Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 44: "Titian Dua Dunia"

Share

Bab 44: "Titian Dua Dunia"

Author: Oceania
last update Last Updated: 2025-02-01 10:54:21

Pukul 11.00 WITA, panas terik menyapa Bandara Betoambari. Sinta berdiri di bawah pohon asam, tangan menggenggam keris pusaka peninggalan Ratu Wakaaka yang terselip di balik kain tenun Buton. Jun Ho di sampingnya, memandang langit dengan cemas. Pesawat dari Seoul yang membawa orang tuanya baru saja mendarat. Mereka telah menunggu kedatangan orang tua Jun Ho selama berjam-jam, dan kecemasan mulai menghantui pikiran mereka. Sinta memejamkan mata sejenak, berdoa agar kedua orang tua Jun Ho selamat sampai di Bandara Betoambari. Dia merasa tegang dan tidak sabar untuk segera bertemu dengan mereka setelah begitu lama terpisah. Jun Ho mencoba menenangkan Sinta dengan senyuman hangatnya, memegang erat tangan gadis itu sambil menatap pesawat yang baru mendarat. Semoga pertemuan kali ini membawa kebahagiaan bagi mereka semua.

"Saya sangat tegang, sayang," ucap Sinta. Jun Ho tersenyum lembut, "Semuanya akan baik-baik saja, jangan khawatir. Mereka pasti akan sampai dengan selamat." Sinta tersenyum
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 45: Akad dan Asap Dupa

    Bab 45: "Akad dan Asap Dupa"Pukul 08.00 WITA, kabar tentang surat yang dikirim lewat email dari Seoul mengguncang desa. Nyonya Choi Eun-suh membeli 10 hektar lahan di tepi hutan Lambusango tepat menghadap ke timur laut yang berhiaskan teluk Lawele untuk membangun villa mewah bertema Jeju-buton fusion. Jun Ho membaca surat itu, sementara Sinta menatap ke arah hutan tempat Ratu Wakaaka dahulu berunding dengan para tetua. Dia merasa terkejut dan gembira sekaligus. Ingin segera memberitahu Sinta tentang rencana yang sudah lama dia susun. Namun, dia juga merasa cemas dengan reaksi Sinta yang mungkin tidak sejalan dengan ide tersebut. Sementara itu, Sinta terdiam dalam pemikirannya, terpana dengan keindahan hutan yang masih menyimpan sejarah dan misteri di baliknya. Pikiran Sinta terbang ke beberapa abad silam, menyaksikan pertempuran dasyat yang menenggelamkan kapal Belanda di teluk Lawele. Menyaksikan taktik gerilya Oputa yi Koo yang memusingkan Belanda

    Last Updated : 2025-02-02
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 46: Tarian yang Menyatukan Langit dan Seoul

    Pukul 06.17 WITA, matahari belum sepenuhnya terbit ketika teriakan pekerja villa mengguncang Lambusango. Prasasti batu hitam bertuliskan aksara Wolio kuno ditemukan di bawah fondasi villa. Tulisan itu berbunyi: “Yang merusak tanah ini, akan dikunyah arwah yang lapar.” Sinta segera mengenali simbol kura-kura bermahkota di sudut prasasti—lambang Ratu Wakaaka.Dia teringat cerita neneknya tentang legenda Ratu Wakaaka yang konon mempunyai kekuatan untuk mengendalikan arwah-arwah lapar yang berkeliaran di tanah tersebut. Sinta merasa gugup namun juga penasaran dengan temuan tersebut. Dia segera memutuskan untuk memanggil seorang arkeolog untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai makna dari prasasti tersebut. Dalam hatinya, Sinta merasa bahwa temuan ini adalah awal dari petualangan besar yang akan mengubah hidupnya selamanya.Sinta tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang signifikan tentang penemuan simbol Ratu Wakaaka pada prasasti k

    Last Updated : 2025-02-03
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 47: "Telur, Enzim, dan Langkah Pertama di Jeju"

