakmu dengan alasan cinta.""Aku juga tau, Kak. Memang Rio beberapa kali mengajakku untuk bertemu di hotel. Tapi, aku tak mau. Aku juga tau kalau nanti pertemuan itu pasti akan mengarah ke hubungan terlarang."Tari menghampiri Alisa lalu memeluknya."Berjanjilah untuk selalu berpikir seperti ini, Nak. Kehormatanmu diatas segala galanya. Jangan korbankan hanya karena nafsu sesaat." Suara Tari bergetar menahan haru.Alisa yang kini terisak dalam pelukan ibunya tak mampu
Tari menghela napas panjang. "Aku tahu, Mas. Tapi Alisa nggak mau dengar. Setiap kali kita mencoba memberitahu, dia malah makin memberontak."Ammar yang sejak tadi berdiri di dekat tangga akhirnya ikut bicara. "Aku dan Alif sudah menyelidiki lebih lanjut, Mas. Rio punya koneksi dengan beberapa orang yang mencurigakan. Teman-temanku bahkan bilang dia pernah terlibat dalam kasus yang lebih besar, tapi berhasil lolos."Nadhif mengepalkan tangannya. "Aku akan bicara dengan seseorang yang bisa menyelesaikan masalah ini. Kalau perlu, aku akan menggunakan koneksiku di kepolisian.""Mas… apakah harus sejauh itu?" Tari menatap suaminya dengan khawatir."Kalau menyangkut keselamatan anak kita, aku nggak akan ragu, Tari." Wajah Nadhif mengeras. "Aku nggak mau melihat Alisa menjadi korban berikutnya."---Sementara itu, di dalam kamar, Alisa duduk di sudut tempat tidurnya dengan ponsel di tangan. Matanya merah akibat menangis. Di layar, ada pesan dari Rio.Aku nggak akan biarkan mereka memisahkan
Setelah insiden pagi itu, suasana di rumah keluarga Nadhif semakin mencekam. Alisa mengurung diri di kamar, merasa malu dan takut menghadapi kenyataan. Sementara itu, Alif, Ammar, dan Abrar masih diselimuti amarah yang belum reda.Di ruang keluarga, Nadhif duduk dengan wajah keras. Dia baru saja selesai berbicara dengan polisi tentang kejadian tadi. Tari duduk di sebelahnya, matanya merah karena menangis."Jadi mereka sudah ditahan?" tanya Tari dengan suara pelan.Nadhif mengangguk. "Untuk sementara, iya. Tapi kita nggak bisa lengah. Rio punya banyak koneksi. Aku yakin dia nggak akan tinggal diam."Ammar yang bersandar di dinding ikut menimpali, "Aku masih nggak percaya Alisa sampai sejauh itu. Kita harus lebih hati-hati. Siapa tahu Rio masih menyimpan rencana lain."Saat itu, Wildan tiba-tiba masuk ke ruangan. "Aku baru dapat informasi dari teman-teman di dunia perfilman, Ayah. Rio ternyata punya hubungan dengan beberapa orang penting. Aku takut ini belum selesai."Nadhif mengernyit.
“Aku juga nggak pernah benci kamu, Nay. Aku cuma... aku terlalu takut sendirian. Aku kira kamu yang pergi karena kamu lebih kuat. Aku salah.”Kania menunduk. Ia tak bicara. Tapi matanya mulai memerah.---Hari itu, tak semua luka sembuh.Tapi untuk pertama kalinya... luka-luka itu diperlihatkan. Dan mungkin, hanya mungkin... itu awal dari penyembuhan.Saat kami berjalan keluar dari kantor itu, Nayla menggenggam tanganku.“Aku tahu ini belum selesai, Lif,” katanya pelan. “Tapi setidaknya... aku nggak sendirian lagi.”Aku memeluknya.Dan di kejauhan, Bunda berdiri menunggu di samping mobil, tersenyum... seolah berkata: selamat datang di awal yang baru, Nak.---Oke! Kita langsung lanjut ke Bab 9 – Ketika IB Mengeluh Season 3. Kali ini kita gali sisi kelam Kania… rahasia yang selama ini dia sembunyikan, dan dampaknya akan bikin keluarga ini makin terbelah. Siap-siap baper, emosi, dan greget!---Hujan mengguyur deras malam itu. Tapi aku tetap nekat ke rumah Bunda. Nayla ingin bertemu Kan
Sudah dua minggu sejak aku dan Nayla pindah sementara ke rumah lama. Rumah kecil yang dulu penuh kenangan masa kecilku, kini jadi tempat pelarian sementara dari prahara yang meracuni rumah besar kami.Tapi masalah rupanya ikut pindah.Hari itu, pagi yang harusnya tenang berubah jadi awal dari babak baru—yang jauh lebih rumit dan panas.Nayla duduk di ruang tamu, memandangi layar ponsel. Air matanya menggenang tapi tak jatuh. Tangannya gemetar, bibirnya bergetar.“Ada apa?” tanyaku, duduk di sampingnya.Ia menyodorkan ponsel. Sebuah video. Direkam diam-diam, entah oleh siapa. Isinya? Naira dan Kania. Sedang duduk di sebuah kafe, tertawa... lalu mulai membicarakan Nayla."Makanya gue tuh heran, Nayla bisa-bisanya ngerasa jadi korban.""Padahal dia tuh dulu anak emas Ibu, dikasih segalanya. Giliran Ibu meninggal, dia kabur bawa semua warisan!""Dan dia masih bisa hidup enak, ya? Ngumpet di rumah suaminya yang kaya itu. Sementara kita dibuang kayak sampah."Suara Kania terdengar getir. Da
