"Maaf Bu, anda tidak boleh masuk." Seorang suster menahan tubuh Lidya saat ranjang pasien di mana Satya berada akan dibawa masuk ke ruang UGD.
Seorang rewang Hendri menahan tubuh Lidya yang gemetar. "Kita manut saja Non," ucap lelaki itu menenangkan Lidya. Lidya menatap kasian pada Satya yang tidak sadarkan diri. Dadanya terasa begitu sesak melihat keadaan lelaki yang dicintainya bebak belur.
Lidya yang menangis memundurkan beberapa langkah kakinya. Memberikan ruang untuk para perawat membawa Satya masuk ke dalam ruangan.
Pintu ganda ruang UGD tertutup. Tubuh Lidya disergap udara dingin yang menggila. Pak Sabar menuntun Lidya yang nyaris pingsan duduk pada bangku tunggu. Pikiran wanita itu diliputi oleh ketakutan dan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi pada Satya. Juga rasa bersalah yang menyumpal dada.
"Non mau Pak Sabar belikan minum?" tawar lelaki yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah keluarga Lidya. Menatap khawatir pada Lidya yang duduk di samp
"Makasih, Gia, pokoknya aku sangat senang sekali," ucap Angga antusias. Ia merasa beruntung sudah dikenalkan oleh dokter hebat yang sudah menyembuhkan ular derik Angga."Tenang, jangan terlalu bersemangat." Wanita bernama Gia yang tidak lain adalah teman sekolah Angga itu berkelakar. Angga mengerutkan kening. "Lah, memangnya kenapa?" Wajahnya berubah bingung. "Tentu saja aku senang. Akhirnya aku sembuh dari sakitku." "Sekalipun sudah sembuh, tapi sekarang kan kamu nggak ada teman mainnya," jawab Gia dibalut candaan membuat keduanya terkekeh bersamaan."Jangan begitu." Angga mengibaskan satu tangannya di depan wajah Gia. Wanita yang juga berprofesi sebagai seorang Dokter itu. "Meskipun tidak punya pasangan, tapi setidaknya aku kan sudah jadi lelaki tulen." Angga menimpali. Membela diri. Kesembuhan dari penyakit impot*n disambut penuh suka cita oleh Angga. Ia sangat bersyukur sekali akhirnya ular deriknya kembali bisa berfungsi seperti sedia kala."Kamu tidak ingin rujuk dengan mant
Suara erangan Satya yang tersadar membangunkan Lidya yang seharian suntuk berjaga. Ia tidak tau, sejak kapan ia terlelap. Yang ia ingat, tubuhnya teramat lelah, matanya juga terasa perih karena terlalu banyak menangis."Mas, kamu sudah bangun?" Lidya menatap khawatir. Cekatan ia mengusap matanya yang masih terasa lengket. Memastikan lelaki itu dalam keadaan baik-baik saja.Satya tersenyum tipis. Kepalanya terasa pusing sekali. Satya memejamkan matanya untuk sesaat, sekedar mengingat apa yang telah terjadi. Melihat Satya seperti tengah menahan sesuatu Lidya menjadi khawatir."Mas, apanya yang sakit? Aku panggil dokter, ya." Lidya hendak membalikan tubuhnya."Tunggu!" cegah Satya. Satu tangannya memegangi pelipisnya, sementara tangan satunya menggantung di udara hendak menahan lengan Lidya yang tidak terjangkau. Wanita berwajah kusut berbalut kerudung yang menutupi keindahan rambutnya itu berbalik ke arah Satya."Aku baik-baik saja," ucap Satya lembut. Lidya menatap gusar, mencari jejak
Satya menarik tubuh Lidya mundur. Sesaat nyalinya sempat menciut. Syok mendengar penuturan Hendri. Saat teringat jika dirinya ingin rujuk, Satya memberanikan diri untuk maju. "Bapak," ucap Satya lirih, terdengar berhati-hati. Hendri menyorot tajam. Sejak awal Satya masuk menggandeng tangan Lidya, Hendri menunjukan ketidaksukaannya pada menantunya yang sudah ia hajar habis-habisan kemarin lusa. "Saya dan Lidya sudah memutuskan." Sekilas Satya menatap pada Lidya. Seolah meminta dukungan untuk menyakinkan Hendri tentang niatan baiknya. Saking gugupnya, Satya sampai menghela nafas panjang berkali-kali. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Lidya menggenggam erat tangan Satya yang terasa begitu dingin. "Kalau kami ingin rujuk, Pak," tutur Satya selembut mungkin. Ia tidak peduli, jika setelah ini bapak mertuanya akan murka lagi padanya. "Tidak bisa!" sentak Hendri lantang. Suaranya menggelegar. Sorot matanya tajam menghunus pada putri semata wayangnya yang berdiri di samping Satya juga
Tidak ada hal yang lebih indah saat dua insan merasakan madunya cinta. Perahu yang nyaris karam kembali berlayar menuju luasnya samudera. Siap menghadapi ombak dan angin yang datang menerpa, atau ketenangan laut yang menentramkan jiwa. Sejatinya sebuah pernikahan adalah penyempurnaan agama. Bak malam pertama, hasrat Satya dan Lidya kian menggelora. Rindu, marah dan cinta, meredam menjadi satu dalam satu singgasana. Segala kesalahan terlupakan dan termaafkan begitu saja. Yang ada hanya cinta dan gairah yang mengebu.Tubuh Satya jatuh begitu saja diatas tubuh Lidya. Setelah pertarungan panas diantara keduanya. Haram dan halal rasanya sama saja. Hanya godaan diawal yang menawarkan rasa yang berbeda. Tapi jika dirasa, tetap tidak ada bedanya. Nafsu memang begitu, kerap kali membutakan akal dan pikiran. Dan saat itulah, peran iman dibutuhkan."Maafkan aku!" bisik Satya di samping telinga Lidya yang kini berada di bawah tubuhnya.Nafas Lidya menderu tidak beraturan. Seluruh tubuhnya menega
Selesai mendapatkan suntikkan energi. Pagi ini Mita begitu bersemangat. Ia sudah menyiapkan beberapa potong baju ganti di dalam tas ranselnya. Tidak lupa sebuah boneka beruang besar yang masih terbungkus plastik siap menemani perjalanan Mita menuju ke kampung halaman Angga. Oleh-oleh yang akan ia berikan pada Sifa. Putri semata wayangnya yang sudah hampir tiga bulan hanya mampu ia lihat lewat sambungan telepon.Ponsel yang tergeletak di samping tas ransel Mita bergetar. Tangan Mita menyambar cepat benda pintar miliknya. Tanpa melihat nama pemanggil yang muncul pada layar ponsel."Bu, saya sudah di depan," ucap suara lelaki yang ada di seberang telepon setelah minta menerima panggilan."Oh, iya Pak, tunggu sebentar," balas Mita. Ia tau lelaki yang menelponnya barusan pasti supir grab yang ia pesan untuk mengantarkannya ke stasiun.Perjalanan terasa begitu menyenangkan. Mita sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan putrinya, Sifa. Juga mantan suaminya. Kemarin, Mita pura-pura meman
Hari-hari berlalu begitu cepat. Pada akhirnya hanya waktu penyembuh luka paling mujarab. Mita kembali pada kehidupannya, menjalani hari-hari menjadi seorang karyawan di sebuah perusahaan ritel yang menjadi sumber penghasilannya. Setidaknya saat ini Mita tidak lagi menjadi beban hidup untuk orang lain. Ia bisa mencukupi kehidupannya sendiri.Tidak terasa dua bulan telah berlalu setelah Mita mengunjungi kampung halaman Angga dan sampai detik ini Mita tidak pernah sekalipun bertemu dengan mantan suaminya. Entah semesta yang tidak merestui, atau semesta justru ingin menghukum Mita agar Mita bisa menghargai arti memiliki. Mita sibuk melayani pelanggan di meja kasir saat sahabat baiknya yang bernama Desi menghampiri."Di panggil pak Manager tuh," bisik Desi berdiri di samping Mita. Seketika wajah Mita berubah malas. Akhir-akhir ini manager Mita memang gencar mendekati Mita. Membuat Mita merasa risih."Ish, udah ayo!" Desi mendorong bahu Mita menyingkir dari tempat kasir dan menggantikannya
Lelaki yang pernah Membuat Mita nyaris gila karena cinta kini tengah duduk di sampingnya. Cukup lama, Satya dan Mita sama-sama saling terdiam. Bak dua orang asing yang tidak pernah saling mengenal. Melupakan jika mereka pernah memiliki mimpi terlarang yang sama.Ribuan kata berjejalan memenuhi isi kepala. Tapi tidak satupun ada yang terucap. Hanya berkecamuk di dalam benak. Tanpa mampu untuk diungkapkan. Mita mengepalkan kedua tangannya. Menahan amarah yang membakar dada. Ia merasa semua ini tidak adil, sangat tidak adil. Melihat pernikahan Satya baik-baik saja dan justru makin bahagia karena sebentar lagi Lidya akan memiliki keturunan, Mita tidak terima. Harusnya jika Mita kehilangan segalanya Satya pun juga demikian. "Bagaimana kabarmu?" ucap Satya setelah hampir lima menit tidak ada yang membuka pembicaraan."Kalau mau ngomong, ngomong aja. Aku tidak ada waktu," jawab Mita ketus. Tadinya Mita ingin menghindari Satya, tapi Satya menahannya.Satya menatap Mita penuh rasa bersalah.
Mita tertegun untuk sesaat. Tidak percaya mendengar suara tidak asing di seberang telepon."Halo, ini benar nomor Mita, kan?""Eh, i-iya Mas." Mita gelagapan. Mengatur debaran jantungnya yang tidak karu-karuan. Ia tidak bisa melukiskan perasaan bahagianya saat ini."Aku baik Mas," ucap Mita. Tanpa sadar bibirnya melengkungkan sebuah senyuman."Oh iya Mit, maaf ya kalau aku menghubungi kamu."'Iya Mas, tidak apa-apa.' Mita hanya mampu menjawab di dalam hati. Rasanya canggung sekali setelah sekian lama tidak pernah bersua. Sekalipun hati belum sepenuhnya lupa. Kenangan yang telah berlalu, serasa baru kemarin dilewati."Iya Mas.""Hari sabtu depan ada acara di sekolah Sifa yang harus dihadiri oleh kedua orang tua wali murid."Mita mengeryitkan kening. Ia baru ingat sudah hampir seminggu dirinya tidak sempat menghubungi putrinya. Karena kesibukannya di tempat kerja."Iya Mas, maaf, seminggu ini aku sibuk sekali dengan pekerjaanku. Jadi aku tidak sempat menghubungi Sifa." Mita merasa bersa
Angga sempat menyerah untuk kembali rujuk dengan Mita. Setelah tau jika ada lelaki lain yang kini sedang mendekati mantan istrinya itu. Namun setelah tau jika Mita tidak memilih lelaki itu, Angga kembali bersemangat. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang pernah ia sia-siakan. "Rujuk?" ucap Mita tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Angga menganggukkan kepalanya menyakinkan."Mas bercanda, kan?" Mita tersenyum tipis. Menatap ragu."Enggak Mit, aku serius. Aku ingin kita rujuk lagi." Angga menyakinkan."Tapi aku ...""Kenapa dengan kamu?" Angga membuat sedikit lengkungan pada bibirnya. Agar suasana tidak terasa begitu canggung."Aku sudah menyakiti kamu, Mas. Aku bukan wanita baik-baik." Mita tertunduk. Menyembunyikan rasa malu atas semua perbuatannya pada Angga.Angga menatap lekat pada Mita yang duduk di depannya. Semua masalah yang terjadi pada akhirnya hanya sebuah proses pendewasaan diri. Kini ia menemukan sosok Mita yang jauh lebih baik."Aku sudah memaafkannya," balas An
"Ini Bu Mita pemilik catering yang sebulan terakhir ini melayani perusahaan kita, Pak." Wanita cantik berseragam formal itu menjelaskan siapa sosok yang berdiri di depan Angga. Tentu saja Angga kenal betul. Bagaimana tidak, Mita pernah menjadi bagian hidupnya hingga bertahun-tahun.Angga mengangguk mengerti. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya saja pandangannya tidak beralih sedikitpun dari Mita yang berdiri di hadapannya. Membuat Mita merasa tidak nyaman."Jadi semuanya berapa Bu?" Wanita yang berdiri di samping Angga menyiapkan beberapa lembar uang berwarna merah untuk pembayaran.Mita mengabaikan perasaan gugup yang menyelimuti. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu dengan Angga lagi. Ternyata takdir kembali menuntutnya di jalan yang sudah ia ikhlaskan."Besok kami pesan lagi nasi 30 box dan cemilannya sekalian, bisa?" ucap wanita yang berdiri di samping Angga setelah membayar semua pesanannya."Bisa, Mbak," jawab Mita ramah. Senyuman terulas dari bibirnya.
Cukup lama menunggu. Tanda centang pada pesan yang Angga kirimkan pada Mita telah berganti biru. Tanda jika pesan yang ia kirim telah dibaca. "Harusnya aku mengungkapkannya saja dari kemarin." Angga merutuki dirinya sendiri. Mengusap wajahnya kasar. Menunggu pesannya yang tidak kunjung berbalas.Siang menjelang. Angga masih berdiam diri di rumah Marni. Ia belum beranjak pergi kemanapun. Sesekali ia mengecek pesan' yang ia kirimkan pada Mita berharap mantan istrinya itu memberikan jawaban. Namun, hingga sore menjelang, Mita tidak kunjung membalas pesannya. "Apakah dia benar-benar menolakku?" Angga bermonolog dengan dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya yang terlalu mengulur waktu. "Atau aku datang saja ke rumah ya dan mengatakan semuanya secara langsung pada Mita?" Angga berbicara dengan dirinya sendiri."Tapi, bagaimana kalau Mita menolakku?" Angga menimbang segala rasa yang berkecamuk di dalam dadanya.Ditempat lain Mita sudah tiba di rumahnya. Pak Aji pun langsung berpamitan pe
Klak.Pak Aji turun dari dalam mobil. Mita mematung di ambang pintu dengan mulut menganga. Mendadak otaknya blank melihat lelaki yang tengah mengulas senyuman ke arahnya."Akhirnya aku sampai juga," ucap Pak Aji membuang nafas lega.Mita mengedipkan matanya beberapa kali. Berharap apa yang ia lihat hanya sebuah mimpi' dan ia akan segera terbangun."Siapa laki-laki itu?" celetukan Marni menyadarkan Mita jika apa yang ia lihat bukanlah mimpi. Pak Aji sudah datang untuk menjemputnya sesuai permintaannya."Selamat pagi." Pak Aji memindai tatapannya pada Mita lalu, mereka yang ada di dalam rumah Marni.Gleg.Mita menelan ludahnya kasar. Terasa begitu pahit sekali. Sepahit kenyataan yang sedang ia hadapi sekarang. Gara-gara kesalahan pahamannya membuat Mita salah sangka dan gegabah mengambil jalan yang salah.Mita menoleh. Tatapannya langsung tertuju pada Angga. Hatinya ketar ketir bukan main. Meskipun mantan suaminya terlihat tenang dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sekilas Angga mem
Tut ... Tut ...Mita berdecak kesal. Nomor Menager yang menaruh hati padanya tidak bisa dihubungi. Lebih tepatnya lelaki itu tidak mau menjawab panggilannya. "Ayo dong Pak angkat!" gerutu Mita memburui. Tidak sabaran."Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah ...."Mita mengakhiri panggilannya sepihak. Kesal, karena lagi-lagi suara operator yang menjawab panggilannya.Mita nyaris frustasi. Menatap pada layar ponsel miliknya. Tanda centang pada pesan yang ia kirimkan pada Pak Aji sudah berganti biru, tanda jika lelaki itu sudah dibaca pesannya. Tapi hal itu tidak lantas membuat Pak Aji mau menjawab panggilannya. Apalagi membalas pesannya. Entah marah atau kecewa, setelah lamarannya di tolak Pak Aji seperti sengaja' menjauhi Mita. Mita tertunduk pasrah. Bergelut dengan pikirannya sendiri. Harusnya saat Angga memutuskan untuk berpisah dengannya, saat itu juga Mita menyudahi rasa yang tersisa. Bukan malah menyimpannya yang justru mengundang ribuan luka.Suara canda tawa di luar kamar
Kaki Mita seolah terpatri. Tidak mampu digerakkan sama sekali. Ia menatap pada wanita yang tengah menyambut hangat kedatangan Sifa. Dari caranya, terlihat sekali jika ini bukan pertemuan pertama mereka. Sudah ada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang mungkin tidak Mita ketahui. Sifa terlihat sangat akrab, begitu juga sebaliknya. Hati Mita tercubit. Merasa keberadaannya sebagai seorang ibu terancam. Ia takut Mita lebih menyayangi wanita itu daripada dirinya.Pikiran-pikiran buruk berbisik begitu ramai memenuhi isi kepala Mita. Menambah sesak yang menghimpit dadanya.Angga yang berjalan lebih dulu dan menyadari jika Mita tidak mengikutinya menolehkan ke belakang punggung."Mit, ayo!" Angga menginterupsi. Menyadarkan Mita dari lamunan."I-iya!" Mita berjalan mengekori Angga. Untung saja penerangan di depan teras rumah Angga tidak terlalu terang. Hingga tidak ada satupun yang tau jika Mita sedang berusaha payah untuk memaksakan senyuman pada bibirnya. Menyembunyikan ribuan perasaan yang
Mita sadar, sebenarnya ia tidak berhak ikut campur apapun dalam urusan kehidupan Angga. Apalagi terbesit rasa cemburu pada lelaki yang kini bukan lagi suaminya. Mereka memang masih menjalin hubungan baik karena adannya Sifa diantara mereka. Jika bukan karena Sifa, mereka layaknya dua orang asing yang tidak saling mengenal."Mit, ayo!"Mita tergeragap. Dalam hati merutuk kesal. Ia pikir bibirnya sudah berhasil mempertanyakan siapa wanita pemilik nama Alina itu, tapi nyatanya pertanyaan itu hanya terbersit dalam benak Mita belaka."Oh, iya Mas." Mita menyusul Angga masuk ke dalam gedung sekolah yang sudah ramai sekali."Kemana ya Sifa?" Mita bergumam pelan, seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Angga yang berjalan mensejajarinya dapat mendengar jelas suara itu."Itu di sana!" Angga mengacungkan jari telunjuknya ke arah panggung. Di mana Sifa dan teman-temannya sebentar lagi akan tampil.Senyuman mengembang dari bibir Mita saat pandangannya menemukan sosok yang ia cari."Mit, du
"Mama!"Mita berdecak kesal. Kedatangan Sifa yang muncul dari arah pintu rumah menghentikan obrolan antara dirinya dan Angga. Padahal Mita sangat penasaran sekali dengan jawab Angga. Apakah lelaki itu benar sudah memiliki kekasih pengganti dirinya atau belum.Sifa memeluk erat tubuh Mita. Netra Mita menatap lekat pada Angga yang berdiri tidak jauh di depannya. Berharap menemukan jawaban."Aku kangen banget sama mama," ucap Sifa tulus."Iya, mama juga kangen banget sama kamu, Nak." Mita mengusap lembut punggung Sifa. Pandangannya memindai Angga yang melemparkan senyuman ke arahnya. Sorot matanya teduh sama seperti dulu, tidak pernah berubah sama sekali. Salah satu yang membuat hati Mita luluh pada Angga."Sifa, ayo mandi sayang. Nanti kita terlambat." Angga menginterupsi setalah cukup lama Mita dan Sifa berpelukan. Gadis itu melepaskan pelukannya dari tubuh Mita.Mita menyunggingkan senyuman pada Sifa. Sedikit canggung, dan pura-pura ti
"Terima. Terima. Terima."Seluruh karyawan yang berada di tempat itu bersorak. Mita semakin bingung juga gugup. Baru kali ini ia dilamar langsung oleh lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Yang lebih membuat Mita syok, Pak Aji melamarnya di depan umum. Harusnya Mita bahagia, jika saja Mita memiliki perasaan cinta. Tapi sayangnya Mita tidak memiliki perasaan apapun pada Pak Aji.Mita menatap Pak Aji. Sesaat kemudian mencari keberadaan Angga dan laki-laki itu sudah raib di tengah-tengah kerumunan. Tidak hanya karyawan yang bekerja di store tempat Mita bekerja yang berkumpul. Tapi para pengunjung pusat perbelanjaan itu ikut berkumpul menyaksikan Pak Aji melamar Paramita."Di depan semau orang yang ada di sini, aku ingin mengungkapkan perasaan yang sudah sekian lama aku pendam, Mit." Ada ketulusan dari sorot mata Pak Aji."Mit, maukah kamu menikah denganku? Menjadi ibu untuk anak-anakku?"Hening. Mita membisu bagai patung. Ingin menolak, tapi