    Pukul 05.30 WITA, kabar tentang telur kura-kura langka di kolam renang villa viral sebelum fajar. Kura-kura Lepidochelys olivacea yang seharusnya bertelur di pantai terpencil, justru memilih kolam marmer villa Nyonya Choi. Para pekerja berbisik: “Ini pertanda Ratu Wakaaka mengawasi kita.” Sementara di Seoul, dr. Lee Min-ji mengirim email berjudul “Wakaaka’s Enzyme: Kunci Anti-Aging?” ke Jun Ho, dengan lampiran data kimia yang membingungkan. Jun Ho membaca email dari dr. Lee Min-ji dengan penuh antusiasme. Dia segera menyadari bahwa penemuan enzim baru ini bisa menjadi terobosan besar dalam industri kecantikan. Tanpa ragu, Jun Ho langsung membalas email tersebut untuk mengatur pertemuan dengan dr. Lee Min-ji dan membahas lebih lanjut tentang potensi enzim tersebut. Sementara itu, di Jeju, Nyonya Choi terkejut saat menemukan telur-telur kura-kura di kolam renangnya, dan dia yakin bahwa ini adalah pertanda baik yang harus diambil tindakan.Dia seger

    Last Updated : 2025-02-04
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 48: "Kura-Kura Putih dan Jejak Misterinya"

    Pukul 03.00 WITA, telur kura-kura albino menetas di kolam villa. Bayi kura-kura itu bersisik seperti mutiara, matanya merah delima. Tanpa ragu, ia berenang ke arah Sinta yang sedang video call dengan Jun Ho dari bandara. “Ini pertanda, Jun. Dia memilih kita,” bisik Sinta, air mata menetes. Tapi sebelum ia bisa menyentuhnya, kura-kura kecil itu menyelam ke dasar kolam dan menghilang, meninggalkan jejak cahaya keperakan.Sinta dan Jun Ho terpesona oleh kehadiran kura-kura putih yang misterius itu. Mereka merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa dari makhluk itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mereka pun merasa bahwa kura-kura tersebut membawa sebuah pesan atau pertanda yang penting bagi mereka berdua. Dengan hati penuh haru, Sinta dan Jun Ho memutuskan untuk mengikuti jejak cahaya keperakan yang ditinggalkan oleh kura-kura kecil tersebut, tanpa tahu apa yang akan menunggu mereka di ujung perjalanan tersebut."Dia kemana?" tanya Sinta penasaran, sebab matanya tinggal

    Last Updated : 2025-02-05
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 49: "Hieroglif, Pengkhianatan, dan Sintesis Dosa"

    Pukul 15.00 CET, Danau Zurich berkilau di bawah matahari musim semi. Sinta terduduk di tepi danau, matanya menatap kura-kura albino yang muncul tiba-tiba. Di cangkangnya, hieroglif Wolio kuno berpendar: “Darahmu adalah jembatan, jiwamu adalah medan perang.” Jun Ho, yang sedang berbicara dengan investor, terpaku saat melihat Sinta mengusap cangkang itu. “Ini peringatan dari Ratu Wakaaka,” bisiknya, “tapi tentang apa?”Sinta mengangkat kepalanya dan menatap Jun Ho dengan tatapan penuh pertanyaan. Mereka berdua sama-sama merasa kebingungan dengan makna dari hieroglif tersebut. Namun, mereka yakin bahwa pesan dari Ratu Wakaaka pasti memiliki hubungan dengan pengkhianatan yang terjadi belakangan ini di antara mereka. Dengan hati-hati, mereka mulai merencanakan strategi untuk mengungkap misteri di balik hieroglif tersebut, sambil tetap waspada terhadap kemungkinan adanya sindikat penjahat yang akan menghalangi usaha mereka.Mereka memutuskan untuk melakukan riset lebih lanjut tentang sejara

    Last Updated : 2025-02-06
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 50: "Harta, Sisik Emas, dan Abu yang Menyelamatkan"

    Teluk Lawele, 04.30 Kura-kura albino itu muncul di kamar hotel Sinta, cangkang retaknya mengeluarkan cahaya biru pucat. Di kakinya, telur berlumur darah berisi peta bertuliskan aksara Wolio: “Harta bukan emas, tapi nafas tanah.” Sinta segera paham—ini petunjuk ke gua Wakaaka, tempat Ratu menyimpan tombak penjaga keseimbangan. Jun Ho memeluknya: “Kita harus pulang. Hutan Lambusangodalam bahaya.”Mereka segera bergegas mengumpulkan semua barang bawaan mereka dan bersiap-siap untuk meninggalkan hotel. Sinta merasa tegang namun juga bersemangat dengan petualangan yang akan mereka hadapi. Mereka tahu bahwa misi mereka untuk menemukan tombak penjaga keseimbangan sangat penting, dan mereka siap untuk menghadapi segala rintangan yang ada di depan mereka. Dengan tekad yang kuat, mereka meninggalkan kamar hotel dan melangkah menuju gua Wakaaka dengan penuh keyakinan.Mereka berjalan dengan cepat melewati hamparan padang rumput dan melewati sungai-sungai kecil yang mengalir jernih. Sinta merasa

    Last Updated : 2025-02-08
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 51: "Samudra dan Bayangan Dosa"

    Perairan Buton, 02.00 WITATelur baru kura-kura albino mengapung di laut, memancarkan cahaya kebiruan yang menuntun Sinta dan Jun Ho ke kapal kargo ilegal yang membuang limbah hitam pekat. Di dek kapal, logo samar perusahaan farmasi global terlihat—Pharmara Inc.—sama dengan yang mengincar enzim Wa Ode. “Mereka meracuni laut untuk tutupi jejak,” geram Jun Ho, kamera drone di tangannya merekam bukti. Sinta dan Jun Ho mencoba menyusup ke dalam kapal untuk mengumpulkan lebih banyak bukti tentang kegiatan ilegal yang dilakukan oleh Pharmara Inc. Mereka melihat para pekerja kapal dengan sibuknya membuang limbah ke laut tanpa ampun, tanpa peduli dengan dampak yang akan ditimbulkan bagi lingkungan dan hewan-hewan laut. Sinta merasa semakin bertekad untuk membongkar kejahatan perusahaan farmasi tersebut dan menyelamatkan kura-kura albino serta habitatnya.Sementara tetua adat di Kulati Wakatobi, sibuk membersihkan pantai Kulati, pasir putih yang panjang itu dipenuhi sampah plastik. Tetapi pagi

    Last Updated : 2025-02-09
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 52: "Kristal dan Ujian Laut"

    Perairan Buton, 04.30 WITAKapal militer AS USS Guardian mengarahkan sonar ke gua bawah air, menangkap gambar kristal biru berpendar. "Target terkunci. Siapkan tim pengekstrakan," perintah Kapten Reed. Di permukaan, Sinta dan Jun Ho, yang menyamar sebagai nelayan, mengirim pesan darurat ke Wa Ode Sandibula: "Mereka akan merusak segalanya!"Saat Wa Ode menerima pesan mendesak dari Sinta dan Jun Ho, jantungnya berdebar dengan campuran ketakutan dan tekad. Dia tahu bahwa penemuan kristal biru yang bersinar bisa mengubah segalanya, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun membahayakan temuan mereka. Dengan tekad yang kuat, dia mengumpulkan timnya dan bersiap untuk menghadapi USS Guardian dan krunya. Nasib dunia bawah laut tergantung pada keseimbangan, dan Wa Ode siap melakukan apa pun untuk melindunginya.Dengan peralatan menyelam yang telah disiapkan dengan teliti, Wa Ode dan timnya menyusup ke dalam perairan yang gelap dan berbahay

    Last Updated : 2025-02-10

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 142 – Jejak Padi, Sayap Cendrawasih, dan Sinar Timur Laut

    Pagi itu, medan mentari Merauke tak lagi menyapa dari balik awan, melainkan menyemai cahaya keemasan yang menembus sekat pepohonan sagu dan merangkul atap rumah petani baru di Hamparan Persawahan Karang Mulia. Lintang melangkah melintasi pematang sawah, air menggenangi tanah liat yang lunak, memantulkan sinar mentari seakan permadani cermin. Di hadapannya terbentang ribuan hektar padi varietas unggul, hamparan hijau tak bertepi yang dikembangan pemerintah demi kemandirian pangan global.Di sana, ia menemui Pak Mawar, petani keturunan Papua yang memimpin kelompok tani di Merauke. Wajah Pak Mawar teduh seperti kayu ulin tua, dan sorot matanya memancarkan kebanggaan kepada sawah yang dibangun bersama masyarakat adat. “Kita tidak hanya menanam padi,” ujar Pak Mawar sambil mengusap mutir biji padi di telapak tangannya, “kita merajut masa depan. Persawahan ini—sawah tematik seribu hari—dapat memberi makan jutaan perut. Padi menanam dir

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 141 – Jejak Benih di Seluruh Penjuru

    Pagi merambat lembut di kaki Bukit Merauke ketika Lintang menginjakkan kaki di hamparan ladang Papua. Embun menetes di daun sagu, dan kabut tipis menyelimuti barisan pohon kelapa dan ubi kayu. Di sana, sekelompok petani Papua—lelaki dan perempuan bertopi bambu, kulitnya menolak terik—menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat datang di Merauke, Kak,” sambut Yanto, koordinator komunitas tani lokal. “Di sini, si kaya dan si miskin menanam bersama. Anak‑anak muda kami belajar bercocok tanam demplot jagung hibrida, sagu liar, dan bahkan menanam padi organik di lahan rawa.”Lintang mengangguk, terpesona. Ia mendekati salah satu petani muda yang sedang meracik bibit padi organik.“Bagaimana kalian membebaskan diri dari ketergantungan impor beras?” tanyanya.Petani itu tersenyum, “Kami menerapkan rotasi tanaman dengan sagu dan ubi kayu agar tanah tak terlelah, serta menanam var

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 140 – Bayang Oligarki dan Cahaya Petani

    Kala fajar pertama menembus ufuk timur Buton, cahaya keemasan menyapa bentang hutan Lambusango. Senandung burung Parakohau bergema menembus rimbun pepohonan, seolah menjadi lagu pembuka bagi hari yang penuh janji. Di pelataran Madrasah Langit, anak-anak berlarian membawa sekantong bibit rempah, hidangannya tepuk tangan meriah. Lintang berdiri di podium bambu, menyaksikan generasi muda Pulau Buton menari riang, memeragakan gerakan tanam padi dan tarian Balaba dalam parafrase modern.“Selamat pagi, adik‑adik!” sapa Lintang dengan senyum hangat. “Madrasah Langit kini telah bersemi di lebih dari seratus daerah di seluruh belahan bumi. Di sana, petani kecil di Padang, nelayan di Maladewa, penggembala di stepa Mongolia, semua belajar bersama, berbagi ilmu, dan menjaga tanah mereka.”Anak‑anak menatap dengan mata berbinar. “Makasih, Kak Lintang!” teriak seorang bocah berlumur tanah. Mereka duduk melingkar, memegang alat tulis sederhana dan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 139 – Jalinan Tanah, Jaringan Langit, dan Laut Tak Bertepi

    Setelah pertemuan akbar di Madrasah Langit usai, para delegasi kembali ke tanah air masing‑masing, hati dan pikiran penuh tanggung jawab baru. Dari padang pasir Gobi hingga hutan Mayombe, dari benteng Jeju hingga ke pantai Maladewa, mereka pulang membawa nyala harapan untuk membangkitkan peradaban yang berakar pada kejujuran, kesucian hati, dan penghormatan pada tanah.Di Jawa, Pak Slamet, petani kopi di lereng Merapi, membuka lokakarya di balai desa. Warga berdatangan, membawa biji kopi, alat pengolah sederhana, dan secangkir hangat kenangan. “Tanah kita,” ujar Pak Slamet, “adalah tapak sejarah—menyuburkan gigir gunung dan mencipta kopi yang harum. Dari sini, kita belajar dari sistem irigasi tetes di China: tetes adalah doa; tiap tetes air yang menyentuh akar adalah janji kehidupan.” Ia mencontohkan pola pengairan sederhana: selang plastik kecil ditempel di setiap pohon kopi, menghemat air dan memaksimalkan produksi—&ldquo

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 138 – Madrasah Dawiah dan Orkestra Tanah Dunia

    Lintang melangkah pelan menyusuri lorong benteng Kraton Buton, di antara dinding purba yang disulam lumut hijau dan ukiran kayu yang menuturkan kisah silam. Pintu berat berderit perlahan ketika ia membukanya, membuka ruangan bangsal Madrasah Dawiah—sekolah Islam tertua di nusantara timur, kawasan tempat para ulama dan cendekiawan berkumpul menenun perjanjian antarbangsa. Di sudut aula, cahaya lampu temaram menari pada naskah kuno dan pita tangan para santri berwarna-warni.Terngiang di benak Lintang dialognya dengan Prof. Mark di Leiden—guru sejarah yang menggambarkan Madrasah Dawiah sebagai simpul perjanjian “yang lahir dari kebijakan kesultanan untuk mempersatukan Kerajaan Buton dengan permukiman dagang Eropa, India, dan Arab. Di sinilah interaksi agama, sains, dan etika sipil pertama kali disalin ke dalam buku-buku pergulatan batin dan resolusi damai.” Di depannya kini terhampar prasasti marmer tua: “Madrasah Dawiah, Rumah Perjanjian, 1616.&rd

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 137- Tanah, Jembatan antara Big Data dan Doa

    Lintang berdiri di pelataran balai tani, dikelilingi oleh barisan petani yang menunggu penjelasannya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah catatan ringkas tentang teknik pertanian modern China, di tangan kirinya tergenggam kitab kecil berisi bait‑bait Bhumi Suktam dari Veda—sebuah simbol perpaduan ilmu dan jiwa. Dengan suara lembut namun tegas ia membuka pembicaraan.“Para petani terhormat,” mulanya, “di Xinjiang, China, petani kita memanfaatkan teknik irigasi tetes—drip irrigation—untuk tanaman gandum musim dingin. Dengan selang‑selang plastik berteknologi tinggi yang meneteskan air langsung ke akar, hasil panen meningkat pesat, dan air hanya digunakan seperlunya". “Tak hanya itu, di wilayah kering, mulched drip irrigation—irigasi tetes berlumur—membantu mengontrol salinitas tanah dan menjaga struktur tanah, sehingga kapas pun tumbuh subur hingga puluhan tahun”.Seorang petani tua mengerutkan kening. “B

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 136 – Sujud, Reruntuhan, dan Daun-daun Perang

    Lintang duduk bersila di pendapa usang yang menghadap ke teluk Lawele. Angin senja membelai wajahnya dengan sepoi, membawa aroma laut dan lumut yang membasahi karang di bibir pantai. Di depannya terhampar buku tua berkulit kayu, halaman‑halamannya sudah memutih dan rapuh. Ia merengkuh buku itu, menundukkan kepala, dan membacakan bait-bait puisi kakeknya dengan suara bergetar:Aku sujud,tapi tak tahu: kepada siapa sesungguhnya dahiku ini menyentuh?Apakah Engkau, Wahai Kekasih,atau hanya bayangan dari diriku sendiri?Suara Lintang mengalun pelan, bak aliran sungai kecil yang memecah hening. Setiap baris puisi itu menembus relung hatinya, menggugah kerinduan akan kesucian yang pernah ia miliki dahulu. Ia melanjutkan:Aku melafazkan nama‑Mu,tapi diam‑diam ingin disanjung,ingin dilihat sebagai kekasih‑Mu,padahal tak sekali pun aku benar‑benar tenggelam dalam‑Mu.Kilatan m

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 135 – Pelajaran dari Yuanmingyuan dan Kebanggaan yang Terlahir Kembali

    Senja menyaput langit Jakarta dengan semburat jingga lembut kala Lintang melangkah turun dari pesawat. Di ujung pintu kedatangan, berdiri dua sosok yang paling ia rindukan—Sinta, ibunya, dengan senyum hangat yang meneduhkan; dan Jun Hoo, ayahnya, tegap namun lembut menatap putrinya dengan mata berbinar bangga. Tanpa kata, mereka berpelukan erat. Hanya deru mesin pesawat yang menjadi saksi, sementara hati mereka bergetar dalam kesunyian yang penuh makna.“Anakku…” suara Sinta bergetar, “selamat pulang.”“Ka…aku belajar begitu banyak, Bu, Pa,” ujar Lintang, menahan air mata haru. Ia merasakan setiap inci pelukan itu menghadirkan kekuatan baru dalam dirinya, selaras dengan kebijaksanaan yang dibawanya dari perjalanan panjang ke tanah peradaban.Mereka beranjak menuju mobil, menembus lalu lintas kota yang berdenyut. Sepanjang perjalanan, Lintang mulai bercerita, suaranya nyaris berbisik agar setiap kata dapat diresapi. Ia mengisahkan kunjungannya ke Yuanmingyuan—Old

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 134 – Melodi Desyhuang, Suara Damai di Negeri Terpecah

    Senja di Taiwan adalah suatu lukisan hidup yang memukau, di mana langit memerah bagai benang sutra yang diatur oleh tangan para dewa. Di sudut sebuah kafe kecil di Taipei, Lintang duduk menyendiri, mendengarkan lagu-lagu Desyhuang yang menggema lembut melalui headphone-nya. Nada-nada musik itu mengalir, bagaikan aliran sungai yang mengalir dari masa lalu, membawa pesan-pesan rahasia tentang cinta, pengorbanan, dan perjanjian yang telah ditorehkan di antara keberagaman budaya.Dalam sekejap, irama melankolis Desyhuang itu membangkitkan sebuah kerinduan mendalam dalam jiwa Lintang—sebuah rindu kepada tanah yang dahulu menyatu dalam harmoni, namun kini terpecah oleh dua kekuatan ekonomi besar yang saling bersaing. Ia terpaut antara bayang-bayang kekuatan China yang modern dan ambisi global yang sering kali mengabaikan kehalusan budaya, dan bayang-bayang masa depan yang ia impikan untuk pulau kecil yang mempesona ini. Lintang menyadari, bahwa Taiwan adalah tanah bag

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status