Raihan terdiam beberapa saat. Berusaha mencari kata yang tepat agar hubungannya dengan Sena semakin membaik."Baiklah, Abang hanya ingin berkenalan dengan orang tuamu, nanti setelah kau selesai kuliah, baru kita akan menikah." Rehan berusaha mengalah. "Abang tidak mempercayaiku?" tanya Sena dengan wajah semakin cemberut. "Siapa bilang Abang tidak mempercayaimu?" Alis Raihan bertaut. "Aku tak ingin keluargaku mengira aku kuliahnya untuk pacaran. Ayah dan ibu pontang-panting agar aku bisa kuliah, aku tak ingin mereka kecewa." wajah Sena kini tertunduk. Raihan terlihat menghela nafas panjang. Kali ini ia harus kembali mengalah. "Baiklah, akan bertemu orang tuamu setelah kau selesai kuliah, dan siap menikah denganku. Untuk biaya kuliahmu, nanti Abang transfer," ucap Raihan dengan nada pasrah. Laki-laki itu mengecup lembut kening perempuan itu, perempuan yang sudah merobohkan bahtera rumah tangganya bersama Naomi. Perlahan wajah Sena berubah mendengar kalimat terakhir dari Raihan. Bi
Dengan berani perempuan itu menatap mata Raihan. "Apa kau bisa mengembalikan waktu yang kubuang percuma untuk melayanimu?" tanya senang dengan mata mengerling manja. "Dasar perempuan murah*n! Ternyata kau tidak hanya miskin harta, tapi juga miskin harga diri!" Raihan terus mengumpat. "Kau jauh lebih murahan. Sudah punya istri di rumah, masih terus ngejar-ngejar perempuan lain di luaran sana. Dasar pecinta selangk*ngan!" Mulut Sena tak kalah pedas. "Tutup mulutmu! Kau yang telah menggodaku terlebih dahulu.""Ya, karena kau laki-laki buaya yang begitu mudah tergoda." Sena terkikik geli. Raihan menatap nanar pada perempuan yang pernah membuatnya dimabuk cinta itu. Kali ini tak ada lagi cinta di mata laki-laki itu, yang tersisa hanyalah rasa murka karena merasa dibohongi serta dibodohi selama ini. "Kalian berdua sama busuknya!""Jaga ucapanmu! Aku dan Sena sudah berpacaran sejak 3 tahun yang lalu. Jadi sebenarnya kaulah yang merebut Sena dariku," Potong laki-laki itu ketus. Tanpa
Rehan masih mematung di tempat semula, hingga akhirnya ponselnya berdering. "Papa ...," desis Raihan dengan kepala yang seketika dipenuhi tanya. Berapa detik ponsel terus berdering, hingga Raihan menggeser tombol dial pada pada layar ponselnya setelah berusaha bertenang. "Iya, Pa, ada apa?" ucap Raihan setelah telepon tersambung. Tak biasanya Pak Beni menelpon ke nomor pribadinya di jam kantor. "Kamu di mana sekarang?" tanya suara dari seberang sana dengan nada dingin. "Raihan masih di luar, Pa, ada keperluan mendadak," jawab Raihan sedikit berbohong. "Kenapa kau seenaknya keluar kantor tanpa mengabari sekretarismu terlebih dahulu?" Rehan merasakan keringat dingin mulai keluar di kening hingga ujung jemarinya. Jika saja Pak Beni tahu Apa yang sebenarnya ia lakukan, maka sudah dipastikan akan tamat riwayat anak bungsunya itu. "Maaf, Pa, tadi Raihan buru-buru." Raihan Kembali beralasan. Ia tak ingin papanya kembali curiga padanya. "Nanti malam datang ke rumah, Papa sama Mama ma
"Raihan," lirih Naomi dengan suara pelan. Faiq menatap kearah Raihan yang baru saja turun dari mobil dengan tatapan santai. Tak ada kekhawatiran di wajah laki-laki itu. Raihan menampakkan wajah tak suka. Niatnya yang semula ingin memperbaiki hubungannya dengan Naomi dari rumah tadi kini berubah saat mendapati Naomi tengah bersama Faiq. "Aku semakin tak percaya jika kalian adalah saudara sepupu!" Nada suara Raihan terdengar merendahkan. Dengan langkah gontai Raihan berjalan mendekat di mana Naomi dan Faiq berdiri menghadap ke arahnya. Hati Raihan merasa tercabik saat melihat kedekatan naomi dengan Faiq. Naomi bergeming. Malas rasanya meladeni laki-laki tak punya hati di hadapannya itu. Sedangkan Faiq, laki-laki itu memilih menampilkan senyum tipis. Jauh di dalam hatinya ia ingin laki-laki di hadapannya itu menyesal atas apa yang telah ia perbuat pada Naomi."Pantas aja ngotot pingin pergi dan meminta berpisah dariku. Kuyakin laki-laki ini sudah lama memiliki hubungan khusus denga
"Harusnya kau tahu diri, Naomi masih istri orang," desis Raihan dengan sorot mata setajam belati. "Saya tak merasa bersalah sedikitpun, karena saya ke sini untuk mengunjungi Paman Dayat dan tak pernah tahu jika Naomi sudah di sini," jawab Faiq jujur. "Halah, itu hanya akal-akalan kalian saja," cibir Raihan. Ayah Dayat berjalan menuju ruang tamu setelah selesai mencuci tangan dan kakinya. Laki-laki berusia lanjut itu berusaha setenang mungkin meski degub jantungnya terus saja beradu. Dengan raut wajah dingin Ayah Dayat duduk tepat di samping Faiq, laki-laki itu menggeser duduknya ke ujung kursi. Sedangkan Naomi duduk di samping Ayah Dayat. Berhadapan dengan Ayah Dayat membuat Raihan mematung untuk beberapa saat. Ia seolah kehilangan kata-kata yang sudah ia persiapkan sejak dari rumah tadi. "Apa tujuanmu datang ke sini?" tanya Ayah Dayat dengan suara dingin. Pertanyaan barusan membuat Raihan merasa tak nyaman. "Maaf sebelumnya, Yah, kedatangan saya ke sini berniat untuk menjempu
"Maaf, Raihan. Biarkan Naomi memilihnya sendiri. Ayah hanya ingin Naomi bahagia dan tidak ingin memaksa kehendak siapapun padanya," ucap Ayah Dayat. "Pergilah! Aku takkan pernah kembali bahkan sampai kapanpun. Jangan membuang waktu untuk membujukku Karena di hati ini tak ada lagi sisa cinta untukmu, bahkan hanya sekedar menghargai pun rasanya begitu sulit." Naomi berucap sambil membuang muka. Haning. Beberapa saat tak ada yang bersuara melainkan hanya Deru nafas dari mereka yang terdengar memburu yang terdengar oleh telinga masing-masing. Raihan melirik ketiga orang dewasa di hadapannya yang kini menatapnya dengan pandangan menghakimi, membuat perasaannya semakin tak nyaman. Laki-laki itu seketika bangkit dari duduknya dan tanpa sepatah kata pun ia keluar dengan muka masam nya. Beberapa menit setelahnya menyisakan suara deru mobil yang meraung keras dan kian mengecil hingga hilang ditelan jarak. ***Azan maghrib baru saja terdengar dari masjid di dekat rumah Raihan. Laki-laki itu
"Baiklah," jawab Raihan singkat, wajah laki-laki itu terlihat lesu. Hatinya terasa sesak karena masalah demi masalah yang tengah menderanya, mulai dari kehilangan Naomi dan Sena, juga di turunkannya jabatannya di perusahaan ayahnya sendiri. "Raihan pamit," ujarnya. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya, berjalan dengan langkah lesu untuk pulang.Raihan memukul kuat setir mobil hingga tangannya terasa sakit. Bibirnya tak berhenti mengumpat penyebab masalah yang bertubi-tubi datang padanya. "Sena," desis Raihan dengan hati murka. "Akan kubalas sakit hatiku. Kau harus merasakan rasa sakitku sekarang!" Raihan terus meracau, hingga akhirnya ia kembali memacu kendaraannya menuju rumah. Bertenang jauh lebih baik untuk saat ini, pikir Raihan. ***"Apa yang dibicarakan Pak Beni padamu tadi, Na?" tanya Nabila. Perempuan itu menarik kursi kerjanya mendekati tempat Naomi. Hari ini adalah hari pertama Naomi ke kantor setelah seminggu sebelumnya ia meminta cuti dadakan. Naomi Baru saja
"Ya iyalah, Na. Gemas tau liat kamu cuek-cuek aja sama tuh cewek gatel. Enakan dia, udah sukses ngancurin rumah tangga kamu dibiarin bebas berkeliaran." Nabila merajuk. "Trus kalo aku bales akunya dapet apa? Harta yang Raihan miliki juga punya orang tuanya. Maksudmu aku harus merebut Raihan dari perempuan itu? Dan berharap hidup bahagia seperti dulu?" cibir Naomi. "Ya, enggaklah, Na. Paling enggak 'kan bisa nuntasin sakit hati." Nabila semakin gemas. Naomi kembali tertawa pelan. Tak naif, jauh di relung sana ia merasakan sakit hati serta kekecewaan yang luar biasa terhadap Raihan. Namun, untuk membalas perbuatan keduanya rasanya terlalu mubadzir, toh, sekarang juga Raihan sudah menampakkan sesal atau sikap bodohnya. "Itu tak akan lama, Bil. Dengan balas dendam aku hanya akan merasa menang sesaat saja. Emang kamu mau, liat aku jambak-jambakan dengan perempuan itu di tempat umum, atau mungkin aku laporkan perselingkuhan mereka sampai keduanya masuk penjara? Nggak, Bil, aku nggak mau
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp