"Bu Nami, ada kiriman biasa dari suami tercinta.""Oh, iya. Taroh aja di mejaku. Thank you, Eddy."Tak terasa bulan demi bulan berlalu. Pernikahan Samudra dan Nami sangat baik-baik saja. Saking tenangnya, malah netizen yang ribut. Seperti hari ini, Nami selalu rutin mendapatkan kiriman bunga dari Samudra. Tidak heran jika Kiano, bosnya sampai menyuruh Nami untuk membuka toko bunga saja. Ya, meja Nami setiap hari selalu berganti bunga. Bunga yang sebelumnya, Nami bawa pulang untuk dipajang di rumah. Tak heran jika rumah Nami dan Samudra seakan penuh bunga dimana-mana. Sampai di kamar mandinya pun, Nami letakkan bunga di sana. Tentu saja bunga-bunga itu berasal dari Samudra. Selain bunga, Samudra juga tak pernah pulang dengan tangan kosong. Makanan, hadiah, dan apapun itu dibawakan untuk Nami. Selama itu membuat Nami bahagia, maka Samudra akan terus melakukannya.Awalnya Nami sudah sempat membicarakan hal tersebut. Sedikit protes bila sang suami tidak harus demikian setiap hari. Ak
"Mas, kok sakit, ya?""Iya. Punyamu kering, Sayang. Mana lututku juga pegel jadinya."Sekali lagi mereka harus menyerah, akibat hubungan suami istri yang ingin mereka lakukan, malah berujung gagal total.Mereka sudah berusaha membangun kemesraan. Memberikan sentuhan-sentuhan penuh kasih dan tatap mesra yang memang biasanya sudah lumrah dilakukan oleh pasangan suami istri yang ingin menyatu. Namun beberapa malam mereka mencoba, rasanya begitu hambar. Bahkan tidak ada yang sampai klimaks. Ujung-ujungnya Samudra lelah dan Nami sakit pada bunga telangnya yang mengering."Kita konsul ke dokter, yuk, Mas?""Serius, Nam?" Tidak tahu mengapa, Samudra malah merasa malu berkonsultasi tentang hubungan ranjangnya yang payah ke hadapan dokter."Serius. Daripada cerita ke orang lain, walaupun bestie sendiri. Lebih baik ke ahlinya. Bisa dapat solusi yang bagus."Alasan Nami sangat tepat. Namun Samudra masih ragu untuk mengiyakan. "Dokter sama perawatnya tidak akan membocorkan rahasia, bukan?" T
"Mas, mana tour guidenya?"Akhirnya Nami dan Samudra tulus juga bertandang ke Korea Selatan. Nami yang mengajukan cuti kepada Kiano, tak perlu dipersulit sama sekali. Mungkin itu salah satu keuntungan memiliki atasan yang adalah teman akrab seangkatan kuliah. Bukan juga Nami dipersandingkan dengan nepotisme. Kiano menilai bila kinerja Nami memang sepatutnya dihadiahi libur. Di sisi lain, jatah cuti Nami ternyata masih ada. Jadi tidak ada alasan melarang. Jadi liburan kala itu tentu disambut antusias oleh Nami. Itu pertama kali dirinya ke luar negeri. Langsung ke negara yang memang selama ini hanya menjadi khayalannya pula. "Coba bantu mas nyari tour guide-nya." Samudra memperlihatkan sebuah foto yang dikirim ibunya lewat ponsel.Nami melihat foto seorang pria tampan khas negeri ginseng. "Wah!" refleknya kagum."Mirip Lee Dongwook Ahjussi!"Binar tatapan Nami cerah seketika. Rasa lelah dan mengantuk lenyap begitu saja. Pria tampan memang obat segalanya. Tak peduli, Samudra melir
"Mas, pihak hotelnya so sweet banget, ya? Sampai nyiapin ini semua untuk menyambut kita."Nami dan Samudra disambut dengan taburan kelopak mawar merah, tidak hanya di tempat tidur. Tapi juga di lantai, mulai dari depan pintu. Ketika mereka masuk lebih dalam, terdapat kartu ucapan yang bertuliskan 'Welcome Mr. Samudra Dirgantara and Mrs. Nami Dirgantara. Happy honeymoon'. "Nama kamu jadi berubah, tuh!"Samudra tak terbiasa dengan nama lengkap istrinya yang mendadak diubah seperti itu. "Bukannya wajar, Mas?" Menurut Nami sudah biasa ketika seorang istri menyandang nama belakang suaminya."Entahlah. Aku kurang setuju.""Kenapa?""Yang pantas menyandang nama belakangku itu, anak-anak kita kelak. Seorang istri, tetap tidak boleh kehilangan identitas aslinya. Ya, kali, istri sama seperti anak, yang nama belakangnya tiba-tiba diganti setelah menikah?"Nami memeluk lengan Samudra seraya terkikik lucu. "Siapa yang pake kamar mandi duluan?" "Terserah. Kamu aja duluan. Biar kamu cepat rebah
"Sabar, Sayang. Sebentar lagi, Namjin datang."Nami disuruh duduk, tapi malah berdiri gelisah. Nanti melangkah kecil mondar-mandir, mengetuk-ngetukkan pelan ujung sepatu boots pink-nya pada lantai lobby. Kelihatan sekali sudah tidak sabar dengan perjalanan wisata hari itu."Nah, itu dia!" Nami menunjuk pada mobil Namjin yang baru sampai. Kaki-kaki Nami berlari kecil keluar lobby, disusul Samudra yang sedikit berdecak. Kurang suka melihat sang istri begitu antusias saat bertemu Namjin. "Selamat pagi, Tuan Samudra dan Nyonya Nami.""Pagi juga, Namjin Oppa.""Tidak usah pakai oppa," tegur Samudra tidak terima. Ia juga menghunuskan tatapan sinis dan menarik pinggang Nami agar lebih menempel kepadanya.Namjin yang melihat itu, hanya tersenyum kecil sembari menggeleng."Sudah siap untuk perjalanan hari ini?" Mereka bertiga sudah masuk mobil. Nami bersorak antusias, sangat bersemangat. Dibanding Samudra yang diam cemberut, tidak suka pada Nami yang cengengesan pada Namjin."Mas, kok cember
“Jangan diikat.”Samudra merebut ikat rambut Nami yang baru saja ingin disematkan sang istri ke rambut. “Kenapa, sih, Mas?”“Dingin. Rambutmu sudah pendek. Untuk apa diikat?”Memang tidak ada alasan khusus, tapi Nami heran saja pada Samudra yang melarangnya mengikat rambut. “Aku tidak suka lehermu dilihat oleh pria lain. Terutama tour guide kita.”Nami tidak begitu suka pria pencemburu sebenarnya. Tapi harus ia akui bila kejujuran Samudra serasa menggelitik dadanya. Senang juga dicemburui ternyata. “Ya, udah, Mas. Nggak jadi ngikat rambut.” “Oke. Kita pulang dulu istirahat. Besok jadi ke Namsan Tower?”“Jadi, dong. Aku mau gembokin namaku sama mas.”“Oh, tidak jadi dengan Kim Seokjin?”“Ih, Mas! Cuma bercanda. Jangan jealous.”Sesampainya di hotel. Bukannya istirahat, mereka kembali melakukan hubungan suami istri layaknya pengantin baru yang baru dimabuk cinta. Benar ternyata. Yang membuat mereka tidak enjoy saat bercinta, karena fisik dan pikiran mereka sudah lelah akibat bekerj
"Eh, tumben ada kembang api."Sebelum mereka kembali ke hotel, Nami dan samudra memutuskan untuk jalan-jalan di pusat keramaian di kota Seoul.Selain mereka, penduduk lokal juga banyak yang memilih untuk nongkrong di sana. Pertokoan dan tempat makan, lengkap ada di lokasi tersebut. Mungkin itu alasan lokasi tersebut ramai pengunjung."Mungkin ada perayaan."Samudra menggenggam erat tangan Nami. Mereka mendongak, menikmati pancaran kembang api yang berkilauan di atas sana. Banyak yang merekam momen indah tersebut, tak terkecuali Nami yang dengan cepat mengambil ponselnya. Otomatis pegangan tangan mereka terlepas. Samudra pun yang tidak ingin Nami tersenggol kerumunan, menarik pinggangnya untuk lebih rapat. Suasana yang indah itu, mampu membuat Samudra terbawa perasaan. Bukannya menikmati kembang api yang sedang mempercantik angkasa sekaligus menambahkan kadar polusi. Samudra memilih untuk memandangi sang istri yang sibuk merekam sembari menonton pertunjukkan kembang api. Berawal da
“Nami.” “Eh, Arsya.” Namun Nami segera merevisi panggilannya,”Bu Arsya, selamat siang. Pak Kiano ada di dalam.” “Ck! Aku mau ngobrol bentar sama kamu. Nggak usah manggil ibu gitu, ah. Aneh dengarnya.”Nami belum mengiyakan, tapi Arsya sudah menariknya agar berdiri dari kursi kerjanya. Nami digandeng, dibawa ke cafetaria kantor. “Eh, ada Arsyi sama Leony juga. Ini mau ada apaan?”Nami akhirnya duduk bergabung bersama tiga sahabatnya. Nami merasa heran, karena ketiga temannya menatapnya dengan tatapan aneh. “Nami, kamu serius ngizinin Samudra main drama series?” tanya Leony memulai rapat dadakan yang entah bertujuan untuk apa. “I-iya.” Nami semakin heran jika pertemuan itu dilakukan hanya untuk membahas Samudra akan memulai debut akting di drama series. “Kenapa, Nam?” tanya Arsyi dengan kening berkerut dalam. “Ya, nggak kenapa-napa banget. Tapi justru kalian kenapa, deh?” “Nam, kamu harus larang Samudra. Mumpung belum syuting.” Arsya mendesak. Nami malah semakin tidak mengerti d