Raihan menginjak pedal gas setelah memastikan Raya menutup pintu mobil. Mengabaikan Ramon yang kini menatap nanar ke arah mereka. Mobil terus melaju membelah jalanan aspal yang membentang di depan sana, bahkan Raya sendiri tak tahu kemana Raihan akan membawanya. "Apa alasanmu lebih memilih dijemput laki-laki itu?" tanya Raihan dengan nada dingin. Ada rasa kecewa di relung sana mengingat Raya sempat menolak tawarannya beberapa kali sebelumnya. "Ada perempuan lain yang lebih pantas untuk mendampingi Bapak," jawab Raya dengan nada lirih. Raihan terdiam dengan alis bertaut. Ia sama sekali tak paham maksud kalimat Raya barusan. "Pertama, tak perlu memanggil dengan embel-embel seperti itu di luar jam kantor. Kedua, apa yang kau maksud dengan perempuan lain?" tanya Raihan setelahnya. "Lalu aku harus memanggil Bapak dengan panggilan apa?" tanyanya canggung. Raihan berpikir beberapa saat. Namun, setelahnya menggeleng pelan. "Sudahlah, lupakan saja. Apa yang kau maksud dengan perempuan
Raya tak menjawab. Sedang Rani kini menatap lekat ke arahnya. "Ya Tuhan, Ra, jadi itu yang membuatmu terlihat tak biasa? Jadi itu yang membuatmu selalu menolak ketika Pak Raihan menawarkan untuk mengantarmu pulang?" "Asli, parah banget kamu, Ra. Apa kamu tau apa yang Pak Raihan bicarakan saat mengantarku? Apa kau tau apa yang Pak Raihan tanyakan saat meneleponku?" Rani menyentuh bahu Raya, hingga perempuan itu menoleh ke arah sepupunya itu. "Semua karena kamu, Ra. Pembicaraan kami tak lepas dari kamu." Rani terkekeh, sedang Raya membalas dengan senyum kecut. Ada sesuatu berdesir di hatinya ketika tahu yang sebenarnya terjadi. "Apa kau tau kenapa Pak Raihan tadi tiba-tiba datang sebelum kamu masuk ke mobil Ramon? Itu karena aku yang mengabarinya jika Ramon sudah datang menjemputmu, Ra. Itu pula yang menjadi alasan Pak Raihan selalu memperhatikanmu dari jauh."Rani menjelaskan panjang lebar. Sesekali ia tampak terkekeh ketika menyadari betapa konyol sepupunya itu. "Bukankah di kant
Raihan mematung dengan sebelah tangan ia letakkan di dagu dengan siku bertumpu di tangan kursi, sedang sebelah tangan lainnya ia letakkan di atas tangan kursi lainnya. Memikirkan tentang Raya membuat konsentrasinya pecah. Jika saja ia masih segila dulu mungkin sekarang ia tak akan berdiam diri seperti sekarang. Namun, kini kedewasaan seolah kian mendekat, membuat laki-laki itu berpikir berulang untuk menentukan sikap apa yang akan ia lakukan untuk menuntaskan masalahnya saat ini. Ponsel di atas meja kerjanya berdering. Dengan malas ia meraih benda tipis berbentuk persegi panjang itu. [Raya akan pergi bersama Ramon nanti malam, Pak. Untuk saat ini Raya masih tak punya alasan untuk menolak karena semua atas kemauan Bibi.]Pesan dari Rani membuat Raihan berdecak kesal. Sejujurnya ia kesal dengan sikap Raya yang begitu mudah menuruti keinginan sang ibu, tanpa peduli akan seperti apa perasaannya sendiri. Raihan mengabaikan pesan Rani tanpa membalasnya. Setelahnya ia menyeruput kopi han
Raya seketika bergidik ngeri. Ia bukan lagi anak-anak yang tak paham maksud kalimat Ramon barusan. Kalimat yang mampu membuat nyalinya seketika menciut. "Kau tak akan bisa lari ke mana-mana lagi, Ra. Mulai malam ini kau hanyalah milikku. Tak akan ada lagi laki-laki yang bersedia menerimamu setelah malam ini, termasuk laki-laki yang sudah membuatku muak padamu!" ucap Ramon dengan senyum licik. Detik-detik selanjutnya membuat jantung Raya kian berdegup lebih kencang ketika Ramon kian mendekatkan tubuhnya ke arah Raya. Jarak antara wajah keduanya kini hanya tersisa kurang dari lima sentimeter. Raya membeku di kursinya dengan keringat dan air mata mulai berjejalan keluar. Melintas dalam benaknya akan seperti apa masa depannya setelah ini. Akankah dirinya akan mengalami hal buruk yang tak diinginkan satu perempuan pun di muka bumi ini? Diperkosa lalu dibunuh dan dibuang di hutan di dekat sini? Atau mungkin setelah ini laki-laki bajingan itu akan menikahinya, dan melampiaskan rasa sakit
Cuaca dingin malam ini membuat Raihan harus mengenakan jaket tebal berbahan anti air, serta kaus kaki dan sepatu. Tak lupa ia melengkapi dengan helm full face berwarna hitam feng sedikit lis merah di beberapa bagian. Mama Maya sempat menatap sang anak dengan tatapan heran, kala melihat Raihan tengah sibuk melengkapi atribut untuk memakai motor khas lelakinya. Ya, Raihan lebih memilih menggunakan motor miliknya meski cuaca dingin terasa menusuk tulang malam ini. "Mau ke mana? Kenapa nggak naik mobil saja?" tanya Mama Maya sambil duduk di samping sang anak. Keduanya tengah duduk bersisian di kursi teras. Mama Maya sedari tadi memperhatikan tingkah Raihan yang tampak sibuk bolak-balik kamar dan berpindah ke teras rumah. "Mau jalan-jalan aja, Ma, udah lama nggak dipake juga," jawab Raihan seadanya. Tangannya dengan lincah mengikat tali sepatu kets abu tua dengan bagian telapak berwarna hitam di kakinya. "Ya sudah, hati-hati," jawab Mama Maya dengan senyum simpul. Ia menerka sang anak
Seketika laki-laki di dalam mobil itu tersentak. Ramon dengan sigap menstarter mobilnya, namun Raya yang menyadari hal itu bergegas mengambil tindakan. Perempuan itu memutar kembali kunci mobil Ramon hingga mesin mobil kembali mati. Ramon yang tengah dikuasai rasa gugup mendorong cepat tubuh Raya, hingga gadis itu terjengkang ke belakang. Raya tak menyerah begitu saja, itu kembali bangkit dan menerjang tubuh Ramon. Ia tahu tenaganya sebagai seorang perempuan tak sebanding dengan laki-laki itu, namun, hanya dengan cara ini ia bisa membuat konsentrasi Ramon terpecah, hingga Raihan bisa melakukan apa yang ia ingin lakukan sekarang. "Diam kau!" Tangan kokoh laki-laki itu tiba-tiba mencekik leher Raya. Amarah di dadanya bergemuruh setelah tahu siapa laki-laki yang kini tengah sibuk memecahkan kaca mobilnya. Raya yang mendapat cekikan kedua tangan Ramon berusaha melepaskan diri. Namun, ia kalah tenaga. Gadis itu hanya bisa menggelepar dan mulai melemah. Dalam waktu bersamaan Raihan s
Marina yang semula memilih menyaksikan siaran televisi di ruang tengah yang merangkap dengan ruang makan, seketika menoleh ke arah pintu utama ketika mendengar seseorang telah menggedor pintu rumah mereka dengan sedikit kasar. Seketika degup jantung perempuan paruh baya itu berkejaran. Gugup dan sedikit takut, itu pula yang tengah ia rasakan. Namun, rasa penasaran membuat ia akhirnya melangkahkan kakinya ke asal suara. "Tolong buka pintunya!" pinta suara dari balik pintu. Suara perempuan yang terdengar begitu tegas. Setelah tahu jika yang datang adalah seorang perempuan, rasa gugup di hati Marina sedikit berkurang. Menyisakan rasa penasaran di hatinya. Perempuan itu segera bangkit dan bergegas menuju pintu utama. Dalam satu putaran pada gagang, laku didorong perlaha pintu itu kini terbuka setengahnya. "Cari siapa?" tanya perempuan paruh baya itu dengan mata sedikit terpicing. Di sana, tepat di depan Marina, berdiri seorang perempuan muda bergaun marun tangan panjang dengan bagia
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp