"Aku sudah bercerai dari Megan, Fir dan aku tahu pasti kami tidak akan kembali bersatu. Aku sudah melukainya terlalu dalam. Aku mohon, tebus rumah itu di bank, balik nama lalu jual saja. Berikan sebagian hasilnya pada Megan juga karena ada anakku yang dia bawa. Biarlah Fir, aku ikhlas." "Kamu akan segera keluar, Mas. Saranku, lebih baik kamu jujur saja jika memang kamu dijebak." Danang menggeleng. "Tidak, Fir. Ini demi kalian. Aku tahu mereka, dan bagaimana sepak terjang mereka meskipun baru sehari. Mereka orang-orang jahat yang tak punya hati." Safira tidak tahu lagi mau berkata apa. Ia hanya mengangguk saat Danang meminta untuk menyentuh perutnya. "Semoga kamu sehat, Nak. Maafkan Papa yang tidak bisa menjadi ayah yang kamu dan kakak-kakakmu bisa banggakan. Papa menyesal, Nak. Maafkan Papa karena tidak bisa menyambut kelahiranmu dengan suara adzan dari Papa." Danang menatap kedua bola mata Safira yang terus basah. "Menikahlah Safira. Menikahlah dengan pria yang memperju
Bu Sartini mengangkat tubuh Megan. "Aku pun minta maaf padamu, Megan karena aku berlaku sangat keras padamu. Sungguh karena aku sangat marah dan tak rela putriku menderita." "Tetaplah tidak menyukai saya, Nyai. Tetaplah benci saya dan perlakukan saya dengan buruk. Saya ikhlas. Asalkan yang melakukan itu adalah Nyai. Nyai pengganti Mbok saya." Bu Sartini hanya berusaha terus menarik napasnya. Melawan diri sendiri adalah yang paling berat. Namun dia sudah terlalu tua untuk terus angkuh. "Kemarilah, peluk aku," lirih Bu Sartini merenggangkan tangannya. Megan berbinar. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya pada Bu Sartini sembari menangis hebat. "Terimakasih Nyai. Saya tidak punya siapa-siapa lagi." "Iya. Sabar, Megan. Berjanjilah padaku, kamu tidak akan pernah melakukan kesalahan seperti sebelumnya. Pilihlah jodoh yang dimana tidak ada wanita lain yang tersakiti. Sesuatu yang boleh dilakukan namun diraih dengan cara zolim maka akan berakhir buruk. Sebab ada air mata dan doa or
"Nyonya, mau makan apa?" tanya Megan pada Safira yang sedang merasa tak nyaman dengan perutnya. "Jangan tunjukkan wajahmu di depanku, itu sudah cukup," ucap Safira ketus. Megan diam dan memilih pergi. Bu Sartini mendekat. "Kamu mungkin mau lahiran, Fir. Ayo ke rumah sakit." "Belum, Bu. Ini pasti karena aku makan tahu tek-tek tadi di butik. Rasanya sangat pedas." "Memang sinting kamu. Tahu diri hamil tapi makanan tidak dijaga." Safira hanya diam. Seperti perutnya melilit pelan. Ia meraba celana dalamnya, tapi kering. Ia merasa bukan akan melahirkan. Ia kenal rasanya. Dua kali melahirkan, tentu dia tahu sensasi perut akan melahirkan seperti apa. "Nyonya, makanlah pisang ini. Bagus untuk perut yang lagi tak nyaman," ujar Megan meletakkan pisang, tak jauh dari posisi Safira. Safira membuang wajah. Megan langsung pergi. "Ibu minta permaklumanmu, Safira. Setidaknya sampai luka di perut Megan mengering. Ada bayi yang dia bawa dan kamu tahu, bagaimana kondisi bayinya. Mes
Beberapa saat, setelah tiga kali mencoba, suara tangis bayi terdengar memekakkan telinga bersama darah memuncrat keluar. Megan langsung mengeluarkan bayi itu dari naungan selangkangan ibunya. "Pegang, Mi!" seru Megan sedangkan Safira masih terengah-engah. Mimi meletakkan tubuh Safira yang sebelumnya menyender di badannya. Ia lalu mengambil kain yang bertumpuk sembarang, dan menerima bayi yang begitu keras suara tangisnya itu. "Ooh ya Allah, alhamdulillah. Kemarikan, Mi," ujar Bu Sartini dengan linangan air mata. "Tunggu dulu, Nyai," ujar Megan. Mimi bertahan di dekat Megan karena bayi itu masih terhubung dengan ari-arinya. "Ngedan lagi, Nyah," ucap Megan menekan pelan di bagian kiri-kanan liang. Dengan sisa-sisa kekuatan, Safira mengedan hingga terasa seperti ganjalan menyembul keluar begitu hangat di selangkangannya. "Alhamdulillah," lirih Bu Sartini memperhatikan. "Biarkan saja begini, Nyai. Tak masalah. Nanti Bu Bidan yang menyempurnakannya," ujar Megan menyiram
Mimi langsung berbinar dan mengangguk-angguk saat menerima uang itu. Kali ini wajahnya cerah, tidak layu seperti tadi. Untung saja Safira peka, tentu saja Mimi iri pada Megan yang diperhatikan diam-diam oleh majikannya. Padahal Megan adalah sumber petaka bagi majikannya itu. "Bundaaa! Bundaaa!" teriak Amira menggedor pintu kamar Safira sehingga membuyarkan ingatannya. "Kenapa, Nak?" "Abang berdarah!" "Astaghfirullah! Dimana?!" Safira langsung melesat berlari bahkan meninggalkan Amira. Terlihat Rio sedang dipeluk Bu Andin sembari menangis karena wajah Rio lebam juga bibirnya berdarah. Ada Pricilia dan Arini turut ikut menemani sejak Rio diobati di UKS. "Abang kenapa?" "Dia berantem sama Ciko, Bun," jawab Arini takut berani. "Mana guru? Kok sampai bisa sampai begini?!" Safira memeriksa lebam-lebam di wajah putranya. "Ya, pas jam istirahat, Bun. Gak perlu waktu lama, sebelum datang Bu Guru, ya bisa penyok tuh, Rio! Seharusnya kan Ciko lebih banyak bonyoknya. Ii
"Tidak, Nyonya. Tidak ...." Megan terisak-isak, mengerang seperti merasakan sakit kembali. "Jangan paksa saya, Nyonya. Apalagi membawa Arman pada Mas Danang. Dia tidak sudi pada anak saya yang cacat, Nyonya." Megan membalik tubuhnya, kembali menepuk-nepuk pantat Arman. Sakit hatinya masih begitu kental karena diperlakukan sangat buruk oleh mantan suaminya itu. Jika harus memilih menemui penjahat atau Danang, ia akan lebih memilih menghadapi penjahat sebab yang paling menyakitkan adalah, orang yang kita cintailah yang menyakiti. Safira menarik napasnya kuat-kuat barulah dia bicara. "Kalau kamu memerlukan sepertiga dari maafku, ikutlah denganku." Megan langsung menoleh cepat dengan matanya yang basah. Safira abai dan beranjak ke ruang tamu, mengeluarkan stok susu Caca. "Aku nginep, Buk. Ada acara show nanti malam. Titip Caca." "Ya, Nak. Sekarang kamu jalan?" "Nantian," ucap Safira mengecek ponselnya dan menunggu laporan para pekerjanya. Tiba-tiba Megan hadir, le
Safira langsung menuju Epicentrum Mall, lokasi acara. Rupanya jadwal untuk para model tampil dimajukan sebab nanti malam ada acara kampanyenya gubernu yang tidak bisa ditolak panitia. Saat Safira panik, Megan justru senang bisa jalan-jalan menikmati suasana mall. Ia meninggalkan Safira yang sedang di standnya, butik Modes Kartini. "Model Tia gak bisa sekarang, Bu. Karena dia lagi ada acara juga. Sedangkan April dan Joya siap. Mereka sedang dandan," ucap karyawan butik dengan wajah panik. Pasalnya waktu show tinggal tiga jam lagi. Untuk persiapannya terasa sangat mendadak. Para owner butik yang lain juga heboh mempersiapkan para model mereka dengan sebaik-baiknya. Apalagi ajang promosi ini sekaligus dilombakan. "Kira-kira siapa yang bisa gantiin dia? Ada kontak model lain gak? Coba hubungi satu-satu. Kita siap bayar mahal gak apa-apa," ujar Safira kesal dan kebingungan. Beberapa model yang biasa mengisi acara fashion show dihubungi tapi tidak bisa karena sangat mendadak. Di te
Sejak menang lomba, banyak yang mengira Megan adalah model sungguhan. Beberapa owner fashion menghubungi Safira."Saya gak mau jadi model bagi orang lain, Nyai. Gak mau dah," ucap Megan memotong sayuran bayam. "Tapi katanya Safira, duitnya lumayan. Lumayan kamu bisa nambahin tabungannya Arman.""Kalau Nyonya yang meminta saya jadi model mereka, mungkin bisa saya pertimbangkan. Harusnya Nyonya ngomong sama saya langsung, gak lewat Nyai terus," ketus Megan. "Lah sama aja," ucap Bu Sartini menemani Arman bermain. "Gak lah. Saya maunya Nyonya yang bicara sama saya.""Idih ... kamu ini. Jangan ngelunjak. Untung kamu gak dibuat jadi bubur sama Safira.""Biarin aja saya ngelunjak, Nyai.""Gila," omel Bu Sartini gemas.Sebenarnya dia tahu maksud Megan. Pastilah wanita itu ingin Safira terus membutuhkannya sehingga hubungannya dengan Safira makin membaik. Namun putrinya itu masih tetap membatu. "Jadilah model di butikku. Ada beberapa baju yang louching. Satu jam lagi, photoshoot. Aku sudah
"Kan sudah puluhan kali David melamarmu, kok baru sekarang kamu gemetar begini?" "Beda, Buk. Beda aja! Ibuk gak tahu gimana rupa Mamanya. Iihhh!" Senyum Bu Sartini makin lebar. "Ya, aku paham perasaanmu. Selama ini sama David, kamu merasa lebih enjoy, rileks karena memang kalian sudah sangat dekat sejak masih satu kantor." "Ya Buk. Terus gimana dong ini?" "Ya gimana apa? Kita siapkan diri lah," ketus Bu Sartini meraih hpnya. "Ya Allah, Buk." Safira kehilangan kata-kata. Ia seperti diambang dua sisi. Antara mau dan tidak mau menikah dengan David. Dia pun bingung dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menentukan perasaan sesungguhnya itu bagaimana. "Ibu mau nelpon siapa?" "Nelpon Burhan. Mau suruh cari orang buat cat ulang rumah ini. Aku juga mau ganti sofa sama gorden baru." "Buat apa, Buk?!" "Astaghfirullah! Pake nanya lagi! Ya buat persiapan kamu dilamar lah! Memang kamu gak mau nikah sama David? Yang jelas caranya. Mau apa gak?!" "Aku bingung, Buk. Anak
Dengan percaya diri, Safira meletakkan setelan baju yang dia rekomendasikan di depan Bu Erlita. Wanita kaya itu merabanya lembut namun otaknya berpikiran hal lain. Ia ingin mengintimidasi pemilik butik dan mengetahui, sejauh mana wanita itu bisa bertahan. "Bagaimana seorang owner butik bisa mendapatkan hati pewaris tunggal Adingtong grup? Kau tahu, putraku itu sangat sulit didekati." "Hati adalah magnet, Nyonya. Dia akan tertarik pada energi yang sama dengannya." Bu Erlita tersenyum kecil. Dia wanita cerdas dan paham, Safira tidak mau merendahkan dirinya. Seolah mengatakan, dia sama hebatnya dengan putranya dan pantas. "Tapi, saya belum menerima putra Anda. Masih saya bertimbangkan, " sambung Safira yang membuat Bu Erlita tersenyum lebih lebar. Dia suka wanita yang tak mudah dan tak murah. "Kenapa? Bukankah putraku pria yang sempurna untuk dinikahi?" "Karena merasa hidup saya saat ini sudah sangat sempurna, Nyonya. Jodoh masih jadi rahasia. Saya memiliki anak-anak dan t
Beberapa waktu berlalu, Rio dan Amira makin dekat dengan David. Pria itu berhasil menjadikan dirinya bagian dari memori anak-anak itu. Ia mengira harus merogoh uang yang banyak untuk bisa mendapatkan perhatian anak-anak. Rupanya tidak. Tidak banyak modal yang dia keluarkan namun tenaganya yang sering kali harus dia isi ulang. Ternyata David sekarang paham, membuat anak-anak bahagia bukan hanya sekedar bermodal uang. Namun intraksi dan komunikasi itu, tidak hanya sekedar bersama tapi bercengkrama. Ada timbal balik antara orang dewasa dan anak yang membuat mereka menjadi lebih dekat. Di sela-sela kesibukannya, David menyempatkan dirinya melakukan panggilan vidio dengan anak-anak melalui ponsel Bu Sartini atau Mimi. Minggu ini, mereka antusias karena akan diajak bermain ke dino land. "Janji, ya, Om CEO!" seru Amira yang pandai berceloteh. Dia lebih lincah bicara daripada Rio yang hanya ikut-ikutan. "Om ada hadiah buat kalian. Nanti malam Om bawakan, ya!" Amira mengangguk. Nampak
Dua hari kemudian, Safira yang baru saja pulang dari butik langsung dikagetkan dengan berita jika ibunya sakit. "Ayo, Mi! Kita nginap di rumah ibuk. Kita bawa perlengkapan untuk nginap seminggu." "Siap, Nyonya." Benar saja, di rumah, Bu Sartini sudah memakai koyo di sisi kiri kanan kepalanya. Ia menggunakan selimut menutupi tubuhnya. "Ya Allah, Ibuk, kok tiba-tiba aja sih gini?" tanya Safira khawatir. "Makanya aku cariin bibik biar ada yang bantu, kenapa sih gak pernah mau?!" "Gak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya nyilu-nyilu dikit. Mana anak-anak? Kamu bawa kan anak-anak?" "Rio les. Amira sedang tidur di kamar." Bu Sartini tersenyum. Menjelang isya, David datang. Safira yang sedang menikmati urap daun turi campur kol sampai batuk-batuk saat mendengar Mimi mengabari. "Astaghfirullah, ngapain orang itu di sini jam seginian, Mi?!" "Gak tau, Nyonya." Safira melepas makanannya lalu keluar menemui David. Wajah Safira sudah tegang. "Sebelum kamu bicara, aku mau ka
"Jangan bikin gaduh, Andin. Kita memang sahabat dekat tapi kalau sudah tidak sehat begini, habis nanti kubuat kalian. Serahkan Amira sekarang!" "Mbak selalu begitu. Selalu egois. Harus ya, kami ikut ngomongnya Mbak?! Mentang-mentang Mbak lebih kaya dari kami? Mentang-mentang kalian lebih kaya?!!" Bu Andin berkaca-kaca. Sudah serak suaranya. "Ya jelas! Anggap aja begitu. Kenapa memangnya? Lagian, baru saja anak-anak nyampe rumah, sudah mau dibawa pergi. Mereka itu punya rumah! Mereka punya ibu! Terus saja hampir tiap hari kalian bawa!" "Gimana gak mau aku bawa, Mbak?! Ibu mereka sibuk! Malah mau nikah sama laki-laki lain!" timpal Bu Andin menggebu-gebu. "Oooh ... Perkara itu?! Jelaslah! Putriku masih cantik, masih sehat, karirnya melesat. Sangat pantaslah kalau ada laki-laki kaya, pemilik perusahaan besar yang mau meminangnya. Malah akan kupasung Safira kalau dia gak terima pria itu. Hahahaha!" Bu Sartini tertawa jumawa. Safira sampai menutup mulutnya karena terkejut m
"Aku be-belum siap, Mas." "Itu karena kamu gak percaya sama aku, Fir. Please .... marry me." Dalam kegamangannya, Safira melihat mobil mertuanya semakin dekat. Jantung Safira seperti akan melompat keluar. Seperti dia merasa sedang berselingkuh dari putra kedua mertuanya itu. Jelas, wajahnya nampak panik. Mobil berhenti, lalu kaca mobil terbuka. "Ngapain kamu di sini, Safira?" tanya Bu Andin ketus. "Ii-iini, Ma ...." "Masuk!" "Ii-iiya." Mobil Bu Andin masuk garasi. Safira menyerahkan kembali buket uang itu. "Ini David, sorry." Dengan langkah seribu, wanita itu meninggalkan David yang kebingungan. Hatinya sangat sedih mendapati buket dolarnya jelas ditolak. Meskipun David tahu, Safira memiliki banyak uang tapi dia ingin wanita itu antusias menerima hadiah darinya. "Aku tak akan menyerah, Fir. Lihat saja," lirih David kembali masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan di dalam rumah, Safira sedang menerima pandangan melotot dari Bu Andin. "Mi! Ada salad?" tanya Saf
"Jangan sampai kamu menyakiti Megan, ya Hasan. Bisa kusunat kamu dua kali," celetuk Bu Sartini yanh disambut riuh tawa. Megan mengusap air matanya. Ia sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berubah setelah melakukan tindakan yang buruk. Setiap orang memang memiliki kesempatan itu dan tidak ada yang lebih baik daripada usaha untuk terus memperbaiki diri. Dua minggu kemudian, barulah Safira datang menjenguk Danang. "Maaf, Mas. Aku baru datang sekarang." "Kamu sibuk acara nikahan kali," ketus Danang. "Iya. Megan menikah dan aku sedikit membantunya dengan kebaya buatanku. Lucunya, malah sekarang dicari-cari orang model seperti yang dia pakai." Danang membatu saat mendengar penuturan Safira yang begitu ringan. "Megan menikah, Fir?" "Iya. Dia gak mau rujuk sama kamu, padahal aku sudah sarankan. Yaa wajar juga sih, kamunya jahat." "Ya Allah, Fir. Kok gak ada yang kabari aku?" "Ya ...." Safira mengendikkan bahunya, pertanda kebingungan mau menanggapi apa.
"Ambil ini. Ini hakmu karena pernah menjadi istrinya Mas Danang. Jika sudah mantap dengan pilihanmu, menikahlah. Ridhoku menyertaimu." "Nyonya ...." Deras air mata Megan sembari memeluk betis Safira. "Bangunlah," ujar Safira menyentuh bahu Megan dengan lembut. Perlahan ia mengangkat tubuh Megan agar berdiri. "Nyonya ...." Megan tidak bisa berkata-kata lagi. "Aku tidak tahu, definisi memaafkan itu seperti apa, Megan. Tapi aku berusaha ikhlas dengan takdir yang telah terjadi dalam kehidupanku. Rumah tanggaku hancur. Aku kehilangan suami dan anak-anakku harus menyaksikan perpisahan kami. Aku sudah ikhlas. Tak pantas aku sebagai makhluk, masih bertanya mengapa terjadi. Aku akan berusaha terus untuk menjalaninya dan pasrah pada alur hidupku." "Maafkan saya, Nyonya. Maaf," lirih Megan berkali-kali. "Aku berusaha melupakan keburukanmu padaku itu semata-mata bukan karenamu. Tapi untuk diriku sendiri. Kalau terus kusimpan dendam ini, justru akan terus menggerogotiku, Megan.
Sorenya, tiba-tiba penjaga penjara datang menjemput Danang kembali. Danang cukup terkejut sebab kloter pertama, Safira sudah datang. Dan dua hari yang lalu, orang tuanya sudah datang. Apa sekarang Megan? "Siapa, Pak?" "Nanti tahu sendiri." Danang sangat terkejut ketika dia duduk, di hadapannya, di balik jeruji besi putih itu ada wajah David yang sedang tersenyum padanya. "Bagaimana kabarnya Pak Danang?" "Tak perlu resmi lagi. Panggil saja Danang. Tidak terlalu penting juga kamu bertanya kabar pada seorang narapidana." David mencoba tetap mempertahankan wajah tenang. Ia mengetuk-ngetuk pelan keramik yang menjadi meja penghubung. "Maaf, jika kedatanganku ini membuatmu tidak nyaman. Meskipun kita bukan teman dekat sebelumnya, kuharap mulai sekarang kita bisa jadi teman." "Katakan apa niatmu?" "Kenapa kau begitu ketus padaku?" tanya David dengan nada dingin. Danang membuang wajahnya. Tidak perlu ada alasan untuk tidak menyukai orang lain. "Apa karena aku dekat denga