“Karena aku juga bingung, Nay... Aku takut salah langkah. Aku takut makin nyakitin kamu atau Wildan.”“Tapi kamu suamiku, Mas. Seharusnya aku yang kamu pilih untuk dilindungi, walau aku tau Wildan juga adikmu. Tapi, kan kamu tahu betul jika aku tak bersalah.”Aku menelan ludah. Nayla benar. Dan rasanya, baru kali ini aku benar-benar merasa seperti suami yang gagal.“Maaf.”“Kalau maaf bisa nyembuhin semuanya, nggak akan ada rumah tangga yang retak, Mas,” katanya lirih.Lalu dia bangkit. Aku meraih tangannya."Nay, maafkan aku..aku berjanji ini tak akan terulang lagi. Aku akan selalu melindungi kamu apapun yang terjadi." Nayla menatapku dengan tatapan ragu. Ya Allah, sungguh istriku sendiri sudah kehilangan kepercayaan padaku. Apa yang harus aku lakukan?---Malamnya, aku duduk sendirian di ruang tamu. Merenung. Ponselku kembali bergetar.Nomor tak dikenal. Lagi."Kau pikir sudah tenang sekarang? Ulang tahun Gio tinggal dua minggu. Pastikan kau hadir. Karena malam itu... akan jadi mal
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari menyelinap dari sela tirai, tapi tidak mampu menghangatkan udara dingin yang menggantung di rumah ini.Koper-koper sudah tertata di depan pintu. Aku dan Nayla memutuskan pindah sementara ke rumah lama kami—saran Bunda, demi menenangkan semuanya. Tapi rasa bersalah tetap menempel di dadaku, seperti luka yang belum mengering.Nayla diam saja sejak semalam. Wajahnya pucat, matanya bengkak. Tapi dia tidak menangis lagi. Dia hanya... kosong. Dan itu lebih menyakitkan.“Udah siap?” tanyaku pelan.Nayla mengangguk.Aku menggenggam tangannya. Dia tidak menggenggam balik.Saat kami keluar dari kamar, semua orang sudah berkumpul di ruang tengah. Bunda, Abrar, Ammar, Alisa, dan Aleeya. Wildan berdiri di depan jendela, membelakangi kami.“Maaf, semua,” ucapku lirih. “Aku dan Nayla akan pergi sementara. Bukan karena ingin kabur, tapi karena kami butuh ruang.”Bunda mengangguk, lalu memeluk Nayla erat-erat.“Jaga dirimu ya, Nak. Jangan p
Pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Kamu pikir pengakuan anak akan menyelesaikan semua? Aku belum selesai. Lihat saja apa yang akan terjadi di ulang tahun Gio bulan depan.”Aku terdiam.Ulang tahun?Berarti... ancaman ini belum berakhir.Bukan hanya tentang Naira.Bukan hanya tentang Wildan.Ada seseorang lain... yang masih ingin melihat keluarga kami hancur.***Siap banget! Kita lanjutkan dengan drama rumah tangga yang makin panas, penuh emosi, dan bikin pembaca gregetan. Kali ini, hubungan antar anggota keluarga makin diuji... terutama antara Tari, Nayla, dan Wildan—sementara masa lalu terus menghantui dan benih-benih luka baru mulai tumbuh. Yuk, lanjut ke Bab 7 yang makin dramatis!---Sudah lima hari sejak kedatangan Naira dan Gio, tapi bayangannya masih menempel di dinding-dinding rumah ini. Bahkan aroma bajunya terasa tertinggal di sofa, seperti ia belum benar-benar pergi.Wildan berubah. Ia jadi lebih pendiam. Lebih sering termenung sendirian di balkon kamar atas. Tak ada lag
Satu minggu setelah malam pengakuan itu, rumah kami seperti ladang ranjau.Setiap langkah, setiap tatapan, setiap bisikan... bisa meledakkan luka.Wildan jarang bicara. Nayla hampir tak pernah keluar kamar.Dan aku... aku berusaha tetap jadi “kepala keluarga” yang utuh. Tapi sebenarnya aku sendiri limbung.Sampai suatu sore, ketika hujan deras mengguyur dan suara petir saling sahut, bel rumah berbunyi.Bunda yang membukakan pintu.Dan di sanalah dia.Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan tubuh yang tampak menggigil. Di sampingnya, berdiri seorang bocah kecil—sekitar empat tahun—berpayung biru, memeluk kaki ibunya dengan erat.“Naira...” bisik Bunda, nyaris tidak percaya.Aku berlari ke depan. Wildan yang sedang duduk di tangga langsung berdiri terpaku.Naira mengangkat wajah. Matanya menatap kami satu-satu.Lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak datang buat minta maaf atau minta diampuni. Aku cuma mau satu hal: anakku diakui.”Semua membek
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak