Teriakan Danang yang histeris menbuat Bu Sartini yang sedang mensortir kain di gudang sangat terkejut. Safira tak kalah paniknya melihat Danang bangkit sembari berteriak-teriak. Rio langsung menghambur cepat memeluknya. Amira pun ikut memasukkan tubuhnya dalam dekapan ibunya. "Mas?! Kamu kenapa?!" teriak Safira mendekap tubuh anak-anaknya. "Hallo! Tidak bisa begitu! Setan namanya ini!" teriak Danang histeris sambil menelpon. "Kenapa sama Danang, Fir?! Mabuk dia?!" tanya Bu Sartini mendekat. "Gak tahu, Buk." "Anak-anak sama saya saja, Nyah!" seru Mimi yang sigap mengambil Amira. "Coba urus dia. Macam orang gila kutengok. Apa dia kalah judi?" ketus Bu Sartini mengangkat Rio lalu bersama Mimi masuk ke dalam kamar. Danang seperti mencoba menelpon seseorang. Dia mondar-mandir terus. Wajahnya tegang. Bahkan ada keringat memenuhi keningnya. Pria itu seperti sedang mendapatkan berita buruk. "Mas! Kamu kenapa, sih?!" "Diam! Cerewet!" hardik Danang melotot lalu kembali
Safira melongo sampai-sampai ponselnya berhasil diambil alih oleh Danang. "Mas! Apaan sih! Kurang ajar kamu namanya!" Danang membaca tulisan yang terlihat di layar itu. Safira berusaha meraih benda pribadinya itu dengan usaha yang sungguh-sungguh. Danang terus membaca dan menemukan banyak chating pendekatan. Marah, makin gila dan penuh isi dadanya. Ia melempar ponsel Safira ke atas sofa hingga memantul benda itu dengan cukup keras. Untung saja tak sampai terlempar ke lantai. "Kalau sudah gila, jangan ajak-ajak orang lain!" "Sekarang kamu pasti senang, aku sudah bangkrut dan jatuh miskin, kan? Sampai-sampai kamu bisa chattingan di saat aku terpuruk. Bukannya bantu malah nampak senang melihat aku begini. Gak punya perasaan kamu, Fir. Sumpah, tega kamu." "Pandai sekali memang kamu playvictim, Mas. Aku sedikit memberikanmu peringatan, malah kamu abaikan dan anggap aku tak berkompeten. Sekarang bangkrut, kamu cari perkara denganku." "Setidaknya hargai aku yang sedang begini,
"Ya. Tenang lah Megan. Sekarang kamu akan terus melihatku di rumah. Aku jamin kamu tidak akan mendengar aku menyebut proyek lagi karena aku tidak akan membahasnya lagi." Megan mengernyitkan alisnya heran. Seperti telinganya ganjal mendengar kalimat suaminya. "Apa itu artinya sudah cair uangnya, Mas?" tanya Megan melembut dengan perasaan harap-harap cemas. Danang menggeleng. Megan makin curiga tak karuan. Ia duduk di samping Danang, meraih rahang suaminya itu agar menatapnya dengan pasti. "Apa maksudmu, Mas? Jawab aku." "Aku ternyata ditipu. 250 juta hilang tak berbekas." Kaku tangan Megan, bertahan di wajah suaminya. Danang menepis tangan Megan dengan pelan lalu bangun. Megan masih bergeming kosong. "Maafkan aku, Megan. Kita sekarang sudah hancur bahkan tidak ada yang tersisa lagi. Jangan ada umpatan apa pun. Kita renungi saja, pastilah ini karma untuk kita yang telah egois. Ada hak waktu, kepercayaan, kebahagiaan anak-anakku yang kita rampas. Ada bakti Safira sebaga
"Aku siap jadi ayah dari anak-anakmu. Tentang perasaan ini, jangan tanya sejak kapan adanya, serius atau tidak. Karena kita bukan remaja lagi yang senang pada hal-hal yang abstrak. Intinya saat ini, aku yakin, kamu bisa menjadi istriku. Berikan aku kesempatan." Safira tersenyum lalu menjulurkan tangannya pada kotak cicin itu. David begitu gembira melihat pergerakan tangan Safira. Dia yakin, ucapan banyak orang, takkan ada wanita yang bisa menolaknya jika dia meminta. Namun bukannya meraih cincin, Safira justru menutup kotak beludru itu. Wajahnya tenang dengan senyum yang tak lekang. "Fir ...." David tercengang. Tangan Safira mendorong pelan tangan David yang memegang cincin hingga menyentuh dada pria itu. "Fir, apa kamu belum paham maksudku?" "Mas, aku ini wanita dewasa bahkan sudah punya anak dua. Sejak kamu sering memerintahku, aku sudah tahu kau menyukaiku. Bahkan saat kau memarahiku dengan caramu, aku tahu kamu ada rasa. Aku jug tahu, kamu diam-diam sering memperhatikank
"Innalillahi wa innalillahi roojiun," desis Pak Rahmat terdengar jelas sedangkan Bu Andin tak bersuara. "Berapa?" tanya Pak Rahmat. "250 juta, Pa." "Allahuakbar," ucap Pak Rahmat terdengar berat. "Itulah bukti dan semoga menjadi pembelajaran untukmu Danang. Doa ibumu untukmu tidak sampai langit karena pintu langit tertutup. Sebab ada hati wanita lain yang telah kamu sakiti dengan cara yang sangat zolim. Berarti selama ini pengabdian Safira adalah tulus. Hanya kamu yang memandangnya dengan kacamata yang salah. Saran Papa, mintalah maaf padanya agar kamu bisa menata hidupmu lebih baik," ucap Pak Rahmat bergetar. "Bagaimana bisa sukses jika dia masih bersama pembantu murahan itu, Pa?! Selama dia masih mempertahankan wanita itu, selama itu juga dia akan seperti itu! Wanita itu memang pembawa sial!" teriak Bu Andin histeris. "Ma, istighfar, Ma. Istighfar. Ingat kata Papa, semua yang telah terjadi adalah sudah tertulis di Lauhul Mahfuz. Sudah. Bukankah kita sepakat kalau kita
Danang merebahkan dirinya lalu menelungkup. Istrinya sudah siap memijit punggungnya. "Menurutku, jadi satpam lebih baik, Mas," ujar Megan. "Ogah. Lebih enakan supir pribadi Nyonya Ambar. Mobilnya bagus dan cuman nyupirin terus nungguin doang." Megan diam. Ia bertekad akan menyampaikan uneg-unegnya sebelum terlanjur lama. "Mas, aku boleh minta sesuatu?" tanya Megan terus memijit punggung suaminya dengan lembut. "Apa? Katakan." "Berhenti kerja jadi supir pribadi wanita yang tadi pagi itu. Aku kurang sreg. Gak suka aja, Mas." Danang langsung membalikkan tubuhnya. Matanya melotot, jelas pria itu tak terima. "Jadi, kamu lebih memilih aku jadi ojek online dengan penghasilan tak menentu? Bahkan hanya dapat 50 ribu sehari. Hampir gila aku, benar-benar hampir putus kehidupanku rasanya, Megan. Kamu memilih aku begitu daripada aku jadi supir gaji 5 juta? Bahkan Nyonya Ambar mengatakan, akan banyak bonus jika pekerjaanku bagus. Miring kamu, ya!" "Tapi, Mas. Aku tidak suka de
"Namanya kerja, terserah boslah. Mau dapat bonus besar ya harus nurut. Jangan ngatur-ngatur. Ingat, kita butuh duit banyak!" Megan hanya bisa terus menahan gemuruh di dadanya yang seperti ingin menyeruak keluar. Matanya tajam mengikuti pergerakan Danang yang tak acuh, menuju rak sepatu. "Mas, apa maksudmu bilang kalau aku ini adikmu? Bukan istrimu!" Danang diam saja. Ia terus membuka sepatunya. "Apa kamu gak tahu, bisa jatuh talakmu, Mas padaku!" teriak Megan yang sudah tak sabaran. "Lalu kamu mau orang-orang tahu, aku membawa istriku menjadi pembantu?! Aku malu, Megan! Cukup aku menahan malu karena menjadi ojek online, jangan tambah lagi!" Megan menutup mulutnya tak percaya yang dia dengar. "Sudah. Aku malas berdebat. Terserah!" Tak mau kalah dan jelas nekat. Keesokannya Megan mendekati Desi yang sedang yoga. Danang sedang memanaskan mobil. "Nyonya. Mas Danang bukan Abang saya tapi suami saya," ujar Megan memburu. "Oh ya? Jadi sudah cerai dari istrinya yan
Pukul 12 malam, Danang pulang. Yang mengejutkan, pria itu pulang menggunakan mobil milik Ambar. "Aku lebih cepat 1 jam daripada semalam. Jadi jangan meracau," ujar Danang pada Megan yang masih terjaga karena menunggunya. "Mana motormu, Mas?" "Masih di sana. Mungkin besok pas lengang, aku bawa pulang. Aku sekarang akan pakai mobil kemana-mana. Rasanya begitu menyenangkan," ucap Danang terlihat sangat bersemangat. Ia melepaskan sepatunya sedangkan Megan berdiri di dekar pintu. "Jangan berlagak, Mas. Mau bergaya tapi pakai barang orang lain," sindir Megan sinis pada suaminya. Danang berdiri tegak, menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Kalau merasa belum bisa kasih aku apa-apa, jangan protes." Danang melewati Megan begitu saja. "Apa maksudmu, Mas? Kamu harapkan apa dariku?! Kamu ingin aku kasih kamu apa?! Jawab!" Tak ada jawaban apa pun dari mulut Danang. Kepalanya pusing. Sungguh pusing dalam arti sebenarnya. "Mas! Jawab aku! Kalau kamu mengharapkan aku bisa
"Mama?" Tanpa ragu, Safira langsung memeluk Bu Andin. Pak Rahmat mengelus-elus kepala Safira sembari menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia sangat prihatin atas kehancuran rumah tangga putranya. "Meskipun kamu bukan lagi menantu kami, kamu tetap anak kami, Fir," ujar Pak Rahmat. "Kamu jangan khawatir. Kami yang akan membayar biaya persalinannya. Karena itu sudah jadi tanggung jawab kami," ujar Pak Rahmat bijak. "Kalian pasti tahu, ini bukan soal harga," ujar Safira mengusap air matanya. "Sabar, ya, Fir. Tadi kami sudah cari Danang ke rumah, tapi dia gak ada," ujar Bu Andin. "Kemana ya, dia?" desis Safira melihat layar ponselnya yang tak bosan menelpon dan mengirim pesan. Tiba-tiba terlihat salah satu tim medis mengabarkan bahwa bayi sudah berhasil dikeluarkan dan berjenis kelamin laki-laki, sekarang sedang di ruang NICU. "Kenapa dibawa ke NICU?" tanya Bu Sartini sedangkan Bu Andin setengah tidak peduli. "Bayinya sakit, Bu. Bayinya kuning, Bu." "Ma-maaf,
FLASH BACK! "Nyonya! Nyonya!" "Kamu kenapa, Mi?!" "Megan sakit perutnya. Ada darah bercampur air yang keluar dari selangkangannya, Nyonya!" seru Mimi dengan wajah panik. "Astaghfirullah! Dimana dia?" "Masih di luar. Beberapa meter dari sini." "Ooh ya, Allah! Cepat kembali, temani dia, Mimi!" Anggukan kepala Mimi terlihat tegang. Ia kembali berlari keluar. Bu Sartini segera masuk rumah menggedor kamar Safira. "Fir! Fira!" Safira diam saja, malas menimpali ibunya. Pipinya masih basah. Luka hatinya dibuat kembali terbuka. Jika bertemu Danang, ia merasa dendam tapi bertemu Megan, seperti berlipat-lipat perasaan sakit hatinya. Safira mengabaikan panggilan ibunya, justru makin memeluk diri sendiri di dalam selimut tebal. Kedua telinganya ditutup rekat-rekat. "Safira! Megan mau melahirkan! Dia sedang kesakitan di pinggir jalan itu, Fir!" Seketika kedua bola mata Safira terbuka. Perlahan tangannya turun dari telinganya. "Fir, jika kamu dendam pada Megan, tak apa-a
Danang meraung meresapi penyesalannya. Ia ingin segera menemui Megan. Dengan susah payah dia berdiri, membawa kursi kayu yang terikat dengannya. Namun baru saja beberapa saat berdiri, kakinya terasa seperti ditusuk belati. "Aaakhhhhhh!" Tiba-tiba pintu terbuka. Byuuuurr! Seember air es mengguyur utuh ke seluruh tubuh Danang. Perih dingin terasa menyengat kulitnya. "Berisik!" Danang enggap-engapan. "Tolong, Bang. Lepaskan saya. Saya harus menemui istri saya, Bang!" "Selama tidak ada perintah dari bos, mana bisa kami lepaskan." Pintu ditutup. "Megan ...!" teriak Danang dengan penyesalan memenuhi seluruh hatinya. "Maafkan aku, Safira. Maafkan aku Megan," lirih Danang menggigil. Sekarang dia menyadari bahwa semua bencana yang dialaminya saat ini adalah bermula karena dia. Andai dia mensyukuri apa yang dia miliki, tentu dia tidak akan mencari nikmat lain yang membuatnya kehilangan nikmat sebelumnya. "Rio ... Amira ...." Wajah kedua putra putrinya bergela
Seorang laki-laki bule tinggi dengan otot-otot terlatih keluar dari mobil hitam itu. Sorot matanya tajam menatap ke arah Danang yang sudah lebih dulu keluar. Danang sedang mendekat untuk meminta kedua mobil itu menyingkir namun dia langsung bergeming saat melihat pria bule itu. "Jangan biarkan dia mendekat, tapi seret dia kemari," desis Gerald menyalakan rokoknya. Empat anak buahnya langsung berjalan cepat mendekati Danang. Sekarang Danang sadar, ini bukan peristiwa kebetulan tapi dia memang sedang diincar! Pria itu berbalik, berlari menuju mobilnya berada. "Mereka penjahat! Kita harus segera pergi dari sini!" teriak Danang meloncat masuk ke dalam mobilnya. Jantungnya berdebar hebat. Ia yakin, itu perampok. "Dimana kuncinya?!" teriak Danang menatap pada Ambar. Dia sangat panik. Namun wanita yang bersamanya itu terlihat santai saja menatap layar ponselnya. Dia diam, seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa. Danang tak percaya dengan situasi yang sedang dia hadapi. Belum sempa
"Maafkan saya, Nyonya. Maafkan saya." Makin keras isak tangis Megan. Ia bingung mau memproduksi kalimat yang pantas untuk Safira. Megan hanya terus terisak sembari bersujud. Bu Sartini mendekatinya lalu mengangkat bahu wanita itu. "Bangunlah. Kasihan bayi di perutmu, kamu bawa nangis terus," lirih Bu Sartini berusaha bijak. "Tak ada gunanya kamu minta maaf sekarang, Megan. Kamu begini karena suamimu sudah mengkhianatimu kan? Aku sudah tahu. Tempo hari dia bersama seorang wanita kaya. Pria itu memang suka wanita kaya. Seharusnya kamu merasa hebat lo, bisa merebutnya dariku hanya dengan modal lemah lembut dan ready 24 jam." "Nyonya ...," lirih Megan menyiapkan dirinya menerima semua cercaan Safira yang lebih menyayat hati. Dia merasakan yang sekarang baru permulaan. "Setelah mengetahui suamimu selingkuh dan memilih wanita kaya, kamu bisa ngamuk juga, ya, rupanya? Seharusnya kamu tetap lemah lembut dan legowo. Kan itu jargon andalanmu sehingga aku begitu terlihat kasar. Se
Safira keluar dari mobil sembari memijit-mijit tengkuknya. "Assalamu'alaikum, Ibuk!" "Waalaikumsalam." "Tumben di luar? Nungguin aku?" "Iya. Ada yang mau Ibu bicarakan, Fir." "Soal jemput anak-anak? Aku sudah telpon mereka tadi. Katanya besok pulang ke sini. Masih betah mereka. Tahulah mbahnya suka manjain mereka, turutin semua mau mereka. Kadang gak kira-kira," sungut Safira terus melangkah. Bu Sartini menangkap tangan putrinya itu. "Fir!" Safira menoleh ke belakang, merasa heran. "Aku serius. Ada hal penting yang ibumu ini mau bicarakan." Safira sempurna membalikkan tubuhnya menghadap Bu Sartini. "Segitu pentingnya sampai gak bisa ngomong di dalam, Buk?" Tatapan mata Bu Sartini mengatakan iya. "Di dalam ada Megan." "Apa?!" Kedua bola mata Safira membelalak lebar. Kalimat yang barusan dia dengar itu seperti membawa trauma untuk dirinya. "Untuk apa dia di sini?!!! Apa lagi yang dia mau rebut dariku?!" Safira tegang. Nada bicaranya pun meninggi.
Bu Sartini yang sedang di gudang kain langsung terkesiap. Ia takut salah dengar dengan sebutan itu. Hanya Megan yang memanggilnya dengan sebutan itu. "Telingaku makin kehilangan kemampuannya," lirih Bu Sartini sendirian. "Nyaiiii ...." Bu Sartini menoleh dan langsung mundur, menjatuhkan roll kain yang sedang berdiri di dekatnya. Belum bisa keluar kalimat dari mulutnya, Megan langsung menyungkur di depan kaki Bu Sartini. "Maafkan saya, Nyai. Maafkan saya! Saya salah, Nyai. Saya siap dihukum meskipun hukuman mati!" Megan terisak-isak. Bu Sartini menjauhkan kakinya. "Kamu kenapa, Megan? Heeei! Bangun! Bangun!" Megan bersujud. "Saya salah, Nyai. Saya salah sudah merebut kebahagiaan Nyonya. Saya memang babu! Benar. Saya hanya alas kaki kalian!" Bu Sartini terus memperhatikan. Megan mengangkat kepalanya. "Hei! Kamu kenapa?! Jangan bicara yang aneh-aneh!" "Saya salah, Nyai. Saya salah!" Megan terisak-isak hebat. "Apa suamimu tahu, kamu ke sini?" tanya Bu Sartin
"Mana kunci mobilku?!" tanya Danang sembari memasukkan ponsel, parfum ke dalam tasnya. Perlengkapan untuk pesta makan malam di bawah langit berbintang sudah ia siapkan dalam godie bag. Sebuah rencana dan hidup yang sempurna. Megan yang ditanya diam saja, pura-pura tidur. Dia sudah melempar kunci itu ke belakang. Entah dimana jatuhnya, dia tidak mau tahu. "Dimana kunci mobilku?!" Suara Danang makin meninggi. "Aku tidak tahu, Mas. Cari saja di mana kamu biasa simpan." "Aku selalu simpan di sini. Kamu jangan bodohi aku, Megan. Dimana kunci mobilku?!" Danang membuka selimut yang menutupi tubuh Megan. "Bangun! Kamu pasti yang sembunyikan kunci mobilku?!" "Apaan sih?!" Megan menepis tangan suaminya. Danang langsung menarik lengan Megan hingga jatuh wanita itu ke lantai. "Aaaaakh!!!!" Megan merasakan perutnya terasa menghentak. "Sakit, Mas!" "Dimana kunci mobilku?!" "Berhenti menemui wanita itu! Sejak kamu bersamanya, kamu menjadi orang yang tidak kukenali!"
"Fantastik! Tapi ini mahal, Sayang!" "Aku hanya ingin kamu senang," ujar Ambar tersenyum. Danang sangat gembira bahkan dia langsung melupakan hal yang sedari tadi dipikirkannya itu. Persetan dengan dia sedang bersama wanita bersuami atau tidak, dia tidak mau peduli lagi. Yang penting, dia sudah memiliki mobil baru yang harganya mendekati 500 juta. "Aku harus membalas kebaikanmu dengan apa, Sayang?" "Malam ini, habiskan waktumu bersamaku." Danang tersenyum dan mengangguk cepat. Ponselnya langsung dia matikan tak peduli ada puluhan pesan dan panggilan dari siapa pun. Keesokan harinya, membawa matanya yang sembab bersama hatinya yang hancur lebur, Megan sampai di rumah besar kediaman Ambar. "Mana Mas Danang, Pak?" tanya Megan pada satpam. "Belum pulang, Mbak." "Kan itu mobil yang dibawa?!" Megan mulai emosi. Tak karuan perasaannya. Ia menduga, satpam itu menyembunyikan keberadaan suaminya. "Kemarin sore balik sama Boss. Terus ada mobil baru nyusul. Lalu, mereka