Satu jam perjalanan mobil Faiq mulai memasuki gang menuju rumah orang tua Naomi. Rumah berwarna krem dengan kusen berwarna coklat gelap itu sudah nampak. Halaman rumah yang cukup luas membuat rumah itu terlihat begitu asri. Mobil Faiq terparkir di halaman dengan beralaskan rumput hijau di depan rumah orang tua Naomi. Seorang laki-laki berusia sekitar 65 tahun keluar menuju teras depan rumahnya. Naomi bergegas turun ketika mobil Faiq berhenti sempurna. Ia berjalan cepat menghampiri laki-laki yang terlihat lebih tua dari usianya itu. Ayah Naomi adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Tante Reni—Mama Faiq anak bungsu, sedangkan kakak tertua mereka meninggal sejak masih usia 8 tahun. Dulu, ayah Naomi adalah seorang ASN yang berprofesi sebagai guru. Sejak pensiun, Naomi tak mengizinkannya lagi sang Ayah untuk bekerja di luar setelah ayahnya terserang penyakit lambung, meski saat itu Naomi tengah butuh biaya untuk kuliah. Kini Ayah Dayat hanya menghabiskan waktu untuk mengajar anak-anak s
Naomi mematung di tempat. Tak mudah baginya untuk membohongi laki-laki yang telah merawatnya sejak kecil itu. Naomi memutar badan menghadap ayahnya. Mendongak, menatap wajah renta itu dengan senyum termanisnya. Meraih tangan sang ayah, menangkupkannya di pipi mulusnya, persis kebiasaan sang Ayah memperlakukannya sejak kecil dulu. "Naomi baik-baik saja, Yah. Jangan khawatir." Wajah cantik itu berusaha menampakkan wajah baik-baik saja. Bagi Naomi, ayahnya sudah sangat renta, tak ada alasan baginya untuk membuat laki-laki itu mengkhawatirkan keadaannya. Bibir yang banyak ditumbuhi keriput itu tersenyum tipis. Pelan diusapnya pucuk kepala Naomi dengan hati terus berharap anak semata wayangnya itu benar-benar dalam keadaan baik-baik saja. "Jika ada apa-apa jangan sungkan untuk cerita. Kau tetaplah gadis kecil Ayah yang penyayang namun keras kepala, tak ada yang berubah."Naomi merasakan haru luar biasa, haru atas perlakuan lembut dari laki-laki bergelar Ayah itu. Laki-laki yang tak per
Dengan lembut bulir bening menetes di pipi Naomi. Jauh di relung sana ia pun berharap hal serupa. Bersamaan dengan itu ponsel Naomi berdering, nama Raihan tertera sebagai pemanggil. Cepat Naomi mematikan ponselnya, tak ingin laki-laki tak berhati itu mengacaukan suasana hatinya. Perjalanan pulang keduanya terasa penuh haru. Setengah dari waktu perjalanan mereka habiskan membahas laki-laki bergelar ayah bagi Naomi itu. Pukul setengah 6 sore Naomi sampai di rumah. Faiq langsung pulang setelah mengantar adik sepupunya itu sampai depan pintu pagar. Di sana, di ruang tamu rumah mereka, Raihan menatap ke arah Naomi yang berjalan melewatinya, tanpa peduli dengan wajah Raihan yang terlihat kesal. Hari ini laki-laki itu hanya menghabiskan waktu liburnya di rumah. Pikirannya suntuk setelah Naomi pergi bersama Faiq dan Sena yang tak bisa diajaknya bertemu dengan alasan sibuk revisi tugas akhirnya. Naomi berjalan menuju kamarnya. Lalu beristirahat di sofa panjang di samping tempat tidur. Me
Naomi merasakan tangannya gemetaran, seiring air mata yang merembes ke luar. Ia merasa tangan itu bergerak di luar kesadarannya, dan fitnah Raihan sudah membuat emosi menguasai dirinya. Sedangkan Raihan, laki-laki itu mematung di tempat dengan wajah memerah karena tamparan Naomi. Seolah tak percaya istri periangnya itu akan berubah kasar seperti ini. "Kau sadar dengan apa yang kau perbuat Naomi? Bagaimanapun, aku masih sah berstatus suamimu." Raihan kembali bersuara. Telunjuk tangan kanannya mengarah ke wajah Naomi. Beberapa saat mata Naomi terpejam dengan dada kembang kempis. Berusaha ia kembali tersadar, agar emosi di dadanya kembali normal. "Maafkan aku," ucap Naomi penuh sesal. Ia sadar telah salah bersikap, lebih lagi kalimat Raihan benar adanya, dirinya masih sah berstatus istri dan tak selayaknya dirinya bersikap berlebihan seperti barusan. Namun tidak adil rasanya jika hanya dirinya yang berkali-kali tersakiti, dan kemungkinan Raihan akan terus seperti itu, bebas menyakiti
"Ya, Laki-laki diperbolehkan poligami dengan cara syar'i. Banyak syarat yang harus dipenuhi, sedangkan kau, kau hanya bermodal harta sama rupa saja, bahkan jika tidak aku minta kau untuk shalat, maka kau tak akan shalat. Itu belum urusan hati. Apa kau yakin sudah pantas untuk berpoligami?"Raihan merasa sudut hatinya tercubit, apa yang dikatakan Naomi benar adanya. Selama ini Naomi-lah yang begitu ketat mengingatkannya untuk memenuhi kewajibannya terhadap Sang Pencipta. "Satu lagi! Laki-laki memang diperbolehkan berpoligami, itulah mengapa aku memintamu menikahi Sena secepatnya." "Sena meminta waktu menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu, kuharap kau sabar menunggunya. Do'akan saja sidang skripsinya bulan depan lancar," ucap Raihan tanpa berpikir jika kalimatnya akan kembali menyakiti hati Naomi. Jika saja di hadapannya itu bukan manusia, Ingin rasanya Naomi meludahi wajah tanpa dosa itu. Istri mana yang sudi mendoakan kebaikan perempuan yang telah merebut suaminya? Jikapun ada,
Raihan segera memutar setir mobil Menuju Jalan Pulang. Ia tak ingin Mama dan Papanya lebih dulu sampai ke rumah mereka, khawatir akan mendapat pertanyaan yang membuatnya tersudut. Sepanjang perjalanan pulang kepala Raihan sesak memikirkan tentang Sena, Naomi, dan juga tujuan sang Mama menginap di rumah mereka. Jalanan licin serta aspal yang basah membuat sorot lampu mobil Raihan menyilaukan mata, hingga Raihan memilih memelankan kendaraannya. Laki-laki itu masih bisa berpikir jika keselamatannya jauh lebih penting dari sekedar omelan sang Mama. Akhirnya mobil Raihan memasuki gerbang rumah mereka. Tepat di sisi kiri jalan depan rumah mereka mobil Pak Beni terparkir, pertanda kedua orang tua Raihan sudah lebih dulu sampai. Raihan tak langsung turun, laki-laki itu memilih berdiam beberapa saat di dalam mobilnya untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan ditujukan untuknya malam ini, terlebih Papanya yang sudah tau tentang perselingkuhannya dengan Sena. Waj
"Oh, ya, kalau Papa mau pulang enggak apa-apa, minta tolong Bik Inah aja buat bawain koper Mama ke sini," ucap Mama Maya sambil melirik ke arah suaminya. Pak Beni yang sejak tadi bergeming, kini menoleh pada sang istri. "Ya sudah, Papa balik dulu. Kalau perlu apa-apa tinggal telpon Papa. Nanti Papa suruh Mang Kardi yang anter," ucap sang suami sambil beranjak. "Papa pulang dulu, Na. Titip Mamamu, kalau ada apa-apa kabari Papa," ucap laki-laki itu. Pak Beni hanya pamit pada Naomi, sedangkan pada Raihan hanya melirik sekilas. "Iya, Pa. Hati-hati di jalan." Naomi menjawab bersamaan dengan anggukan kepala. "Tolong, ya, Bik. Nanti koper saya simpan di kamar tamu." Kali ini titah perempuan paruh baya itu untuk Bik Inah. "Siap, Bu," jawab Bik Inah santun kemudian berjalan di belakang Pak Beni. Tubuh laki-laki kurus tinggi itu menghilang di balik tembok diiringi Bik Inah, berapa menit setelahnya Bik Inah datang sambil menggeret koper milik Mama Maya lalu membawanya masuk ke kamar tamu
Laki-laki itu berusaha menormalkan detak jantungnya. Berharap sang Mama tidak menaruh curiga. Hoaaaamm. Naomi tiba-tiba menguap. Tubuh lelahnya setelah melakukan perjalanan tadi siang membuat ia memiliki alasan untuk mengakhiri topik pembicaraan yang membuat dirinya merasa tak nyaman kali ini. "Ma, Bang Raihan pasti akan berusaha berlaku sebaik mungkin dan tak akan menyakiti hati Naomi," ucap Naomi, sekilas ia melirik wajah Raihan dengan bibir tersenyum meski hasilnya seperti dipaksakan. "Sekarang Mama istirahat, ya. Naomi juga sudah ngantuk, pengen tidur dulu. Besok kita lanjut lagi, ya, Ma." Naomi berusaha membujuk, hingga akhirnya Mama Maya menurut dan beranjak ke kamar tamu yang sudah dipersiapkan untuknya. Setelah pintu kamar tamu terlihat tertutup rapat, Naomi menghembuskan nafas lega. Raihan terlihat melakukan hal serupa. Keduanya merasa lega setelah Mama Maya akhirnya bersedia masuk kamar. "Pikirkan caranya bagaimana agar Mama bisa menerima perpisahan kita tanpa sakit jan
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp