Sebelum tidur aku membuka media sosial. Melepas jenuh dengan rutinitas sehari-hari yang kadang terlalu melelahkan meski aku suka."Tidur lah, Sayang. Hari ini pasti sangat melelahkan jiwa ragamu." Mas Nadhif mengusap kepalaku, lalu membelai rambut panjang ku lembut."Sebentar, Mas. Setelah ini aku tidur. Mas duluan aja.""Hmmm ... Mas sangat malu dengan kelakuan Mbak Rina. Sebenarnya dia orang baik. Tapi, Anto suaminya yang pemalas. Itu sebabnya, mbak Rina harus mutar otak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan anak anaknya."Aku bangun lalu duduk disandaran ranjang. Ponsel yang tadi sudah kubuka kusimpan disamping. "Apa kita carikan dia kerjaan disini, Mas? Biar Mbak Rina bisa fokus hanya pada anak anaknya aja."Mas Nadhif menggeleng. "Mas tak setuju. Kalau mau kerja, biar dia nyari sendiri dan jauh dari kita. Mereka harus bisa mandiri." Sahut Mas Nadhif tegas. Aku menganggukkan kepala. Memang harus begitu sebenarnya. Tidak bergantung pada orang lain.Mas Nadhif tanpa sadar suda
Pagi pagi Mas Raka sudah sampai dirumahku. Mas Nadhif yang sudah mendengar cerita dariku, menyambut dingin laki-laki itu."Bik Mira, tolong jaga Alisha dan Aleeya, ya. Asip sudah saya stok di lemari pendingin, seperti biasa saya serahkan kepengurusannya pada Bik Mira."Aku menyerahkan Alisha pada Bik Mira."Siap, Bu. Tenang saja. Saya akan melakukan tugas dengan baik." Sahutnya lalu menerima alisha dengan wajah ceria. Beruntung aku memiliki dua khadimat yang begitu baik dan sayang pada anak anak. Karena itu aku tak pernah sayangan jika memberi mereka uang. Bagiku bayaran adalah nilai ketulusan. Mereka orang orang tulus yang menjaga anak anak dengan baik saat aku tak sempat menjaga mereka. Setelah memastikan penampilanku rapi, aku segera keluar. Masalah dengan Mas Raka sudah ku putuskan setelah memikirkan matang matang. Mencari uang yang halal jauh lebih penting dibanding ketenaran dari hal yang haram."Tari ... Aku kaget dengan candaanmu. Makanya pagi pagi aku sudah kesini." Mas Rak
"Kamu harus melakukan konferensi pers. Mengakui apa yang kamu lakukan, Mas. Jujur katakan apa adanya. Bersihkan namaku dan nama keluargaku. Dengan melakukan hal sebodoh itu, kau mencoreng arang kemuka kami, Mas!"Mas Raka tampak gugup. Aku tau dia manusia paling egois. Jika ada kesalahan dia pantang meminta maaf apalagi sampai mengumumkan kesalahannya itu. Namun aku tidak peduli. Jika dia bersekukuh dengan keegoisannya, maka tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan. Aku manusia bebas, tidak terikat dengan siapapun. Tidak tertarik dengan hal-hal yang viral dengan cara busuk."Bagaimana apa kau bersedia? Jika tidak, aku tidak akan memaksa. Aku akan segera mengurus surat pembatalan kerjasama kita.""Tidak ... Tidak, jangan Tari. Bisa mati aku. Aku sudah mengeluarkan modal besar untuk film ini. Aku janji akan menyelesaikan semua. Konferensi pers akan segera aku lakukan, dan aku harap kamu bisa datang."Aku tersenyum samar. Jangan main main denganku! Aku tak pernah bohong dengan ucapan.B
"Mbak Rina!"Aku terpekik luar biasa. Paper bag dan beberapa kertas dalam map terlempar tak sengaja. Kakiku juga dengan reflek berlari kencang ke arah Ibu dan Mbak Rina. Tangan perempuan yang terangkat ke atas itu terdiam. Rahangnya gemeretuk menahan emosi.Aku memeluk Ibu yang terduduk dengan tubuh gemetaran. "Sudah, Bu. Tak apa apa. Ibu sudah aman.""Jangan sok jadi pahlawan kamu, Tari. Kamu baik sama ibu karena mengharapkan harta kan?"Aku membalikkan badan menatap Mbak Rina yang masih dengan muka bengis."Harta tidak menjamin kebahagiaan, Mbak. Dan aku bukan orang miskin yang hanya mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Hanya benalu yang mengharapkan harta yang tidak diperuntukkan baginya."Mata Mbak Rina melotot."Kau menyindirku!?" Sentaknya. Perempuan itu maju selangkah."Saya tidak menyindir. Tapi dengan terang-terangan menjelaskan kepada Mbak Rina. Agar kamu tahu diri dan punya malu. Ibu ini, ibu kandungmu, Mbak. Dimana hatimu? Sam
"Gapapa, Bu. Ibu tidak usah khawatir. Tari ingin mendengar dari mulut orang ini. Pengakuan jika benar dia yang telah membuat Ibu menderita selama ini." Aku menekan tangan Mas Anto lebih kencang."Ampun! Rina bantu aku b*doh!" Pekiknya sambil menatap Mbak Rina yang tersungkur dilantai. Perempuan itu gugup dan takut. Tak ada wajah garang yang sedari tadi dia perlihatkan padaku. Sungguh aku makin yakin jika Mas Anto ini lah yang telah mencuci otak istrinya agar menjadi istri pembangkang pada ibu."Tari, lepaskan Mas Anto! Tolong Tari. Nanti malah mbak yang dihajar, kalau kamu tak melepaskan dia." Mbak Tari, mulai menangis memohon. Aku tak terpengaruh. Aku harus mendengar apa yang mendalangi Mbak Rina berbuat sekeji itu pada Ibunya sendiri."Jika kamu ga mau bicara, jangan salahkan satu tanganmu ini akan terpisah dari jasadmu, Mas. Cepat katakan apa tujuanmu membuat Mbak Rina menyakiti ibunya!" Aku kembali memutar sedikit tangan laki-laki yang sudah terduduk tak berdaya itu. Dia kembali m
"Maaf Tari. Mbak lancang."Aku terdiam. Menyembunyikan rasa malu karena menganggap Mas Nadhif yang masuk ke kamar dan memijat kakiku."Eh, gapapa, Mbak. Ada apa, Mbak?" Aku berusaha bersikap sopan. Meski masih ada rasa kesal di hati mengingat perlakuannya tadi kepadaku."Mbak mau minta maaf, Tari. Ucapan Mbak pasti sangat melukai hatimu. Mbak salah, Tari. Di dalam hati Mbak yang terdalam. Mbak, mengakui kalau Dek Tari adik ipar yang sangat baik. Tapi Mbak tidak bisa berbuat apa-apa. Mas Anto selalu memaksa agar semua harta ibu dipindah tangankan kepada kami."Aku tersenyum. "Ya sudahlah Mbak. Semua sudah berlalu. Mbak seharusnya minta maaf kepada ibu. Karena ibu lah yang paling tersakiti atas sikap dan ucapan Mbak."Mbak Tari tertunduk dalam. Dia kembali menangis."Iya, Tari. Mbak malu. Ibu adalah tanggung jawab mbak yang harus mbak jaga. Bukan malah disakiti sampai trauma seperti itu."Aku mengusap-usap punggung Mbak Rina, lembut. Dia juga korban kekerasan dari laki-laki bernama su
"Dhif, Mbak sudah tak punya suami. Setelah Mas Anto masuk penjara, mbak juga akan segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Setelah ini mbak orang tua tunggal untuk tiga anak anak, Mbak. Mbak ga minta banyak. Mbak hanya minta persetujuan kamu agar kebun yang ada di kampung itu bisa Mbak kelola lagi seperti dulu."Mas Nadhif menoleh ke arahku."Mbak tau, mbak keterlaluan. Setelah kepercayaanmu, mbak hancurkan. Tapi, demi Allah, Dhif. Mas Anto yang memaksa mbak melakukan semua kejahatan itu pada Ibu. Semua uang yang kamu kirim juga diambil oleh Mas Anto untuk j*di online."Mbak Rina menangis. Aku sangat menyayangkan mbak Rina tak melawan kedzaliman suaminya selama ini. Seharusnya dia tegas jika suami melakukan kesalahan. Tapi, mungkin setiap perempuan punya sisi yang tak bisa dipaksa kokoh. Dan Mas Anto menjadi kelemahan Mbak Rina lantaran laki-laki itu sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga.Keesokan paginya Mbak Rina memutuskan untuk kembali ke kampung. Ibu menolak ikut de
Mas Nadhif mengendarai mobil ugal ugalan. Mendengar ibunya pingsan, perasaan sudah gak karuan. Aku pun berdebar-debar ingin rasanya segera sampai dirumah."Mas, tenang Mas. Kalau kamu kayak gini, bukannya sampai dirumah kita malah bisa pindah alam."Mas Nadhif mengusap wajah sembari beristighfar. Mobil kembali melaju dengan kecepatan normal. "Jika Ibu kenapa-kenapa, Mas pasti akan sangat sedih." Lirihnya. "Iya, aku tahu. Tapi, kehidupan tetap berjalan, Mas. Roda terus berputar. Yang pergi dan yang datang akan silih berganti. Tidak boleh kita menyesali apa yang sudah Allah gariskan untuk kita. Kehadiran dan kepergian orang orang yang kita sayang adalah sebuah keniscayaan. Apapun itu, aku harap kamu kuat."Mas Nadhif meraih sebelah tanganku dan meremasnya kencang. Aku tau dia sedang menahan perasaan. Jangankan dia, aku yang hanya menantu ibu saja merasa khawatir. Tapi, harus tetap kuat. Prinsipku, menangis hanya akan melemahkan. Cukup keluarkan air mata tapi tidak sampai meruntuhkan k
“Aku juga nggak pernah benci kamu, Nay. Aku cuma... aku terlalu takut sendirian. Aku kira kamu yang pergi karena kamu lebih kuat. Aku salah.”Kania menunduk. Ia tak bicara. Tapi matanya mulai memerah.---Hari itu, tak semua luka sembuh.Tapi untuk pertama kalinya... luka-luka itu diperlihatkan. Dan mungkin, hanya mungkin... itu awal dari penyembuhan.Saat kami berjalan keluar dari kantor itu, Nayla menggenggam tanganku.“Aku tahu ini belum selesai, Lif,” katanya pelan. “Tapi setidaknya... aku nggak sendirian lagi.”Aku memeluknya.Dan di kejauhan, Bunda berdiri menunggu di samping mobil, tersenyum... seolah berkata: selamat datang di awal yang baru, Nak.---Oke! Kita langsung lanjut ke Bab 9 – Ketika IB Mengeluh Season 3. Kali ini kita gali sisi kelam Kania… rahasia yang selama ini dia sembunyikan, dan dampaknya akan bikin keluarga ini makin terbelah. Siap-siap baper, emosi, dan greget!---Hujan mengguyur deras malam itu. Tapi aku tetap nekat ke rumah Bunda. Nayla ingin bertemu Kan
Sudah dua minggu sejak aku dan Nayla pindah sementara ke rumah lama. Rumah kecil yang dulu penuh kenangan masa kecilku, kini jadi tempat pelarian sementara dari prahara yang meracuni rumah besar kami.Tapi masalah rupanya ikut pindah.Hari itu, pagi yang harusnya tenang berubah jadi awal dari babak baru—yang jauh lebih rumit dan panas.Nayla duduk di ruang tamu, memandangi layar ponsel. Air matanya menggenang tapi tak jatuh. Tangannya gemetar, bibirnya bergetar.“Ada apa?” tanyaku, duduk di sampingnya.Ia menyodorkan ponsel. Sebuah video. Direkam diam-diam, entah oleh siapa. Isinya? Naira dan Kania. Sedang duduk di sebuah kafe, tertawa... lalu mulai membicarakan Nayla."Makanya gue tuh heran, Nayla bisa-bisanya ngerasa jadi korban.""Padahal dia tuh dulu anak emas Ibu, dikasih segalanya. Giliran Ibu meninggal, dia kabur bawa semua warisan!""Dan dia masih bisa hidup enak, ya? Ngumpet di rumah suaminya yang kaya itu. Sementara kita dibuang kayak sampah."Suara Kania terdengar getir. Da
“Karena aku juga bingung, Nay... Aku takut salah langkah. Aku takut makin nyakitin kamu atau Wildan.”“Tapi kamu suamiku, Mas. Seharusnya aku yang kamu pilih untuk dilindungi, walau aku tau Wildan juga adikmu. Tapi, kan kamu tahu betul jika aku tak bersalah.”Aku menelan ludah. Nayla benar. Dan rasanya, baru kali ini aku benar-benar merasa seperti suami yang gagal.“Maaf.”“Kalau maaf bisa nyembuhin semuanya, nggak akan ada rumah tangga yang retak, Mas,” katanya lirih.Lalu dia bangkit. Aku meraih tangannya."Nay, maafkan aku..aku berjanji ini tak akan terulang lagi. Aku akan selalu melindungi kamu apapun yang terjadi." Nayla menatapku dengan tatapan ragu. Ya Allah, sungguh istriku sendiri sudah kehilangan kepercayaan padaku. Apa yang harus aku lakukan?---Malamnya, aku duduk sendirian di ruang tamu. Merenung. Ponselku kembali bergetar.Nomor tak dikenal. Lagi."Kau pikir sudah tenang sekarang? Ulang tahun Gio tinggal dua minggu. Pastikan kau hadir. Karena malam itu... akan jadi mal
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari menyelinap dari sela tirai, tapi tidak mampu menghangatkan udara dingin yang menggantung di rumah ini.Koper-koper sudah tertata di depan pintu. Aku dan Nayla memutuskan pindah sementara ke rumah lama kami—saran Bunda, demi menenangkan semuanya. Tapi rasa bersalah tetap menempel di dadaku, seperti luka yang belum mengering.Nayla diam saja sejak semalam. Wajahnya pucat, matanya bengkak. Tapi dia tidak menangis lagi. Dia hanya... kosong. Dan itu lebih menyakitkan.“Udah siap?” tanyaku pelan.Nayla mengangguk.Aku menggenggam tangannya. Dia tidak menggenggam balik.Saat kami keluar dari kamar, semua orang sudah berkumpul di ruang tengah. Bunda, Abrar, Ammar, Alisa, dan Aleeya. Wildan berdiri di depan jendela, membelakangi kami.“Maaf, semua,” ucapku lirih. “Aku dan Nayla akan pergi sementara. Bukan karena ingin kabur, tapi karena kami butuh ruang.”Bunda mengangguk, lalu memeluk Nayla erat-erat.“Jaga dirimu ya, Nak. Jangan p
Pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Kamu pikir pengakuan anak akan menyelesaikan semua? Aku belum selesai. Lihat saja apa yang akan terjadi di ulang tahun Gio bulan depan.”Aku terdiam.Ulang tahun?Berarti... ancaman ini belum berakhir.Bukan hanya tentang Naira.Bukan hanya tentang Wildan.Ada seseorang lain... yang masih ingin melihat keluarga kami hancur.***Siap banget! Kita lanjutkan dengan drama rumah tangga yang makin panas, penuh emosi, dan bikin pembaca gregetan. Kali ini, hubungan antar anggota keluarga makin diuji... terutama antara Tari, Nayla, dan Wildan—sementara masa lalu terus menghantui dan benih-benih luka baru mulai tumbuh. Yuk, lanjut ke Bab 7 yang makin dramatis!---Sudah lima hari sejak kedatangan Naira dan Gio, tapi bayangannya masih menempel di dinding-dinding rumah ini. Bahkan aroma bajunya terasa tertinggal di sofa, seperti ia belum benar-benar pergi.Wildan berubah. Ia jadi lebih pendiam. Lebih sering termenung sendirian di balkon kamar atas. Tak ada lag
Satu minggu setelah malam pengakuan itu, rumah kami seperti ladang ranjau.Setiap langkah, setiap tatapan, setiap bisikan... bisa meledakkan luka.Wildan jarang bicara. Nayla hampir tak pernah keluar kamar.Dan aku... aku berusaha tetap jadi “kepala keluarga” yang utuh. Tapi sebenarnya aku sendiri limbung.Sampai suatu sore, ketika hujan deras mengguyur dan suara petir saling sahut, bel rumah berbunyi.Bunda yang membukakan pintu.Dan di sanalah dia.Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan tubuh yang tampak menggigil. Di sampingnya, berdiri seorang bocah kecil—sekitar empat tahun—berpayung biru, memeluk kaki ibunya dengan erat.“Naira...” bisik Bunda, nyaris tidak percaya.Aku berlari ke depan. Wildan yang sedang duduk di tangga langsung berdiri terpaku.Naira mengangkat wajah. Matanya menatap kami satu-satu.Lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak datang buat minta maaf atau minta diampuni. Aku cuma mau satu hal: anakku diakui.”Semua membek
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak